Anda di halaman 1dari 14

BAB AL-ADAB (1-8)

MAKALAH

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah


“Hadits Tematik”

Dosen Pengampu :
Robitoh Widi Astuti M.Hum

Disusun oleh :

Kelompok 1

Aljulisfa Zamrudah (126301211001)


Muhammad Khoirun Nasir (126301213111)

KELAS IAT 5A
JURUSAN ILMU AL QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN ADAB DAN DAKWAH
UIN SAYYID ALI RAHMATULLAH TULUNGAGUNG
SEPTEMBER 2023
HADITS KE-2

‫ َقاَل َرُس وُل ِهَّللَا صلى هللا عليه وسلم ( اْنُظُر وا ِإَلى َم ْن ُهَو َأْس َفَل‬: ‫َو َعْن َأِبي ُهَرْيَر َة رضي هللا عنه َقاَل‬
‫ َفُهَو َأْج َدُر َأْن اَل َتْز َدُر وا ِنْع َم َة ِهَّللَا َع َلْيُك ْم ) ُم َّتَفٌق َع ْيِه‬, ‫ َو اَل َتْنُظُر وا ِإَلى َم ْن ُهَو َفْو َقُك ْم‬, ‫ِم ْنُك ْم‬
1 ‫َل‬

Dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Lihatlah orang yang berada di
bawahmu dan jangan melihat orang yang berada di atasmu karena hal itu lebih patut agar
engkau sekalian tidak menganggap rendah nikmat Allah yang telah diberikan kepadamu.”
(Muttafaq Alaihi : 1468).

Makna hadits secara global

Hadis ini mengajarkan kepada seorang muslim tentang sesuatu yang membuat
hidupnya menjadi tenteram, bersyukur ke atas nikmat Allah, selamat daripada gangguan
syaitan dan pintu-pintu kesedihan. Hadis ini mengajarkan kepada seseorang tentang cara
memandang dunia, di mana dia dihendaki memandang orang yang lebih rendah daripada
dirinya seperti melihat orang yang sakit, kemudian menatap kembali dirinya sendiri,
memandang orang tuli, buta, bisu, dililit hutang dan difitnah, lalu lihat kembali dirinya
yang masih diberi keselamatan dan kesehatan. Jika keadaan-keadaan itu sudah dilihat,
barulah dia sedar betapa besar nikmat yang Allah anugerahkan kepadanya. Dengan
demikian, dia tidak berani menghina atau memandang remeh nikmat Allah yang selama
ini dia rasakan dan ini akan membuat dirinya merasa tenang dan tenteram.

Makna Mufradat

"‫ " أسفل‬orang yang nasibnya lebih malang.2

" ‫ " فوقكم‬lebih rendah daripada dirinya.

" ‫ " أجدر‬lebih berhak dan lebih layak.

1
Ibnu Hajar Al-Asqalani, Bulughul Maram Min Adillatil Ahkam (Bandung: Kementerian Sosial Republik
Indonsia, BPBI, 2012), p. 530.
2
Syiekh Abu Abdullah bin Abd al-Salam ’Allusy, Ibanah Al-Ahkam Syarah Bulugh Al-Maram (Jilid Keempat),
ed. by Ustazah Sabrina Bakri (IIUM) (Kuala lumpur: Al-Hidayah Publication, 2010), p. 431.

1
" ‫ " تزدروا‬menghinakan dan meremehkan.

