Anda di halaman 1dari 18

Mata Kuliah Dosen Pengampu

Akhlak Tasawuf Dr. Rabiatul Adawiyah, S.Ag, M.Ag

MAKALAH
“TAWAKAL DAN DOA”

KELOMPOK 5
Muhammad Hafidz Nugraha 210102040136
Muhammad Ramadhan Anwari 210102040015
Eva Shofia Fitriati 210102040161
Fatma Yunita Sari 210102040231

PRODI HUKUM EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ANTASARI
BANJARMASIN
2022
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Tawakal adalah salah satu sifat yang harus dimiliki bagi setiap orang muslim.
Tawakal merupakan akhlak iman yang agung. Menurut Muhammad bin Hasan
asy-Syarif, tawakal adalah orang yang mengetahui bahwa hanya Allah
penanggung rizkinya dan urusannya. Oleh karena itu ia bersandar kepada Nya
semata-mata dan tidak bertawakal kepada selain-Nya. Menurut imam al-Ghazali
tawakal adalah pengendalian hati kepada Tuhan Yang Maha Pelindung karena
segala sesuatu tidak keluar dari ilmu dan kekuasaan-Nya, sedangkan selain Allah
tidak dapat membahayakan dan tidak dapat memberikan manfaat.1

Menurut pandangan Islam, tawakal adalah tumpuan terakhir setelah


melakukan ikhtiar/usaha yang sungguh-sungguh secara maksimal, kemudian
menyerahkan segalanya dan yakin hanya kepada Allah Swt. yang mampu
menyelesaikan segala urusan, setelah manusia tidak mampu lagi
menyelesaikannya.

Di dalam kehidupan dunia ini, tidak terlepas dari yang namanya masalah dan
tidak semua yang kita inginkan dapat kita capai, tidak semua mimpi dapat kita
wujudkan, kadang ada kendala dan hambatan yang kita jumpai, walaupun sudah
mengerahkan segala kekuatan dan kemampuan untuk menghadapinya. Terkadang
cara pandang manusia untuk menghadapi suatu permasalahan berbeda-beda.
Manusia sudah mempunyai kebutuhan untuk meminta tolong kepada sesuatu yang
lebih berkuasa dari dirinya, terutama ketika dirinya merasa lemah dan kalah
terhadap sesuatu yang lebih kuat dan berkuasa.

Salah satu kekuatan yang dapat memberikan manfaat kepada manusia untuk
mengatasi problematika yang dihadapi yaitu, “Doa”. Karena doa dalam agama
diposisikan sebagai bagian dari sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Manusia dapat mengadukan segala keluh kesah ataupun kebahagiaannya melalui
1
Abu Hamid Muhammad al-Ghazali, Muhtashar Ihya Ulum al-Din, (Jakarta: Pustaka Amani,
1995), 290
doa, karena doa suatu fitrah manusia yang tidak dapat kita pungkiri. Sebagaimana
makhluk Tuhan, manusia bebas berdoa apa pun dan kapan pun. Akan tetapi,
kebebasan manusia dalam berdoa kepada Allah inilah yang membuat manusia
lupa apa fungsi doa itu sebenarnya.2

Rumusan masalah yang akan dibahas kali ini adalah terkait dengan penjelasan
tentang TAWAKAL DAN DOA.

2
Tengku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Pedoman Dzikir dan Do’a (Jakarta: Bulan Bintang,
1993), 93.
BAB II
PEMBAHASAN
A. KONSEP TAWAKAL

Perkataan "tawakal" adalah berasal dari kata "wakalah" yang dapat diartikan
dengan "mewakilkan dan menyerahkan urusannya kepada orang lain". Namun
yang dimaksudkan dengan tawakal menu rut orang shufi, seperti yang dikatakan
oleh Abu Zakariya Anshari ialah "merupakan keteguhan hati dalam menyerahkan
urusannya kepada orang lain, dan keyakinan yang demikian itu terjadi sesudah
timbul rasa percaya kepada orang yang diserahi urusan tadi, bahwa ia betul-betul
mempunyai sifat kasih sayang terhadap yang memberikan perwakilan, dan ia
dapat membimbing terhadap orang yang memberi kan perwakilan".3

Imam Gazali mengatakan tentang tawakal, "Hakekat tawakal ialah


merupakan keadaan jiwa yang lahir dari tauhid dan lahir penga ruh tauhid ini
dalam perbuatannya".

