Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Jujur adalah sifat terpuji yang merupakan faktor terbesar tegaknya
agama dan dunia. Kehidupan dunia akan hancur dan agama juga menjadi
lemah di atas kebongan, khianat serta perbuatan curang. Karena mulianya
orang yang jujur, baik di sisi Allah maupun di sisi manusia, kejujuran harus
ditegakkan meskipun berat dan susah. Ungkapan tentang “orang jujur akan
hancur” merupakan keliru. Allah SWT menyifatkan diri-Nya dengan
kejujuran. Ini merupakan bukti kesktian jujur.

Keujuran dapat membuat hati kita nyaman dan tenteram. Ketika


berkata jujur, tidak akan ada ketakutan yang mengikuti atau bahkan
kekhawatiran tentang terungkapnya sesuatu yang tidak dikatakan.

Akan tetapi, saat ini kejujuran dalam penerapan kehidupan sehari-hari


masih kurang seperti perilaku mencontek yang seolah lazim bagi anak-anak
dibangku sekolah.

B. Tujuan
1. Untuk mengetahui Pengertian Akhlaq
2. Untuk mengetahui Kajian Prilaku Jujur
3. Untuk mengetahui Kajain Berbakti pada orang Tua
4. Untuk mengetahui Kajian Berbakti pada Guru

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Akhlaq

Secara bahasa akhlaq berasal dari bahasa arab, adalah bentuk jama’
dari kata : ‫خلق‬, dalam kamus Munjid mengandung makna : Budi pekerti,
perangai dan tingkah laku atau tabi’at.

Sedangkan Hamid Yunus menjelaskan;


.‫االخالق هي صفات االنسان االدبية‬
Akhlak ialah sifat-sifat manusia yang terdidik.
Dari kedua pengertian tersebut dapat dikatakan akhlaq ialah sifat-sifat
yang dibawa manusia semenjak lahir yang tertanam dalam jiwa dan selalu
ada padanya. Sedangkan Ahmad Amin mengatakan bahwa akhlaq adalah
kebiasaan kehendak. Ini menunjukkan makna bila kehendak itu dibiasakan
terhadap sesuatu, maka kebiasaan itu disebut akhlaq. Imam al-Ghazali lebih
jauh menjelaskan ; Akhlaq ialah sifat yang tertanam dalam jiwa yang
menimbulkan macam-macam perbuatan dengan gampang dan mudah, tanpa
memerlukan pemikiran dan pertimbangan.

Akhlaq pada hakikatnya dapat disimpulkan suatu predisi atau sifat


yang telah meresap dalam jiwa dan menjadi kepribadian hingga muncul
berbagai macam perbuatan dengan cara spontan dan mudah tanpa dibuat-
buat dan memerlukan pemikiran. Perbuatan yang muncul tersebut bisa yang
baik dan bisa yang buruk, yang terpuji dan yang tercela. Dalam sebuah
Hadisnya, Nabi bersabda :

‫ البر ما يدخل الجنة تقوى هللا‬,‫ قال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم‬:‫عن ابي هريرة رضى هللا عنه قال‬
[5].‫وحسن الخلق‬
Dari Ab Hurairah ra, ia berkata: Yang paling banyak di antara orang yang
masuk sorga itu ialah orang yang bertaqwa kepada Allah dan baik budi
pekertinya

2
Dalam pembahasan ini, yang dikaji berkenaan dengan akhlaq yang terpuji
(Akhlaq al-Karimah). Tingkah terpuji merupakan perbuatan-perbuatan yang
baik, lawan dari yang buruk. Pertanyaan yang muncul, apa yang dimaksud
dengan baik?. Dari segi bahasa mengandung makna “baik” adalah
terjemahan dari kata khair. Dalam Bahasa Arab, Louis Ma’luf mengatakan
yang dikatakan baik adalah, sesuatu yang telah mencapai kesempurnaan.
Sedangkan Ahmad Charis Zubair berpendapat : Baik adalah suatu yang
diinginkan, yang diusahakan dan yang menjadi tujuan manusia. Tingkah
laku manusia adalah baik, jika tingkah laku itu menuju kesempurnaan
manusia. Kebaikan disebut juga Value (nilai) apabila kebaikan itu bagi
seorang menjadi kebaikan yang kongkrit

Dari beberapa pendapat di atas, mengambarkan bahwa yang dimaksud


baik adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan yang luhur dan
bermartabat, menyenangkan dan disukai manusia.

Dari penjelasan tentang baik tersebut menunjukkan banyak perbuatan-


perbuatan yang tergolong baik, dalam artian perbuatan yang terpuji. Dalam
pembahasan ini yang dikaji adalah berkenaan dengan sifat jujur.

