Anda di halaman 1dari 28

MAKALAH AIKA

KONSEP PELAYANAN SMART I : IKHLAS, SUMPAH,


KERJASAMA

Disusun oleh:

1. Aisyah Ramadhani 1804026125


2. Elsa Ayu Febriati 1804026155
3. Marsida 1804026181
4. Rani Apriani 1804026206
5. Thiara Eka Febriyani 1804026227

Dosen: Anang Rohwiyono

PROGRAM STUDI APOTEKER


FAKULTAS FARMASI DAN SAINS
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PROF. DR. HAMKA
JAKARTA
2019
BAB 1
PENDAHULUAN

Amal yang pasti diterima adalah yang dikerjakan dengan ikhlas. Amal hanya
karena Allah semata, dan tidak ada harapan kepada makhluk sedikit pun. Niat
ikhlas bisa dilakukan sebelum amal dilakukan, bisa juga disaat melakukan amal
atau setelah amal dilakukan. Salah satu karunia Allah yang harus disyukuri adalah
adanya kesempatan untuk beramal. Menjadi jalan kebaikan dan memberikan
manfaat kepada orang lain. Karenanya, jangan pernah menunda kebaikan ketika
kesempatan itu datang. Lakukan kebaikan semaksimal mungkin dan lupakan jasa
yang sudah dilakukan. Serahkan segalanya hanya kepada Allah. Itulah aplikasi
dari amal yang ikhlas.
Berkaitan dengan suatu perbuatan, Islam sangat menekankan pentingnya
motif dan tujuan dari seorang yang melakukan perbuatan tersebut tidak cukup
hanya bentuk lahiriahnya saja. Dalam hal ini dapat diibaratkan bahwa setiap
perbuatan itu ada badan dan ruhnya. Badannya adalah bentuk luar yang terlihat
dan terdengar, sedangkan ruhnya adalah niat yang mendorong dilakukannya
perbuatan itu dan jiwa ikhlas yang mendorong terciptanya perbuatan tersebut.
Bagi golongan ahli hakikat (tasawuf), ikhlas merupakan syarat sahnya suatu
ibadah. Dengan demikian, diterima atau tidaknya suatu perbuatan sangat
tergantung kepada niat yang melakukannya.
Sedemikian pentingnya kedudukan ikhlas dalam amal ibadah, sehingga dalam
al-Qur’an sendiri sebagai sumber utama dalam ajaran Islam-terdapat banyak ayat
yang membicarakan masalah ikhlas dalam berbagai aspeknya. Oleh karena itu,
sesuai dengan tema yang telah ditentukan, kajian dalam tulisan ini akan berupaya
memaparkan konsep ikhlas. Hubungan antara sesama manusia berkaitan dengan
harta ini di bicarakan dan diatur dalam kitab-kitab fiqih karna kecendrungan
manusia kepada harta itu begitu besar dan sering menimbulkan persengketaan
sesamanya, kalau tidak diatur, dapat menimbulkan ketidakstabilan dalam
pergaulan hidup antara sesama manusia. Selain itu, dalam konteks hablun minanas
manusia butuhyang namanya kerjasama dalam hal yang berhubungan dengan
usaha. Maka dari itu, di dalam makalah ini dibahaslah semua yang berkaitan
dengan kerjasama.
BAB II
PEMBAHASAN