Tawakal adalah merupakan suatu sikap mental orang shufi yang merupakan
hasil dari keyakinannya yang bulat kepada Allah. Karena di dalam tauhid ia
diajarkan agar meyakini bahwa Allah ada dengan sendirinya, Allah yang
menciptakan segala-galanya, pengetahuan-Nya maha luas, kekuasaan dan
kebijaksanaan-Nya maha luas. Karena keyakinan inilah yang mendorong ia
menyerahkan urusannya kepada Allah, hatinya tenang dan tenteram dan tidak
timbul rasa curiga.

Sikap tawakal memang timbulnya tidak dengan sekaligus, tetapi secara


bertahap dan berangsur-angsur, sesuai dengan perkembangan ilmu dan iman
seseorang. Karena itu, Abu Ali Daqaq mengatakan, "Tawakal itu terdiri dari tiga
tingkatan:

1) Tawakal ialah hati selalu merasa tenteram terhadap apa yang telah
dijanjikan Allah. Dan tawakal yang seperti ini merupakan maqam
bidayah, sifat bagi orang yang mukmin yang awam. Imam Gazali

3
H. M. Asjwadie Sjukur, Lc., Ilmu Tasawwuf II, (PT. Bina Ilmu, Surabaya), 1980, 83
memberikan contoh tawakal ini sebagai tawakalnya seseo rang kepada
wakil, karena ia telah meyakini bahwa wakilnya me rasa belas kasihan
kepadanya dan wakilnya memang dapat mem bimbing dan mengurus
urusannya. Karena keyakinan inilah yang menyebabkan ia menyerahkan
urusannya kepada wakil tadi.
2) Taslim ialah merasa cukup menyerahk in urusan kepada Allah karena
Allah telah mengetahui tentang keadaan dirinya. Sikap yang seperti ini
adalah merupakan maqam mutawasith, yang men jadi sifat orang yang
khawas, mereka itu adalah para awlia Allah. Abu Ya'kub Nahjuri
berkata, "Tawakal yang seperti ini menunjukkan kesempurnaan mental
seseorang, seperti yang pernah terjadi pada diri Nabi Ibrahim di kala
beliau sudah diikat dan siap dilemparkan ke dalam api yang sudah
dinyalakan di hadapannya. Pada saat itu Jibril berkata: Wahai Ibrahim,
apa yang akan kulakukan untukmu?" Ibrahim menjawab, "Adapun
kepadamu aku tidak mengharap apa-apa, namun aku hanya menyerahkan
urusanku kepada Tuhanku."4
3) Tafwidh ialah orang yang telah redha atau merasa lapang menerima
ketentuan Allah. Sikap yang seperti ini adalah sikap orang yang sudah
sampai ke maqam nihayah, orang muwahidin dan khawasul khawas,
seperti Nabi Muhammad saw. Tawakal yang seperti ini laksana mayit
yang berada di hadapan orang yang memandikannya, ia menyerah bulat
tidak berkehendak apa-apa. Orang pernah bertanya kepada Abu Yazid,
apa yang dimaksudkan dengan tawakal? Beliau menjawab: "Apa yang
kau katakan tentang tawakal?" Orang itu menjawab, "Menurut kawan-
kawan kami kalau seandainya ada binatang buas dan ular di kiri dan
kanannya, tidak akan menggerakkan hatinya." Abu Yazid menjawab:
"Ya, ini sudah, mendekat kepada pengertian tawakal. Tetapi kalau
penduduk surga di dalam surga bersenang-senang dengan keindahan
surga dan penduduk neraka di dalam neraka menerima azab dan siksa
yang pedih, apabila yang demikian itu terjadi pada dirimu, apakah kau

4
H. M. Asjwadie Sjukur, Lc., Ilmu Tasawwuf II, (PT. Bina Ilmu, Surabaya), 1980
dapat membedakan antara kedua itu? Apabila kau membedakan
keduanya maka keluarlah kau dari orang yang tawakal".

Sahl bin Abdullah Tusturi berkata, "Permulaan maqam tawakal manusia


kepada Tuhannya, laksana mayit yang berada di hadapan orang yang
memandikannya, ia menerima apa yang diinginkan oleh yang memandikannya, ia
tidak bergerak dan tidak pula berusaha menolak". Karena itu Hamdun
mengatakan, "Tawakal ialah menyerah bulat kepada Allah".