1. Pentingnya Perilaku Jujur


Sifat jujur merupakan tanda keislaman seseorang dan juga tanda
kesempurnaan bagi si pemilik sifat tersebut. Pemilik kejujuran memiliki
kedudukan yang tinggi di dunia dan akhirat. Dengan kejujurannya, seorang
hamba akan mencapai derajat orang-orang yang mulia dan selamat dari
segala keburukan.
Syari’at Islam mengajarkan kepada umatnya untuk berbuat jujur
dalam segala keadaan, walaupun secara lahir kejujuran tersebut akan
merugikan diri sendiri. Allah SWT telah berfirman dalam Surat An-Nisaa
Ayat 135 yang berbunyi:

3
‫لِل َولَ ۡو َعلَ َٰٓى أَنفُ ِس ُك ۡم أ َ ِو‬ ُ ‫۞ ََٰٓيأَيُّ َها ٱلَّذِينَ َءا َمنُوا ُكونُوا قَ َّو ِمينَ ِب ۡٱل ِق ۡس ِط‬
ِ َّ ِ ‫ش َه َدآَٰ َء‬
‫ۡٱل َو ِل َد ۡي ِن َو ۡٱۡل َ ۡق َربِينَ ِإن َي ُك ۡن َغنِيًّا أ َ ۡو فَ ِق ٗيرا فَٱ َّلِلُ أ َ ۡولَى ِب ِه َما فَ َل تَت َّ ِبعُوا ٱ ۡل َه َو َٰٓى‬
١٣٥ ‫لِل َكانَ بِ َما ت َعۡ َملُونَ َخبِ ٗيرا‬ َ َّ ‫ضوا فَإ ِ َّن ٱ‬ ُ ‫أَن ت َعۡ ِدلُوا َوإِن ت َ ۡل ُوۥَٰٓا أ َ ۡو ت ُعۡ ِر‬

B. Kajian Prilaku Jujur

Kejujuran dalam islam atau dikenal dengan istilah As-Shidqu ialah


kesesuaian pembicaraan dengan kenyataan menurut keyakinan orang yang
berbicara, As-Sidqhu ini kebalikan dari Al-Kadzibu (bohong). Ada yang
mengatakan As-Shidqu ialah kesesuaian ucapan hati dengan sesuatu yang
dikabarkan (dhahirnya) secara bersamaan, jika salah satu syarat tersebut
hilang maka tidak dinamakan jujur secara sempurna. As-Sidqhu ini
memiliki keutamaan yang agung, pahala yang besar/banyak, serta
kedudukan yang mulia. Jujur dan benar di antara bagian dari Ash-Shidu.
Dan bukti dari keutamaan Sidhu, ketinggian kedudukannya, serta kemuliaan
derajatnya ialah:

Sesungguhnya As-Sidqhu menjadi ciri khas ahlul ilmi dan takwa.


Alloh ta’ala berfirman:

“Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan


perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam
ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang sidiqin (benar), laki-laki dan
perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki
dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa,
laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan
perempuan yang banyak menyebut (nama) Alloh, Alloh Teah menyediakan
untuk mereka ampunan dan pahala yang besar”.(QS. Al-Ahzab: 35).

Maka barang siapa yang memiliki seluruh sifat yang agung ini,
bahkan telah menjadi pakaian dan perhiasannya maka benar-benar ia telah
beruntung. Kita berdoa kepada Alloh ta’ala semoga Dia menjadikan kita
termasuk dari mereka.

4
Alloh ta’ala telah memerintahkan hamba-hamba-Nya yang mukmin
agar terus bersama orang-orang yang jujur (shiddiqin) dan menetapi
kejujuran dalam setiap keadaannya. Kejujuran adalah jalan keselamatan dari
kehidupan dunia dan adzab akhirat. Alloh ta’ala berfirman:

“Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah


kamu bersama orang-orang yang sidiqin”. (QS. At-Taubah: 119).

Termasuk bukti keutamaan kejujuran dan orang-orang yang benar


adalah jeleknya tempat kembali bagi para pembohong, dan sesungguhnya
bohong adalah bagian dari sifat orang munafik Naudzu billahi.

Dalam shahih Bukhari dan Muslim disebutkan, dari Abdullah bin


Amrradhiyallahu’anhu bahwasanya Nabi sholallohu alaihi wassalam
bersabda: “Tanda-tanda orang munafik itu ada tiga, apabila berbicara selalu
bohong, jika berjanji menyelisihi, dan jika dipercaya khianat”. (HR. Bukhari
dan Muslim).

Dalam riwayat yang lain di sebutkan: “Empat perkara, barang siapa


dalam dirinya terdapat hal itu maka dia adalah orang munafik tulen, dan
barang siapa yang memiliki salah satu darinya, berarti dalam dirinya
terdapat sifat orang munafik hingga ia meninggalkannya… (kemudian di
sebutkan diantaranya, yaitu; bohong)”.(HR. Bukhari dan Muslim).

