Anda di halaman 1dari 16

BAB 1

PENDAHULUAN
1. Latar Belakang

Wara’ merupakan sebuah kata yang berarti menjauhkan diri dari dosa serta
menahannya dari hal-hal yang syubhat (tidak jelas haramnya) dan maksiat. Kata
wara’ sendiri secara bahasa berarti ‘saleh’, menjauhkan diri dari perbuatan dosa.
Kata ini selanjutnya mengandung arti menjauhkan diri hal-hal yang tidak baik.
Wara’ adalah maqam yang sangat mulia dan luhur. Secara tidak langsung
makna wara’ telah tersirat dalam Al-Qur’an. Diantaranya terdapat dalam surat
An-Nur ayat 15 yang artinya:

“ (Ingatlah) di waktu kamu menerima berita bohong itu dari mulut kemulut dan
kamu katakana dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketehui sedikit juga, dan
kamu menganggaapnya suatu yang ringan saja. Padahal, dia pada sisi Allah
adalah besar.”

Wara’ merupakan salah satu sifat pengendalian diri untuk menjaga


kesucian jiwa raga karena dengan sifat ini seseorang menjauhi perkara syubhat
apalagi sampai perkara yang sangat haram. Sehingga, ketika seseorang memang
benar-benar berusaha menempuh dan berusaha semaksimal mungkin untuk
menjauhi larangan Allah dari segala hal yang masih meragukan dengan banteng
sifat wara’, niscaya sifat yang mulia ini akan menjadi karakter dan kepribadian
luhur yang mendarah daging. Sampai anggota tubuhnya pun akan menjadi
benteng yang tangguh bagi dirinya untuk menjaga dari kemaksiatan. Sehingga,
hati dan pikiranya akan menjadi jernih, segala ucapan, tingkah laku, ide dan
kreativitasnya mengandung hikmah dan manfaat untuk dirinya sendiri dan
orang lain.

Semuanya bisa terbukti dari beragai riwayat yang diambil dari kaum sufi.
Diantaranya adalah hikayat yang diriwayatkan oleh Ja’far Al-Khuludiy tentang
kepribadian Haris Al-Muhasibiy bahwasanya beliau tidak pernah bisa
menjulurkan tanganya pada setiap hal yang didalamnya terdapat perkara

1
syubhat (tidak jelas halal haramnya). Ini karena pada jari tengahnya ada otot
yang mendeteksi. Artinya, ketika tanganya diulurkan pada makanan yang
syubhat, otot ini akan berdenyut mencegahnya.

2. Rumusan Masalah
a. Apa pengertian dari wara’?
b. Bagaimana tingkatan dalam wara’?
c. Bagaimana hubungan wara dengan kesehatan jiwa?
3. Tujuan
a. Mengetahui pengertian wara’.
b. Dapat menyebutkan dan menjelaskan tentang tingkatan-tingkatan dalam
wara’.
c. Dapat mengtahui hubungan antara wara’ dengan kesehatan jiwa.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian wara’

Secara lughowi wara’ artinya hati-hati. Secara istilah wara’ adalah


menahan diri agar hatimu tidak menyimpang sekejap pun dari mengingat Allah.
Sufi yang lain mengatakan bahwa wara’ adalah seorang hamba tidak berbicara
melainkan dalam kebenaran, baik dalam keadaan rida maupun dalam keadaan
marah1. Kata selanjutnya mengandung arti bahwa wara’ adalah menjauhi hal-hal
yang tidak baik. Dalam pengertian sufi, al-wara adalah meninggalkan segala
sesuatu yang di dalamnya terdapat keraguan-keraguan antara halal dan haram
(syubhat). Sikap seseorang untuk menjauhi hal-hal yang syubhat sejalan dengan
hadis Nabi yang berbunyi:

‫ت فَقَ ِد ال ْستَبَ َرا ِمنَ ْال َح َر ِام‬ َ ‫فَ َم ِن اتَقَى ِمنَ ال‬
ِ ‫شبَ َها‬

“ Barang siapa yang terbebas dari syubhat, maka sesungguhnya dia telah
terbebas dari yang haram.” (HR. Bukhori)