Fiqh Al-Hadits

Hadis ini menghimbau untuk mensyukuri nikmat Allah SWT dengan cara melihat
orang yang lebih rendah taraf kehidupannya.3

Kontekstualisasi

Hadits ini menganjurkan kita agar senantiasa mensyukuri nikmat Allah Ta'ala.
Maksud orang yang di bawahmu adalah dalam urusan dunia. Seperti ketika kita melihat
teman yang sedang menderita sakit, lalu kita bandingkan dengan diri kita sendiri yang
masih diberi kesehatan. Kemudian ketika kita melihat orang yang cacat seperti buta, tuli dan
bisu, lalu kita melihat diri kita sendiri yang masih sempurna tidak ada satu cacat pun pada
tubuh kita. Dan ketika kita melihat orang yang tertimpa kefakiran dan menderita hutang
selilit pinggang, sehingga kita mengetahui bahwa diri kita sendiri terlepas dari dua perkara
tersebut dan dapat merasakan kenikmatan apa yang telah dianugerahkan oleh Allah kepada
diri kita. Berapapun besar cobaan di dunia, baik cobaan itu berupa kesenangan maupun
kesengsaraan, tidak ada satu cobaan pun kecuali ada orang yang menderita cobaan yang
lebih berat dari pada cobaan yang kita derita. Dengan demikian kita dapat menghibur diri
kita sendiri dan lebih bersyukur kepada Allah karena kita tidak menderita seberat
penderitaan yang dialami oleh orang lain.

Dalam urusan keagamaan kita harus melihat ke atas, yaitu kepada orang yang
memiliki kualitas agama yang lebih tinggi. Dengan demikian kita tahu betapa diri kita
masih belum sungguh-sungguh dalam melaksanakan agamanya.

Cara memandang yang pertama akan menimbulkan rasa syukur kepada Allah Ta'ala
dan cara memandang yang kedua dapat menimbulkan perasaan malu kepada Allah sehingga
membukakan kembali pintu taubat dan penyesalan atas maksiat yang telah kita lakukan.
Yang pertama menimbulkan perasaan puas terhadap nikmat yang telah dianugerahkan Allah
kepada diri kita dan yang kedua menimbulkan perasaan malu di hadapan Allah.

3
Syiekh Abu Abdullah bin Abd al-Salam ’Allusy, p. 431.

2
Diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu bahwasanya
Rasulullah Shallsllahu Alaihi wa Sallam bersabda,

‫ِإَذ ا َنَظَر َأَح ُد ُك ْم ِإَلى َم ْن ُفِّض َل َع َلْيِه ِفي اْلَم اِل َو اْلَخ ْلِق َفْلَيْنُظْر ِإَلى َم ْن ُهَو َأْس َفَل ِم ْنُه‬

"Apabila salah seorang di antara kalian melihat seorang yang memiliki harta dan anak
lebih banyak dari pada dirinya, maka lihatlah kepada orang yang ada di bawahnya"4

HADITS KE-3

‫ َس َأْلُت َرُس وَل ِهَّللَا صلى هللا عليه وسلم َعْن َاْلِبِّر َو اِإْل ْثِم ؟‬: ‫َو َعْن َالَنَّو اِس ْبِن َس ْم َعاَن رضي هللا عنه َقاَل‬
‫ َو َك ِرْهَت َأْن َيَّطِلَع َع َلْيِه َالَّناُس ) َأْخ َرَج ُه ُم ْسِلٌم‬,‫ َو اِإْل ْثُم َم ا َح اَك ِفي َص ْد ِرَك‬,‫ ( َاْلِبُّر ُح ْسُن َاْلُخ ُلِق‬: ‫َفَقاَل‬
5

Dari An-Nawwas bin Sam’an radiallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam,
Beliau bersabda: “Kebaikan adalah akhlak yang baik sedangkan dosa adalah apa yang
terlintas di jiwamu tetapi kamu benci/takut diketahui oleh orang lain” (Diriwayatkan oleh
Imam Muslim : 1469).

Makna hadits secara global

Nabi Muhammad SAW menginformasikan kepada kita bahwa kebaikan adalah


merupakan bagian dari akhlak yang baik yang dapat diketahui melalui hati nurani kita
sebagaimana dijelaskan dalam riwayat yang lain dimana Nabi Muhammad SAW
menyarankan kepada kita agar kita minta “fatwa” kepada hati nurani kita ketika terjadi
perkara yang samar-samar karena sesungguhnya kebaikan itu adalah kebalikan dari dosa
tersebut yaitu apa yang membuat jiwa/hati nurani tenang dan tentram kepadanya. Artinya
apabila jiwa/hati nurani kita tidak menolaknya begitu pertama kali ingin kita lakukan dan
tidak ragu-ragu atau merasa takut untuk diketahui oleh orang lain alias tidak sembunyi-
sembunyi melakukannya maka itu merupakan tanda bahwa hal tersebut adalah baik.