C. Kajain Berbakti pada orang Tua


Seorang anak, meskipun telah berkeluarga, tetap wajib berbakti
kepada kedua orang tuanya. Kewajiban ini tidaklah gugur bila seseorang
telah berkeluarga. Namun sangat disayangkan, betapa banyak orang yang
sudah berkeluarga lalu mereka meninggalkan kewajiban ini. Mengingat
pentingnya masalah berbakti kepada kedua orang tua, maka masalah ini
perlu dikaji secara khusus.

Jalan yang haq dalam menggapai ridha Allah ‘Azza wa Jalla melalui
orang tua adalah birrul walidain. Birrul walidain (berbakti kepada kedua

5
orang tua) merupakan salah satu masalah penting dalam Islam. Di dalam Al-
Qur’an, setelah memerintahkan manusia untuk bertauhid, Allah ‘Azza wa
Jalla memerintahkan untuk berbakti kepada orang tuanya.

Seperti tersurat dalam surat al-Israa’ ayat 23-24, Allah Ta’ala berfirman:

‫ضى‬ َ َ‫سان َو ِب ْال َوا ِلدَي ِْن ِإيَاهُ ِإ َّل تَ ْعبُد ُوا أَ َّل َربُّكَ َوق‬
َ ْ‫تَقُ ْل فَ ََل ِك ََل ُه َما أ َ ْو أ َ َحدُ ُه َما ْال ِك َب َر ِع ْندَكَ َي ْبلُغ ََن ِإ َما ۚ اً ِإح‬
‫ض ك َِريما قَ ْوّل لَ ُه َما َوقُ ْل ت َ ْن َه ْر ُه َما َو َّل أُف َل ُه َما‬ ْ ‫الرحْ َم ِة ِمنَ الذُّ ِل َجنَا َح لَ ُه َما َو‬
ْ ‫اخ ِف‬ َ ‫ًرب َوقُ ْل‬ َ ًِ
ْ ‫ص ِغيرا َربَيَانِي َك َما‬
‫ار َح ْم ُه َما‬ َ

“Dan Rabb-mu telah memerintahkan agar kamu jangan beribadah


melainkan hanya kepada-Nya dan hendaklah berbuat baik kepada ibu-
bapak. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai
berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah engkau
mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah engkau
membentak keduanya, dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang
baik. Dan rendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan penuh kasih
sayang dan ucapkanlah, ‘Ya Rabb-ku, sayangilah keduanya sebagaimana
mereka berdua telah mendidik aku pada waktu kecil.’” [Al-Israa’ : 23-24]
Perintah birrul walidain juga tercantum dalam surat an-Nisaa’ ayat 36:

َ ۖ ‫سانا َو ِب ْال َوا ِلدَي ِْن‬


َ ‫شيْئا ِب ِه ت ُ ْش ِر ُكوا َو َّل‬
‫ّللاَ َوا ْعبُد ُوا‬ َ ْ‫سا ِكي ِن َو ْال َيتَا َمى ْالقُ ْر َبى َو ِبذِي ِإح‬ َ ‫ار َو ْال َم‬
ِ ‫ذِي َو ْال َج‬
‫ار ْالقُ ْر َبى‬
ِ ‫ب َو ْال َج‬
ِ ُ‫ب ْال ُجن‬
ِ ‫اح‬
ِ ‫ص‬ ِ ‫س ِبي ِل َواب ِْن ِب ْال َج ْن‬
َ ‫ب َوال‬ ْ ‫ّللاَ ِإ َن ۗ أَ ْي َمانُ ُك ْم َم َلك‬
َ ‫َت َما ًَو ال‬ َ ‫َكانَ َم ْن ِحبُّ ًُي َّل‬
‫فَ ُخورا ُم ْخت َاّل‬

“Dan beribadahlah kepada Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-


Nya dengan sesuatu apa pun. Dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua,
karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga dekat,
tetangga jauh, teman sejawat, ibnu sabil , dan hamba sahaya yang kamu
miliki. Sungguh, Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan
membanggakan diri.” [An-Nisaa’ : 36]
Dalam surat al-‘Ankabuut ayat 8, tercantum larangan mematuhi orang tua
yang kafir jika mereka mengajak kepada kekafiran:

‫ص ْينَا‬ َ ‫سانَ َو َو‬ َ ‫اْل ْن‬ َ ‫ي ۚ ت ُ ِط ْع ُه َما فَ ََل ِع ْلم ِب ِه لَكَ لَي‬
ِ ْ ‫ْس َما ِبي ِلت ُ ْش ِركَ َجا َهدَاكَ َو ِإ ْن ۖ ُحسْنا ِب َوا ِلدَ ْي ِه‬ َ َ‫َم ْر ِجعُ ُك ْم ِإل‬
‫تَ ْع َملُونَ ُك ْنت ُ ْم ِب َما فَأُن َِبئ ُ ُك ْم‬

6
“Dan Kami wajibkan kepada manusia agar (berbuat) kebaikan kepada

kedua orang tuanya. Dan jika keduanya memaksamu untuk


mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang engkau tidak mempunyai ilmu
tentang itu, maka janganlah engkau patuhi keduanya. Hanya kepada-Ku
tempat kembalimu, dan akan Aku beritakan kepadamu apa yang telah kamu
kerjakan.” [Al-‘Ankabuut (29): 8] Lihat juga surat Luqman ayat 14-15.