A. IKHLAS
1. Ikhlas Dan Keutamaannya
Secara bahasa kata ikhlas berasal dari bahasa Arab: ‫ وخالصا خلوصا خلص‬yang artinya
murni, tiada bercampur, bersih, jernih. Ikhlas adalah suci dalam niat, bersih batin
dalam beramal, tidak berpura- pura, lurus hati dalam bertindak, jauh dari riya’ dan
kemegahan dalam berlaku berbuat, mengharapkan ridha Allah semata-mata
Oleh Ustadz Abu Ismail Muslim Al-Atsari:
Segala puji bagi Allâh Azza wa Jalla Rabb semesta alam. Shalawat dan salam
semoga terlimpah kepada Rasul-Nya yang mulia, Nabi kita Muhammad
Shallallahu ‘alaihi wa sallam , dan kepada keluarga serta para sahabatnya. Ini
adalah sebuah risalah yang membahas keutamaan ikhlas, semangat untuk
merealisasikannya, serta upaya menjaga diri dari hal-hal yang bertolak belakang
dengannya.
2. Kedudukan Ikhlas Dalam Agama Dan Keutamaannya
Keikhlasan termasuk salah satu pokok di antara pokok-pokok agama ini,
bahkan ia merupakan poros dan sendi agama ini. Karena agama ini dibangun di
atas dasar realisasi ibadah yang merupakan tujuan manusia diciptakan, sementara
hakikat ibadah itu sendiri tidak akan ada kecuali disertai dengan ikhlas.
Keikhlasan dalam ibadah itu, ibarat ruh dalam jasad. Jasad tanpa ruh menjadi
bangkai yang tidak bernilai. Demikian pula amalan, jika dilakukan tanpa
keikhlasan maka tidak ada nilainya, bahkan suatu amalan tidak dikatakan amal
shalih tanpa keikhlasan. Banyak dalil, baik dari al-Qur’ân maupun sunnah yang
mengajak untuk selalu ikhlas. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
‫َو َم ا ُأِم ُروا ِإاَّل ِلَيْعُبُدوا َهَّللا ُم ْخ ِلِص يَن َلُه الِّد يَن ُحَنَفاَء‬
Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya beribadah kepada Allâh dengan
memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus [al-
Bayyinah/98:5]
Dan firman Allâh Azza wa Jalla :
‫ُقْل ِإَّنَم ا َأَنا َبَش ٌر ِم ْثُلُك ْم ُيوَح ٰى ِإَلَّي َأَّنَم ا ِإَٰل ُهُك ْم ِإَٰل ٌه َو اِح ٌد ۖ َفَم ْن َك اَن َيْر ُجو ِلَقاَء َر ِّبِه َفْلَيْع َم ْل َع َم اًل َص اِلًحا َو اَل ُيْش ِرْك‬

‫ِبِعَباَد ِة َر ِّبِه َأَح ًدا‬


Katakanlah,“Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu, yang
diwahyukan kepadaku, “Bahwa sesungguhnya Rabb kamu itu adalah Rabb Yang
Esa”. Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabbnya maka hendaklah ia
mengerjakan amal yang shaleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun
dalam beribadat kepada Rabbnya.” [al-Kahfi/18:110]
Pada ayat pertama di atas, Allâh Azza wa Jalla menjelaskan bahwa Dia k
tidak memerintah hamba-Nya kecuali untuk mengikhlaskan ketaatan. Ini
mencakup ikhlas dalam seluruh cabang keimanan yang disyariatkan Allâh Azza
wa Jalla seperti dalam i’tiqâd (keyakinan), perkataan, dan perbuatan. Sedangkan
pada ayat kedua Allâh Azza wa Jalla melarang perbuatan syirik yang merupakan
lawan dari ikhlas. Allâh Subhanahu wa Ta’ala juga menjelaskan bahwa pahala
Allâh diperuntukkan bagi mereka yang bertemu Allâh Azza wa Jalla pada hari
kiamat dalam keadaan mengikhlaskan amalan mereka, bersih dari noda-noda
syirik, serta mengikuti sunnah Nabi-Nya dalam amalan tersebut.
Penetapan tentang ikhlas juga ada dalam dalam sunnah Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam . Dalam hadits yang terkenal dari Umar bin Khathab
Radhiyallahu anhu yang diriwayatkan oleh Imam Bukhâri dan Muslim, Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
,‫ َأْو ِإَلى اْم َر َأٍة َيْنِكُح َه ا‬,‫ َفَم ْن َك اَنْت ِهْج َر ُت ُه ِإَلى ُد ْنَي ا ُيِص ْيُبَها‬,‫ َو ِإَّنَم ا ِلُك ِّل اْم ِر ٍئ َم ا َن َو ى‬,‫ِإَّنَم ا ْاَألْع َم اُل ِبالِّنَّياِت‬

‫َفِه ْج َر ُتُه ِإَلى َم ا َهاَج َر ِإَلْيِه‬


Sesungguhnya setiap amalan disertai niat. Dan sesungguhnya setiap orang hanya
akan mendapatkan apa yang ia niatkan. Barangsiapa hijrahnya untuk mendapatkan
dunia atau untuk wanita yang ingin ia nikahi, maka hijrahnya kepada apa yang ia
berhijrah kepadanya.[1]
Al Khatthabi berkata, “Makna hadits ini, keabsahan amalan dan keberadaan
konsekuensinya ditentukan oleh niatnya. Jadi, sesungguhnya niatlah yang
mengarahkan amalan.”[2]
Al-Hâfizh Ibnu Rajab rahimahullah berkata, “Makna al-a’mâlu bin niyât
adalah amalan itu menjadi baik atau rusak, diterima atau ditolak, diberi pahala
atau tidak, tergantung niatnya. Jadi, hadits ini menjelaskan tentang hukum syar’i
yaitu baik buruknya suatu amalan terganutung baik dan buruknya niat.”[3]
para Ulama salaf mengagungkan kedudukan hadits ini dan menyadari keagungan
kandungannya. Dikisahkan, suatu ketika Yazîd bin Hârun menyebutkan hadits ini
di hadapan Imam Ahmad rahimahullah, maka imam Ahmad berkata kepadanya,
“Wahai Abu Khâlid leher ini (menjadi taruhannya).”[4]
Ibnu Abdil Bar berkata, “Ini memberikan konsekuensi bahwa setiap amalan
tanpa disertai niat berarti tidak sah.”[5]

