Anda di halaman 1dari 4

Shalatlah Seperti Shalatnya Orang Yang Hendak Berpisah Dengan Dunia

Hadits
Dari Abu Ayub Al Anshari radhiyallahu anhu, dia berkata:

Seorang laki-laki menemui Nabi shallallahu alaihi wa sallam lalu berkata: Ya Rasulullah.
Berilah aku nasehat yang ringkas. Maka beliau shallallahu alaihi wa sallam bersabda: Kalau
Engkau mengerjakan shalat, maka shalatlah seperti shalatnya orang yang hendak meninggalkan
(dunia). Jangan berbicara dengan satu kalimat yang esok hari kamu akan meminta udzur karena
ucapan itu. Dan perbanyaklah rasa putus asa terhadap apa yang ditangan orang lain.
(Hasan. Dikeluarkan oleh Ahmad (5/412), Ibnu Majah(4171), Abu Nuaim dalam Al Hilyah
(1/462) Al Mizzi (19/347) dan Lihat Ash Shahihah (401))
Penjelasan Hadits
Alangkah indahnya ketiga wasiat ini. Apabila dijalankan oleh seorang hamba, maka sempurnalah
semua urusan dan tentu dia akan berhasil.
Wasiat pertama, menganjurkan untuk menyempurnakan shalat dan berijtihad agar
mengerjakannya dengan sebaik-baiknya. Hal itu dengan menghisab diri terhadap semua shalat
yang dikerjakan serta menyempurnakan semua kewajiban, fardhu ataupun sunnah-sunnah yang
ada di dalam shalat. Hendaknya juga bersungguh sungguh merealisasikan tingkatan ihsan yang
merupakan derajat tertinggi, dengan kehadiran yang betul-betul sempurna di hadapan Rabbnya.
Yakni bahwa dia sedang berbicara lirih dengan Rabbnya melalui apa yang dibacanya, yakni doa
ataupun dzikir-dzikir lainnya. Tunduk kepada Rabbnya dalam setiap posisi; berdiri, ruku, sujud,
turun maupun naik (dari ruku atau sujud serta akan berdiri).
Tujuan yang mulia ini didukung pula dengan kesiapan jiwa tanpa ragu dan rasa malas di hatinya.
Bahkan, hatinya senantiasa hadir dalam setiap shalat, seakan-akan itu adalah shalat orang yang
akan berpisah (mau meninggal dunia) atau seolah-olah tidak akan shalat lagi sesudah itu (karena
wafat).
Sudah dimaklumi bahwa orang yang akan meninggal dunia akan berusaha dengan sunguhsunguh mencurahkan segenap daya upayanya, bahkan selalu dalam keadaan mengingat
pengertian-pengertian dan sebab yang kuat, sehingga mudahlah semua urusannya, lalu itu
menjadi kebiasaannya.
Shalat dengan cara seperti itu akan mencegah pelakunya dari semua akhlak yang rendah dan
mendorongnya berhias dengan akhlak yang menarik, karena hal itu akan memberi pengaruh
dalam jiwanya, yaitu bertambahnya iman, cahaya, dan kegembiraan hati, serta kecintaan yang
sempurna terhadap kebaikan.

Wasiat kedua, menganjurkan untuk menjaga lisan dan senantiasa mengawasinya karena
menjaga lisanlah kendali semua urusan seseorang. Jika seseorang mampu menguasai lisannya,
niscaya dia dapat menguasai seluruh anggota tubuhnya yang lain. Tetapi jika justru dirinya
dikuasai oleh lisannya dan tidak menjaganya dari perkataan yang mengandung mudarat, maka
urusannya akan sia-sia, baik agama maupun dunianya. Maka janganlah berbicara sepatah
katapun melainkan harus diketahui apa manfaatnya bagi agama atau dunia. Semua pembicaraan
yang di dalamnya ada kemungkinan mendapat kritik atau bantahan, hendaknya ditinggalkan,
karena kalau dia berbicara maka dikuasai oleh ucapan tersebut, sehingga ia akan menjadi
tawanannya. Bahkan, sering kali menimbulkan mudarat yang tidak mungkin dihindari.
Wasiat ketiga, menyiapkan diri bergantung hanya kepada Allah semata dalam semua urusan
kehidupan dunia dan akhirat. Tidak meminta kecuali kepada Allah dan tidak bersikap tamak
kecuali terhadap karunia-Nya. Juga menyiapkan diri untuk berputus asa terhadap apa yang ada di
tangan manusia. Demikian itu karena putus asa adalah penjaga. Siapa yang berputus asa dari
sesuatu, dia akan measa tidak membutuhkannya. Sebagaimana dia tidak meminta dengan
lisannya kecuali hanya kepada Allah maka hatinya pun tidak bergantung kecuali kepada Allah.
Oleh sebab itu, tetaplah menjadi seorang hamba sejati bagi Allah, selamat atau bebas dari
pengabdian kepada sesama makhluk. Sungguh, dia telah memilih kebebasan dari perbudakan
mereka dan dengan itu pula dia telah memperoleh kedudukan yang tinggi dan mulia.
Sesungguhnya bergantung kepada sesama makhluk menimbulkan kehinaan dan jatuhnya harga
diri dan kedudukan seseorang sesuai dengan tingkat ketergantungannya kepada mereka.
Wallahu alam.
***
muslimah.or.id
Dikutip dari Buku Mutiara Hikmah Penyejuk Hati, Syarah 99 Hadits Pilihan
Terjemah dari Kitab Bahjatul Qulubil Abrar Qurratul Uyunil Akhyar fi Syarhi Jawamiil Akhbar
karya Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sadi