Sahl bin Abdullah Tusturi berkata, "Tanda-tanda orang yang bertawakal ada
tiga: tidak pernah meminta, tidak pernah menolak dan tidak pernah menyimpan
untuk hari lainnya".

Imam Al Qusyairi berkata, "Ketahuilah, tawakal letaknya di dalam hati,


perbuatan anggota tidaklah bertentangan dengan tawakal hati, namun sesudah
tertanam suatu keyakinan yang kokoh kuat bahwa takdir itu adalah di tangan
Allah, maka kalau ia menghadap kesulitan ia berkeyakinan bahwa itu adalah
takdir Allah, dan apabila terjadi hal yang menggembirakan itu pun juga dengan
kurnia yang telah diberikan Allah".5

Tawakal adalah keadaan dan tingkah yang agung. Sikap tawakal meliputi
aspek lahir dan batin. Lahirnya taat kepada Allah Swt dan batinnya tidak
menentang-Nya. Islam berarti ketundukan seluruh anggota tubuh, sedangkan
sikap tawakal adalah ketundukan hati. Perumpamaannya Islam adalah seperti rupa
atau bentuk, sedangkan sikap tawakal adalah ruhnya. Islam adalah aspek lahir,
sedangkan sikap tawakal adalah aspek batinnya. Seorang muslim adalah yang
menyerahkan dirinya kepada Allah Swt. Lahirnya melaksanakan perintah-Nya dan
batinnya berserah diri pada ketentuan-Nya.6

Maqam tawakal dapat dicapai apabila seorang hamba tidak lagi menentang
seluruh ketetapan Allah Swt dan berserah diri pada ketentuan-Nya. Siapa saja

5
H. M. Asjwadie Sjukur, Lc., Ilmu Tasawwuf II, (PT. Bina Ilmu, Surabaya), 1980
6
Zulfian, Happy Saputra, Mengenal Konsep Tawakal Ibnu ‘Athaillah Al-Sakandari, (Vol.1 No.1,
Januari-Juni 2021), hal. 79, diakses pada 25 Oktober 2022
yang telah mengikrarkan dirinya sebagai seorang muslim, ia diharuskan untuk
berserah diri. Orang yang bertawakal akan beriman dan senantiasa melaksanakan
kewajibannya sebagai hamba. Sebab, ketika seorang hamba bertawakal dirinya
akan mematuhi ketetapan dan menyerahkan semuanya kepada Allah, ketika itulah
seorang hamba merasakan nikmatnya hidup dan lezatnya kepasrahan.

Iman yang sejati hanya bisa dicapai oleh orang yang sepenuhnya berhukum
kepada Allah dan Rasul, baik dalam ucapan maupun perbuatan, dalam mengambil
maupun meninggalkan, serta dalam mencintai maupun membenci. Seorang
mukmin sepatutnya tunduk, termasuk dalam hukum taklif dan pengaturan. Hukum
taklif ialah berbagai perintah dan larangan yang berkaitan dengan usaha dan
perbuatan hamba. Sementara pengaturan adalah ketentuan dan keinginan Tuhan
yang tidak bisa dielakkan. Oleh karena itu, seorang hamba harus bertawakal
(berserah diri) menerima sepenuhnya pengaturan Allah Swt. Jelaslah bahwa
hakikat iman hanya bisa diperoleh melalui dua hal, yaitu melaksanakan perintah
Allah Swt dan menerima ketetapan-Nya.

Orang yang bertawakal senantiasa menyibukkan dirinya melaksanakan segala


yang diperintahkan oleh Allah sehingga tidak lagi merisaukan urusan rezeki,
karena Allah Swt telah menjamin semua kebutuhannya. Inilah makna ucapan Ibnu
‘Athaillah, “Ia menyibukkan diri melakukan segala yang diperintahkan, tanpa
memikirkan apa yang telah dijaminkan untuknya.” Berkat kesadaran dan
keyakinannya yang kuat, orang yang bertawakal layak mendapat pemeliharaan,
taufik dan cinta dari Allah.7