Hadis tersebut menunjukkan bahwa syubhat lebih dekat pada yang


haram. Kaum sufi menyadari benar bahwa setiap makanan, minuman, pakaian,
dan sebagainya yang haram dapat memberi pengaruh bagi prang yang memakan,
meminum, dan memakainya. Orang yag demikian akan keras hatinya, sulit
mendapatkan hidayah dan ilham dari Allah. Hal ini dapat dipahami dari hadis
Nabi SAW yang menyatakan bahwa setiap makanan haram yang dikonsumsi
manusia akan menyebabkan noda hitam pada hati yang lama-kelamaan akan
mengeras. Hal ini sangat ditakuti oeh para sufi yang senantiasa mengharapkan
pancaran nur ilahi yang bisa membuat hati menjadi bersih.2

1
Cecep Alba, Tasawuf dan Tarekat, ( Bandung: Remaja Rosdakarya Offset, 2012)hal. 22.
2
M. Rosid Anwar, Akhlaq Tasawuf Manusia, Etika, dan Makna Hidup, hal.185.

3
Wara’ adalah maqom yang sangat mulia dan luhur. Secara tidak langsung
makna wara’ telah tersirat dalam Al-Qur’an. Diantaranya terdapat dalam surat
An-Nur ayat 15:

َ ْ‫ْس لَ ُك ْم بِ ِه ِع ْل ُم َوتَح‬
‫سب ُْو نَهُ هَيِنًا َو ُه َو‬ َ ‫اٍ ْذا تَلَقَّ ْو نَهُ بِا َ ْل ِسنَتِ ُك ْم َوتَقُ ْولُ ْو نَ بِا َ ْف َوا ِه ُك ْم َما لَي‬
)15 :‫َللاِ ْالعَظ ْي ٌم (النور‬ َ َ‫ِع ْند‬

“(Ingatlah) di waktu kamu menerima berita bohong itu dari mulut ke mulut dan
kamu katakana dengan mulutmu apa yag tidak kamu ketahui sedikit juga, dan
kamu menganggapnya suatu yang ringan saja.Padahal, dia pada sisi Allah
adalah besar. “

Wara’ merupakan salah satu sifat pengendalian diri untuk menjaga


kesucian jiwa dan raga karena dengan sifat ini seseorang menjauhi perkara
syubhat apalagi sampai perkara yang sifat haram. Sehingga, ketika seorang
memang benar-benar berusaha menempuh dan berusaha semaksimal mungkin
untuk menjauhi larangan Allah dari segala hal yang masih meragukan dalam
benteng sifat wara’, niscaya sifat yang mulia ini akan menjadi karakter dan
kepribadian luhur yang mendarah daging. Sampai anggota tubuhnya pun akan
menjadi benteng yang tangguh bagi dirinya untuk menjaga dari segala
kemaksiatan. Sehingga hati dan pikiranya akan menjadi jernih, segala ucapan,
tingkah laku, ide dan kreativitasnya mengandung hikmah dan manfaat untuk
dirinya sendiri dan untuk orang lain.3

Kata wara’ memang tidak ada dalam Al-Qur’an. Namun wara’ sangat
penting dilakukan oleh orang-orang muslim agar mereka selalu menahan diri,
berhati-hati, atau menjaga diri supaya tidak jatuh pada kecelakaan. Ibn Qayyim
Al-Jawzi, dalam Madarij Al-Salikin, mengutip Al-Qur’an surah Al-Mudatsir
ayat 4, sebagai perintah untuk wara’: dan pakaian kamu bersihkanlah. Kata
Qatadah dan Mujahid, makna ayat ini ialah hendaknya kamu membersihkan diri

3
Said Aqil Siroj, Jejak Sufi Bangun Moral Berbasis Spiritual,( Kajen: Lirboyo Press) hal. 69.

4
dari dosa. Para mufasir sepakat bahwa pakaian adalah kata kiasan untuk diri.
Ibnu Abbas sendiri menjelaskan ayat ini seperti ini: “janganlah kamu busanai
dirimu dengan kemaksiatan dan pengkhianatan.”

Secara singkat, wara’ adalah nilai kesucian diri. Orang Islam mengukur
keutamaan, makna, atau keabsakhan, gagasan dan tindakan, dari sejauh mana
keduanya proses penyucian diri. Berbahagialah orang yang menyucikan dirinya,
dan celakalah orang yang mencemari dirinya (QS. 91: 9-10). Salah satu misi nabi
Muhammad Saw. Adalah “ menyucikan kamu” (QS: 51; lihat juga QS 62: 2 dan
3:164).

