Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG

Islam sebagai agama mempunyai dua dimensi yaitu keyakinan atau akidah dan

sesuatu yang di amalkan atau amaliah. Amal perbuatan tersebut merupakan

perpanjangan dan implentasi dari akidah tersebut. Islam adalah agama samawi yang

bersumber dari Allah SWT yang berintikan keimanan dan perbuatan.

Kedudukan tauhid dalam Islam sangatlah fundamental, karena dari pemahaman

tentang tauhid itulah keimanan seorang muslim mulai tumbuh. Konsep tauhid dalam

Islam merupakan salah satu pokok ajaran yang tidak dapat diganggu gugat dan sangat

berpengaruh terhadap keislaman seseorang. Apabila pemahaman tentang tauhid

seseorang tidak kuat, maka akan goyah pula pilar-pilar keislamannya secara

menyeluruh.

1.2 RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimana konsep Aqidah dalam Islam

2. Bagaimana pembagian macam-macam Tauhid

3. Bagaimana konsekuensi dua kalimat syahadat dalam kehidupan sehari-hari

1.3 TUJUAN

1. Untuk mengetahui konsep Aqidah dalam Islam

2. Untuk mengetahui pembagian macam-macam Tauhid

3. Untuk mengetahui konsekuensi dua kalimat syahadat dalam kehiduan sehari-

hari

1
BAB II

PEMBAHASAN
2.1 KONSEP AQIDAH

2.1.1 Pengertian Aqidah

Aqidah secara etimologi atau bahasa, aqidah berasal dari kata ‘aqada yang berarti

menyimpulkan, mengokohkan atau mengikat. Kata Aqidah atau Aqaid (bentuk

jama’) yang berarti keyakinan, sesuatu yang dapat dipercaya dalam hati atau dalam

ikatan yang kokoh.Aqidah Secara Terminologis atau istilah, aqidah adalah beberapa

perkara yang wajib di yakini kebenarannya oleh hati, dapat mendatangkan

ketentraman jiwa dan menjadi keyakinan yang tidak tercampur dengan keraguan-

keraguan.

Dalam pengertian agama pengertian akidah adalah kandungan rukun iman, yaitu:

1. Beriman dengan Allah


2. Beriman dengan para malaikat
3. Beriman dengan kitab-kitab-Nya
4. Beriman dengan para Rasul-Nya
5. Beriman dengan hari akhir
6. Beriman dengan takdir yang baik maupun yang buruk

Jadi akidah juga bisa diartikan dengan keimanan yang mantap tanpa disertai
keraguan di dalam hati seseorang.

2.1.2 Kedudukan Akidah

Dalam ajaran Islam, aqidah memiliki kedudukan yang sangat penting. Ibarat suatu

bangunan, aqidah adalah pondasinya, sedangkan ajaran Islam yang lain, seperti

ibadah dan akhlaq, adalah sesuatu yang dibangun di atasnya. Akidah yang benar

merupakan landasan tegaknya agama dan kunci diterimanya amalan. Hal ini

sebagaimana ditetapkan oleh Allah Ta’ala di dalam firman-Nya:

2
‫صالِ ًحا َوال يُ ْش ِر ْك بِ ِعبَا َد ِة َربِّ ِه أَ َحدًا‬
َ ‫َع َمال‬

ْ‫ء َربِّ ِه فَ ْليَ ْع َمل‬Wَ ‫ان يَرْ جُو لِقَا‬


َ ‫فَ َم ْن َك‬

“Maka barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Tuhannya hendaklah


dia beramal shalih dan tidak mempersekutukan sesuatu apapun dengan-Nya dalam
beribadah kepada-Nya.” (QS. Al Kahfi: 110)

Allah ta’ala juga berfirman,

َ ‫أَ ْش َر ْك‬
َ ُ‫ت لَيَحْ بَطَ َّن َع َمل‬
‫ك َولَتَ ُكونَ َّن‬

‫ك لَئِ ْن‬ َ ‫ك َوإِلَى الَّ ِذ‬


َ ِ‫ين ِم ْن قَ ْبل‬ ِ ُ‫َولَقَ ْد أ‬
َ ‫وح َي إِلَ ْي‬

‫ين‬ ِ ‫ِم َن ْال َخ‬


َ ‫اس ِر‬

“Sungguh telah diwahyukan kepadamu dan kepada orang-orang sebelummu:


Sungguh, apabila kamu berbuat syirik pasti akan terhapus seluruh amalmu dan kamu
benar-benar akan termasuk golongan orang-orang yang merugi.” (QS. Az Zumar: 65)

Ayat-ayat yang mulia ini menunjukkan bahwa amalan tidak akan diterima apabila

tercampuri dengan kesyirikan. Oleh sebab itulah para Rasul sangat memperhatikan

perbaikan akidah sebagai prioritas pertama dakwah mereka. Inilah dakwah pertama

yang diserukan oleh para Rasul kepada kaum mereka; menyembah kepada Allah saja

dan meninggalkan penyembahan kepada selain-Nya.Mengingat pentingnya

kedudukan aqidah di atas, maka para Nabi dan Rasul mendahulukan dakwah dan

pengajaran Islam dari aspek aqidah, sebelum aspek yang lainnya. Rasulullah saw

berdakwah dan mengajarkan Islam pertama kali di kota Makkah dengan

menanamkan nilai-nilai aqidah atau keimanan, dalam rentang waktu yang cukup

panjang, yaitu selama kurang lebih tiga belas tahun. Dalam rentang waktu tersebut,

3
kaum muslimin yang merupakan minoritas di Makkah mendapatkan ujian keimanan

yang sangat berat. Ujian berat itu kemudian terbukti menjadikan keimanan mereka

sangat kuat, sehingga menjadi basis atau landasan yang kokoh bagi perjalanan

perjuangan Islam selanjutnya. Sedangkan pengajaran dan penegakan hukum-hukum

syariat dilakukan di Madinah, dalam rentang waktu yang lebih singkat, yaitu kurang

lebih selama sepuluh tahun. Hal ini menjadi pelajaran bagi kita mengenai betapa

penting dan teramat pokoknya aqidah atau keimanan dalam ajaran Islam.