B. TAWAKAL DALAM URUSAN MENCARI REZEKI

Dalam bertawakal, seorang hamba wajib membenarkan keterangan tentang


kelangsungan pemberian rezeki, jaminan ketercukupan dan ketersediaan makanan
dari Allah Swt selama kurun waktu yang telah ditetapkan. Pemberian ini
diwujudkan dalam bentuk keyakinan dalam hati, dengan menepis keraguan dan
kesangsian, memurnikan keyakinan, serta meneguhkan dengan segenap
7
Zulfian, Happy Saputra, Mengenal Konsep Tawakal Ibnu ‘Athaillah Al-Sakandari, (Vol.1 No.1,
Januari-Juni 2021), hal. 79, diakses pada 25 Oktober 2022
pengetahuan, bahwa Allah lah yang menciptakan, menghidupkan, dan
memberikan rezeki kepada seluruh hamba-Nya.8

Sebenarnya ada dua hal yang sering membuat makhluk terhijab dari Allah
Swt, yaitu kerisauan terhadap rezeki dan kecemasan terhadap makhluk. Risau
terhadap urusan rezeki ialah hijab yang paling hebat, karena banyak yang mampu
melepaskan diri dari rasa cemas terhadap makhluk. Tapi sangat sedikit yang
mampu membebaskan diri dari kerisauan dalam urusan rezeki. Kerisauan
menghampiri ketika seorang hamba sangat butuh terhadap sesuatu yang dapat
menjaga kelangsungan hidupnya.

Menurut Ibnu ‘Athaillah, sebagaimana dijelaskan dalam al-Tanwir, bahwa


mencari rezeki, kadang dapat menyebabkan seseorang merasakan keadaan
jiwanya tidak lagi sama antara ketika pergi dan pulang ke rumah. Ketika keluar
dari rumah jiwanya serasa diliputi cahaya, kelapangan, serta tekad untuk taat dan
zuhud terhadap dunia. Namun, ketika kembali ke rumah, keadaan jiwanya tidak
lagi sama. Perubahan ini disebabkan oleh polusi pergaulan dan tenggelamnya hati
dalam kesibukan dunia. Pada saat kerja dan segala urusan selesai, selesai juga
keburukan yang memengaruhi jiwa. Setelah itu, seorang hamba bisa lagi berjalan
menuju Allah setelah sebelumnya terputus. Walaupun begitu, pengaruh itu
sebagaimana api.

Untuk itu, orang yang disibukkan dengan kerja duniawi membutuhkan dua
hal, yaitu ilmu dan ketakwaan. Ilmu yang dimaksud di sini ialah ilmu yang
menjelaskan tentang halal dan haram, sedangkan ketakwaan akan mencegahnya
dari berbuat dosa. Seorang hamba membutuhkan ilmu untuk mengetahui berbagai
hukum seputar muamalah, jual beli dan berbagai kewajiban lainnya, termasuk
beberapa etika dalam melakukan pekerjaan. Menurut Ibnu ‘Athaillah, di antara
etika yang perlu diperhatikan antara lain:

8
Zulfian, Happy Saputra, Mengenal Konsep Tawakal Ibnu ‘Athaillah Al-Sakandari, (Vol.1 No.1,
Januari-Juni 2021), hal. 79, diakses pada 25 Oktober 2022
1) Sebelum keluar rumah, hendankya berjanji kepada Allah Swt agar
memaafkan orang yang berbuat buruk kepadanya, karena pasar ialah
tempat tawar-menawar dan persaingan
2) Ketika akan keluar rumah, berwudhu’, mendirikan shalat dan memohon
keselamatan selama bekerja di luar rumah kepada Allah. Karena seorang
hamba tidak tahu apa yang akan terjadi kepadanya. Orang yang pergi ke
pasar sama seperti orang yang pergi ke tempat yang berbahaya. Oleh
karena itu, seorang mukmin harus membentengi dirinya dengan tawakal
kepada Allah Swt
3) Ketika hendak keluar rumah menitipkan keluarga, tempat tinggal dan
seluruh isinya kepada Allah. Sebab, Dialah yang paling layak
menjaganya. Apabila seorang hamba menitipkan semuanya kepada
Allah, niscaya ketika kembali pulang, apa yang dititipkannya akan tetap
dalam keadaan seperti yang diinginkan
4) Ketika keluar rumah, membaca do’a:
‫ اَل َح ْو َل َو اَل ُقَّو َة اَّل اِب ِهلل‬، ‫ِبْس ِم ِهللا َتَو ْلَّكُت َعىَل ِهللا‬
‫ِإ‬
“Dengan nama Allah, aku bertawakal kepada Allah. Tiada daya dan
kekuatan, kecuali dengan pertolongan Allah”9
5) Melakukan selalu amar ma’ruf nahi munkar sebagai perwujudan rasa
syukur atas nikmat ketakwaan dan kekuatan yang telah diberikan oleh
Allah Swt. Orang yang melakukan amar ma’ruf nahi munkar tanpa
mencelakakan diri, kehormatan atau hartanya, berarti termasuk golongan
yang diteguhkan di atas bumi. Oleh sebab itu, siapa saja diwajibkan
melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Namun, jika tindakan itu
mencelakakan dirinya, kewajiban itu gugur darinya.10
6) Berjalan dengan tenang dan tawadhu’. Namun tidak hanya saat pergi
bekerja, tetapi juga bersikap tawadhu’ dan tenang dalam setiap perbuatan
7) Mengingat Allah saat bekerja. Karena Nabi saw bersabda, “Orang yang
mengingat Allah di tengah-tengah orang lalai adalah seperti orang yang
9
Doa Keluar Rumah
10
Zulfian, Happy Saputra, Mengenal Konsep Tawakal Ibnu ‘Athaillah Al-Sakandari, (Vol.1 No.1,
Januari-Juni 2021), hal. 79, diakses pada 25 Oktober 2022
berperang di antara para pejuang. Orang yang berzikir di tengah pasar
adalah seperti orang hidup di antara orang mati.” Karena zikir itu bisa
dilakukan meskipun oleh orang sakit yang tidak bisa berdiri, ruku’ dan
sujud, oleh orang yang sudah tua, oleh pekerja yang sibuk dengan
tugasnya, ataupun oleh orang malas yang sedang berbaring di tempat
tidurnya. Sebagaimana firman Allah Swt:
‫َفاْذ ُكُر وا اَهّٰلل ِق َياًم ا َّو ُقُع ْو ًدا َّو َعىٰل ُج ُنْو ِبْمُك‬

“Ingatlah Allah ketika kamu berdiri, pada waktu duduk dan ketika
berbaring”11

8) Jangan sampai pekerjaan dan aktivitas lainnya melalaikan seorang hamba


dari shalat pada waktunya secara berjama’ah. Sebab, apabila seorang
hamba menghabiskannya karena sibuk bekerja, Allah akan murka
kepadanya dan keberkahan usahanya akan dicabut. Seorang hamba harus
malu jika Allah melihatnya sedang sibuk dengan kepentingna dirinya dan
mengabaikan-Nya. Akhlak yang baik kepada Allah adalah menjalankan
perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya serta menaati-Nya dalam setiap
saat dan keadaan. Akhlak yang baik adalah melakukan apa pun yang
membuat Allah senang dan ridha. Akhlak yang baik bersumber dari
keimanan, dan buah keimanan antara lain menunaikan hak Allah dan
menjauhi larangan-Nya. Barangsiapa melakukan semua itu, berarti dia
memiliki akhlak yang baik.
9) Jangan bersumpah dan menyanjung barang dagangannya
10) Menjaga lidah dari ghibah dan mengadu domba.

C. DOA
1. Pengertian Doa

11
Q.S An-Nisa (4) : 103
Kata prayer (doa)12 diartikan sebagai kegiatan yang menggunakan kata-
kata baik secara terbuka bersama-sama atau secara pribadi untuk mengajukan
tuntutan-tuntutan (petitions) kepada Tuhan.13 Ibnu Arabimemandang doa
sebagai bentuk komunikasi dengan Tuhan sebagai satuupaya untuk
membersihkan dan menghilangkan nilai-nilai kemusrikan dalam diri.14

Kata doa berasal dari bahasa Arab Da’a. Akar kata tersebut bisa
berkembang menjadi yad’u, da’au, daa’i, ud’u, dakwah, da’waa, di’ayah dan
sebagainya. Semuanya dapat diketemukan dalam ayat-ayat Al-Qur’an
lengkap dengan segala macam pengertiannya.15

Menurut Zakiyah Darajat yang dikutip oleh Dadang Ahmad fajar doa
merupakan suatu dorongan moral yang mampu melakukan kinerja terhadap
segala sesuatu yang berada diluar jangkauan teknologi. Doa merupakan suatu
bentuk penyadaran tingkat tinggi guna mencapai kesuksesan ruhani
seseorang. Di kalangan awam, doa muncul ketika mereka berada dalam
keadaan cemas akan menuju sebuah keadaan fana’ (kehancuran). Dalam hal
ini, doa merupakan wujud penyadaran atas diri yang tidak mempunyai daya
upaya dalam diri ini, selanjutnya akan terpancar keyakinan bahwa Yang
Maha Esa dan Maha Benar itu pasti ada.