1. Anjuran Berbuat Kepada Kedua Orang Tua Baik Dan Larangan


Durhaka Kepada Keduanya
Yang dimaksud ihsan dalam pembahasan ini adalah berbakti kepada
kedua orang tua, yaitu menyampaikan setiap kebaikan kepada keduanya
semampu kita dan bila memungkinkan mencegah gangguan kepada
keduanya. Menurut Ibnu ‘Athiyah, kita juga wajib mentaati keduanya
dalam hal-hal yang mubah (yang diperbolehkan syari’at), dan harus
mengikuti apa-apa yang diperintahkan keduanya dan menjauhi apa-apa
yang dilarang (selama tidak melanggar batasan-batasan Allah ‘Azza wa
Jalla).
Sedangkan ‘uququl walidain adalah gangguan yang ditimbulkan
seorang anak terhadap keduanya, baik berupa perkataan maupun
perbuatan.
Contoh gangguan berupa perkataan, yaitu mengucapkan “ah” atau
“cis”, berkata dengan kalimat yang keras atau menyakitkan hati,
menggertak, mencaci maki dan lain-lain. Sedangkan yang berupa
perbuatan adalah berlaku kasar, seperti memukul dengan tangan atau
kaki bila orang tua menginginkan sesuatu atau menyuruh untuk
memenuhi keinginannya, membenci, tidak mempedulikan, tidak
bersilaturrahim, atau tidak memberi nafkah kepada kedua orang tuanya
yang miskin.

7
2. Keutamaan Berbakti Kepada Orang Tua Dan Pahalanya

a. Merupakan Amal Yang Paling Utama

‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu berkata.

ُ‫سأ َ ْلت‬
َ ‫سو َل‬ ُ ‫صلَى للاِ َر‬ َ ُ‫سلَ َم َعلَ ْي ِه للا‬ َ ‫ي َو‬ ُّ َ ‫ضلُ؟ ْالعَ َم ِل أ‬ َ ‫قَا َل أ َ ْف‬: ُ ‫صَلَة‬ َ ‫قُ ْلتُ ًَقَال‬
َ ‫و ْقتِ َها َعلَى اَل‬،
‫ي؟ ث ُ َم‬ ُّ َ‫قَا َل أ‬: ‫بِ ُّر ْال َوا ِلدَي ِْن‬، ‫قَا َل‬: ُ‫ي؟ ث ُ َم قُ ْلت‬
ُّ َ ‫قَا َل أ‬: ُ ‫سبِ ْي ِل فِي ْال ِج َهاد‬ َ ِ‫للا‬

“Aku bertanya kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, ‘Amal

apakah yang paling utama?’ Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam


menjawab, ‘Shalat pada waktunya (dalam riwayat lain disebutkan
shalat di awal waktunya).’ Aku bertanya lagi, ‘Kemudian apa?’ Nabi
menjawab: ‘Berbakti kepada kedua orang tua.’ Aku bertanya lagi:
‘Kemudian apa?’ Nabi menjawab, ‘Jihad di jalan Allah’

b. Ridha Allah Bergantung Kepada Ridha Orang Tua

Sesuai hadits Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, disebutkan:

‫اص ب ِْن َع ْم ِرو ب ِْن للاِ َع ْب ِد َع ْن‬ ِ َ‫ي ْالع‬ َ ‫ض‬ ِ ‫س ْو َل أ َ َن َع ْن ُه َما للاُ َر‬
ُ ‫صلَى للاِ َر‬
َ ُ‫سلَ َم َعلَ ْي ِه للا‬
َ ‫قَا َل َو‬:
‫ضا‬َ ‫ب ِر‬ ِ ‫الر‬
َ ‫ضا فِي‬ ْ ‫ط‬
َ ‫ال َوا ِل ِد ِر‬، ُ ‫س ْخ‬
ُ ‫ب َو‬ َ ‫س ْخ ِط فِي‬
ِ ‫الر‬ ُ ‫ًال َوال‬ْ ِ ‫ِد‬

“Darii ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash radhiyallaahu ‘anhuma, bahwa

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Ridha Allah


bergantung kepada keridhaan orang tua dan murka Allah bergantung
kepada kemurkaan orang tua”

c. Berbakti Kepada Orang Tua Dapat Menghilangkan Kesulitan Yang


Sedang Dialami

Yaitu, dengan cara bertawassul dengan amal shalih tersebut.