2.1.3 Hakikat Aqidah

Dalam menjelaskan definisi akidah ada disebut perkataan kepercayaan atau

keimanan. Ini disebabkan Iman merupakan unsur utama kepada akidah. Iman ialah

perkataan Arab yang berarti percaya yang merangkumi ikrar (pengakuan) dengan

lidah, membenarkan dengan hati dan mempraktikkan dengan perbuatan.

Walaupun iman itu merupakan peranan hati yang tidak diketahui oleh orang lain

selain dari dirinya sendiri dan Allah SWT, namun dapat diketahui oleh orang melalui

bukti-bukti amalan. Iman tidak pernah berkompromi atau bersekongkol dengan

kejahatan dan maksiat. Sebaliknya, iman yang mantap di dada merupakan pendorong

ke arah kerja-kerja yang sesuai dan secucuk dengan kehendak dan tuntutan iman itu

sendiri.

2.1.4 Penyimpangan Aqidah

Penyimpangan dari akidah yang benar adalah sumber petaka dan bencana.

Seseorang yang tidak mempunyai akidah yang benar maka sangat rawan termakan

oleh berbagai macam keraguan dan kerancuan pemikiran, sampai-sampai apabila

mereka telah berputus asa maka mereka pun mengakhiri hidupnya dengan cara yang

4
sangat mengenaskan yaitu dengan bunuh diri. Sebagaimana pernah kita dengar ada

remaja atau pemuda yang gantung diri gara-gara diputus pacarnya.

Begitu pula sebuah masyarakat yang tidak dibangun di atas fondasi akidah yang

benar akan sangat rawan terbius berbagai kotoran pemikiran materialisme (segala-

galanya diukur dengan materi), sehingga apabila mereka diajak untuk menghadiri

pengajian-pengajian yang membahas ilmu agama mereka pun malas karena menurut

mereka hal itu tidak bisa menghasilkan keuntungan materi. Jadilah mereka budak-

budak dunia, shalat pun mereka tinggalkan, masjid-masjid pun sepi seolah-olah

kampung di mana masjid itu berada bukan kampungnya umat Islam. Alangkah

memprihatinkan, wallaahul musta’aan (disadur dari At Tauhid Li Shaffil Awwal Al

‘Aali, hal. 12)

Oleh karena peranannya yang sangat penting ini maka kita juga harus mengetahui

sebab-sebab penyimpangan dari akidah yang benar. Di antara penyebab itu adalah:

Bodoh terhadap prinsip-prinsip akidah yang benar. Hal ini bisa terjadi karena sikap

tidak mau mempelajarinya, tidak mau mengajarkannya, atau karena begitu sedikitnya

perhatian yang dicurahkan untuknya. Ini mengakibatkan tumbuhnya sebuah generasi

yang tidak memahami akidah yang benar dan tidak mengerti perkara-perkara yang

bertentangan dengannya, sehingga yang benar dianggap batil dan yang batil pun

dianggap benar. Hal ini sebagaimana pernah disinggung oleh Umar bin Khaththab

radhiyallahu ‘anhu, “Jalinan agama Islam itu akan terurai satu persatu, apabila di

kalangan umat Islam tumbuh sebuah generasi yang tidak mengerti hakikat jahiliyah.”

Ta’ashshub (fanatik) kepada nenek moyang dan tetap mempertahankannya

meskipun hal itu termasuk kebatilan, dan meninggalkan semua ajaran yang

bertentangan dengan ajaran nenek moyang walaupun hal itu termasuk kebenaran.

5
Keadaan ini seperti keadaan orang-orang kafir yang dikisahkan Allah di dalam ayat-

Nya, “Dan apabila dikatakan kepada mereka: ‘Ikutilah wahyu yang diturunkan

Tuhan kepada kalian!’ Mereka justru mengatakan, ‘Tidak, tetapi kami tetap akan

mengikuti apa yang kami dapatkan dari nenek-nenek moyang kami’ (Allah katakan)

Apakah mereka akan tetap mengikutinya meskipun nenek moyang mereka itu tidak

memiliki pemahaman sedikit pun dan juga tidak mendapatkan hidayah?” (QS. Al

Baqarah: 170)

Taklid buta (mengikuti tanpa landasan dalil). Hal ini terjadi dengan mengambil

pendapat-pendapat orang dalam permasalahan akidah tanpa mengetahui landasan

dalil dan kebenarannya. Inilah kenyataan yang menimpa sekian banyak kelompok-

kelompok sempalan seperti kaum Jahmiyah, Mu’tazilah dan lain sebagainya. Mereka

mengikuti saja perkataan tokoh-tokoh sebelum mereka padahal mereka itu sesat.

Maka mereka juga ikut-ikutan menjadi tersesat, jauh dari pemahaman akidah yang

benar.

Berlebih-lebihan dalam menghormati para wali dan orang-orang saleh. Mereka

mengangkatnya melebihi kedudukannya sebagai manusia. Hal ini benar-benar terjadi

hingga ada di antara mereka yang meyakini bahwa tokoh yang dikaguminya bisa

mengetahui perkara gaib, padahal ilmu gaib hanya Allah yang mengetahuinya. Ada

juga di antara mereka yang berkeyakinan bahwa wali yang sudah mati bisa

mendatangkan manfaat, melancarkan rezeki dan bisa juga menolak bala dan

musibah. Jadilah kubur-kubur wali ramai dikunjungi orang untuk meminta-minta

berbagai hajat mereka. Mereka beralasan hal itu mereka lakukan karena mereka

merasa sebagai orang-orang yang banyak dosanya, sehingga tidak pantas menghadap

Allah sendirian. Karena itulah mereka menjadikan wali-wali yang telah mati itu

sebagai perantara. Padahal perbuatan semacam ini jelas-jelas dilarang oleh

6
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau bersabda, “Allah melaknat kaum

Yahudi dan Nasrani karena mereka menjadikan kubur-kubur Nabi mereka sebagai

tempat ibadah.” (HR. Bukhari). Beliau memperingatkan umat agar tidak melakukan

sebagaimana apa yang mereka lakukan Kalau kubur nabi-nabi saja tidak boleh lalu

bagaimana lagi dengan kubur orang selain Nabi ?