Begitu pula sebaliknya, apabila begitu pertama kali ingin kita lakukan terasa was-
was dan kita dalam melakukannya, takut diketahui oleh orang lain atau timbul keraguan

4
Syaikh Faishal bin Abdul Aziz Alu Mubarak, Tathriz Riyadhus Shalihim (Jakarta: Ummul Qur’an, 2015), p.
316.
5
Ibnu Hajar Al-Asqalani, p. 530.

3
untuk melakukannya (seperti dalam riwayat yang lain) maka itu pertanda bahwa apa yang
kita akan lakukan itu adalah dosa.

Makna Mufradat

" ‫ "َاْلِبُّر‬kebajikan. Inilah yang dapat dipahami dari hadis Rasulullah saw. tersebut, namun ia
memerlukan uraian yang panjang. Al-Nawawi berkata: "Menurut ulama, kebajikan di sini
bermaksud silaturahmi, sedekah, pergaulan yang baik atau amal ibadah. Jadi, kebaikan di
sini merangkumi setiap amalan yang baik.6

Dalam kaitan ini, Allah swt. berfirman :

‫َلن َتَناُلو۟ا ٱْلِبَّر َح َّتٰى ُتنِفُقو۟ا ِم َّم ا ُتِح ُّبوَن ۚ َو َم ا ُتنِفُقو۟ا ِم ن َش ْى ٍء َفِإَّن ٱَهَّلل ِبِهۦ َع ِليٌم‬

"Kamu tidak sekali-kali akan dapat mencapai (hakikat) kebajikan dan kebaktian (yang
sempurna) sebelum kamu dermakan sebagian dari apa yang kamu sayangi. Dan sesuatu
apa juga yang kamu dermakan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya." ( Surah Ali
‘Imran : 92 )7

Menurut Ibn Mas'ud, Ibn Abbas dan tabi'in, kebajikan adalah surga. Ada pula yang
mengatakan kebajikan ialah amal saleh dengan berlandaskan kepada hadis berikut:

‫عليكم بالعمِل الَّص اِلِح َفِإَّنُه َيْهِد ى ِإلى الير‬

"Hendaklah kamu melakukan amal saleh, karena ia memberimu petunjuk menuju


kebajikan."

Menurut 'Athiyyah al-'Awfi pula kebajikan ialah amal ibadah. Menurut Atha',
kebajikan ialah kemuliaan dalam beragama dan ketakwaan. Menurut al-Qadhi 'Iyadh,
berakhlak mulia adalah bergaul dengan orang lain dengan cara baik, menyayangi mereka,
mengulurkan bantuan kepada mereka, sabar menghadapi tingkah laku mereka, tidak
sombong dan tidak pula bersikap kasar.

6
Syiekh Abu Abdullah bin Abd al-Salam ’Allusy, p. 432.

7
Al-Hafiz Abdul Aziz Abdul Rauf Lc., Al-Qur’an Hafalan Mudah Al-Hufaz, ed. by Cii Cordoba (Bandung,
2021), p. 62.

4
Ada pula yang mengatakan kebajikan ialah akhlak yang mulia. Rasulullah SAW
menakrifkan akhlak yang mulia sebagai berwajah ceria, tidak mengganggu orang lain dan
menyebarkan salam.

"‫ "االثم‬dosa, Rasulullah SAW menakrifkan kejahatan sebagai lawan kebajikan.

"‫ "حاك‬terlintas, menggerakkan dua bahu dan badannya ketika berjalan. Ibn al-Atsir
mengatakan maksud perkataan ini ialah kotoran bagi sesuatu, yakni nafsu.