Dalilnya adalah hadits riwayat dari Ibnu ‘Umar radhiyallaahu
‘anhuma mengenai kisah tiga orang yang terjebak dalam gua, dan
salah seorangnya bertawassul dengan bakti kepada ibu bapaknya.

8
Haditsnya sebagai berikut:

َ‫طلَق‬َ ‫ًال َمب أَ َو ُوا َحتَى قَ ْبلَ ُك ْم َكانَ ِم َم ْن َر ْهط ثََلَثَةُ ا ْن‬ ْ ِ َ‫فَدَ َخلُ ْوهُ غَار ِإلَى يْت‬، ‫ت‬ ْ ‫ص ْخ َرة فَا ْن َحدَ َر‬َ
َ‫َت ْال َج َب ِل ِمن‬ َ َ‫َار َعلَ ْي َها ف‬
ْ ‫سد‬ ْ ‫ فَقَالُ ْوا‬: ُ‫ص ْخ َر ِة َه ِذ ِه ِم ْن ّلَيُ ْن ِج ْي ُك ْم ِإنَه‬
َ ‫الغ‬. َ ‫للا ْوا ًُتَدْع أ َ ْن ِإّلَ ال‬
َ ِ‫صا ِلح‬ َ ‫ِب‬
‫أَ ْع َما ِل ُك ْم‬. ‫ ِم ْن ُه ْم َر ُجل فَقَا َل‬: ‫ان ِلي َكانَ اَللَ ُه َم‬
ِ ‫َان ًَش أَبَ َو‬ ِ ‫ان ْيخ‬ ِ ‫َو أ َ ْهَل ُه َما قَ ْب َل أ َ ْغبِ ُق َو ُك ْنتُ َكبِي َْر‬
َ‫ َماّل ّل‬، ‫ب فِي بِي فَنَأَى‬ ِ َ‫طل‬َ ‫شيْئ‬ َ ‫َام َحتَى ا ًَ َعلَ ْي ِهم أ ُ ِر ْح فَلَ ْم يَ ْوما‬ َ ‫ا ًَ َغب ُْوقَ ُهم لَ ُه َما فَ َحلَبْتُ ن‬
‫نَائِ َمي ِْن فَ َو َجدْت ُ ُه َما‬. ُ‫أَ ْو َماّل أَ ْهَل َق ْب َل ُه َما أَ ْغبِقَ أ َ ْن َف َك ِرهْت‬، ُ‫ي َعلَى َو ْالقَدَ ُح فَلَ ِبثْت‬ َ َ‫ْنت َِظ ُر ًَأ يَد‬
‫ظ ُه َما‬ َ ‫ظا ْالفَجْ ُر بَ َرقَ َحتَى ا ْستِي َقا‬ َ َ‫ َغبُوقَ ُه َما فَش َِربَا فَا ْستَ ْيق‬. ‫َوجْ ِهكَ ا ْبتِغَا َء ذَلِكَ فَ َع ْلتُ ُك ْنتُ ِإ ْن اَللَ ُه َم‬
‫ص ْخ َر ِة َهذِه ِم ْن فِ ْي ِه نَحْ نُ َما َعنَا فَفَ ِر ْج‬ ْ ‫شيْئا فَا ْنفَ َر َج‬
َ ‫ال‬، ‫ت‬ َ

“Pada suatu hari tiga orang dari ummat sebelum kalian sedang

berjalan, lalu kehujanan. Mereka berteduh pada sebuah gua di kaki


sebuah gunung. Ketika mereka berada di dalamnya, tiba-tiba sebuah
batu besar runtuh dan menutupi mulut gua. Sebagian mereka berkata
kepada yang lain: ‘Ingatlah amal terbaik yang pernah kamu lakukan.’
Kemudian mereka memohon kepada Allah dan bertawassul melalui
amal tersebut, dengan harapan agar Allah menghilangkan kesulitan
tersebut. Salah satu di antara mereka berkata: ‘Ya Allah, sesung-
guhnya aku mempunyai kedua orang tua yang sudah lanjut usia
sedangkan aku mempunyai isteri dan anak-anak yang masih kecil.
Aku menggembala kambing, ketika pulang ke rumah aku selalu
memerah susu dan memberikan kepada kedua orang tuaku sebelum
orang lain. Suatu hari aku harus berjalan jauh untuk mencari kayu
bakar dan mencari nafkah sehingga pulang sudah larut malam dan aku
dapati orang tuaku sudah tertidur, lalu aku tetap memerah susu
sebagaimana sebelumnya. Susu tersebut tetap aku pegang lalu aku
mendatangi keduanya namun keduanya masih tertidur pulas. Anak-
anakku merengek-rengek menangis untuk meminta susu ini dan aku
tidak memberikannya. Aku tidak akan memberikan kepada siapa pun
sebelum susu yang aku perah ini kuberikan kepada kedua orang tuaku.
Kemudian aku tunggu sampai keduanya bangun. Pagi hari ketika