Sebagian filsuf mengatakan bahwa doa merupakan buah dari pengalaman


spiritual ilmiah dan menjadi satu kajian yang berkaitan dengan otentisitas
wahyu dan Tuhan. Doa merupakan pemujaan universal, baik tanpa suara
maupun bersuara, yang dilakukan baik untuk kepentingan pribadi maupun
untuk kepentingan umum, baik secara spontan maupun dilakukan secara
rutin.

12
Dalam literatur keislaman berbahasa inggris, kata prayer kadang-kadang diartikan sebagai doa
atau shalat, secara bersama-sama atau sendirian
13
Robert H. Thouless, Pengantar Psikologi Doa, Cet. Ketiga,(Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2000), hal. 165
14
Dadang Ahmad Fajar, Epistemologi Doa, (Bandung, Nuansa Cendikia), 2011, hal.53
15
Drs. Imam Ghozali, Doa-Doa Orang Beriman, (CV. AKADEMIKA PRESSINDO, Jakarta),
1958
Pengertian doa bagian dari ibadah adalah bahwa kedudukan doa dalam
ibadah ibarat mustaka dari sebuah bangunan mesjid. Doa adalah tiang
penyangga, komponen penguat serta syiar dalam sebuah peribadatan.
Dikatakan demikian karena doa adalah bentuk pengagungan terhadap Allah
dengan disertai keikhlasan hati serta permohonan pertolongan yang disertai
kejernihan nurani agar selamat dari segala musibah serta meraih keselamatan
abadi.

Berdasarkan devinisi di atas, maka doa dalam penelitian ini merupakan


suatu kegiatan permohonan serta bentuk komunikasi dengan Tuhan sebagai
bentuk permintaan atau harapan yang dilakukan oleh individu kepada Allah,
dalam upaya untuk suatu kebaikan, juga sebagai salah satu upaya untuk
membersihkan dan menghilangkan nilai-nilai kemusrikan dalam diri.
Sehingga dapat memberikan ketenangan pada jiwa.

2. Fungsi Doa

Dalam Islam, doa dipahami dalam tiga fungsi, yakni (1) sebagai
ungkapan syukur, (2) sebagai ungkapan penyesalan, yaitu pengakuan atas
penyimpangan dari ketentuan tuhan, dan (3) sebagai permohonan, yaitu
harapan akan terpenuhinya kebutuhan dan dilengkapinya kekurangan dalam
rangka mengabdi kepada tuhan.16

Selain berfungsi sebagai sarana untuk memohon kepada Allah, doa juga
merupakan wujud pengabdian hakiki. Makna doa dalam diri seseorang di
mana Allah didudukkan atas dua persoalan. Pertama, sebagai pelayan, yaitu
seseorang memperlakukan Allah sebagai pelayan untuk mewujudkan segala
permohonannya. Dalam keadaan seperti ini, seseorang merasakan
ketergantungan, di mana tanpa-Nya, semua tugasnya tidak akan mencapai
keberhasilan. Kedua, Allah didudukkan sebagai Tuhan yang Maha dari segala
Maha. Konsekuensinya, tidak selalu diharap pengabulan Allah atas setiap
doa, tetapi lebih kepada kepuasan batiniah karena telah terjalin komunikasi

16
Dadang Ahmad Fajar, Epistemologi Doa, (Bandung, Nuansa Cendikia), 2011, hal.40
dengan Allah. Menurut pendapat kedua ini, doa tidak sekedar memohon
sesuatu kepada Allah, tetapi lebih tertuju pada pengabdia tanpa pamrih.17

Berdasarkan definisi di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa fungsi


doa di sini adalah sebagai ungkapan sukur, ungkapan penyesalan serta
sebagai ungkapan permohonan yang dilakukan oleh individu sebagai bentuk
usaha untuk mengatasi masalahnya.