Islam menyeru semua orang untuk berlomba-lomba menyucikan dirinya.


Anda dipersilahkan mencari kekayaan sebanyak-banyaknya, selama kekayaan
itu tidak mencemari diri anda, dan selama anda dapat mempergunakannya untuk
menyucikanya. Tuntutlah ilmu yang dapat meningkatkan kualitas kesucian anda.
4

Setiap muslim harus menghindarkan diri dari sesuatu yang haram dan
syubhat, karena sikap ini akan memperkokoh keberagaman anda dan merupakan
kebiasaan-kebiasaan para ulama yang mengamalkan ilmunya. Sesungguhnya
makanan nharam atau syubhat tidak akan mendorong pemakannya untuk
melakukan amal saleh. Apabila ia melakukan amal saleh tersebut, ia akan
terhindar dari penyakit hati seperti ‘ujub dan riya’. Jelasnya, amal orang yang
memakan harta haram akan ditolak. Sebab, Allah adalah Dzat yang baik dan
hanya menerima yang baik. Setiap amal perbuatan pasti dilakukan oleh anggota
badan, sedangkan gerakan badan didorong oleh daya yang dihasilkanyapun akan
jelek.

Abdullah bin Umar ra. Berkata,” Walaupun solat dan puasa anda
bemgkok dan kurus seperti tali kecapi, maka amalanmu itu tidak akan diterima

4
Jalaludin Rakhmat, Renungan-Renungan Sufistik, (Bandung: Mizan, 1995) hal. 102

5
oleh Allah sebelum anda menghindari sesuatu yang haram dan syubhat.
Sebagaimana hadis nabi Saw.

َ ُ‫َم ِن ال ْشتت ََراى ث َ ْوبًا ِب َع ْش َر ِة دَ َرا ه َِم َو ِف ْي ِه د ِْر َه ٌم َح َر ٌم ل ْم يَ ْق َب ِل للاُ لَه‬


َ َ‫صالَ ة ً َما د‬
‫ام‬
‫علَ ْي ِه‬
َ

Artinya:

“ Siapa saja yang membeli pakaian dengan sepuluh dirham yang salah satunya
dirhamnya adalah haram, maka Allah tidak akan menerima shalatnya selama ia
mengenakan pakaian itu”

Begitulah ancaman Allah bagi orang membeli pakaian yang salah satu
dirhamnya adalah haram, apalagi jika seluruh dirhamnya adalah haram. Begitu
pulalah ancaman Allah menyangkut pakaian yang dibeli dengan unag haram iyu
adalah makanan yang masuk dala perut dan menyebar seluruh tubuh melalui
peredaran darah.

Seesungguhnya sesuatu yang haram itu terbagi dalam dua kelompok.


Pertama, sesuatu yang diharamkan karena bendanya itu sendiri seperti jenazah,
darah, arak, dan lainya. Kelompok ini diharamkan untuk dikonsumsi secara
mutlak, kecuali bila terpaksa , yakni untuk mempertahankan kelangsungan
hidup. Kedua, bendanya halal seperti gandum dan air suci, tetapi benda itu milik
orang lain. Dengan demikian, benda itu haram digunakan sebelum meilikinya
berdasarkan prosedur syara’, misalnya dengan cara membelinya, menerima
hibah, atau menerima warisan.

Sesuatu yang syubhatpun terdiri atas berbagai tingkatan: pertama, yang


diyakini keharamanya dan diragukan kehalalanya. Syubhat ini hukumnya haram.
Kedua, yang diyakini kehalalanya dan diragukan keharamanya. Meninggalkan
syubhat seperti ini merupakan tindakan yang baik. Ketiga, kemungkinan haram
dan kemungkunan halalnya sama. Untuk tingkatan seperti ini Rasulullah
bersabda:

َ‫ع َما ي ُِر ْيبُكَ اِلَى َما الَ ي ُِر ْيبُك‬


ْ َ‫د‬

6
Artinya:

“Tinggalkanlah apa yang meragukan . kerjakanlah apa yang tidak


merugikan.”