9
orang tuaku bangun, aku berikan susu ini kepada keduanya. Setelah
keduanya minum lalu kuberikan kepada anak-anakku. Ya Allah,
seandainya perbuatan ini adalah perbuatan yang baik karena
mengharap wajah-Mu, maka bukakanlah mulut gua ini.’ Maka batu
yang menutupi pintu gua itu pun bergeser sedikit..”

3. Bentuk-Bentuk Durhaka Kepada Kedua Orang Tua

a. Menimbulkan gangguan terhadap orang tua, baik berupa


perkataan atau pun perbuatan yang mem-buat orang tua sedih atau
sakit hati.
b. Berkata “ah” atau “cis” dan tidak memenuhi pang-gilan orang tua.
c. Membentak atau menghardik orang tua.
d. Bakhil atau kikir, tidak mengurus orang tuanya, bahkan lebih
mementingkan yang lain daripada mengurus orang tuanya,
padahal orang tuanya sangat membutuhkan. Seandainya memberi
nafkah pun, dilakukan dengan penuh perhitungan.
e. Bermuka masam dan cemberut di hadapan orang tua,
merendahkan orang tua, mengatakan bodoh, “kolot”, dan lain-
lain.
f. Menyuruh orang tua, misalnya menyapu, mencuci atau
menyiapkan makanan. Pekerjaan tersebut sangat tidak pantas bagi
orang tua, terutama jika mereka sudah tua dan lemah. Tetapi, jika
si ibu melakukan pekerjaan tersebut dengan kemauannya sendiri,
maka tidaklah mengapa, dan karena itu seorang anak harus
berterima kasih dan membantu orang tua.
g. Menyebut kejelekan orang tua di hadapan orang banyak atau
mencemarkan nama baik orang tua.
h. Memasukkan kemungkaran ke dalam rumah, misalnya alat musik,
mengisap rokok, dan lain-lain.

10
i. Lebih mentaati isteri daripada kedua orang tua. Bahkan ada
sebagian orang yang tega mengusir ibunya demi menuruti
kemauan isterinya.
j. Nas-alullaahas salaamah wal ‘aafiyah
k. Malu mengakui orang tuanya. Sebagian orang merasa malu
dengan keberadaan orang tua dan tempat tinggal ketika status
sosialnya meningkat. Tidak diragukan lagi, sikap semacam itu
adalah sikap yang sangat tercela, bahkan termasuk kedurhakaan
yang keji dan nista.

4. Bentuk-Bentuk Berbakti Kepada Orang Tua


a. Bergaul bersama keduanya dengan cara yang baik. Di dalam
hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam disebutkan bahwa
memberi kegembiraan kepada seseorang mukmin termasuk
shadaqah, lebih utama lagi kalau memberi kegembiraan kepada
orang tua kita
b. Berkata kepada keduanya dengan perkataan yang lemah lembut.
Hendaknya dibedakan adab ber-bicara antara kepada kedua orang
tua dengan ke-pada anak, teman atau dengan yang lain. Berbicara
dengan perkataan yang mulia kepada kedua orang tua.
c. Tawadhu’ (rendah hati). Tidak boleh kibr (sombong) apabila
sudah meraih sukses atau memenuhi jabatan di dunia, karena
sewaktu lahir, kita berada dalam keadaan hina dan membutuhkan
pertolongan, kita diberi makan, minum, dan pakaian oleh orang
tua.
d. Memberi infaq (shadaqah) kepada kedua orang tua, karena pada
hakikatnya semua harta kita adalah milik orang tua. Oleh karena
itu berikanlah harta itu kepada kedua orang tua, baik ketika
mereka minta ataupun tidak.
e. Mendo’akan kedua orang tua. Di antaranya dengan do’a berikut:

‫ب‬ ْ ‫ص ِغيْرا َر َب َيا ِني َك َما‬


ِ ‫ار َح ْم ُه َما َر‬ َ

11
“Wahai Rabb-ku, kasihilah keduanya, sebagaimana mereka

berdua telah mendidikku sewaktu kecil.”

Seandainya orang tua masih berbuat syirik serta bid’ah, kita


tetap harus berlaku lemah lembut kepada keduanya, dengan
harapan agar keduanya kembali kepada Tauhid dan Sunnah.
Bagaimana pun, syirik dan bid’ah adalah sebesar-besar
kemungkaran, maka kita harus mencegahnya semampu kita
dengan dasar ilmu, lemah lembut dan kesabaran. Sambil terus
berdo’a siang dan malam agar orang tua kita diberi petunjuk ke
jalan yang benar.