Lalai dari merenungkan ayat-ayat Allah, baik ayat kauniyah maupun qur’aniyah.

Ini terjadi karena terlalu mengagumi perkembangan kebudayaan materialistik yang

digembar-gemborkan orang barat. Sampai-sampai masyarakat mengira bahwa

kemajuan itu diukur dengan sejauh mana kita bisa meniru gaya hidup mereka.

Mereka menyangka kecanggihan dan kekayaan materi adalah ukuran kehebatan,

sampai-sampai mereka terheran-heran atas kecerdasan mereka. Mereka lupa akan

kekuasaan dan keluasan ilmu Allah yang telah menciptakan mereka dan

memudahkan berbagai perkara untuk mencapai kemajuan fisik semacam itu. Ini

sebagaimana perkataan Qarun yang menyombongkan dirinya di hadapan manusia,

“Sesungguhnya aku mendapatkan hartaku ini hanya karena pengetahuan yang

kumiliki.” (QS. Al Qashash: 78). Padahal apa yang bisa dicapai oleh manusia itu

tidaklah seberapa apabila dibandingkan kebesaran alam semesta yang diciptakan

Allah Ta’ala. Allah berfirman yang artinya, “Allah lah yang menciptakan kamu dan

perbuatanmu.” (QS. Ash Shaffaat: 96)

Kebanyakan rumah tangga telah kehilangan bimbingan agama yang benar.

Padahal peranan orang tua sebagai pembina putra-putrinya sangatlah besar. Hal ini

sebagaimana telah digariskan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Setiap bayi

dilahirkan dalam keadaan fitrah. Kedua orang tuanyalah yang akan menjadikannya

Yahudi, Nasrani atau Majusi.” (HR. Bukhari). Kita dapatkan anak-anak telah besar

di bawah asuhan sebuah mesin yang disebut televisi. Mereka tiru busana artis idola,

7
padahal busana sebagian mereka itu ketat, tipis dan menonjolkan aurat yang

harusnya ditutupi. Setelah itu mereka pun lalai dari membaca Al Qur’an,

merenungkan makna-maknanya dan malas menuntut ilmu agama.

Kebanyakan media informasi dan penyiaran melalaikan tugas penting yang

mereka emban. Sebagian besar siaran dan acara yang mereka tampilkan tidak

memperhatikan aturan agama. Ini menimbulkan fasilitas-fasilitas itu berubah

menjadi sarana perusak dan penghancur generasi umat Islam. Acara dan rubrik yang

mereka suguhkan sedikit sekali menyuguhkan bimbingan akhlak mulia dan ajaran

untuk menanamkan akidah yang benar. Hal itu muncul dalam bentuk siaran, bacaan

maupun tayangan yang merusak. Sehingga hal ini menghasilkan tumbuhnya generasi

penerus yang sangat asing dari ajaran Islam dan justru menjadi antek kebudayaan

musuh-musuh Islam. Mereka berpikir dengan cara pikir aneh, mereka agungkan

akalnya yang cupet, dan mereka jadikan dalil-dalil Al Qur’an dan Hadits menuruti

kemauan berpikir mereka. Mereka mengaku Islam akan tetapi menghancurkan Islam

dari dalam. (disadur dengan penambahan dari At Tauhid li Shaffil Awwal Al ‘Aali,

hal. 12-13).

2.2 KONSEP KETAUHIDAN

2.2.1 Pengertian Tauhid

Tauhid (Arab :‫)توحيد‬, adalah konsep dalam aqidah islam yang menyatakan keesaan

Allah. Tauhid diambil kata : Wahhada Yuwahhidu Tauhidan yang artinya

mengesakan. Satu suku kata dengan kata wahid yang berarti satu atau kata ahad yang

berarti esa. Dalam ajaran Islam Tauhid itu berarti keyakinan akan keesaan Allah.

8
Kalimat Tauhid ialah kalimat La Illaha Illallah yang berarti tidak ada Tuhan

melainkan Allah.

Tauhid merupakan inti dan dasar dari seluruh tata nilai dan norma Islam, sehingga

oleh karenanya Islam dikenal sebagai agama tauhid yaitu agama yang mengesakan

Tuhan. Bahkan gerakan-gerakan pemurnian Islam terkenal dengan nama gerakan

muwahhidin ( yang memperjuangkan tauhid ).  Dalam perkembangan sejarah kaum

muslimin, tauhid itu telah berkembang menjadi nama salah satu cabang ilmu Islam,

yaitu ilmu Tauhid yakni ilmu yang mempelajari dan membahas masalah-masalah

yang berhubungan dengan keimanan terutama yang menyangkut masalah ke-Maha

Esa-an Allah.

Tauhid terbagi menjadi 4 macam yaitu:

1. Tauhid Rububiyah

Tauhid Rububiyah adalah keyakinan tentang keesaan Allah taala di dalam perbuatan-

perbuatan-Nya, dalam hal penciptaan, kepemilikan, dan pengurusan.

2. Tauhid Asma Wasifat

Tauhid Asma dan Sifat adalah keyakinan tentang keesaan Allah subhanahu wa

ta’ala dalam nama dan sifat-Nya yang terdapat dalam Al Quran dan Al Hadits

dilengkapi dengan mengimani makna-maknanya dan hukum-hukumnya.

Bahwasannya seluruh umat manusia membutuhkan Allah SWT.

3. Tauhid Mulkhiyah

Tauhid Mulkhiyah pada intinya mengakui keesaan Allah SWT.