Sikap kehati-hatian seseorang ditunjukan dengan kebiasaannya yang


menghindari segala sesuatu yang musykil, kecuai sudah jelas permasalahanya.
Seorang hamba belum mencapai tingkatan ketakwaan sebelum ia meninggalkan
sesutau yang halal karena khawatir tergelincir ke dala syunhat atau haram ketika
mengambilnya. 5

Hikmah dari sifat wara’ sudah terbukti dari berbagai riwayat yang
diambil dari kaum sufi. Diantaranya adalah hikayat yang diriwayatkan oleh
Ja’far Al-Khuldiy tentang kepribadian Haris Al-Muhasibiy bahwasanya beliau
tidak pernah menjulurkan tanganya pada setiap hal yang di dalamnya terdapat
perkara syubhat (tidak jelas halal dan haramnya). Ini karena pada jari tengahnya
ada otot yang bisa untuk mendeteksi. Artinya, ketikan tangannya diulurkan pada
makanan yang syubhat, otot ini akan berdenyut untuk mencegahnya.

Demikian pula Syekh Bisyr Al-Hafiy ketka beliau diundang dalam


jamuan makanan. Saat beliau diberi hidangan dan berusaha mengulurkan
tangannya untuk mengambil hidangan tersebut, namun tidak pernah berhasil.
Hal ini dilakukakan berulang-ulang sampai tiga kali. Lalu, berkatalah seorang
lelaki yang mengenalnya,” Tanganya tidak akan bisa diulurkan untuk mengambil
makanan yang haram atau syubhat. Sehingga percuma saja tuan rumah ini
mengundang beliau pulang ke rumahnya.

Demikian pula Imam Nahwawiy, karena sifat kewira’inya tersebut,


beliau tidak pernah memakan buah yang tumbuh di Damaskus (Syiria) karena di
kota tersebut banyak kezaliman dan manipulasi. Terutama yang dilakukan oleh
para pemimpinnya yang selalu mendapat kritik tajam dari beliau. Imam An-

5
Rosihon Anwar, Sentuhan-Sentuhan Sufistik (Bandung: Pustaka Setia), hal. 129

7
Nawawi hanya makan dan minum dari kiriman orang tuanya yang ada di desa
dan hany makan sekali di waktu tengah malam untuk sahur dan berbuka.

B. Tingkatan-Tingkatan Dalam Wara’

Selanjutnya, menurut Imam As-Saraj, ahli wara’ diklasifikasikan


menjadi tiga tingkatan:

1) Golongan yang memiliki sifat wara’ dalam menjauhi perkara syubhat, yaitu
sifat diantara halal dan haram yang sudah bersifat mutlak kejelasannya.
Artinya, apapun yang dikonsumsi seorang hamba ahnyalah perkara yang
sudah jelas kehalalanya dan tidak meneyentuh sama sekali perkara yang
haram murni. Tingkatan ini sebagimana yang diungkap Ibnu Sirrin,” Tidak
ada sesuatu yang lebih mudah bagiku, kecuali tingkatan wara’ ini ketika ada
sesuatu yang meragukanya.”
2) Wara’nya Arbab Al-Qulub (golongan yang memiliki hati yang bersih) dan
Mutahaqiqin (golongan yang memiliki keyakinan yang kuat), yaitu menjauhi
segala hal yang bersumber dari hati yang berpotensi membuat hati menjadi
gelisah dan bergejolak ketika mengambil perkara yang syubhat. Artinya,
bukan hanya berhubungan tentang kejelasan halal maupun haramnya,
bahkan bila ada sesuatu yang memang sudah diketahui kejelasan sifat
halalanya, tapi sesuatu tersebut bisa menimbulkan keraguan hati, maka
perkara yang halal pun harus dijauhi. Ini sesuai dengan sabda Rasulullah,”
Dosa adalah segala sesuatu yang mengganjal dalam hatimu.”
3) Wara’nya ‘Arrifin (ahli makrifat) dan Wajiddin (golongan yang mencintai
dan merasakan menemukan Allah). Ini diungkapkan Abu Sulaiman
Addarani,” Segaal hal yang bisa memalingkan dari Allah merupakan
kejelekan dan kesialan bagimu.” Kedudukan ini mengindikasikan bahwa
segala macam apapun, mskipun perkara yang halal murni, bila memiliki
potensi untuk bisa memalingkan dari Allah, tetap harus dijauhi.

8
Dari tiga tingakatan yang telah dipaparkan di atas, kedudukan awal
merupakan wara’ yang umum. Yang kedua, orang khusus. Sedang yang ketiga
adalah khusus al khusus (istimewa)6.