Ada pula yang mengatakan perkataan ini bermaksud sesuatu yang pergi dan datang
di dalam hati, di mana manusia tidak dapat mengabaikannya walau dengan apa jua
sekalipun.

Fiqh Al-Hadits

1. Hendaklah umat Islam gemar beramal kebajikan dan meninggalkan kejahatan,


bahkan meninggalkan perkara yang dianggap orang lain masih diragui sama ada
halal atau sebaliknya. Dalam kaitan ini, Rasulullah saw. bersabda:

‫دع َم ا ُيِريُبَك ِإَلى َم ا اَل ُيِريُبَك‬

"Tinggalkan sesuatu yang meragukanmu dan lakukanlah sesuatu yang tidak


meragukanmu."

2. Manusia itu secara semula jadi menyukai kebajikan dan bencikan kejahatan, tetapi,
syaitan yang membuat manusia itu menjauhi fitrahnya.8

Kontekstualisasi

Dalam hadits ini salah satu hal yang dapat kita ambil dari kehidupan kita sehari-hari,
seperti melakukan sesuatau yang tidak meragukan semisal, ketika seseorang memastikan
makanan atau minuman yang dikonsumsinya yaitu halal dan baik dari segi kualitasnya.
Maupun sebaliknya, ketika kita meninggalkan makanan atau minuman yang meragukan

8
Syiekh Abu Abdullah bin Abd al-Salam ’Allusy, p. 433.

5
(syubhat) seperti yang tidak jelas status kehalalannya merupakan tindakan yang bijaksana
dalam Islam. Yang semakna dengan perkara ini adalah hadits Rasulullah Shallallahu Alaihi
wa sallam:

‫َدْع َم ا ُيِرَّيِتَك ِإَلى َم ا ال يريبك‬

"Tinggalkan apa yang engkau ragukan dan kerjakan apa yang engkau tidak ragu."9

Jadi, menjaga agar makanan atau minuman yang dikonsumsi sesuai dengan aturan
Islam merupakan contoh konkret tentang meninggalkan sesuatu yang meragukan dan
melakukan sesuatu yang tidak meragukan dalam kehidupan kita sehari-hari. Dan hadits ini
juga membuktikan bahwa Allah Ta'ala telah menanamkan fitrah pada diri seseorang
sehingga dapat membedakan perkara yang tidak halal dan yang tercela untuk dilakukan.

HADITS KE-4

‫ َفاَل َيَتَناَج ى‬,‫ َقاَل َرُس وُل ِهَّللَا صلى هللا عليه وسلم ( ِإَذ ا ُك ْنُتْم َثاَل َثًة‬: ‫َو َعْن ِاْبِن َم ْسُعوٍد رضي هللا عنه َقاَل‬
10
‫ َو الَّلْفُظ ِلُم ْسِلٍم‬,‫ َح َّتى َتْخ َتِلُطوا ِبالَّناِس ِم ْن َأْج ِل َأَّن َذ ِلَك ُيْح ِزُنُه ) ُم َّتَفٌق َع َلْيِه‬,‫ِاْثَناِن ُدوَن َاآْل َخ ِر‬

Dari Ibnu Mas’ud r.a bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Apabila engkau bertiga maka
janganlah dua orang berbisik tanpa menghiraukan yang lain, hingga engkau bergaul dengan
manusia, karena yang demikian itu membuatnya susah.” (Muttafaq ‘Alaihi dan lafadznya di
dalam Sahih Muslim : 1470).

Makna hadits secara global

Pada hadits ini melarang kepada suatu kumpulan yang terdiri daripada tiga orang,
lalu satu orang daripada mereka tidak diajak berbicara sedangkan dua orang yang lain itu
bercakap-cakap antara satu sama lain. Karena tindakan seumpama ini dapat membuat orang
yang tidak diajak bercakap berkecil hati atau tersinggung. Islam datang untuk menjadikan
manusia hidup saling mencintai dan saling membahagiakan, bukan malah yang sebaliknya.