Malam Lailatul Qadar selalu dinantikan setiap umat muslim di seluruh dunia pada
saat bulan Ramadan. Malam yang disebut sebagai malam bergelimangan kemuliaan
dan keberkahan bahkan lebih baik dari daripada seribu bulan. Namun ternyata
untuk mengetahui apakah kita mendapatkannya atau tidak akan menjadi misteri
hingga akhir zaman.
"Lailatul qadar bukan sesuatu yang bersifat material yang tidak bisa dilihat
sehingga akan menjadi misteri sepanjang masa karena hanya Allah sendirilah yang
akan memberitahukannya," jelas Dewan Pakar Pusat Studi Al Qur'an Yayasan
Dakwah Lentera Hati Indonesia, Dr Ali Nurdin dalam talkshow bertema "To Reach
The Glory of Lailatul Qadar Night" di Lantai 1 Kuningan City, Jl Prof DR Satrio, Jakarta
Selatan, Jumat (10/8/2012).
Ust Ali lalu mengutip firman Allah dalam Alquran surah Al Qadr ayat 5 yang
berbunyi, "Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Alquran) pada lailatul qadar
(malam kemuliaan)."
Menurutnya, lailatul qadar sendiri memiliki tiga arti. Pertama, penetapan dan
pengaturan sehingga lailatul qadar dipahami sebagai malam penetapan Allah bagi
perjalanan hidup manusia. Penggunaan 'Qadar' sebagai ketetapan dapat dijumpai
pada firman Allah di surah Ad Dukhan ayat 3-5, yaitu "Sesungguhnya Kami
menurunkannya (Alquran) pada suatu malam, dan sesungguhnya Kamilah yang
memberi peringatan. Pada malam itu dijelaskan semua urusan yang penuh hikmah,
yaitu urusan yang besar di sisi Kami".
Kedua, Kemuliaan. Malam tersebut adalah malam mulia tiada bandingnya. Ia mulia
karena terpilih sebagai malam turunnya Alquran.
Ketiga, Sempit. Malam tersebut adalah malam yang sempit, karena banyaknya
malaikat yang turun ke bumi untuk menyebarkan kemuliaan.
Selain talkshow, digelar juga bazar produk busana muslim terbaru untuk pria dan
wanita.
Ust Ali juga mengatakan tidak mudah untuk mengetahui tanda-tanda bagi orang
yang mendapatkan lailatul qadar, sebab tanda-tandanya bersifat spiritual
(imaterial) bukan material. "Hanya orang yang berusaha menjemputnya saja yang
akan meraihnya dan menjadi ukuran sebenarnya saat di luar bulan puasa, 11 bulan
yang lain," tuturnya.
Adapun ciri-ciri orang yang meraih kemuliaan lailatul qadar dapat dilihat dari lima
hal: Pertama, orang yang senantiasa timbul kesadaran ihsan. Senantiasa merasa

bahwa Allah SWT selalu besertanya, sehingga jika tergoda untuk melakukan
maksiat tidak akan tergoda karena kuat imannya, Allah Maha Melihat dan Allah
Maha Mengetahui.
Kedua, orang yang meningkat tingkat keihklasannya. Ikhlas berarti murni. Tujuan
hidup senantiasa harus murni yakni hanya mengharap ridho Allah SWT. Seorang
mukmin tidak merasa putus asa jika mendapat cacian namun ketika mendapat
pujian tidak merasa bergangga diri. Hal ini karena tujuan hidupnya bukan
mengharapkan pujian dari orang lain.
"Ketiga, orang yang kesadarannya meningkat. Kesabaran ibarat keimanan yang
bersifat fluktuatif, terkadang bertambah dan berkurang. Ketika mendapat musibah
maka hendaklah bersabar," ujar Ust Ali.
Keempat, orang yang senantiasa pandai bersyukur. Berapapun rejeki yang diterima
selalu bersyukur sebab orang yang senantiasa bersyukur akan selalu merasa
bahagia dalm hidupnya.
Kelima, orang yang timbul dalam dirinya sikap empati yakni senantiasa peka
terhadap perasaan orang lain sehingga ikut merasakan. Melihat orang susah timbul
perasaan empati sehingga lebih bijak dalam menggunakan hartanya.
Lailatul qadar merupakan hadiah yang luar biasa dari Allah SWT khususnya di bulan
Ramadan. Untuk meraihnya umat muslim dianjurkan untuk meluruskan niat. "Untuk
meraihnya tidak mudah sehingga harus meluruskan niat dan cara yang benar,
mudah-mudahan kita termasuk diantaranya yang mendapatkan kemuliaan
tersebut" tutupnya.

Anda mungkin juga menyukai