3. Perhatian Ulama Salaf Terhadap Keikhlasan


Dikarenakan keikhlasan mempunyai kedudukan yang sangat tinggi dalam
agama, maka keikhlasan juga merupakan karakteristik manhaj salaf yang paling
nampak. Di mana, keikhlasan merupakan fokus perhatian mereka, bahkan
mewujudkan keikhlasan merupakan maksud dan tujuan tertinggi mereka. Oleh
karena itu, sangat banyak perkataan dan ungkapan mereka yang menjelaskan
tentang keikhlasan itu, baik yang berkait dengan hakikatnya, anjuran agar ikhlas,
atau berupa peringatan dari lawan keikhlasan yaitu syirik dan riya’. Termasuk
juga nukilan dari kisah mereka yang menakjubkan dalam merealisasikan
keikhlasan.

4. Perkataan Para Ulama Salaf Dalam Menjelaskan Hakikat Keikhlasan


Di antara perkataan mereka tentang hakikat keikhlasan adalah sebagai berikut :
• Abu Idris rahimahullah berkata, “Seseorang tidak akan bisa mencapai hakikat
ikhlas sampai ia tidak suka dipuji oleh seorang pun atas amalan yang
dikerjakannya untuk Allâh Azza wa Jalla ”[6]
• Al-Fudhail rahimahullah berkata,“Meninggalkan amalan karena manusia
adalah riya’, dan mengerjakan suatu amalan karena manusia adalalah syirik.
Ikhlas adalah jika Allâh Azza wa Jalla menyelamatkanmu dari keduanya.”
• Imam as-Syâfi’i rahimahullah berkata, “Seandainya engkau mengerahkan
seluruh kemampuanmu untuk menjadikan semua manusia ridha maka tidak ada
jalan untuk mewujudkannya. Jika demikian, maka ikhlaskanlah amalan dan
niatmu hanya untuk Allâh Azza wa Jalla semata.”[7]
5. Perkataan Ulama Salaf Dalam Menganjurkan Keikhlasan
Di antara perkataan Ulama salaf dalam menganjurkan keikhlasan adalah yang
diriwayatkan dari adh-Dhahak bin Qais bahwa ia berkata, “Wahai manusia
ikhlaskanlah amalan kalian untuk Allâh Azza wa Jalla ! Sesungguhnya Allâh Azza
wa Jalla tidak menerima amalan kecuali yang ikhlas. Apabila salah seorang dari
kalian memberikan suatu pemberian, memaafkan suatu kezaliman, atau
menyambung silaturahim, maka janganlah dia mengatakan dengan lisannya “Ini
Karena Allâh” akan tetapi hendaklah ia memberitahukannya dengan hati.”[8]
Bilal bin Sa’ad berkata, “Tidaklah mungkin engkau menjadi wali Allâh Azza
wa Jalla secara lahir dan menjadi musuh Allâh Azza wa Jalla secara batin.”[9]
Hatim berkata, “Carilah jati dirimu dalam empat perkara, yaitu beramal shalih
tanpa riya’, mengambil (pemberian) tanpa ada keinginan, memberi tanpa
mengharap imbalan, dan menahan (pemberian) tanpa ada rasa kikir.[10]
Abu Abdirrahman as-Sulami berkata, “Saya pernah mendengar Manshûr bin
Abdillah berkata, “Telah berkata Muhammad bin Ali at-Tirmidzi, “Kesuksesan
di sana (akhirat) itu bukan karena banyaknya amalan. Sesungguhnya kesuksesan
di sana itu dengan mengikhlaskan amalan dan memperbaikinya.