Makna Mufradat
9
Imam Muhyiddin An-Nawawi, Ad-Durrah As-Salafiyyah Syarah Al-Arba’in An-Nawawiyah (Solo: Pustaka
Arafah, 2006), p. 38.
10
Ibnu Hajar Al-Asqalani, p. 531.

6
" ‫ " يتناجى‬musyawarah dan berbisik-bisik. Makna kedua lebih tepat dengan maksud hadis
ini.

Fiqh Al-Hadits

Dilarang bercakap antara dua orang dengan mengabaikan satu orang teman mereka
supaya tidak mengikuti percakapan itu sedangkan mereka terdiri daripada tiga orang. Jika
jumlah mereka melebihi tiga orang, maka itu tidak ada salahnya. Jumhur ulama berpendapat
larangan ini tetap berlaku sama ada ketika dalam perjalanan ataupun ketika bermukim. 11

Kontekstualisasi

Semisal ketika kita sedang berkumpul bersama yang terdiri dari 4 orang. Kemudian
3 orang tersebut ngobrol sendiri yang 1 orang tidak diajak ngobrol bersama, maka
pembahasan ini juga termasuk dalam kategori hadits ini. Hal ini dilarang karena bisa
menimbulkan kesedihan bagi 1 orang. Karena (sebab larangan) dari hadits ini adalah jangan
samapai membuat sedih orang yang tidak diajak ngobrol tersebut. Jangan sampai
menimbulkan prasangka yang buruk dalam diri orang tersebut. Kalau diajak ngobrol,
kenapa dengan bahasa yang tidak dia pahami ? Maka hal tersebut membuat dia sedih,
merasa dia tidak pantas atau merasa ada suatu rahasia yang berkaitan dengan dirinya atau
lainnya, maksudnya jangan sampai kita mebuat sedih (kecewa) kepada saudara kita atau
teman kita, dan kita harus berusaha menjaga perasaan saudara kita atau teman kita. Baik
dari segi perkataan, perbuatan, dan sikap kita terhadapnya itu pun tidak boleh kita lakukan,
karena bisa menyebabkan dia mersa sedih.

HADITS KE-5

‫ "اَل ُيِقيُم الَّرُج ُل الَّرُج َل ِم ْن‬: ‫ َقاَل َرُس وُل ِهَّللا َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم‬: ‫ َرِض َي ُهللا َع ْنُهَم ا َقاَل‬- ‫َو َع ِن اْبِن ُع َم َر‬
‫ ُم َتَفٌق َع َلْيِه‬."‫ َو َلِكْن َتَفَّسُح وا َو َتَو َّسُعوا‬،‫ ُثَّم َيْج ِلُس ِفيِه‬،‫َم ْج ِلِس ِه‬.

Daripada Ibn Umar (r.a), beliau berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Janganlah seorang
lelaki di antara kamu merebut tempat duduk orang lain, tetapi duduklah secara berjarak dan
berilah tempat bagi orang lain untuk turut sama duduk.” (Muafaq ‘alaih : 1471).

11
Syiekh Abu Abdullah bin Abd al-Salam ’Allusy, p. 434.

7
Makna hadits secara global

Dalam Sahih Muslim ada satu hadis marfu’ yang diriwayatkan daripada Abu
Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa berdiri meninggalkan tempat
duduknya kemudian Kembali semula ke tempat itu, maka dia lebih berhak ke atas tempat
duduknya itu.” Ini bagi orang yang berdiri meninggalkan tempat duduknya kemudian
kembali semula ke tempat duduknya itu, lalu bagaimana pula dengan orang yang masih
duduk di tempat duduknya itu. Jadi, seseorang yang berdiri meninggalkan tempat duduknya
kemudian ada orang lain duduk di tempat itu maka orang itu dianggap mengambil hak
duduk orang lain. Hadis ini mengajarkan supaya kita menghindari sesuatu yang
mengakibatkan kita mengambil hak duduk orang lain, sebaliknya kita digalakkan
meluaskan tempat duduk dan merenggangkannya supaya orang lain dapat duduk dengan
selesa.12

Makna Mufradat

"‫ "اليقيم‬di dalam Sahih Muslim, lafaznya berbunyi:

"‫ "اليقيمن‬menggunakan kalimat larangan yang lebih ketat. Dengan demikian, larangan ini
bermaksud haram.