Sahl at-Tustari mengatakan: “Orang yang tidak wara’ memakan kepala


gajah pun tidak akan kenyang.”

Dalam versi lain,wara’ ada empat tingkatan, yaitu7:

a. Wara’ orang awam


Yakni wara’ yang kebanyakan yaitu menahan diri dari melakukan hal-hal yang
dilarang oleh Allah SWT.
b. Wara’ orang saleh
Menahan diri dari menyentuh atau memakan sesuatu yang mungkin akan jatuh
kepada yang haram, misalnya memakan sesuatu yang tidak jelas hukumnya
(syubhat).
c. Wara’ muttaqin
Menahan diri dari sesuatu yang tidak diharamkan dan tidak syubhat karena takut
jatuh kepada yang haram.
Nabi bersabda, yang artinya:
“Seorang hamba tidak akan mencapai derajat muttaqin sehingga dia
meninggalkan apa yang tidak berdosa karena takut akan apa yang dapat
menimbulkan dosa”. (H.R. Ibn Majjah)
d. Wara’ yang benar
Wara yang benar ialah menahan diri dari apa yang tidak berdosa sama sekali
dan tidak khawatir jatuh ke dalam dosa, tetapi dia menahan diri melakukannya
karena takut tidak ada niat untuk beribadah kepada Allah atu karena dapat
membawanya kepada sebab-sebab yang memudahkanya jatuh kepada yang
makruh atau maksiat. Menahan diri melakukan sesuatu yang tidak dilarang
karena khawatir tidak ada niat untk beribadah kepada Allah.

6
Opcit., Said Aqil Siroj, hal. 71
7
Opcit., Cecep Alba, hal. 22

9
Para sahabat nabi berkata,” kami meninggalkan 70 bab kehalalan karena
khawatir tergelincir ke dalam keharaman.”
Anda seharusnya mengetahui semua yang Allah haramkan agar anda dapat
menghindarinya. Sebab, orang yang tidak tahu kejelekan akan tergelincir ke
dalamnya.
Ketahuilah seseorang yang menjalankan agama dengan benar tidak perlu
khawatir ditakuti melakukan keharaman, seperti makan binatang yang haram untuk
dimakan atau mengambil harta orang lain secara zalim, dengan cara ghasab atau
dengan cara mencurinya. Karena perbuatan semacam ini umumnya hanya
dilakukan oleh para pembangkang dan budak-budak setan.

C. Bentuk Sikap Wara’

Orang yang beragama seharusnya memperhatikan tiga hal berikut ini:

1. Bersikap teliti sebelum melakukan sesuatu. Jelasnya ketika berinteraksi sesame


manusia :
a. Seorang yang kepribadiannya dan kebaikanya anda ketahui. Santaplah
makanan yang disuguhkanya tanpa harus bertanya terlebih dahulu
bagaimana makanan itu diperoleh.
b. Seseorang yang kepribadianya tidak diketahui, apakah ia baik atau jahat.
Jika hendak bermuamalah denganya atau sebelum menerima pemberiannya,
maka tanyalah terlebih dahulu status pemberian itu dengan cara yang
bijaksana sehingga tidak menyinggung perasaannya. Jika tidak dapat
melakukanya dengan baik, tidak usah bertanya, tetapi tinggalkan dan jangan
menerima peberiannya.
c. Seseorang yang sudah anda kenal kedzalimannya, umpamanya ia sudah
biasanya melakukan riba’, maka seyogyanya anda melakukan interaksi apa
pun dengannya. Jika tidak ada jalan keluaruntuk menghindarinya, bertanya
dan telitilah. Jika diberi sesuatu yang sudah dapat dipastikan keharamanya
atau diduga keharamannya, maka jangan ragu-ragu untuk menolaknya.