6. Kesungguhan Para Ulama Salaf Dalam Merealisasikan Keikhlasan


Riwayat yang menjelaskan tentang (usaha) para Ulama salaf dalam
merealisasikan keikhlasan serta kegigihan mereka dalam menjaga diri dari segala
yang bertentangan dengannya, sangatlah banyak, baik dari kisah perjalanan hidup
maupun petunjuk mereka. Di antaranya adalah keengganan mereka untuk
menyatakan bahwa mereka orang-orang ikhlas yang sudah merealisasikannya.
Misalnya, perkataan :
• Hisyâm ad-Distiwai, “Demi Allâh, saya tidak bisa mengatakan,
‘Sesungguhnya saya sudah pergi sehari saja untuk mencari hadits karena
mengharapkan wajah Allâh Azza wa Jalla ”[11]
• Wakî’, “Tidaklah kita hidup kecuali di balik tirai. Seandainya tirai itu dibuka
maka akan nampak perkara yang sangat besar, yaitu benar atau tidaknya niat
seseorang.”[12]
• Fudhail bin ‘Iyâdh, “Seandainya aku bersumpah bahwa aku telah berbuat
riya’, itu lebih aku sukai daripada aku bersumpah bahwa aku tidak berbuat
riya’.”[13]
• Yusuf bin al-Husain, “Yang paling sulit di dunia ini adalah keikhlasan. Sering
aku berusaha untuk menghilangkan riya’ dari hatiku, namun seolah-olah ia
muncul dengan warna lain.”
• Imam Ahmad pernah ditanya, “Apakah engkau mencari ilmu karena Allâh
Azza wa Jalla ?” Beliau t menjawab, “(Menuntut ilmu) karena Allâh Azza wa
Jalla itu berat (susah), namun (jika) ada sesuatu yang kami sukai, maka kami
mempelajarinya.”[14]
Dan diantara bentuk perhatian dan semangat para Ulama salaf dalam
merealisasikan keikhlasan dan membendung semua yang bisa merusaknya adalah
upaya mereka menyembunyikan amal shalih.
Diantara riwayat itu :
• Diriwayatkan dari Bakr bin Ma’iz , ia berkata, “ar-Rabi’ tidak pernah
melihat seorang pun yang melaksanakan shalat sunnah di masjidnya kecuali sekali
saja.”
• Sufyân berkata, “Istri ar-Rabi’ bin Khaitsam telah mengabarkan kepadaku
dengan mengatakan, “Seluruh amalan ar-Rabi’ itu rahasia.”
• Dikisahkan bahwa ‘Ali bin al-Hushain pernah membawa sekantong roti di atas
pundaknya pada malam hari, lalu ia bersedekah dengannya. Dan ia berkata,
“Sesungguhnya sedekah secara rahasia akan memadamkan kemurkaan Rabb
Subhanahu wa Ta’ala .
• Al-A’masy berkata, “Suatu ketika Hudzaifah menangis dalam shalatnya. Saat
selesai shalat, ia menoleh, ternyata ada orang di belakangnya. Maka ia berkata,
“Janganlah sekali-kali engkau ceritakan ini kepada siapa pun.”[15]
• Hammad bin Zaid berkata, “Suatu hari Ayyub menyebutkan sesuatu kemudian
ia pun terharu. Lantas ia memalingkan wajahnya seakan-akan hendak buang
ingus. Kemudian ia kembali menghadap kami dan berkata, “Sesungguhnya flu
itu berat bagi Syaikh.”[16]
• Muhammad bin Wâsi’ berkata, “Sesungguhnya dahulu pernah ada seorang
laki-laki yang menangis selama dua puluh tahun, padahal dia bersama isterinya,
namun si istri tidak mengetahui (tangisan itu).”[17]
• Ibrahim at-Taimiy berkata, “Mereka (para salaf) membenci apabila seseorang