"‫ "فيه لس‬duduk di tempat itu, yakni orang yang berdiri sebelumnya.

"‫ "تفسحوا‬berjauhan dan meluaskan tempat sehingga kelihatan tempat duduk di antara
kamu.

Fiqh Al-Hadits

Barang siapa lebih dahulu mendapat tempat sama ada di masjid ataupun di tempat
lain, maka dialah yang paling berhak ke atas tempat itu sedangkan orang lain diharamkan
merebut tempat itu dari padanya, kecuali jika tempat yang ditemukannya itu sudah ada
orang lain yang lebih dahulu bertempat, lalu dia pergi dan tidak lama kemudian kembali

12
Syiekh Abu Abdullah bin Abd al-Salam ’Allusy, p. 434.

8
lagi. Maka, di sini orang lain itulah yang lebih berhak ke atas tempat itu dan dia berhak
mengusir orang yang duduk di tempatnya.13

Kontekstualisasi

Hal ini adalah salah satu hadits yang berkaitan dengan etika dan tata tertib dalam
berbagai konteks, termasuk dalam kehidupan sehari-hari dan dalam kegiatan sosial. Hadits
ini menekankan pentingnya menghormati dan mempertahankan tempat duduk seseorang
ketika seseorang berdiri sebentar dan kemudian kembali.

Semisal dalam Etika Sosial, dalam hadits ini mengajarkan etika dalam bersikap di
lingkungan sosial. Ia mengingatkan kita untuk menghargai tempat duduk orang lain dan
tidak mengambilnya tanpa izin ketika seseorang hanya berdiri sebentar. Pemberin Prioritas,
dalam hadits ini juga mengajarkan konsep memberikan prioritas kepada orang yang telah
duduk lebih dulu. Jika seseorang meninggalkan tempat duduknya dan kemudian kembali,
mereka berhak untuk kembali ke tempat duduk tersebut. Menghindari Pertentangan, prinsip
dalam hadits ini juga dapat membantu menghindari konflik atau ketegangan dalam situasi di
mana tempat duduk menjadi terbatas atau saat ada banyak orang yang ingin duduk.

Jadi, hadits ini mengajarkan kepada umat Islam untuk mempraktikkan etika yang
baik dalam interaksi sosial dan memberikan prioritas kepada orang yang telah duduk lebih
dulu ketika mereka kembali ke tempat duduk mereka. Ini adalah bagian dari ajaran Islam
tentang berperilaku baik dan menghormati orang lain.

HADITS KE-6

،‫ "ِإَذ ا َأَك َل َأَح ُد ُك ْم َطَعاًم ا‬: ‫ َقاَل َرُس وُل ِهللا َص َّلى ُهللا َع َلْيِه َو َس َّلَم‬: ‫ َقاَل‬- ‫ َرِض َي ُهللا َع ْنُهَم ا‬- ‫َو َع ِن اْبِن َعَّباس‬
‫ ُم َّتَفُق َع َلْيِه‬."‫ َح َّتى َيْلَعَقَها َأْو ُيْلِع َقَها‬،‫َفاَل َيْم َسْح َيَدُه‬

Daripada Ibn ‘Abbas (r.a), beliau berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Jika salah seorang di
antara kamu selesai makan, maka janganlah disapu tangannya sebelum menjilat tangan itu
atau mengambil makanan yang jatuh lalu memakannya.” (Muafaq ‘alaih : 1472).

