Anda di halaman 1dari 8

Pemikiran Tasawuf Abdul Qadir Al-Jailani dan Tarekat Qadiriyah

Oleh Dewi Puspa Rani (22101020033)

A. Pendahuluan

Seiring berkembangnya kemajuan zaman, tak sedikit dari kita mengagungkan nilai-
nilai yang bersifat materi dan lalai terhadap unsur-unsur spiritualitas. Hal ini tentu saja
berdampak pada kegersangan jiwa bahkan mematikan hati. Sebagaimana analisis yang
dilakukan oleh Ahmad Mubarok tentang gangguan-gangguan kejiwaan yang dialami oleh
manusia modern, diantaranya; 1) kecemasan karena hilangnya orientasi hidup (the meaning
of life), 2) kesepian karena hubungan/relasi interpersonal yang dibangun jauh dari ketulusan,
3) kebosanan hidup dalam kepalsuan dan kepura-puraan, 4) perilaku menyimpang, 5)
psikosomatik atau timbulnya gangguan fisik disebabkan oleh faktor kejiwaan dan sosial
(Ahmad Mubarok, 2000, hal.1).

‘Abd al-Qadir al-Jilani hidup di masa dunia Islam berada dalam kekacauan dan
peperangan. Perebutan kekuasaan berkecamuk di Bani Saljuk setelah Sultan Maliksyah
meninggal pada tahun 485/1091. Ia menggambarkan betapa tidak stabilnya kondisi negara
waktu itu. Sehingga, pada setiap kesempatan ia menekankan bahwa faktor utama kekacauan
dan ketidakstabilan adalah pemujaan yang sangat berlebihan pada materi.

Tarekat Qadiriyah diambil dari nama pendirinya yaitu ‘Abd al-Qadir Jilani yang lahir
di desa Naif kota Gilan Baghdad tahun 470/1077. Ibunya bernama Fathimah binti ‘Abdullah
al-Shama’i al-Husayni, ia melahirkan Syaikh ‘Abd al-Qadir al-Jilani saat berumur 60 tahun.
Ayahnya bernama Abu Shalih, yang pernah bermimpi bertemu dengan Rasulullah diiringi
para sahabat, dan imam mujahidin. Dalam mimpinya Rasulullah berkata. “wahai Abu Shalih,
Allah akan memberi anak laki-laki, anak itu kelak akan mendapat pangkat yang tinggi dalam
kewalian sebagaimana halnya aku mendapat pangkat tertinggi dalam kenabian dan
kerasulan.”1 Tarekat ini menempati posisi yang sangat penting karena menjadi pelopor
munculnya berbagai cabang tarekat di dunia Islam.

Berdasarkan uraian di atas, terdapat empat rumusan masalah yang akan dibahas
sebagai berikut.

1. Bagaimana pandangan Syaikh ‘Abd al-Qadir mengenai manusia?

1
M. Hilman Anshary, Resonansi Spiritual Wali Quthub Syekh Abdul Qadir al-Jailani (Jakarta: Kalam
Mulia, 2004), hlm. 3.
2. Bagaimana pemikiran tasawuf Syaikh ‘Abd al-Qadir?
3. Bagaimana ajaran tarekat Qadiriyah?
4. Bagaimana sistem ritual tarekat Qadiriyah?