mengabarkan amalannya yang tersembunyi.”[18]
Dan termasuk bentuk perhatian generasi salaf terhadap keikhlasan adalah mereka
membenci ketenaran, demi menutup celah yang bisa mengantarkan kepada riya’
dan memancing perhatian orang.
Di antara riwayat tentang itu adalah :
• Dari Habib bin Abi Tsâbit, “Suatu hari Ibnu Mas’ûd Radhiyallahu anhu
pernah keluar lalu orang-orang mengikutinya. Ibnu Mas’ûd bertanya kepada
mereka, “Apakah kalian ada perlu (denganku)?” Mereka menjawab, “Tidak
ada, kami hanya ingin berjalan denganmu.” Ibnu Mas’ûd berkata,
“Kembalilah kalian ! Karena sesungguhnya ini adalah kehinaan bagi yang
mengikuti dan fitnah bagi orang yang diikiuti.”[19]
• al-Hasan berkata, “Suatu hari aku bersama Ibnul Mubârak rahimahullah lalu
kami mendatangi suatu sumber air sedangkan orang-orang sedang meminum air
darinya. Lalu Ibnul Mubarak mendekat ke sumber itu untuk ikut minum,
sementara orang-orang itu tidak mengenalnya. Mereka berdesak-desakan
dengannya dan mendorongnya. Tatkala keluar, ia berkata kapadaku, “Inilah
kehidupan, yaitu ketika kita tidak dikenal dan tidak disegani.”[20]
• Abdullah bin Mubarak rahimahullah berkata, “Jadilah pecinta keterasingan
karena benci ketenaran ! Namun jangan engkau tampakkan bahwa engkau suka
keterasingan, karena itu akan menyebabkan dirimu terangkat. Sesungguhnya
pengakuanmu memiliki sifat zuhud itu sebenarnaya telah keluar dari sifat zuhud.
Karena engkau telah memancing pujian dan sanjungan orang kepadamu.”[21]
7. Anjuran Mengikuti Ulama Salaf Dalam Semangat Keikhlasan
Berdasarkan penjelasan di atas, orang yang berakal dan cerdas, jika ingin
menyusul orang-orang shalih tersebut, maka wajib mengikuti jejak mereka dalam
keseriusan mereka merealisasikan keikhlasan serta upaya keras menghindari hal-
hal yang bisa merusak atau mengurangi pahalanya. Diantara yang bisa membantu
seorang Muslim untuk merealisasikannya adalah hendaknya ia menyadari betapa
bahayanya kehilangan keikhlasan. Karena, amalan yang disertai keikhlasan adalah
sebaik-baik ibadah kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala , namun jika ikhlas
hilang, maka amalan itu menjadi perbuatan syirik yang bisa menyebabkan keluar
dari Islam, kekal di neraka, jika itu termasuk syirik besar. Namun jika termasuk
syirik kecil, maka itu menyebabkan amalan yang tercampuri itu menjadi terhapus.
Jika para generasi salaf di masa-masa yang penuh keutamaan itu khawatir
kehilangan keikhlasan, padahal dalam ilmu dan amal, kedudukan mereka tinggi;
Mereka juga sudah berupaya menempuh segala cara untuk merealisasikkannya,
maka apalagi kita, mestinya kita lebih khawatir lagi daripada mereka. Karena kita
hidup di zaman yang penuh dengan fitnah, cendrung kepada dunia, serta kurang
menyadari adanya pengawasan dari Allâh Azza wa Jalla , kecuali orang yang
dirahmati Allah.

