Anda di halaman 1dari 7

Latar Belakang

Dalam menjalani tujuan utama hidup di dunia, yakni beribadah kepada Allah,
manusia sering dihadapkan pada ujian niat. Manusia sering terperdaya pada niat yang keliru
bahkan menyimpang. Ini pula yang mengakibatkan amal menjadi tidak ikhlas, kurang ikhtiar
dalam beramal, apalagi bertawakal kepada Allah. Padahal, Dia-lah satu-satunya yang
menentukan amal itu diterima atau tidak. Amalan apa pun yang kita kerjakan adalah ibarat
patung atau kerangka yang tidak ada nyawanya sama sekali. Amal hanyalah bentuk yang
tidak bergerak dan tidak ada yang menggerakkan.Amal hanya bisa digerakkan jikalau ada
ruhnya, yaitu ikhlas. Ketika kita mengerjakan suatu amalan maka ada dua syarat yang perlu
kita penuhi, sehingga amalan kita diterima oleh Allah SWT. Pertama, ikhlas. Ikhlas adalah
tiang utama suatu amalan. Amalan apa pun yang tidak didasari oleh keikhlasan maka tidak
akan diterima. Jangan sampai seorang hamba meniatkan atau menyandarkan amalan dan
ibadah kepada selain Allah SWT. Walaupun ia menyebut nama Allah SWT ketika
melakukannya, namun niat yang tertanam sudah menyekutukan-Nya, maka amalannya tetap
batal dan tidak sah. Kedua, harus sesuai dengan tuntunan Rasulullah SAW. Perkara kedua
yang perlu diperhatikan dalam suatu amalan adalah kesesuaian dengan tuntunan Rasulullah
SAW. Boleh jadi, seseorang menghabiskan seluruh waktunya untuk beramal dan beramal,
namun jikalau tidak sesuai dengan tuntunan Rasulullah SAW, maka amalannya sia-sia
belaka. Ia hanya mendapatkan nol besar dan kelelahan semata. Dua elemen ini harus ada
dalam suatu amalan agar diterima di hadapan Allah SWT.
Akan tetapi di zaman sekarang yaitu dalam dunia yang serba modern ini, di saat ilmu
pengetahuan dan teknologi semakin maju dan manusia saling berlomba-lomba untuk meraih
kesenangan duniawi dengan menggunakan segala cara apapun, sifat ikhlas ini semakin langka
untuk didapati. Bahkan banyak manusia yang terjebak menilai kualitas amal yang diperoleh
berupa materi.Keberhasilan seseorang dinilai dengan banyaknya harta dunia yang
dikumpulkan.Mereka tidak menyadari bahwa diri mereka telah terjebak ke dalam faham
materialisme. Hal ini menjelaskan bahwa manusia sekarang lebih mementingkan hawa
nafsunya untuk mencapai kepentingan yang bersifat fana. Hawa nafsu inilah yang dapat
mencemari hati sehingga niat kita dalam perbuatan tidak didasari dengan keikhlasan, maka
kemurnian amalnya itu ternoda dan hilanglah keikhlasannya.
A. Pengertian Ikhlas
Ikhlas merupakan istilah yang terus-menerus dalam keseharian masyarakat. Dalam
konteks memberi pertolongan, kalimat “Saya ikhlas” menjadi jaminan ketulusan dari
pemberi. Di tengah situasi bencana, ikhlas menjadi pesan yang sering didengung-
dengungkan. Ketika mengalami kegagalan, ikhlas menjadi semacam usaha terakhir yang
dapat dilakukan. Ketika berada di tengah situasi yang menekan, ikhlas menjadi strategi
ampuh untuk menghindarkan diri dari kehampaan, depresi, serta kondisi negatif yang lain.
Hal tersebut mengesankan bahwa ikhlas mampu menjadi bentuk terapi yang efektif dalam
menghadapi kondisi-kondisi yang tidak menyenangkan. Seseorang dapat melepas semua
beban yang ada hanya dengan mengikhlaskan segala sesuatunya.1
Makna ikhlas menurut syari’at, telah banyak rangkai kata yang dipilih para ulama
untuk menafsirkannya. Tetapi inti semua tafsiran itu berpusat pada satu muara, yakni
membersihkan niat beribadah hanya untuk mendapatkan ridha Allah semata. Di sinilah titik
persinggungan antara dua makna ikhlas ini secara bahasa dan secara syari’at, bahwa penujuan
amal ibadah harus murni untuk mendapatkan ridha Allah semata-mata. Tidak boleh
tercampuri dengan tujuan-tujuan lain, tidak boleh terkotori oleh niat-niat yang lain. Sebab,
murni dan tak tercampuri adalah ciri khas sebuah kata ikhlas, bersih dan jernih adalah warna
khusus sebuah makna ikhlas.2
Secara istilah, ikhlas adalah salah satudari sekian amalan hati, bahkan ia merupakan
ujung tombak dari amalan-amalan yang ada di dalam hati, karena diterima atau ditolaknya
amalan seseorang bergantung dari keikhlasannya. Sedangkan yang dimaksud ikhlas, yakni
seseorang hanya menghendaki keridhaan Allah SWT dalam amalan-amalan yang
dilakukannya serta membersihkannya dari segala pamrih pribadi ataupun lebih cenderung
kepada duniawi. Jadi, dia tidak termotivasi untuk beramal, kecuali semata-mata hanya untuk
Allah SWT dan kehidupan akhiratnya.3
"Katakanlah, 'Sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk
Allah, Tuhan semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya dan demikian itulah yang diperintahkan
kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah).'" (Al-
An'am: 162-163).