10
2. Berhati-hatilah dari transaksi yang rusak. Gunakan transaksi yang benar ketika
anda menjual atau membeli sesuatu. Hindarilah perbuatan menipu, berbohong,
sumpah palsu, dan menutupi cacat barang dagangan anda, yang bila anda
tunjukan kecacatan itu, harganya pun akan turun. Hindarilah perbuatan riba’
karena perbuatan tersebut merupakan dosa yang sangat besar. Allah berfirman
dalam Al-Qur’an Surah Al-Baqioroh ayat 278-279 yang artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan
tinggalkan sisa riba’ (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang
beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba’), maka
ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan menerangimu. Dan jika kamu
bertobat, maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak pula
dianiaya.”
Sementara itu, Rasulullah SAW. Melaknat orang yang memakan,
mewakilkan, menulis, dan menyaksikan riba’. Hindarilah pula perbuatan
menimbun barang dengan tujuan menaikan harganya.
3. Hindarilah tenggelam di dalam kenikmatan dunia karena membuat anda
menjauhi sikap wara’. Wara’ hanya dapat dilakukan oleh orang yang
memperlakukan dunia sekedar kebutuhan saja. Imam Al-Ghazali semoga Allah
menjadikanya bermanfaat bagi seluruh manusia, berkata,” Jika anda
membiasakan menggunakan sepotong baju kasar selama satu tahun dan
memakan dua potong roti dalam sehari semalam dengan tujuan menjaga
sesuatu yang halal, maka tidak demikian caranya. Sebab, sesuatu yang halal
itu sangat banyak. Namun, yang perlu anda lakukan dari halal itu adalah
bersikap hati-hati.”
Jika anda meragukan sesuatu, tinggalkanlah walaupun secara fiqh
dihalalkan, sebab dosa itu muncul dari sesuatu yang membuat hati anda ragu-ragu,
sebagaimana telah disabdakan oleh Rasulullah dan ini biasanya hanya dapat
dilakukan oleh orang yang hatinya bersinar.
Janganlah anda mengira bahwa wara; itu hanya masalah makanan dan
pakaian saja, tetapi juga menyangkut segala macam persoalann. Namun, wara’
terhadap makanan harus lebih diperhatikan karena segala aktivitas didorong oleh

11
daya yang dihasilkan oleh makanan. Sementara itu, makanan halal berpengaruh
besar dalam menerangi hati dan mendorong beribadah. Sebagian ulama salaf
berkata,” makanlah sesukamu, maka andapun akan melakukan sesuatu sesukamu.”
Ibrahim semoga Allah merahmatinya berkata,” perbaikilah makanan anda, jangan
sampai anda shalat dan puasa, sementara itu anda mengonsumsi makanan
haram.”8

D. Hubungan Antara Wara’ dan Kesehatan Jiwa

Wara’ merupakan langkah pertama bagi seorang sufi, yang merupakan


langkah kecil bagi kekasih Tuhan, dan langkah besar bagi pemula. Berdasarkan
macam-macam tahapan wara’ yang telah dipaparkan di atas, maka menurut Ibn
Qayyim , tahap yang pertama (tahap meninggalkan kejelekan) memiliki 3 fungsi
yaitu: perlindungan diri, peningkatan kebaikan, dan pemeliharaan iman (Madarij
As-Salikin 2:24).

Secara psikolog ketiga fungsi ini memiliki hubungan dengan kesehatan.


Setiap kejelekan yang kita lakukan akan berbekas dalam hati. Ia akan menjadi
noktah hitam yang mengotori hati, menambah kejelekan, makin kotor hati;
sehingga apabila kejelekan itu dilakukan terus menerus, hati bukan saja kotor, tetapi
bahkan menjadi kotoran itu sendiri. Apa yang telah mereka kerjakan itu menjadi
karat bagi hati mereka (QS 83: 14).

Pada permulaan abad ini, Sigmund Freud menemukan hal yang menarik
dalam perkembangan manusia. Ia melihat anak-anak kecil bertindak secara
implusif. Mereka melakukan apa saja yang mereka inginkan, tanpa kendali. Mereka
hanya mengejar kesenangan. Mereka menjadi budak-budak nafsu.

Freud menciptakan tiga konsep. Pada tahap pertama, anak sepenuhnya


diatur oleh sumber hasrat, keinginan, dan nafsu. Pada tahap kedua, ia melihat
realitas di sekitarnya; perilakunya diatur oleh ego. Pada tahap ketiga, ia diatur oleh
hati nuraninya (Freud mnyebutnya superego). Setiap kali manusia menentang

8
Opcit., Rosihon Anwar, hal. 131.

12
super-egonya, setiap kali ia melakukan pelanggaran nilai-nilai etik atau moral
(dalam istilah sufi, setiap kali ia melakukan kejelekan atau dosa), ia akan
mengalvvami kegelisahan (kaum psikoanalisis meyebutnya moral anxiety). Konflik
dengan superego akan menimbulkan luka psikologis yang dalam. Mungkin luka ini
dibenamkan dalam bawah sadar kita. Perasaan berdosa (guility feeling)
menimbulkan gangguan fisik dan psikologis. Para psikolog menyebut kerusakan ini
sebagai anxiety disorder,yang mengalami gangguan sebagi berikut:

a. Seringkali terganggu dengan detak jantungnya.


b. Seringkali tiba-tiba ketakutan dengan tanpa alasan yang jelas.
c. Terus menerus cemas dan berputus asa.
d. Tidak dapat mengatasai kesulitan diri sendiri.
e. Terus menerus merasa tertekan.