B. Pembahasan

1. Pandangan Syaikh ‘Abd al-Qadir al-Jilani mengenai manusia


Menurut Syaikh ‘Abd al-Qadir al-Jilani manusia sempurna adalah mereka
yang mampu menyeimbangkan antara kehidupan materi dan kehidupan spiritual, yang
satu sama lainnya diberi porsi yang adil dan saling menjaga. Namun, sebagai reaksi
atas materialisme yang sudah merata, maka ia menekankan bahwa nilai-nilai agama
harus ditanamkan. Ia menganjurkan umat manusia agar meninggalkan dunia,
membunuh keinginan dan semua jenis ambisi.2
Berdasarkan pandangannya, ia membagi manusia menjadi empat kategori.
Kategori pertama adalah orang-orang yang tidak punya hati dan lidah, yaitu mereka
yang tidak peduli tentang kebenaran dan keutamaan, hanya tunduk pada indra fisik.
Kategori kedua adalah mereka yang punya lidah, tetapi tidak punya hati. Kelompok
ini adalah orang yang terpelajar dan memiliki retorika yang bagus, selalu
menganjurkan umat untuk berbuat baik dan benar. Namun, mereka sendiri tidak
berbuat sesuai dengan perkataan mereka, bahkan kebalikannya. Merekalah orang
yang pembicaraannya sangat menarik, tetapi hatinya jelek. Kategori ketiga adalah
mereka yang punya hati tapi tidak punya lidah. Mereka adalah mukmin sejati yang
selalu sadar akan kekurangan dan kelemahan, mereka selalu berusaha mensucikan diri
dari hal-hal kotor. Bagi mereka diam lebih baik dibanding berbicara yang
membingungkan umat. Kategori keempat adalah mereka yang memiliki keduanya,
hati dan juga lidah. Mereka orang yang mendapatkan pengetahuan sejati, dilengkapi
dengan bimbingan dari Allah Swt. mereka menjadi penyambung kenabian dan
menduduki posisi yang tertinggi setelah para nabi.
Untuk mencapai kategori manusia tertinggi menurut ‘Abd al-Qadir al-Jilani
harus mengalami empat tahap perkembangan spiritual. Tahap pertama yaitu orang
yang meyakini Tuhan dengan totalitas dan menjalankan ajaran agama dengan baik,
tanpa pertolongan siapa pun. Tahap kedua yaitu seseorang yang sudah mendekati
kesucian hati, yaitu orang yang berusaha untuk memenuhi kebutuhan dasarnya tetapi

2
Sri Mulyati, dkk. Mengenal dan Memahami Tarekat-tarekat Muktabarah di Indonesia, (Jakarta:
Kencana, 2005), hlm. 28.
menahan diri dari kehidupan yang hedonistik dan orang mengikuti kata hatinya yang
selalu melintas dalam dirinya. Tahap ketiga adalah tawakal, yakni orang yang
berserah diri secara total kepada Tuhan. Tahap terakhir adalah fana atau keadaan
seseorang yang sangat dekat dengan Tuhan dan bahkan menyatu dengan-Nya.3
Menurut Syaikh ‘Abd al-Qadir, baik dan buruk adalah pasangan dari buah
pohon. Keduanya adalah ciptaan Tuhan, tetapi kita menganggap semua keburukan
datang dari diri kita. Dia menegaskan bahwa maqam spiritual seseorang sangat
tergantung pada penderitaan yang dialaminya, semakin berat penderitaan yang
dialami seseorang semakin tinggi juga maqam spiritual yang diperolehnya. Ia
mengutip hadis Nabi yang berbunyi, “kami para Nabi diuji dengan berbagai cobaan
dan disesuaikan dengan maqam masing-masing.”4
2. Pemikiran Tasawuf Abdul Qadir Al-Jailani
Tasawuf merupakan salah satu bidang studi Islam yang memusatkan perhatian
pada pembersihan aspek rohani manusia yang selanjutnya dapat menimbulkan akhlak
mulia.5 Dalam salah satu karyanya, Syaikh ‘Abd al-Qadir al-Jilani menuliskan
pengertian tasawuf sesuai dengan huruf-hurufnya. 6 Huruf ta’ diartikan sebagai taubat
yang berarti penyucian hati dari beberapa sifat tercela dengan rasa penyesalan yang
sungguh-sungguh dan mendalam disertai permohonan ampun serta meninggalkan
segala perbuatan yang menimbulkan dosa.7
Huruf shad berasal dari kata shafa’ bermakna kesucian, kebeningan atau
kejernihan, menunjukkan keterbatasan diri dari kotoran, bahkan kata sufi juga berasal
dari kata shafa’. Huruf waw berasal dari wilayah, berarti kebeningan dan kesucian
jiwa. Hal ini bisa disesuaikan dengan kebersihan lahir batin seorang hamba. Puncak
dari hamba yang mendapatkannya adalah akan muncul rasa patuh terhadap Allah
dengan akhlak yang terpuji, baik kepada Allah maupun sesama manusia, sehingga
terjadi kesesuaian antara intuisi dari tuhan terhadap penerapan akhlak sehari-hari. 8
Didukung oleh sebuah hadis qudsi yang cukup populer dimana ketika semakin tinggi
tingkat kecintaan hamba kepada tuhan-Nya, maka semakin tinggi pula kedekatan dan
pertautan antara dia dengan Allah dalam dimensi lahir dan batin dalam pendengaran,