8. Dorongan Berbuat Ikhlas Dan Besar Pahalanya Disisi Allah


Di antara hal yang memotivasi untuk merealisasikan keikhlasan adalah balasan
yang disediakan oleh Allâh Azza wa Jalla berupa pahala yang besar pada hari
kiamat nanti. Allâh Azza wa Jalla berfirman.
‫﴾ َفَو اِك ُهۖ َو ُهْم‬٤١﴿ ‫﴾ ُأوَٰل ِئَك َلُهْم ِر ْز ٌق َم ْع ُلوٌم‬٤٠﴿ ‫﴾ ِإاَّل ِعَباَد ِهَّللا اْلُم ْخ َلِص يَن‬٣٩﴿ ‫َو َم ا ُتْج َز ْو َن ِإاَّل َم ا ُكْنُتْم َتْع َم ُلوَن‬

‫﴾ ُيَطاُف َع َلْيِهْم ِبَك ْأٍس ِم ْن َم ِع يٍن‬٤٤﴿ ‫﴾ َع َلٰى ُسُر ٍر ُم َتَقاِبِليَن‬٤٣﴿ ‫﴾ ِفي َج َّناِت الَّنِع يِم‬٤٢﴿ ‫ُم ْك َرُم وَن‬
“Dan kamu tidak diberi pembalasan melainkan terhadap kejahatan yang telah
kamu kerjakan. Tetapi hamba-hamba Allâh Azza wa Jalla yang dibersihkan (dari
dosa), mereka itu memperoleh rezki yang tertentu, yaitu buah buahan. Dan
mereka adalah orang-orang yang dimuliakan. Di dalam surga-surga yang penuh
ni’mat. Di atas tahta-tahta kebesaran berhadap-hadapan. Diedarkan kepada
mereka gelas yang berisi khamar dari sungai yang mengalir.” [ash-Shaffât/37:39-
45].
Itulah pahala bagi orang yang berbuat ikhlas, yaitu orang-orang yang memurnikan
amal-amal mereka hanya untuk Allâh Azza wa Jalla . Makna ini berdasarkan
qirâ’ah (bacaan) yang mengkasrah huruf laam pada kata al-mukhlishin. Dan ini
adalah qirâ’ah yang mutawatir. Diantara para Ulama yang membaca dengan cara
ini adalah Imam Ibnu Katsîr, Abu ‘Umar, Ibnu ‘Amir dan Ya’qûb. Diantara
buah keikhlasan dan keberkahannya adalah kesungguh-sungguhan pelakunya
dalam melakukan ketaatan akan diberi pahala, meskipun amalnya kurang atau
tidak mampu beramal. Oleh karena itulah Yahya bin Katsîr berkata, “Pelajarilah
niat, karena sesungguhnya ia lebih mendasar daripada amalan itu sendiri.”[22]
Sementara kehilangan keikhlasan akan menyebabkan pelakunya tetap berdosa,
meskipun ia mengerjakan amalan yang paling utama. Oleh karena itu, Allâh Azza
wa Jalla telah memberikan ancaman bagi orang-orang yang berbuat riya’ dalam
shalatnya, dengan firman-Nya :
‫) َو َيْم َنُعوَن اْلَم اُع وَن‬6( ‫) اَّلِذ يَن ُهْم ُيَر اُءوَن‬5( ‫) اَّلِذ يَن ُهْم َع ْن َص اَل ِتِهْم َس اُهوَن‬4( ‫َفَو ْيٌل ِلْلُمَص ِّليَن‬
“Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat. (Yaitu) orang-orang yang
lalai dari shalatnya. Orang-orang yang berbuat riya’. Dan enggan (menolong
dengan) barang berguna.” [al-Mâ’ûn/107: 4-7]
Renungkanlah ! Bagaimana Allâh Azza wa Jalla mengancam orang-orang yang
riya’dalam shalatnya, padahal shalat itu amalan yang sangat utama, dan
mempunyaai kedudukan yang agung dalam agama.
Diantara buah keikhlasan di dunia adalah Allâh Azza wa Jalla akan menjaga
pelakunya dari perkara-perkara keji dan maksiat. Sebagaimana firman Allâh Azza
wa Jalla tentang kisah Nabi Yûsuf.
‫َك َٰذ ِلَك ِلَنْص ِر َف َع ْنُه الُّسوَء َو اْلَفْح َش اَء ۚ ِإَّنُه ِم ْن ِعَباِد َنا اْلُم ْخ َلِص يَن‬
“Demikianlah, agar Kami memalingkan daripadanya kemungkaran dan kekejian.
Sesungguhnya Yusuf itu termasuk hamba-hamba Kami yang terpilih”.
[Yûsuf/12:24].
Ini menurut qirâ’ah Ibnu Katsîr, Abu ‘Umar, Ibnu ‘Âmir, dan Ya’qûb, di
mana mereka membaca dengan mengkasrah huruf lâm.[23] Berdasarkan qira’ah
ini, penjagaan Allâh Azza wa Jalla kepada Nabi-Nya Yûsuf dari kekejian karena
sebab keikhlasan amalannya kepada Allâh.
9. Pencegah Perbuatan Riya’
Diantara pencegah terkuat dari perbuatan riya’adalah sabda Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam dalam hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Muslim
dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu , ia berkata, “Rasûlullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda :
: ‫ َفَم ا َع ِم ْلَت ِفْيَها؟ َقاَل‬: ‫ َقاَل‬،‫ َفَع َّر َفُه ِنَع َم ُه َفَعَر َفَها‬،‫ َر ُجٌل اْسَتْش َهَد َفُأِتَي ِبِه‬،‫ِإَّن َأَّوَل الَّناِس ُيْقَض ى َيْو َم اْلِقَياَم ِة َع َلْيِه‬