5. Apabila Kedua Orang Tua Telah Meninggal

Maka yang harus kita lakukan adalah:

a. Meminta ampun kepada Allah ‘Azza wa Jalla dengan taubat


nashuha (jujur) bila kita pernah berbuat durhaka kepada keduanya
di waktu mereka masih hidup.
b. Menshalatkannya dan mengantarkan jenazahnya ke kubur.
c. Selalu memintakan ampunan untuk keduanya.
d. Membayarkan hutang-hutangnya.
e. Melaksanakan wasiat sesuai dengan syari’at.
f. Menyambung silaturrahim kepada orang yang keduanya juga
pernah menyambungnya

D. Kajian Berbakti pada Guru

Pengertian Guru secara ethimologi (harfiah) ialah orang yang


pekerjaannya mengajar. Kemudian seorang guru biasa disebut sebagai
ustadz, mu`alim, murabbiy, mursyid, mudarris, dan mu`addib, yang artinya
orang yang memberikan ilmu pengetahuan dengan tujuan mencerdaskan dan
membina akhlak peserta didik agar menjadi orang yang berkepribadian baik.

12
Sedangkan pengertian guru ditinjau dari sudut therminologi yang diberikan
oleh para ahli dan cerdik cendekiawan, adalah sebagai berikut:

1. Menurut Muhaimin dalam bukunya Strategi Belajar Mengajar


menguraikan bahwa guru adalah orang yang berwenang dan
bertanggung jawab terhadap pendidikan siswanya, baik secara
individual ataupun klasikal. Baik disekolah maupun diluar sekolah.
Dalam pandangan Islam secara umum guru adalah mengupayakan
perkembangan seluruh potensi/aspek anak didik, baik aspek cognitive,
effective dan psychomotor.
2. Zakiah Daradjat dalam bukunya ilmu pendidikan Islam menguraikan
bahwa seorang guru adalah pendidik Profesional, karenanya secara
implicit ia telah merelakan dirinya menerima dan memikul sebagian
tanggung jawab pendidikan.
3. Menurut Syaiful Bahri Djamarah dalam setiap melakukan pekerjaan
yang tentunya dengan kesadaran bahwa yang dilakukan atau yang
dikerjakan merupakan profesi bagi setiap individu yang akan
menghasilkan sesuatu dari pekerjaannya. Dalam hal ini yang dinamakan
guru dalam arti yang sederhana adalah orang yang memberikan ilmu
pengetahuan kepada anak didik.
4. M. Ngalim Purwanto dalam bukunya Ilmu Pendidikan Praktis dan
Teoritis menjelaskan guru adalah orang yang telah memberikan suatu
ilmu/ kepandaian kepada yang tertentu kepada seseorang/ kelompok
orang.

Dari rumusan pengertian guru diatas dapat disimpulkan bahwa guru


adalah orang yang memberikan pendidikan atau ilmu pengetahuan kepada
peserta didik dengan tujuan agar peserta didik mampu memahami dan
mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.

Kemudian apabila istilah kata guru dikaitkan dengan kata agama islam
menjadi guru agama islam, maka pengertiannya adalah menjadi seorang

13
pendidik yang mengajarkan ajaran agama Islam dan membimbing anak
didik kearah pencapaian kedewasaan serta membentuk kepribadian muslim
yang berakhlak mulia, sehingga terjadi keseimbangan antara kebahagiaan
didunia dan kebahagiaan diakhirat.

Dalam kitab ‫ الخَلق تيسير‬disebutkan bahwa setiap murid dalam jiwanya


harus ada akhlak kepada gurunya dan akhlak kepada temannya. Guru adalah
orang tua kedua, yaitu orang yang mendidik murid-muridnya untuk menjadi
lebih baik sebagaimana yang diridhoi Alloh SWT. Sebagaimana wajib
hukumnya mematuhi kedua orang tua, maka wajib pula mematuhi perintah
para guru selama perintah tersebut tidak bertentangan dengan syari’at
agama. Dalam pandangan tasawuf ilmu tidak bermanfaat salah satunya
karena tidak hormatnya murid terhadap gurunya. Akhlak terhadap guru
diantaranya adalah :

Memuliakan, tidak menghina atau mencaci-maki guru, sebagaimana sabda


Rasulullah SAW :

َ ‫يرنَا ي َُوقِ ْر لَ ْم َم ْن ِمنَا لَي‬


‫ْس‬ َ ِ‫يرنَا يَ ْر َح ْم َو َكب‬
َ ‫ص ِغ‬
َ

“Tidak termasuk golongan kami orang yang tidak memuliakan orang yang

lebih tua dan tidak menyayangi orang yang lebih muda.” (HR.Ahmad dan
At-Tirmidzi)

Memperhatikan ketika guru sedang menjelaskan, sebagaimana hadits Abu


Sa’id Al-Khudri ra :

‫س َكتَ َو‬ ُ َ‫الطي َْر ُر ُءو ِس ِه ْم َعلَى كَأ َ َن الن‬


َ ‫اس‬ َ

“Orang-orang pun diam seakan-akan ada burung di atas kepala mereka.”