3
Ibid.
4
Ibid., hlm 351.
5
Abudin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001), hlm. 235.
6
Al-Jailani, Sirr Al-Asrar Wa Madhhar Al-Anwar, 76.
7
Ibid., hlm. 77.
8
Ibid., hlm. 78.
9
penglihatan, dan semua gerak tubuhnya. Huruf yang terakhir fa’ menurut Syaikh
‘Abd al-Qadir al-Jilani berasal dari kata fana’ yang berarti sirna atau rusak. Dengan
sifat ini berarti akan menghapus segala sifat kefanaan manusia sekaligus menyatakan
keabadian sifat tuhan yang memberikan keridhoan-Nya kepada hamba yang
mendapatkan rahmat kasih sayang.10
Konsep tasawuf amali syaikh ‘Abd al-Qadir al-Jilani dalam kitab al-Ghunyah
Li Yhalib Thariq al-Haq11 dijelaskan sebagai berikut: (1) Mujahadah, diriwayatkan
dari Abu Said al-Khudri, ketika Nabi Muhammad ditanya tentang jihad yang paling
utama, beliau bersabda: “yaitu mengucapkan kebenaran dihadapan pemimpin yang
dzalim” (2) Tawakkal, “Abu Turab an-Nakhsyabi berkata, Tawakkal menyibukkan
diri dengan ibadah, menggantungkan hati kepada Allah, dan ridha terhadap sekalian
takdir-Nya. Jika Allah memberinya, ia bersyukur. Jika tidak, ia bersabar.” (3) Akhlak
yang baik, “Abdullah bin Amru ra. berkata, “Nabi Muhammad bukan seorang yang
keji dan tidak bersikap keji.” Beliau bersabda, “sesungguhnya yang terbaik di antara
kamu adalah yang paling baik akhlaknya.” (HR. al-Bukhari).” (4) syukur, Allah
berfirman dalam QS. Ibrahim ayat 7. “Sesungguhnya jika kalian bersyukur, pasti kami
akan menambah [nikmat] kepada kalian.
3. Ajaran Tarekat Qadiriyah
Pada dasarnya tidak ada perbedaan yang signifikan antara ajaran Syaikh ‘Abd
al-Qadir al-Jilani dengan ajaran pokok Islam, terutama golongan Ahlussunnah wal
Jama’ah. Syaikh ‘Abd al-Qadir al-Jilani sangat menghargai para pendiri madzhab
fikih yang empat dan teologi Asy’ariyah. Maka dari itu, ia lebih menekankan pada
tauhid dan akhlak yang terpuji. Menurut al-Sya’rani, bentuk dan karakter tarekat
Syaikh ‘Abd al-Qadir al-Jilani adalah tauhid, sedang pelaksanaannya tetap menempuh
jalur syariat lahir dan batin. Syaikh ‘Abd al-Qadir al-Jilani pernah berkata kepada
sahabatnya, “kalian jangan berbuat bid’ah. Taatlah kalian, jangan menyimpang.”
Ucapannya yang lain “jika padamu berlaku sesuatu yang telah menyimpang dari
batas-batas syariat, ketahuilah bahwa kalian dilanda fitnah, syetan telah
mempermainkanmu, maka kembalilah kepada hukum syariat dan berpeganglah,

9
Abdul Qadir Al-Jailani, Futuhul Ghoib (Kairo: Maktabah wa Mathba’ah al-Mishriyyah, 1973), 15.
10
Al-Jailani, Sirr Al-Asrar Wa Madhhar Al-Anwar, hlm, 79.
11
Al-Jailani, Al-Ghunyah Li Thalib Thariq Al-Haqq, 306-35.
tinggalkan hawa nafsu, karena segala sesuatu yang tidak sibenarkan syariat adalah
batil.12
Ajaran Syaikh ‘Abd al-Qadir selalu menekankan pada pensucian diri dari
nafsu dunia. Karena itu, dia memberikan beberapa petunjuk untuk mencapai kesucian
diri yang tertinggi. Adapun beberapa ajaran tersebut adalah taubat, zuhud, tawakal,
syukur, ridha, dan jujur.
a. Taubat
Menurut Syaikh ‘Abd al-Qadir al-Jilani taubat bagaikan air yang
menghilangkan najis, begitu pula dengan taubat yang menghilangkan dosa dan
kotoran maksiat. Ia membagi taubat menjadi dua macam yaitu, :
1. Taubat yang berkaitan dengan hak sesama manusia. Taubat ini tidak akan
terealisasi kecuali dengan menghindari kezaliman, memberikan hak kepada yang
berhak, dan mengembalikan kepada pemiliknya.
2. Taubat yang berkaitan dengan hak Allah. Taubat ini dilakukan dengan cara selalu
mengucapkan istighfar dengan lisan, menyesal dalam hati, dan bertekad untuk tidak
mengulanginya lagi di masa mendatang.13
b. Zuhud
Menurut Syaikh ‘Abd al-Qadir al-Jilani zuhud terbagi menjadi dua, yaitu:
zuhud hakiki (mengeluarkan dunia dari hatinya) dan mutazahid shuwari/zuhud lahir
(mengeluarkan dunia dari hadapannya).
c. Tawakal
Syaikh ‘Abd al-Qadir al-Jilani menekankan pentingnya tawakal dengan
mengutip maksud sebuah sabda Nabi, “bila seseorang menyerahkan dirinya secara
penuh kepada Allah, maka Allah akan mengaruniakan apa saja yang dimintanya.
Begitu juga sebaliknya, bila dengan bulat ia menyerahkab dirinya kepada dunia, maka
Allah akan membiarkan dirinya dikuasai oleh dunia.” Semakin banyak orang yang
mengejar dunia, maka semakin lupa dia akan akhirat, sebagaimana dinyatakan dalam
sabda Nabi, “apabila ingatan manusia telah condong kepada dunia, maka ingatannya
kepada akhirat akan berkurang.”14
d. Syukur