3. Macam-macam dan Bentuk Doa

Ditinjau dari makna, doa adalah pengharapan kepada sesuatu kekuatan


yang dinilai melebihi kemampuan dirinya. Dalam pengertian ini doa dibagi
kedalam beberapa bagian. Pertama, doa mahmudah, yakni doa yang
kandungannya adalah segala sesuatu yang telah diajarkan oleh nabi
Muhammad Saw melalui hadis-hadisnya atau segala hal yang berkaitan
dengan nilai kebenaran menurut syariat Islam, baik yang dibawa Nabi
Muhammad Saw maupun yang dibawa oleh nabi-nabi yang sebelumnya, serta
semua pengharapan akan kebaikan yang diperoleh oleh agama. Kedua, doa
madzmumah atau fasidah, yaitu harapan yang berakhir keburukan atau niat
buruk yang bertentangan dengan syariat, serta pa saja yang dilarang langsung
oleh Rasulullah Saw.

Dalam kategori mahmudah, jika ditinjau dari bentuknya, dapat dibagi


menjadi beberapa kelompok. Pertama, yang menggunkan kalimat perintah
(fi’l amr) atau permohonan kepada Allah. Kedua, yang menggunakan nama-
nama Allah atau al-asma’ al-husna, yaitu dengan membaca berulang-ulang
salah satu nama-Nya dengan harapan mendapatkan sesuatu yang sesuai
dengan makna nama tersebut. Ketiga, yang berupa pujian kepada Allah dan
secara harfiah tidak menyiratkan apa yang dimohonkan. Pada masa ini, doa
dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu doa fuqoha dan doa para sufi,

1) Doa fuqoha, umumnya ditandai dengan pengguanaan kalimat perintah


(fi’il amr) dan penyebutan langsung apa yang diminta tanpa berliku-liku

17
Dadang Ahmad Fajar, Epistemologi Doa, (Bandung, Nuansa Cendikia), 2011, hal.56
dengan mengungkapkan kelemahan dan tak keberdayaan diri dihadapan
Allah.
2) Doa para sufi, ditandai dengan kecenderungan pada keyakinan bahwa
Allah memahami segala yang diharapkannya melalui pujian-pujian yang
ditunjukkan kepada-Nya.

Selain kedua hal tersebut tersebut di atas, doa juga memiliki bentuk-
bentuk sebagai berikut:

1) Berdoa menggunakan ayat Al-Quran


2) Berdoa menggunakan hadis
3) Berdoa dengan bahasa arab selain Al-quran dan hadis
4) Berdoa dengan menggunakan bahasa non-arab
5) Doa buatan sendiri
6) Berdoa dengan hisab (pendekatan ilmu falak dan hisab)
7) Doa ahlulbait

Berdasarkan definisi di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa doa


pada dasarnya dibagi menjadi dua yaitu, doa mahmudah yang merupakan
segala sesuatu yang telah diajarkan oleh nabi muhammad Saw baik melalui
hadis-hadisnya atau segala hal yang berkaitan dengan nilai kebenaran
menurut syariat Islam, baik yang dibawa Nabi Muhammad Saw maupun yang
dibawa oleh nabi-nabi yang sebelumnya, serta semua pengharapan akan
kebaikan yang diperoleh oleh agama. Sedangkan doa madzmumah yang
merupakan harapan yang berakhir keburukan atau niat buruk yang
bertentangan dengan syariat, serta apa saja yang dilarang langsung oleh
Rasulullah Saw. Serta memiliki bentuk doa dengan menggunakan ayat al-
quran dan sebagainya.
D. KESIMPULAN
E.
DAFTAR PUSTAKA

Abu Hamid Muhammad al-Ghazali, Muhtashar Ihya Ulum al-Din, (Jakarta:


Pustaka Amani, 1995)

Tengku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Pedoman Dzikir dan Do’a (Jakarta:


Bulan Bintang, 1993)

H. M. Asjwadie Sjukur, Lc., Ilmu Tasawwuf II, (PT. Bina Ilmu, Surabaya), 1980

Zulfian, Happy Saputra, Mengenal Konsep Tawakal Ibnu ‘Athaillah Al


Sakandari, (Vol.1 No.1, Januari-Juni 2021), hal. 79, diakses pada 25
Oktober 2022

Robert H. Thouless, Pengantar Psikologi Doa, Cet. Ketiga,(Jakarta: Raja


Grafindo Persada, 2000)

Dadang Ahmad Fajar, Epistemologi Doa, (Bandung, Nuansa Cendikia), 2011

Drs. Imam Ghozali, Doa-Doa Orang Beriman, (CV. Akademika Pressindo,


Jakarta), 1958

Anda mungkin juga menyukai