1
Lu’luatul Chizanah dan M. Noor Rochman Hadjam, Validitas Konstruk Ikhlas Analisis Faktor Eksploratori
Terhadap Instrumen Skala Ikhlas (Fakultas Psikologi, Universitas Gadjah Mada), 199.
2
Zaky Ahma Fahreza, Long Journey To Ikhlas (t.k.: Etoz Publishing, 2010), 16
3
Yusuf al-Qardhawi, Risalah Ikhlas dan Tawakal: Ilmu Suluk menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah (Solo: Aqwam,
2015), 400.
Diriwayatkan dari Amir al-Mukminin (pemimpin kaum beriman) Abu Hafsh Umar
bin al-Khattab radhiyallahu’anhu beliau mengatakan: Aku mendengar Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
( kau copy sendiri ya b.arab nya,dilaptop ku gabisa bahasa arab nya )
“Sesungguhnya setiap amalan harus disertai dengan niat. Setiap orang hanya akan
mendapatkan balasan tergantung pada niatnya. Barangsiapa yang hijrah karena cinta kepada
Allah dan Rasul-Nya maka hijrahnya akan sampai kepada Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa
yang hijrahnya karena menginginkan perkara dunia atau karena wanita yang ingin
dinikahinya, maka hijrahnya (hanya) mendapatkan apa yang dia inginkan.” (HR. Bukhari
[Kitab Bad’i al-Wahyi, hadits no. 1, Kitab al-Aiman wa an-Nudzur, hadits no. 6689] dan
Muslim [Kitab al-Imarah, hadits no. 1907])
Hadits yang mulia ini menunjukkan bahwa niat merupakan timbangan penentu
kesahihan amal. Apabila niatnya baik, maka amal menjadi baik. Apabila niatnya jelek,
amalnya pun menjadi jelek (Syarh Arba’in li an-Nawawi, sebagaimana tercantum dalam ad-
Durrah as-Salafiyah, hal. 26).

B. Pentingnya Ikhlas
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Allah yang menciptakan kematian dan
kehidupan dalam rangka menguji kalian; siapakah di antara kalian orang yang terbaik
amalnya.” (QS. al-Mulk: 2)
al-Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah menafsirkan makna ‘yang terbaik amalnya’ yaitu
‘yang paling ikhlas dan paling benar’. Apabila amal itu ikhlas namun tidak benar, maka tidak
akan diterima. Begitu pula apabila benar tapi tidak ikhlas, maka juga tidak diterima. Ikhlas
yaitu apabila dikerjakan karena Allah. Benar yaitu apabila di atas sunnah/tuntunan
(Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam Hilyat al-Auliya’ [8/95] sebagaimana dinukil dalam
Tajrid al-Ittiba’ fi Bayan Asbab Tafadhul al-A’mal, hal. 50.
Syaikh Prof. Dr. Ibrahim ar-Ruhaili hafizhahullah mengatakan, “Ikhlas dalam beramal
karena Allah ta’ala merupakan rukun paling mendasar bagi setiap amal salih. Ia merupakan
pondasi yang melandasi keabsahan dan diterimanya amal di sisi Allah ta’ala, sebagaimana
halnya mutaba’ah (mengikuti tuntunan) dalam melakukan amal merupakan rukun kedua
untuk semua amal salih yang diterima di sisi Allah.” (Tajrid al-Ittiba’ fi Bayan Asbab
Tafadhul al-A’mal, hal. 49)
Link : https://muslim.or.id/863-ikhlas-dalam-beramal.html
Ketahuilah, sabar akan sangat sulit dilakukan, apabila kita tidak mampu menyadari,
bahwa segla sesuatu yang terjadi di dunia ini pada hakikatnya ujian.
Kita harus memahami dengan sebaik-baiknya bahwa Allah pemilik yang sebenar-
benarnya atsa segala sesuatu apapun yang kita miliki di dunia. Dengan menyadari bahwa
semua yang kita miliki sebenarnya adalah milik Allah dan titipan Allah, maka begitulah
Allah mengambilnya dari kita, InsyaAllah kita akan lebih mudah merelakannya.