4. Tauhid Uluhiyah

9
Tauhid Uluhiyah (tingkatan tertinggi) adalah mengesakan Allah dalam tujuan

perbuatan-perbuatan hamba yang dilakukan dalam rangka taqorub dan ibadah seperti

berdoa, bernadzar, menyembelih kurban, bertawakal, bertaubat, dan lain-lain.

Maksudnya adalah pengesaan Allah bahwasannya hanya Allah satu- satunya haq

untuk disembah.

2.2.2 Kedudukan Tauhid

          Seorang muslim meyakini bahwa tauhid adalah dasar Islam yang paling agung

dan hakikat Islam yang paling besar, dan merupakan salah satu syarat diterimanya

amal perbuatan disamping harus sesuai dengan tuntunan Rasulullah. Pada dasarnya

manusia telah mengenal Allah meski secara global, maka para Rasul utusan Allah

diutus bukan untuk memperkenalkan tentang Allah semata. Namun hakikat dakwah

para Rasul adalah untuk menuntut mereka agar beribadah hanya kepada-Nya. Dengan

demikian materi dakwah para rasul adalah Tauhid Uluhiyah. Oleh karena itu istilah

tauhid tatkala disebutkan secara bebas (tanpa diberi keterangan lain) maka ia lebih

mengacu kepada Tauhid Uluhiyah.

Tauhid Adalah Tujuan Penciptaan Manusia, Allah berfirman,

“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
menyembah kepada-Ku.” (Adz-Dzariyat: 56)

maksud dari kata menyembah di ayat ini adalah mentauhidkan Allah dalam segala

macam bentuk ibadah sebagaimana telah dijelaskan oleh Ibnu Abbas rodhiyallahu

‘anhu, seorang sahabat dan ahli tafsir. Ayat ini dengan tegas menyatakan bahwa tujuan

penciptaan jin dan manusia di dunia ini hanya untuk beribadah kepada Allah saja.

Tidaklah mereka diciptakan untuk menghabiskan waktu kalian untuk bermain-main

dan bersenang-senang belaka. Sebagaimana firman Allah,

10
“Dan tidaklah Kami ciptakan langit dan bumi dan segala yang ada di antara keduanya
dengan bermain-main. Sekiranya Kami hendak membuat sesuatu permainan, tentulah
Kami membuatnya dari sisi Kami. Jika Kami menghendaki berbuat demikian.” (Al
Anbiya: 16-17).

“Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara
main-main, dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?” (Al-Mu’minun:
115)

Selain itu, tauhid juga adalah tujuan diutusnya beberapa rasul ke muka bumi,

dalam hal ini Allah berfirman, “Dan sungguh Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap

umat (untuk menyerukan): ‘Sembahlah Allah, dan jauhilah Thaghut itu’.” (An-Nahl: 36).

Makna dari ayat ini adalah bahwa para Rasul mulai dari Nabi Nuh sampai Nabi terakhir

Nabi kita Muhammad shollallahu alaihi wa sallam diutus oleh Allah untuk mengajak

kaumnya untuk beribadah hanya kepada Allah semata dan tidak memepersekutukanNya

dengan sesuatu apapun. Maka pertanyaan bagi kita sekarang adalah “Sudahkah kita

memenuhi seruan Rasul kita Muhammad shollallahu alaihi wa sallam untuk beribadah

hanya kepada Allah semata? ataukah kita bersikap acuh tak acuh terhadap seruan

Rasulullah ini?”

Selain itu tauhid merupakan perintah Allah yang paling utama dan pertama, Allah

berfirman, “Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan

sesuatu pun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak

yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman

sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-

orang yang sombong dan membangga-banggakan diri.” (An-Nisa: 36). Dalam ayat ini

Allah menyebutkan hal-hal yang Dia perintahkan. Dan hal pertama yang Dia perintahkan

adalah untuk menyembahNya dan tidak menyekutukanNya. Perintah ini didahulukan

daripada berbuat baik kepada orang tua serta manusia-manusia pada umumnya. Maka

sangatlah aneh jika seseorang bersikap sangat baik terhadap sesama manusia, namun dia

11
banyak menyepelekan hak-hak Tuhannya terutama hak beribadah hanya kepada Allah

semata.

2.2.3 Hakikat Tauhid

Tauhid merupakan kewajiban utama dan pertama yang diperintahkan Allah kepada

setiap hamba-Nya. Namun, sangat disayangkan kebanyakan kaum muslimin pada zaman

sekarang ini tidak mengerti hakekat dan kedudukan tauhid. Padahal tauhid inilah yang

merupakan dasar agama kita yang mulia ini. Oleh karena itu sangatlah urgen bagi kita

kaum muslimin untuk mengerti hakekat dan kedudukan tauhid. Hakekat tauhid adalah

mengesakan Allah. Bentuk pengesaan ini terbagi menjadi tiga, berikut penjelasannya.

1. Mengesakan Allah dalam Rububiyah-Nya

Maksudnya adalah kita meyakini keesaan Allah dalam perbuatan-perbuatan yang

hanya dapat dilakukan oleh Allah, seperti mencipta dan mengatur seluruh alam semesta

beserta isinya, memberi rezeki, memberikan manfaat, menolak mudharat dan lainnya

yang merupakan kekhususan bagi Allah. Hal yang seperti ini diakui oleh seluruh

manusia, tidak ada seorang pun yang mengingkarinya. Orang-orang yang mengingkari

hal ini, seperti kaum atheis, pada kenyataannya mereka menampakkan keingkarannya

hanya karena kesombongan mereka. Padahal, jauh di dalam lubuk hati mereka, mereka

mengakui bahwa tidaklah alam semesta ini terjadi kecuali ada yang membuat dan

mengaturnya. Mereka hanyalah membohongi kata hati mereka sendiri. Hal ini

sebagaimana firman Allah “Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatu pun ataukah

mereka yang menciptakan? Ataukah mereka telah menciptakan langit dan bumi itu?