‫ ُثَّم ُأِمَر ِبِه َفُس ِحَب َع َلى َو ْج ِهِه‬، ‫ َفَقْد ِقْيَل‬، ‫ َج ِر ْي ٌء‬: ‫ َلِكَّنَك َقاَتْلَت َأِلْن ُيَقاَل‬، ‫ َك َذ ْبَت‬: ‫ َقاَل‬، ‫َقاَتْلُت ِفْيَك َح َتى اْسَتْش َهْدُت‬
‫ َفَم ا َفَع ْلَت ِفْيَها؟‬: ‫ َقاَل‬،‫ َفَع َّر َفُه ِنَع َم ُه َفَعَر َفَها‬،‫ َفُأِتَي ِبِه‬، ‫ َو َقَر َأ اْلُقْر آَن‬،‫ َو َر ُجٌل َتَع َّلَم اْلِع ْلَم َو َع َّلَم ُه‬. ‫َح َّتى ُأْلِقَي ِفي الَّناِر‬
: ‫ َعاِلٌم َو َقَر ْأَت اْلُقْر آَن ِلُيَقاَل‬: ‫ َلِكَّنَك َتَع َّلْم َت اْلِع ْلَم ِلُيَقاَل‬، ‫ َك َذ ْبَت‬: ‫ َقاَل‬، ‫ َتَع َّلْم ُت اْلِع ْلَم َو َع َّلْم ُتُه َو َقَر ْأُت ِفْيَك اْلُقْر آَن‬: ‫َقاَل‬
‫ َو َر ُج ٌل َو َّس َع ُهللا َع َلْي ِه َو َأْع َط اُه ِم ْن‬.‫ ُثَّم ُأِم َر ِب ِه َفُس ِح َب َع َلى َو ْج ِه ِه َح َّتى ُأْلِقَي ِفي الَّن اِر‬، ‫ َفَقْد ِقْي َل‬،‫ُهَو َقاِر ٌئ‬

‫ َم ا َتَر ْكُت ِم ْن َس ِبْيٍل ُتِح ُّب َأْن ُيْنَفَق‬: ‫ َفَم ا َع ِم ْلَت ِفْيَها؟ َقاَل‬: ‫ َقاَل‬،‫ َفَع َّر َفُه ِنَع َم ُه َفَعَر َفَها‬،‫ َفُأِتَي ِبِه‬،‫َأْص َناِف اْلَم اِل ُك ِّلِه‬
‫ ُثَّم ُأِمَر ِبِه َفُس ِحَب َع َلى َو ْج ِهِه َح َّتى‬، ‫ َفَقْد ِقْيَل‬، ‫ ُهَو َج َّواٌد‬: ‫ َو َلِكَّنَك َفَع ْلَت ِلُيَقاَل‬، ‫ َك َذ ْبَت‬: ‫ َقاَل‬، ‫ِفْيَها ِإَّال َأْنَفْقُت ِفْيَها َلَك‬
‫ُأ‬
‫ ْلِقَي ِفي الَّناِر‬.
Sesungguhnya manusia pertama yang akan dihisab pada hari kiamat adalah
seorang lelaki yang mati syahid. Dia didatangkan (dihadapan Allâh Azza wa
Jalla ), lalu Allâh Azza wa Jalla mengingatkan nikmat-nikmat-Nya, maka diapun
mengakuinya. Allâh Azza wa Jalla berfirman, “Lalu apa yang kamu perbuat
dengan nikmat-nikmat tersebut?” dia menjawab, “Aku berperang di jalan-Mu
sampai aku mati syahid.” Allâh Azza wa Jalla berfirman, “Kamu bohong, akan
tetapi kamu berperang agar kamu dikatakan pemberani, dan kamu telah dikatakan
seperti itu (di dunia).” Kemudian diperintahkan agar dia diseret di atas wajahnya
sampai dia dilemparkan masuk ke neraka.
Dan (orang kedua adalah) seseorang yang mempelajari ilmu (agama),
mengajarkannya, dan dia membaca (menghafal) al-Qur`ân. Dia didatangkan lalu
Allâh Azza wa Jalla mengingatkan nikmat-nikmat-Nya maka diapun
mengakuinya. Allâh Azza wa Jalla berfirman, “Lalu apa yang kamu perbuat
padanya?” Dia menjawab, “Aku mempelajari ilmu (agama), mengajarkannya,
dan aku membaca al-Qur`ân karena-Mu.” Allâh Azza wa Jalla berfirman,
“Kamu bohong, akan tetapi kamu menuntut ilmu agar kamu dikatakan seorang
alim dan kamu membaca al-Qur`ân agar dikatakan qâri` dan kamu telah dikatakan
seperti itu (di dunia).” Kemudian diperintahkan agar dia diseret di atas wajahnya
sampai dia dilemparkan ke neraka.
Dan (yang ketiga adalah) seseorang yang diberikan keluasan (harta) oleh
Allâh Azza wa Jalla dan Dia memberikan kepadanya semua jenis harta. Dia
didatangkan lalu Allâh Azza wa Jalla mengingatkan nikmat-nikmatNya maka
diapun mengakuinya. Allâh Azza wa Jalla berfirman, “Lalu apa yang kamu
perbuat padanya?” Dia menjawab, “Aku tidak menyisakan satu jalanpun yang
Engkau senang kalau ada yang berinfak di situ kecuali aku berinfak disana
karena-Mu.” Allâh Azza wa Jalla berfirman, “Kamu bohong, akan tetapi kamu
melakukan itu agar disebut dermawan, dan kamu telah dikatakan seperti itu (di
dunia).” Kemudian diperintahkan agar dia diseret di atas wajahnya sampai dia
dilemparkan ke neraka.”[24]
Hendaklah orang yang berakal memperhatikan dan merenungkan, bagaimana
orang-orang yang memiliki amalan-amalan yang besar itu, justru yang paling awal
dimasukkan ke neraka ? Karena mereka tidak ikhlas dalam amalan mereka dan
ingin dipuji manusia. Dan diantara yang perlu menjadi bahan renungan adalah apa
yang disebutkan dalam hadits itu bahwa ketiga orang tersebut telah mendapatkan
pujian manusia yang mereka inginkan. Ini perlu diperhatikan agar tidak tertipu
dengan pujian manusia. Sesungguhnya yang menjadi tolok ukur adalah niat dalam
hati yang diketahui Allâh Azza wa Jalla .
Kita memohon, semoga Allâh Azza wa Jalla memberikan rahmat-Nya kepada
kita dan memberikan petunjuk kepada hati-hati kita agar ikhlas karena Allah k dan
mengharapkan keridhaan-Nya. Dan semoga Allâh Azza wa Jalla tidak
menyerahkan urusan kita kepada diri kita sendiri meskipun sekejap mata, atau
lebih singkat dari itu. Semoga shalawat, salam, dan barakah senantiasa tercurah
kepada hamba dan rasul-Nya Muhammad dan kepada keluarga dan para shahabat
seluruhnya[25]