(HR.Al-Bukhori).

Imam Sufyan Ats-Tsauri rohimahulloh berkata : “Bila kamu melihat ada


anak muda yang bercakap-cakap padahal sang guru sedang menyampaikan

14
ilmu, maka berputus-asalah dari kebaikannya, karena dia sedikit rasa
malunya.” (HR. Al-Baihaqi dalam Al-Madkhol ilas-Sunan).

Bertanya kepada guru bila ada sesuatu yang belum dia mengerti dengan cara
baik. Allah berfirman :

‫تَ ْعلَ ُم ْونَ ّلَ ُك ْنت ُ ْم إِ ْن ال ِذ ْك ِر أَ ْه َل فَا ْسأَلُ ْوا‬

“Bertanyalah kepada ahli dzikr ( yakni para ulama ) bila kamu tidak tahu.”

(Qs.An-Nahl : 43 dan Al-Anbiya’:7)

· Rasulullah SAW bersabda :

َ ْ‫الس َُّؤا ُل ْال ِعي ِ ِشفَا ُء فَإِنَ َما يَ ْعلَ ُموا لَ ْم إِذ‬
َ‫سأَلُ ْوا أَّل‬

“Mengapa mereka tidak bertanya ketika tidak tahu ? Bukankah obat dari

ketidaktahuan adalah bertanya ?” ( HR. Abu Dawud ).

15
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Hormat berarti menghargai, takzim dan khidmat kepada orang lain, baik
orang tua, guru sesama anggota keluarga. Dalam hubungan dengan
orang tua, perilaku hormat ditujukan dengan berbakti kepada orang tua.
Berbakti merupakan kewajiban anak kepada orang tua
2. Perilaku hormat dan patuh kepada orang lain sangat baik dilakukan oleh
seorang muslim. Oleh karena itu, perilaku hormat dan patuh ini harus
diterapkan kepada siapa saja. Berikut adalah contoh perilaku hormat
dan patuh kepada orang tua, guru dan anggota keluarga
3. Taat dan berbakti kepada kedua orang tua adalah sikap dan perbuatan
yang terpuji. Sebagaimana yang telah dijelaskan bahwa Allah Swt.
memerintahkan kepada umat manusia untuk menghormati orang tua.
Dalil-dalil tentang perintah Allah Swt. tersebut antara lain pada Surah
Al-Isra':

B. Saran
Sesuai dengan Pembahasan dan kesimpulan di atas, Kami
menyarankan untuk dapat memahami konsep pemikiran atau mindset yang
baik akan sikap dan tindakan yang benar dalam Menghormati dan
Mematuhi kedua Orangtua dan Guru.

16
DAFAR PUSTAKA

http://kisahimuslim.blogspot.com/2014/09/pentingnya-hormat-dan-patuh-
kepada.html

http://catur-wijayanti.blogspot.com/2013/06/tafsir-surah-al-isra17-ayat-23-
24.html

http://www.academia.edu/6603308/Makalah_tafsir_etika_kepada_orang_tua_by_
Naylin_Najihah?login=&email_was_taken=true

http://www.slideshare.net/poetrachebhungsu/tugas-makalah-agama

http://hikayatsahabat.heck.in/kisah-bakti-seorang-pemuda-terhadap-ibun.xhtml

http://www.abstrak.web.id/contoh-makalah/

17
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT dengan rahmat dan karunianya penulis
telah dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul “KAJIAN AKHLAK,
PERILAKU JUJUR, BERBAKTI PADA ORANG TUA DAN GURU” Selawat
beriring salam penulis kirimkan kepada junjungan Alam Nabi Muhammad SAW
beserta keluarga dan sahabat beliau sekalian.

Dalam penyelesaian penulisa makalah ini, penulis mendapat bimbingan,

arahan dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan

terima kasih yang sebesar-sebesarnya.

Segala usaha telah dilakukan untuk menyempurnakan makalah ini.

Namun penulis menyadari bahwa dalam makalah ini mungkin masih ditemukan

kekurangan dan kekhilafan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan

saran yang dapat dijadikan masukan guna perbaikan di masa yang akan datang.

Meureudu, 30 Oktober 2017


Penulis,

Kelompok 6

18
19

Anda mungkin juga menyukai