sebenarnya mereka tidak meyakini (apa yang mereka katakan).“ (Ath-Thur: 35-36)

12
Namun pengakuan seseorang terhadap Tauhid Rububiyah ini tidaklah menjadikan

seseorang beragama Islam karena sesungguhnya orang-orang musyrikin Quraisy yang

diperangi Rasulullah mengakui dan meyakini jenis tauhid ini. Sebagaimana firman

Allah,

“Katakanlah: ‘Siapakah Yang memiliki langit yang tujuh dan Yang memiliki ‘Arsy
yang besar?’ Mereka akan menjawab: ‘Kepunyaan Allah.’ Katakanlah: ‘Maka apakah
kamu tidak bertakwa?’ Katakanlah: ‘Siapakah yang di tangan-Nya berada kekuasaan
atas segala sesuatu sedang Dia melindungi, tetapi tidak ada yang dapat dilindungi dari
-Nya, jika kamu mengetahui?’ Mereka akan menjawab: ‘Kepunyaan Allah.’ Katakanlah:
‘Maka dari jalan manakah kamu ditipu?’” (Al-Mu’minun: 86-89).

2. Mengesakan Allah Dalam Uluhiyah-Nya

Maksudnya adalah kita mengesakan Allah dalam segala macam ibadah yang kita

lakukan. Seperti shalat, doa, nadzar, menyembelih, tawakkal, taubat, harap, cinta, takut

dan berbagai macam ibadah lainnya. Dimana kita harus memaksudkan tujuan dari

kesemua ibadah itu hanya kepada Allah semata. Tauhid inilah yang merupakan inti

dakwah para Rasul dan merupakan tauhid yang diingkari oleh kaum musyrikin Quraisy.

Hal ini sebagaimana yang difirmankan Allah mengenai perkataan mereka itu “Mengapa

ia menjadikan sesembahan-sesembahan itu Sesembahan Yang Satu saja? Sesungguhnya

ini benar-benar suatu hal yang sangat mengherankan.” (Shaad: 5). Dalam ayat ini kaum

musyrikin Quraisy mengingkari jika tujuan dari berbagai macam ibadah hanya ditujukan

untuk Allah semata. Oleh karena pengingkaran inilah maka mereka dikafirkan oleh

Allah dan Rasul-Nya walaupun mereka mengakui bahwa Allah adalah satu-satunya

Pencipta alam semesta.

3. Mengesakan Allah Dalam Nama dan Sifat-Nya

Maksudnya adalah kita beriman kepada nama-nama dan sifat-sifat Allah yang

diterangkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Dan kita juga meyakini bahwa

13
hanya Allah-lah yang pantas untuk memiliki nama-nama terindah yang disebutkan di Al-

Qur’an dan Hadits tersebut (yang dikenal dengan Asmaul Husna). Sebagaimana firman-

Nya “Dialah Allah Yang Menciptakan, Yang Mengadakan, Yang Membentuk Rupa,

hanya bagi Dialah Asmaaul Husna.” (Al-Hasyr: 24)

Seseorang baru dapat dikatakan seorang muslim yang tulen jika telah mengesakan

Allah dan tidak berbuat syirik dalam ketiga hal tersebut di atas. Barangsiapa yang

menyekutukan Allah (berbuat syirik) dalam salah satu saja dari ketiga hal tersebut, maka

dia bukan muslim tulen tetapi dia adalah seorang musyrik.

2.2.2 Konsep Keimanan

2.2.3.1.Pengertian Iman

Iman menurut pengertian sesungguhnya ialah kepercayaan yang meresap ke

dalam hati, dengan penuh keyakinan, tidak bercampur syak dan ragu serta memberi

pengaruh bagi pandangan hidup, tingkah laku dan perbuatan sehari- hari. Jadi iman itu

bukanlah semata-mata ucapan lidah, buakn sekedar perbuatan, dan bukan pula hanya

merupakan pengetahuan tentang rukun iman.

2.2.3.2 Kedudukan Iman

Kedudukan Iman lebih tinggi dari pada Islam, Iman memiliki cakupan yang lebih

umum dari pada cakupan Islam, karena ia mencakup Islam, maka seorang hamba

tidaklah mencapai keImanan kecuali jika seorang hamba telah mamapu mewujudka

keislamannya. Iman juga lebih khusus dipandang dari segi pelakunya, karena pelaku

keimanan adalah kelompok dari pelaku keIslaman dan tidak semua pelaku keIslaman

14
menjadi pelaku keImanan, jelaslah setiap mukmin adalah muslim dan tidak setiap

muslim adalah mukmin

2.2.3.3 Hakikat iman

Iman adalah keyakinan yang menghujam dalam hati, kokoh penuh keyakinan

tanpa dicampuri keraguan sedikitpun.  Sedangkan keimanan dalam Islam itu sendiri

adalah percaya kepada Alloh, malaikat-malaikatNya, kitab-kitabNya, Rosul-rosulNya,

hari akhir dan berIman kepada takdir baik dan buruk. Iman mencakup perbuatan,

ucapan hati dan lisan, amal hati dan amal lisan serta amal anggota tubuh. Iman

bertambah dengan ketaatan dan berkurang karena kemaksiatan.Keimanan tidak

terpisah dari amal, karena amal merupakan buah keImanan dan salah satu indikasi

yang terlihat oleh manusia. Karena itu Alloh menyebut Iman dan amal soleh secara

beriringan dalam Qur’an surat Al Anfal ayat 2-4 yang artinya: Allah Subhannahu wa

Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang

jika disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka

ayat-ayatNya, bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada Tuhanlah mereka

bertawakkal, (yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan

sebagian dari rizki yang kami berikan kepada me-reka. Itulah orang-orang yang

beriman dengan sebenar-benar-nya.” (Al-Anfal: 2-4)

Keimanan memiliki satu ciri yang sangat khas, yaitu dinamis. Yang mayoritas ulama

memandang keImanan beriringan dengan amal soleh, sehinga mereka menganggap

keImanan akan bertambah dengan bertambahnya amal soleh. Akan tetapi ada

sebagaian ulama yang melihat Iman berdasarkan sudut pandang bahwa ia merupakan

aqidah yang tidak menerima pemilahan (dikotomi). Maka seseorang hanya memiliki

15
dua kemungkinan saja: mukmin atau kafir, tidak ada kedudukan lain diantara

keduanya. Karena itu mereka berpendapat Iman tidak bertambah dan tidak berkurang.