Selain psikolognya yang terganggu, orang yang kurang menjaga dirinya dar
keharaman maka dia juga menderita gangguan fisik seperti kesulitan konsentrasi,
tidak bisa tidur, keringat dingin, dan lain-lain. Jika hal ini terjadi terus menerus
maka dapat mempercepat kehancuran diri anda, karena memiliki perasaan bersalah
yang sangat tinggi.

Inilah fungsi pertama menjauhi kejelekan (tahap pertama wara’):


pemeliharaan diri (tajannub al-qobaihli shawn al-nafs). Disamping pemeliharaan
diri, upaya menjauhi kejelekan akan membantu peningkatan kebaikan. Dosa atau
kesalahan dapat menghapuskan kebaikan.sebagaimana firman Allah dalam Al-
Qur’an yang artinya,” janganlah berperilaku seperti perempuan yang mengurai
tenunnya setelah dipintal teguh.”(QS 16:92).9

9
Opcit,. Jalaludin Rakhmat, hal. 106.

13
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Secara harfiah al-wara’ artinya saleh, menjauhkan diri dari perbuatan dosa.
Kata ini selanjutnya mengandung arti menjauhi hal-hal yang tidak baik. Dan dalam
pengertian sufi wara’ adalah meninggalkan segala yang didalamnya terdapat
keraguan-kerguan antara halal dan haram (syubhat). Kaum sufi menyadari benar
bahwa setiap makanan, minuman, pakaian dan sebagainya yang haram dapat
memberi pengaruh bagi orang yang memakan, meminum atau memakan-nya.
Orang yang demikian akan keras hatinya, sulit mendapatkan hidayah dan ilham dari
Tuhan. Hal ini dapat dipahami melalui hadis Nabi yang menyatakan bahwa setiap
makanan yang haram dimakan oleh manusia akan menyebabkan noda hitam pada
hati yang lama-kelamaan akan menjadi keras. Hal ini sangat ditakuti oleh para sufi
yang senantiasa mengharapkan nur ilahi yang dipancarkan lewat hatinya yang
sedih.

Selanjutnya, menurut Imam As-Saraj, ahli wara’ diklasifikasikan menjadi


tiga tingkatan:

1. Golongan yang memiliki sifat wara’ dalam menjauhi perkara syubhat.


2. Wara’nya Arbab Al-Qulub (golongan yang memiliki hati yang bersih) dan
Mutahaqiqin (golongan yang memiliki keyakinan yang kuat),
3. Wara’nya ‘Arrifin (ahli makrifat) dan Wajiddin (golongan yang mencintai dan
merasakan menemukan Allah).

Menurut Ibn Qayyim , tahap yang pertama (tahap meninggalkan kejelekan)


meiliki 3 fungsi yaitu: perlindungan diri, peningkatan kebaikan, dan pemeliharaan
iman (Madarij As-Salikin 2:24). Secara psikolog ketiga fungsi ini memiliki
hubungan dengan kesehatan.

14
DAFTAR PUSTAKA

Alba, Cecep. 2012. Tasawuf dan Tarekat. Suryalaya: Rosda Karya.

Anwar, Rosyid dan M. Sholihin. 2005. Akhlaq Tasawuf, Manusia, Etika, dan
Makna Hidup. Bandung : Nuansa.

Anwar, Rosikhon.1999. Sentuhan-Sentuhan Sufistik, Penuntun Jalan Akhirat.


Bandung : Pustaka Setia.

Rakhmat Jalaludin. 1995. Renungan-Renungan Sufistik. Bandung: Mizan.

Siroj, Said Aqil. 2011. Jejak Sufi, Bangun Moral Berbasis Spiritual. Jakarta:
Lirboyo Press.

15
LAMPIRAN

16

Anda mungkin juga menyukai