Makna hadits secara global


13
Syiekh Abu Abdullah bin Abd al-Salam ’Allusy, p. 435.

9
Dalam Sahih Muslim ada hadis marfu’ yang menegaskan bahwa sesungguhnya
kamu tidak tahu mana makanan yang mengandungi keberkatan. Jadi, makruh membuang
makanan karena dikhawatiri makanan itulah yang mengandungi keberkatan. Jika makanan
itu jatuh dari mulutnya, maka hendaklah dia tetap mengambilnya lalu dibersihkan dan
kemudian makanlah. Inilah akhlak Rasulullah SAW terhadap makanan. Inilah alasan
pertama mengapa kita tidak boleh membuang atau menyia-nyiakan makanan sedangkan
alasan kedua adalah Allah SWT menyuruh kita mensyukuri nikmat-Nya dan Tindakan
menyia-nyiakan sesuatu yang dikatakan nikmat Allah tidak disebut sebagai mensyukuri
nikmat-Nya.14

Makna Mufradat

"‫ "َيْلَعَقَها َأْو ُيْلِع َقَها‬menjilat atau memakan sesuatu yang sudah jatuh.

Fiqh Al-Hadits

Disyariatkan menjilat jari atau sudu yang padanya masih ada sisa makanan, malah
Ibn Hazm berpendapat perintah ini bermaksud wajib.

Kontekstualisasi

Hadits ini menunjukkan bolehnya tidak mencuci tangan setelah makan dan boleh
juga dengan cara mengelapnya. Hadits ini juga menunjukkan wajibnya untuk menjilati jari
sendiri. Alasannya, karena ia tidak tahu dimana letak keberkahan pada makanan tersebut.
Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Muslim bahwasanya Nabi Shallallahu Alaihi wa
SaIIam memerintahkan agar menjilat jari dan nampan tempat makannya lantas beliau
bersabda,15

"Kalian tidak tahu dimana letak keberkahannya."

14
Syiekh Abu Abdullah bin Abd al-Salam ’Allusy, p. 435.

15
Mhammad bin Ismail Al-Amir Ash-Shan’ani, subulus salam : Syarah Bulughul Maram (Jakarta: Darus
Sunnah Press, 2019), pp. 770.

10
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa SaIIam juga menyuruh untuk memungut makanan
yang terjatuh, membersihkan dan memakannya. Di dalam riwayat Muslim, Rasulullah
Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda.

"Jika makanan salah seorang dari kamu jatuh maka hendaklah ia membuang kotoran yang
menempel padanya (Ialu makanlah) janganlah ia membiarkannya dimakan oleh setan. "

Menurut zhahir hadits, perintah beliau untuk menjilat jari atau menyuruh orang lain
untuk menjilatnya dan perintah untuk menjilat nampan tempat makan hukumnya adalah
wajib. Demikian pendapat Abu Muhammad bin Hazm, ia berkata, "Hukumnya adalah
wajib."

Berkah adalah pertumbuhan, pertambahan dan kebaikan. Maksudnya makanan yang


dikonsumsi tidak menimbulkan gangguan pada dirinya dan dapat memperkuat dirinya untuk
melaksanakan ketaatan kepada Allah Ta'ala. Boleh jadi keberkahan ini didapatkan pada
makanan yang masih menempel pada jari tangan atau pada tempat makan atau pada
makanan yang terjatuh. Alasan lain mengapa makanan yang jatuh harus dipungut dan
dimakan ialah agar tidak dimakan oleh setan.

Yang dimaksud dengan sabda beliau: tangannya yaitu jemari yang tiga.
Sebagaimana yang diriwayatkan bahwasanya Nabi Shallallahu Alaihi wa sallam makan
dengan tiga jari, tidak dengan empat atau lima jari. Kecuali jika hal itu dibutuhkan. Seperti
ketika menyantap makan yang tidak bergumpal dan lain-lain.

Diriwayatkan oleh Sa'id bin Manshur bahwasanya apabila Nabi Shallallahu Alaihi
wa Sallam makan, beliau menggunakan lima jari.