Iman adakalanya bertambah dan adakalanya berkurang, maka perlu diketahui kriteria

bertambahnya Iman hingga sempurnanya Iman, yaitu:

1)   Diyakini dalam hati

2)   Diucapkan dengan lisan

3)   Diamalkan dengan anggota tubuh.

Sedangkan dalam Islam sendiri jika membahas mengenai Iman tidak akan terlepas dari

adanya rukun Iman yang enam, yaitu:

1)   Iman kepada Alloh

2)   Iman kepada malaikatNya

3)   Iman kepada kitabNya

4)   Iman kepada rosulNya

5)   Iman kepada Qodho dan Qodar

6)   Iman kepada hari akhir

Demikianlah kriteria amalan hati dari pribadi yang berIman, yang jika telah

tertanam dalam hati seorang mukmin enam keImanan itu maka akan secara otomatis

tercermin dalam prilakunya sehari-hari yang sinergi dengan kriteria keImanan terhadap

enam poin di atas.

16
Jika Iman adalah suatu keadaan yang bersifat dinamis, maka sesekali didapati

kelemahan Iman, maka yang harus kita lakukan adalah memperkuat segala lini dari

hal-hal yang dapat memperkuat Iman kembali. Hal-hal yang dapat dilakukan bisa kita

mulai dengan memperkuat aqidah, serta ibadah kita karena Iman bertambah karena taat

dan berkurang karena maksiat.

Ketika Iman telah mencapai taraf yang diinginkan maka akan dirasakan oleh

pemiliknya suatu manisnya Iman, sebagaImana hadits Nabi Muhammad saw. yang

artinya:

“Tiga perkara yang apabila terdapat dalam diri seseorang, maka ia akan merasakan

manisnya Iman: Menjadikan Alloh dan RosulNya lebih dicintainya melebihi dari

selain keduanya, mencintai seseorang yang tidak dicintainya melainkan karena Alloh,

membenci dirinya kembali kepada kekufuran sebagaImana bencinya ia kembali

dilemparkan ke dalam api neraka.” (HR.Bukhori Muslim).

2.3 Konsekuensi Dua Kalimat Syahadat

2.3.1 Syarat dalam syahadat

1.Pengetahuan Manusia

Pengetahuan Manusia yang menyatakan sesuatu, tentu harus mengetahui dan

memahami dahulu apa yang dia ucapkan, begitu juga dengan syahadatain. Seseorang

yang bersyahadat, harus memiliki pengetahuan tentang syahadatnya. Dia wajib

memahami isi dari dua kalimat yang dia nyatakan itu, serta bersedia menerima

konsekuensi ucapannya. Orang-orang yang bodoh (jahil) tentang makna syahadatain,

tidak mungkin dapat mengamalkannya. Contohnya yaitu dalam kalimat Laa ilaaha

17
illallah. Kita harus pahami bahwa kalimat ini mencakup dua dimensi, yaitu penafikan

(Laa ilaaha = tiada ilah) dan penetapan (illallah = selain Allah). Artinya, kita harus

mengetahui bahwa dimensi penafikan di sini berarti penolakan terhadap semua

sembahan selain Allah. Dan dimensi penetapan dalam kalimat ini adalah penetapan

bahwa hak Uluhiyah (ketuhanan / yang disembahLawan dari pengetahuan ini adalah

ketidaktahuan akan makna syahadat (kebodohan). Mempelajari hal ini merupakan

salah satu kunci mendapatkan rahmat dari Allah dan mendapatkan kebaikan.

2.Keyakinan

Keyakinan di sini berarti mengetahui dengan sempurna makna dari syahadat tanpa

sedikitpun keraguan terhadap makna tersebut. Artinya, seseorang yang bersyahadat

mesti meyakini ucapannya dengan makna yang sebenarnya, tanpa ragu sedikitpun.

Keyakinan akan membawa seseorang kepada keistiqomahan, sedangkan keraguan

akan menimbulkan kemunafikan. Dalam Hadits, juga dinyatakan sebagai berikut:

Dari Abu Hurairah RA Rasulullah SAW bersabda, "Aku bersaksi bahwa tidak ada

tuhan selain Allah. Tidak ada seorang hamba yang bertemu dengan Allah dengan dua

kalimat ini dan tidak ragu tentang kedua-duanya, kecuali masuk surga." (HR.

Muslim)

3.Keikhlashan

Ikhlas berarti bersihnya hati dari segala sesuatu yang bertentangan dengan makna

syahadat. Dengan demikian, ucapan syahadat mesti diiringi dengan niat yang

ikhlash, lillahi ta'ala. Ucapan yang bercampur dengan riya' atau kecenderungan

tertentu tidak akan diterima Allah SWTSyahadat sendiri merupakan bagian dari

ibadah, oleh karena itu harus dilakukan dengan ikhlash. Dan ikhlash, merupakan

18
lawan dari kemusyrikan. Setiap perbuatan yang mengandung kemusyrikan, maka

akan menghapus amal perbuatan itu sendiri. Dan orang yang melakukannya

menderita kerugian, karena pekerjaannya sia-sia tidak bermakna. Dan tidak ikhlash

juga berarti mengadakan tandingan-tandingan selain Allah SWT selain tuhannya.

Allah SWT berfirman: "Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada

(nabi-nabi) yang sebelummu. "Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan

hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi." (QS. Az

Zumar : 39).