Karena kita menyadari, bahwa semua itu adalah milik Allah dan titipan Allah. Dan
yang namanya titipn, suatu saat nanti memang pasti akan kembali pada pemiliknya, kapanpun
pemiliknya menghendaki apa yang dititipkan kembali atau mau mengambilnya dari kita,
maka kita harus dengan ikhlas mengembalikannya kepada sang pencipta.

Karena sesungguhnya dengan adanya musibah, maka seorang hamba akan


mendapatkan pengampunan dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Seperti sabda Rasulallah
Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, “Sesungguhnya pahala besar itu, bersama dengan cobaan yang
besar pula. Dan apabila Allah mencintai suatu kaum maka Allah akan menimpakan musibah
kepada mereka. Barang siapa yang ridha maka Allah akan ridha kepadanya. Dan barang siapa
yang murka, maka murka pula yang akan didapatkannya.” (HR. Tirmidzi, dihasankan al-
Albani dalam as-Shahihah no. 46)

Setiap amalan akan diketahui pahalanya kecuali kesabaran, karena pahala kesabaran
itu, tanpa batas. Sebagaimana firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:
“Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang beriman. bertakwalah kepada Tuhanmu”. Orang-
orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu adalah luas.
Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah Yang dicukupkan pahala mereka tanpa
batas.” (Qs. Az-Zumar: 10)

Sedangkan ikhlas adalah mengerjakan setiap ibadah atau amal kebaikan karena Allah
Subhanahu Wa Ta’ala dan mengharapkan ridha-Nya. Firman Allah ta’ala:
“Katakanlah: sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk
Allah, Tuhan semesta alam.” (Qs. Al-An’am: 162)

Terdapat sebuah hadis juga mengatakan, bahwa Setiap amal itu tergantung kepada
niatnya. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Sesungguhnya amal itu tidak
lain hanyalah dengan niat dan sesungguhnya bagi setiap orang apa yang diniatkan.” (HR. Al-
Bukhari dan Muslim)

C. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam melatih kesabaran dan keikhlasan,
seperti:
Pertama, kita harus percaya pada jaminan Allah, “Allah tidak membebani seseorang
melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (Qs. Al-Baqarah: 286). Allah Subhanahu Wa
Ta’ala yang memiliki diri kita, sangat tahu kemampuan kita, jadi tidak akan mungkin Allah
memberikan ujian yang melebihi batas kemampuan kita.
Kedua, kita semua pasti mampu bisa sabar dalam segala ujian dan segala keadaan,
asalkan kita kuat iman.
Ketiga, ketika ditimpa suatu kesulitan, kesedihan dan kehilangan lebih baik kita terima
dengan penuh kesabaran dan keikhlasan. Bila kita sabar dan ikhlas menerimanya, maka
InsyaAllah tidak akan terasa berat akan ujian tersebut. Dalam sabar terkandung ridha Allah
Subhanahu Wa Ta’ala dan ridha Allah terhadap kita dengan segalanya.
Keempat, kita harus selalu baik sangka kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan jangan
pernah sekalipun meragukan dan mempertanyakan keputusan, ketetapan, pengaturan, dan
ketentuan Allah. Kita harus bisa sabar dan ridha terhadap apapun keputusan, ketetapan, dan
pengaturan-Nya., maka cari saja Tuhan selain Allah.