Hadits ini juga menunjukkan bolehnya seseorang meminta orang lain untuk menjilat
jarinya, seperti istri, pembantu, anak dan lain-lain. Jika makanan yang jatuh itu terkena najis
maka makanan tersebut dibersihkan dari najis yang menempel padanya. Jika tidak mungkin
untuk dibersihkan maka hendaklah ia memberikan makanan tersebut kepada hewan. Jangan
sampai ia membiarkannya dimakan oleh setan. An-Nawawi berpendapat boleh memberikan
makanan yang bernajis kepada hewan. Dan menurut beliau, hal ini sudah menjadi
kesepakatan para ulama salaf dan khalaf sebagaimana yang pernah disinggung.16
16
Mhammad bin Ismail Al-Amir Ash-Shan’ani, p. 771.

11
Kesimpulan

Dalam hadits diatas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :

 Hadits yang ke-2 menyimpulkan bahwa hadis ini mengajarkan kepada seorang
muslim tentang sesuatu yang membuat hidupnya menjadi tenteram, bersyukur ke
atas nikmat Allah, selamat daripada gangguan syaitan dan pintu-pintu kesedihan.
 Hadits yang ke-3 menyimpulkan bahwa kebaikan adalah akhlak yang baik dan dosa
adalah apa yang terletak di dalam hati/jiwa sedangkan pelakunya takut/benci
diketahui oleh orang lain. Dalam menghadapi hal yang masih samar dan meragukan,
kita dianjurkan untuk merujuk/meminta “fatwa” hati nurani dan hal ini bagi orang
Mukmin yang dilapangkan hati/dadanya oleh Allah sangat mudah dilakukan olehnya
sehingga mereka jarang terkelabui dalam membedakan antara hak dan bathil. Makna
" ‫ "َاْلِبُّر‬sangat luas cakupannya begitu juga makna "‫ "االثم‬dan masing-masing sudah
memiliki karakteristik tersendiri yang dapat diidentifikasi.
 Hadits yang ke-4 menyimpulkan bahwa hadits ini melarang kepada suatu kumpulan
yang terdiri daripada tiga orang, lalu satu orang daripada mereka tidak diajak
berbicara sedangkan dua orang yang lain itu bercakap-cakap antara satu sama lain.
 Hadits yang ke-5 menyimpulkan bahwa seseorang yang berdiri meninggalkan
tempat duduknya kemudian ada orang lain duduk di tempat itu maka orang itu
dianggap mengambil hak duduk orang lain.
 Hadits yang ke-6 menyimpulkan bahwa bolehnya tidak mencuci tangan setelah
makan dan boleh juga dengan cara mengelapnya, juga menunjukkan wajibnya untuk
menjilati jari sendiri atau dijilat oleh orang lain. Alasannya, karena ia tidak tahu
dimana letak keberkahan pada makanan tersebut.

Daftar Pustaka

Abdul Aziz Abdul Rauf Lc., Al-Hafiz, Al-Qur’an Hafalan Mudah Al-Hufaz, ed. by Cii
Cordoba (Bandung, 2021)

Ibnu Hajar Al-Asqalani, Bulughul Maram Min Adillatil Ahkam (Bandung: Kementerian
Sosial Republik Indonsia, BPBI, 2012)

12
Imam Muhyiddin An-Nawawi, Ad-Durrah As-Salafiyyah Syarah Al-Arba’in An-Nawawiyah
(Solo: Pustaka Arafah, 2006)

Mhammad bin Ismail Al-Amir Ash-Shan’ani, Subulus Salam : Syarah Bulughul Maram
(Jakarta: Darus Sunnah Press, 2019)

Syaikh Faishal bin Abdul Aziz Alu Mubarak, Tathriz Riyadhus Shalihim (Jakarta: Ummul
Qur’an, 2015)

Syiekh Abu Abdullah bin Abd al-Salam ’Allusy, Ibanah Al-Ahkam Syarah Bulugh Al-Maram
(Jilid Keempat), ed. by Ustazah Sabrina Bakri (IIUM) (Kuala lumpur: Al-Hidayah
Publication, 2010)

13

Anda mungkin juga menyukai