4.Kejujuran

Kejujuran adalah bahwa "lahirnya" tidak boleh menyalahi "batinnya". Keduanya

harus saling sesuai dan sejalan, yaitu antara lahir dan batinnya, antara ilmu dan

amalnya, antara apa yang ada di dalam hatinya dengan apa yang dikerjakan oleh

raganya. Oleh karena itulah pernyataan syahadat harus dinyatakan dengan lisan,

diyakini dalam hati, lalu diaktualisasikan dalam amal perbuatan. Rasulullah SAW

bersabda Lawan dari sikap ini adalah kebohongan yang melahirkan kemunafikan,

yaitu menampakan sesuatu yang sebenarnya tak ada dalam hatinya. Atau bahwa ia

menyimpan kekufuran dalam batinnya, tetapi menampakkan iman dalam lisan dan

raganya

5.Kecintaan

Kecintaan dalam hal ini yaitu mencintai Allah dan Rasul-Nya. Dan juga mencintai

orang-orang yang beriman. Cinta juga berarti rasa suka yang dapat melapangkan

dada. Ia merupakan ruh dari ibadah, sedangkan syahadatain merupakan ibadah yang

paling utama. Dengan rasa cinta ini, segala perintah dan larangan akan terasa ringan,

19
tuntutan dari syahadatain akan terasa ringan. Seseorang yang beriman, akan

melimpahkan cintanya terlebih dahulu kepada Allah SWT, Rasul-Nya, dan jihad,

sebelum mencintai yang lainnya Allah dan marah karena Allah." (HR. Thabrani dari

Ikrimah dan Ibnu Abbas). Lawan dari kecintaan adalah kebencian.

6.Penerimaan

Penerimaan di sini yaitu kerendahan dan ketundukan, serta penerimaan hati

terhadap segala sesuatu yang datang dari Allah dan Rasul-Nya. Dan hal ini harus

membuahkan ketaatan dan ibadah kepada Allah SWT, dengan jalan meyakini bahwa

tak ada yang dapat menunjuki dan menyelamatkannya kecuali ajaran yang datang

dari syariat Islam Lawan dari penerimaan di atas adalah penolakan atau

pembangkangan. Yaitu membangkang dan berpaling dari ajaran-ajaran Rasulullah

SAW dengan hatinya, sehingga ia tidak ridho dan tidak menerima ajaran-ajaran

tersebut.

7.Ketundukan

Ketundukan yaitu tunduk dan menyerahkan diri kepada Allah dan Rasul-Nya

secara lahiriyah. Artinya, kita harus mengamalkan semua perintah-Nya dan

meninggalkan semua larangan-Nya. Dan Allah akan membalasnya dengan pahala

yang lebih baik dari apa yang mereka kerjakan. Lawan dari ketundukan adalah

pengingkaran, yaitu tidak mau melakukan apa yang diperintahkan Allah atau

sebaliknya, justru mengerjakan apa yang dilarang-Nya. Seseorang yang bersyahadat

adalah orang-orang yang tunduk dan taat kepada Allah. Setiap muslim yang telah

memenuhi syarat-syarat syahadat di atas, maka akan timbul di dalam dirinya sikap

rela dan ridho untuk diatur oleh Allah SWT, Rasulullah, dan Islam, dalam kehidupan

20
mereka sehari-hari, dan dalam setiap keadaanalimat Syahadat dalam Kehidupan

Sehari-hari

2.3.2 Konsekuensi syahadat

Berikut konsekuensi bagi orang sudah mengucapkan dua kalimat syahadat :

1. Kalimat syahadat adalah persaksian dengan menghadirkan hati, meyakini dan

mengetahui hakikat yang ia persaksikan.

2. Orang yang bersaksi ُ‫اَل إِلَهَ إِاَّل هللا‬ , maka dia wajib meyakini bahwa tidak ada yang

berhak diibadhi dengan benar kecuali hanya Allâh saja.

3. ُ‫اَل إِلَهَ إِاَّل هللا‬ mempunyai dua rukun yaitu an-nafyu dan al-itsbât.

4. An-nafyu artinya menafikan (menolak dan mengingkari) semua yang disembah

selain Allâh. Adapun al-itsbât yaitu menetapkan seluruh bentuk ibadah hanya

kepada Allâh Azza wa Jalla saja.

5. Syahadat (persaksian) Lâ Ilâha Illallâh yaitu mengucapkan Lâ Ilâha

Illallâh dengan mengetahui maknanya serta mengamalkan konsekuensinya, baik

secara lahir maupun batin.

6. Yang dituntut dari kalimat Lâ Ilâha Illallâh (‫إِالَّ هللا‬ َ‫)الَإِ ٰلـه‬ adalah menafikan atau

mengingkari kesyirikan serta mengikhlaskan perkataan serta perbuatan hanya

untuk dank arena Allâh Azza wa Jalla , baik itu perkataan hati dan lisan, serta

perbuatan hati dan anggota badan.

7. Kalimat Lâ Ilâha Illallâh merupakan kalimat yang agung, harus dipenuhi tiga hal

berikut: mengucapkannya, mengetahui maknanya, dan mengamalkan

konsekuensinya.

8. Dalam kalimat syahadat mengandung pernyataan berlepas diri dari agama orang

musyrik.

21
9. Berlepas diri dari agama Yahudi dan Nasrani, karena orang Yahudi mengingkari

‘Isa dan orang Nasrani berlebih-lebihan terhadap Nabi ‘Isa Alaihissallamsampai

menjadikannya sebagai tuhan. Dan juga, Yahudi dan Nasrani keduanya kafir

terhadap Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

10. Berlepas diri dari tiga agama;

a. (1) agama kaum musyrikin, yaitu dengan syahadat Lâ Ilâha Illallâh dan

Muhammad Rasûlullâh

b. (2) agama yahudi dan

c. (3) agama nasrani, keduanya dengan bersaksi bahwa ‘Isa adalah hamba

Allâh dan Rasul-Nya.