Perhatikan firman-Nya dalam hadist Qudsi, “Akulah Allah, tiada Tuhan melainkan Aku.
Siapa saja yang tidak sabar menerima cobaan dari-Ku, tidak bersyukur atas nikmat-Ku dan
tidak ridha dengan ketentuan-Ku, maka berTuhnalah kepada Tuhan selain aku.” (HR.
Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir melalui jalur Abu Hind al-Dari)

D. Terdapat pula manfaat dan keutamaannya:

1. Membuat hidup menjadi tenang dan tenteram


2. Amal ibadahnya akan diterima oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
3. Dibukanya pintu ampunan dan dihapuskannya dosa serta dijauhkan dari api neraka.
4. Diangkatnya derajat dan martabat oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
5. Doa kita akan diijabah.
6. Dekat dengan pertolongan Allah.
7. Mendapatkan perlindungan dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
8. Akan mendapatkan naungan dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala di hari kiamat.
9. Allah Subhanahu Wa Ta’ala akan memberi hidayah (petunjuk) sehingga tidak tersesat
ke jalan yang salah.
10. Allah akan membangunkan sebuah rumah untuk orang-orang yang ikhlas dalam
membangun masjid
11. Mudah dalam memaafkan kesalahan orang lain
12. Dapat memiliki sifat zuhud (menerima dengan apa adanya yang diberikan oleh Allah
Subhanahu Wa Ta’ala)
Menjadi sabar dan ikhlas memang tak mudah, tapi itu harus. Belajarlah untuk menerima
arti kehilangan dan penantian. Karna sabar itu menenangkan jiwa, ikhlas itu mendamaikan
hati. Sabar dan ikhlas mengajarkan kita arti ‘memahami’. Sabar dan Ikhlas adalah kunci
sukses menjalani segala cobaan yg Tuhan beri, agar hati & keyakinan kita tetap kuat
bertahan. Menjadi sabar dan ikhlas memang tak mudah, tapi itu harus. Belajarlah untuk
menerima arti kehilangan dan penantian.

Link :
https://minanews.net/sabar-dan-ikhlas/

E. PENGERTIAN RIYA’, SUM’AH, UJUB


Telah kita ketahui bahwa keikhlasan dapat dihilangkan oleh beberapa perkara, seperti:
mencintai dunia, kemasyhuran, kemuliaan, riya’, sum’ah dan ujub.
1. Riya ialah melakukan `ibadah dengan tujuan dilihat oleh manusia, sehingga orang yang
riya’ itu mencari pengagungan, pujian, harapan atau rasa takut terhadap orang yang dia
berbuat riya’ karenanya.
2. Sum’ah adalah amalan yang dilakukan dalam rangka agar didengar orang lain,
misalnya memperdengarkan bacaan Al-Qur’an atau yang lainnya.
3. Ujub adalah teman riya, yaitu perasaan bangga terhadap diri sendiri atas kemampuan
yang dimiliki secara berlebihan.
F. BENTUK-BENTUK RIYA, UJUB DAN SUM’AH
1. Riya dalam ibadah sholat, misalnya : Memperbaiki posisi atau gerakan shalat karena
mengetahui bahwa dia sedang diperhatikan oleh orang yang dianggap lebih ‘alim atau
lainya.
2. Riya atau sum’ah dalam kepribadian misalnya : Karena di karuniai oleh Allah
Subhanahu wa Ta’ala suara yang merdu misalnya, maka timbulah penyakit riya` atau
ujub ini pada ni`mat tersebut; Mengeraskan/ menbaguskan bacaan dalam membaca Al-
Qur`an atau ketika mengumandangkan adzan dengan harapan ingin mendapatkan pujian
atau agar diakui bahwa dia memiliki suara yang bagus atau merdu
3. Ujub atau Riya dalam berdakwah misalnya : Berceramah, menasehati orang, atau
mentahdzir (memberi peringatan terhadap seseorang) dengan niat agar dikenal sebagai
seorang penasehat, ahli pidato dengan harapan agar semua orang memujinya atau
menyanjungnya. Kita berlindung kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dari semua perkara
ini. Hendaklah kita ikhlash dalam berda`wah agar orang yang mendengarnya pun
menerima dengan ikhlash (yakni : mendapatkan hidayah dari Allah Subhanahu wa
Ta’ala)
Link: https://almanhaj.or.id/10672-pentingnya-keikhlasan-dalam-seluruh-amal-ibadah-2.html

Anda mungkin juga menyukai