12
Muhammad Aqil bin Ali al-Mahdali, Dirasah fi al-Thuruq al-Shufiyah, (Kairo:Dar al-Hadis), terj. Futuhal
Arifin, S.Ag., Mengenal Tarekat Sufi Bagi Pemula, (Jakarta: Azan, 2002), cet. I, h. 201.
13
Sri Mulyati, dkk. Mengenal dan Memahami Tarekat-tarekat Muktabarah di Indonesia, (Jakarta:
Kencana, 2005), hlm. 39.
14
Syaikh ‘Abd al-Qadir, Rahasia, hlm. 267.
Syaikh ‘Abd al-Qadir al-Jilani membagi syukur menjadi tiga macam, pertama
syukur dengan lisan, yaitu dengan mengakui adanya nikmat dan merasa tenang.
Kedua syukur dengan badan dan anggota badan, yaitu dengan cara melaksanakan
ibadah sesuai perintah Allah. Ketiga syukur dengan hati, yaitu beritikaf/berdiam diri
di atas tikar Allah dengan dengan senantiasa menjaga hak Allah yang wajib
dikerjakan. Dalam hal ini, si penerima nikmat mengakui dari dalam hatinya bahwa
semua nikmat itu berasal dari Allah Swt.15
e. Sabar
Syaikh ‘Abd al-Qadir al-Jilani membagi sabar menjadi tiga macam, yaitu:
1. Bersabar kepada Allah dengan melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi
larangan-Nya.
2. Bersabar bersama Allah, yaitu bersabar terhadap ketetapan Allah dan
perbuatan-Nya terhadapmu dari berbagai macam kesulitan dan musibah.
3. Bersabar atas Allah, yaitu bersabar terhadap rezeki, jalan keluar, kecukupan,
pertolongan, dan pahala yang dijanjikan Allah di kampung akhirat.16
f. Ridha
Syaikh ‘Abd al-Qadir al-Jilani mengutip dari al-Qur’an surah at-Taubah ayat
21 tentang perlunya sikap ridha. “Tuhan mereka menggembirakan mereka dengan
memberikan rahmat dari-Nya, keridhaan dan surge. Mereka memperoleh di dalamnya
kesenangan yang kekal” dan sabda Rasulullah “yang akan merasakan manisnya iman
adalah orang yang ridha Allah menjadi Tuhannya, Islam menjadi agamanya, dan
Muhammad menjadi Rasulnya.”17
g. Jujur
Menurut Syaikh ‘Abd al-Qadir al-Jilani jujur adalah mengatakan yang benar
dalam kondisi apa pun, baik menguntungkan maupun tidak menguntungkan. Ia
membedakan antara al-shadiq (orang jujur) dengan al-shiddiq (orang yang sangat
jujur). Al-shadiq adalah isim lazim dari kata al-shidq, sedangkan al-shiddiq untuk
menunjukkan kejujuran yang sangat tinggi, sehingga kejujuran merupakan jalan
kehidupan baginya.
3. Praktek Ajaran Tarekat Qadiriyah