11. Wajib berlepas diri dari seluruh golongan kafir dan kaum musyrikin yang

menyembah selain Allâh Azza wa Jalla .

12. Keutamaan tauhid, yaitu dengan tauhid yang dimiliki seseorang, Allâh Azza wa

Jalla menghapus dosa-dosanya.

13. Luasnya keutamaan dan kebaikan Allâh Azza wa Jalla .

14. Hadits ini sebagai bantahan terhadap kelompok sesat Murji`ah yang mengatakan

bahwa mengucapkan syahadat saja sudah cukup untuk dikatakan beriman.

Menurut mereka, amal tidak masuk iman.

15. Wajib bersaksi bahwa Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah hamba

Allâh dan utusan-Nya dan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah Nabi dan

Rasul yang terakhir.

16. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah hamba yang tidak boleh disembah

dan Rasul yang tidak boleh didustakan.

22
17. Setiap Muslim dan Muslimah wajib taat kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa

sallam , menjauhi larangan-larangannya, membenarkan semua yang disampaikan

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam riwayat-riwayat yang shahih.

18. Kaum Muslimin wajib beribadah kepada Allâh menurut syari’at yang dibawa oleh

Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

19. Kaum Muslimin tidak boleh mengadakan sesuatu yang baru dalam agama yang

tidak dicontohkan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

20. Orang yang mengucapkan syahadat Muhammad Rasûlullâh maka dia wajib

mencintai Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

21. Konsekuensi cinta kepada Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam

yaitu ittiba’ (mengikuti syari’at) dan ibadah yang dicontohkan oleh beliau

Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

22. Tidak boleh berbuat syirik dan bid’ah karena Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa

sallam melarang.

23. Wajib menjauhi sikap ifrâth (berlebihan) dan tafrîth (menyepelekan) pada Nabi-

nabi dan orang shalih. Kita tidak boleh mengingkari keutamaan mereka, namun

juga tidak berlebihan terhadap mereka sampai memalingkan ibadah yang

seharusnya hanya untuk Allâh Azza wa Jalla dialihkan untuk mereka.

24. Nabi ‘Isa Alaihissallamadalah hamba Allâh dan Rasul-Nya.

25. Nabi ‘Isa Alaihissallambukan tuhan dan bukan pula anak tuhan.

26. Orang Yahudi dan Nasrani setelah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam

diutus, maka mereka wajib masuk ke dalam agam Islam. Jika tidak, maka mereka

kafir dan pasti masuk neraka dan kekal di dalamnya.

27. Nabi ‘Isa Alaihissallamdiciptakan oleh Allâh Azza wa Jalla tanpa ayah, Beliau

diciptakan dengan kalimat  ْ‫ ُكن‬ (jadilah).

23
28. Nabi ‘Isa Alaihissallamdiciptakan dari ruh-ruh yang Allâh ciptakan.

29. Setiap Muslim wajib meyakini bahwa surga dan neraka itu adalah benar.

30. Setiap Muslim wajib meyakini tentang adanya hari Kiamat, hari dibangkitkan

seluruh makhluk menuju Allâh Azza wa Jalla .

31. Surga dan neraka sudah diciptakan dan sudah ada sekarang.

32. Setiap Muslim dan Muslimah wajib mentauhidkan Allâh dan menjauhkan syirik

serta melakukan amal-amal shalih dengan ikhlas dan ittiba’ agar ia dimasukkan ke

surga dengan rahmat Allâh.

33. Setiap Muslim dan Muslimah wajib menjauhkan perbuatan dosa dan maksiat,

karena semua itu bisa menyeretnya ke neraka.

34. Wajib bertaubat kepada Allâh atas semua dosa dan maksiat.

35. Orang yang bertauhid kepada Allâh dengan yakin, jujur, dan ikhlas akan

dimasukkan ke surga meskipun amalnya sedikit.

36.

24
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Konsep Aqidah meliputi penngertian, kedudukan, hakikat penyimpangan

aqidah dalam kehidupan sehari-hari.Tauhid dibagi dalam 4 macam yaitu, Tauhid

Rububiyah, Tauhid Asma, Tauhid Mulkhiyah, Tauhid Uluhiyah. Maksudnya adalah

pengesaan Allah bahwasannya hanya Allah satu- satunya haq untuk disembah.

Konsekuensi dua kalimat syahadat dalam kehidupan sehari-hari yaitu, menjauhi

larangan dan menjalankan perintah Allah SWT, tidak boleh berbuat syirik, meyakini

Allah SWT sebagai Tuhan satu-satunya dan Nabi Muhammad saw sebagai utusann-

Nya, dll.

3.2 Saran

Sebagai umat muslimnya hendaknya kita mengetahui hakikat dan kedudukanya

akidah,tauhid dan iman dalam kehidupan sehari hari agar perbuatan kita tidak melenceng

dari semestinya, sesuai dengan Al-Qur’an dan sunnah rosullullah.Kami menyadari bahwa

masih banyak kekurangan yang mendasar pada makalah ini. Oleh karena itu kami

mengundang pembaca untuk memberikan saran serta kritik yang dapat membangun kami.

Kritik konstruktif dari pembaca sangat kami harapkan untuk penyempurnaan makalah

selanjutnya.

25
Daftar Pustaka

http://yunusmakalah.blogspot.com/2010/05/akidah-dan-tauhid.html

http://ceritakuaja.wordpress.com/2013/05/25/makalah-hakikat-iman-islam-dan-ihsan/

http://iskud.wordpress.com/2010/12/06/hakikat-dan-kedudukan-tauhid/

http://ade-budayaminang.blogspot.com/2011/11/iman-dan-kufur.html

Fachrudin (1977). Iman dan Kehidupan. Jakarta: N.V Bulan Bintang.

Ahmad, Muhammad. (1998).Tauhid Ilmu Kalam.Bandung: B.V Pustaka Setia.

https://muslim.or.id/459-tauhid-akidah-dalam-kehidupan-insan.html

26
27

Anda mungkin juga menyukai