15
Sri Mulyati, dkk. Mengenal dan Memahami Tarekat-tarekat Muktabarah di Indonesia, (Jakarta:
Kencana, 2005), hlm. 41.
16
Sayyid ibn Musfir, Buku Putih, hlm. 506.
17
Ibid, hlm. 508.
Praktik spiritual yang diamalkan oleh Tarekat Qadiriyah adalah zikir
(melantunkan asma Allah berulang-ulang). Dalam pelaksanaannya terdapat berbagai
tingkatan, mulai dari satu sampai empat. Zikir yang diamalkan oleh Tarekat Qadiriyah
dibaca dengan lantang atau keras yang disebut juga zikir nafi isbat, nafi berarti
penolakan atau menolak, sedangkan isbat artinya penetapan atau memastikan. Zikir
dengan satu gerakan dilakukan dengan mengulang-ulang asma Allah melalui tarikan
napas panjang yang kuat, seakan dihela dari tempat yang tinggi, diikuti penekanan
dari jantung dan tenggorokan, kemudian dihentikan sehingga nafas kembali normal.
Hal ini harus diulang secara konsisten untuk waktu yang lama.18
Zikir dengan dua gerakan dilaksanakan dengan duduk dalam posisi shalat,
kemudian melantunkan asma Allah di dada sebelah kanan, lalu di jantung, dan
kesemuanya, dilakukan berulang-ulang dengan intensitas tinggi. Zikir dengan tiga
gerakan dilakukan dengan duduk bersila dan mengulang pembacaan asma’ Allah
berulang-ulang di dada sebelah kanan, kemudian di sebelah kiri, dan akhirnya di
jantung. Zikir empat gerakan dilakukan dengan duduk bersila, mengucapkan asma’
Allah berulang-ulang di dada sebelah kanan, kemudian di sebelah kiri, lalu ditarik kea
rah jantung, dan terakhir dibaca di depan dada.
Praktik zikir ini dapat dilakukan secara bersama-sama, dibaca dengan suara
keras atau perlahan, sambil duduk membentuk lingkaran setelah shalat di waktu subuh
atau malam hari. Jika seorang pengikut sanggup melantunkan asma’ Allah empat ribu
kali setiap harinya, tanpa putus selama dua bulan, dapat diharapkan bahwa dirinya
telah memiliki kualifikasi untuk meraup pengamalan spiritual tertentu.19
C. Kesimpulan
Tarekat Qadiriyah diambil dari nama pendirinya Syaikh ‘Abd al-Qadir al-Jilani.
Dalam ajarannya tidak ada perbedaan yang signifikan dengan ajaran pokok Islam, hanya saja
ia lebih menekankan pada proses pensucian diri dan nafsu dunia. Ia memberikan beberapa
petunjuk untuk mencapai kesucian diri yang tertinggi dengan taubat, zuhud, tawakal, syukur,
ridha, dan jujur.
Pada prakteknya, tarekat ini melakukan zikir yang bisa dilakukan sendiri atau secara
bersama-sama. Dalam pelaksanaannya terdapat berbagai tingkatan penekanan dan intensitas,

18
Seyyed Hossein, Ensiklopedi, hlm. 32.
19
Sri Mulyati, dkk. Mengenal dan Memahami Tarekat-tarekat Muktabarah di Indonesia, (Jakarta:
Kencana, 2005), hlm. 44.
yaitu zikir dengan satu, dua, tiga, dan empat gerakan. Semakin bertambah gerakan zikir
tersebut, maka semakin tinggi pula intensitas dan pengulangan zikir tersebut.

Daftar Pustaka
Al-Jailani, Abdul Qadir. Futuhul Ghoib. Kairo: Maktabah wa Mathba’ah al-Mishriyah, 1973.
Al-Jailani, Abdul Qadir. Al-Ghunyah Li Thalib Thariq Al-Haqq.II. Beirut: Dar al-Ihya at-
Turats al-‘Arab, 1996.
Anshary, M. Hilman. 2004. Resonansi Spiritual Wali Quthub Syaikh Abdul Qadir al-Jailani
(Baghdad-Iraq). Jakarta: Kalam Mulia.
Jilani al-Syekh Abdul Qadir. 2003. Rahasia Sufi, terj. Yogyakarta: Pustaka Sufi.
Mahdali al-, Muhammad Aqil bin Ali. 2002. Mengenal Tarekat Sufi Bagi Pemula, terj.
Jakarta: Azan.
Mubarok, Ahmad. 2000. Jiwa dalam al-Qur’an. Jakarta: Paramadina.
Mulyati, Sri, dkk. 2005. Mengenal dan Memahami Tarekat-tarekat Muktabarah di Indonesia.
Jakarta: Kencana.
Qahtani al-, Said bin Musfir. 2003. Buku Putih Syaikh ‘Abd al-Qadir Jilani. Jakarta: CV.
Darul Falah.
Sayyid Husein Nasr. 1991. Tasawuf Dulu dan Sekarang, terj. oleh Abd Hadi W.M. Jakarta:
Pustaka Firdaus.

Anda mungkin juga menyukai