B. SUMPAH
1. Bersumpah dalam Islam – Hukum dan Syaratnya
Sebagaimana Tujuan Penciptaan Manusia , Tujuan Hidup Menurut Islam,
Hakikat Penciptaan Manusia, Hakikat Manusia Menurut Islam, Proses Penciptaan
Manusia ,maka manusia wajib untuk mengikuti segala tuntunan islam. Maka
islam pun terdapat bagaimana jika seorang muslim hendak bersumpah.
Bersumpah adalah mengucapkan seperti janji atau ikrar dengan kesungguhan
untuk menguatkan pernyataan yang dibuat oleh seseorang. Sumpah tentu memiliki
derajat yang tinggi atau tidak main-main. Sumpah tentu memiliki konsekwensi
dan dampak pada yang mengucapkannya. Untuk itu, sumpah tidak bisa diucapkan
main-main, apalagi jika membawa nama Agama, Allah, dan Rasulullah.
Hukum Sumpah Menurut Imam Mahdzab
Sumpah dalam islam dibahas oleh para ulama atau imam besar. Mereka
memiliki pendapat masing-masing mengenai bersumpah dalam islam. Hal
tersebut akan dijabarkan sebagai berikut.
a. Pendapat beberapa Ulama

 Pendapat Imam Malik


Imam Malik berpendapat bahwa bersumpah hukumnya adalah jaiz. Dalam hal
yang dimaksudkan untuk menekankan kepada masalah agama atau
mendorong untuk melaksanakan sesuatu yang lebih maka dianjurkan untuk
melakukan sumpah. Jika sumpah dilakukan dengan hukum mubah, maka
melanggarnya pun mubah namun tetap harus membayar denda kecuali jika
pelanggaran dari sumpah itu menjadi lebih baik.
 Pendapat Imam Hambali
Imam Hambali memiliki pendapat bahwa hukum bersumpah sangat
bergantung kepada kondisi yang melingkupinya. Bersumpah bisa wajib,
haram, makruh, sunnah atau mubah. Bersumpah dalam kondisi yang
mengarah kepada kewajiban maka hukumnya wajib. Sednagkan jika
bersumpah dalam hal-hal yang sudah jelas diharamkan agama, maka
hukumnya adalah haram, dan seterusnya.
 Pendapat Imam Syafii
Imam Syafii memiliki pendapat bahwa bersumpah adalah makruh. Sumpah
menjadi sunnah, wajib, haram, dan mubah tergantung kepada keadaannya.
Apabila sumpah diorientasikan pada sunpah yang memberikan bekasan
maksiat maka wajib untuk ditinggalkan, namun jika hal tersebut justru untuk
ditinggalkan (hal maksiat) maka wajib untuk bersumpah.
 Pendapat Imam Hanafi
Imam Hanafi berpendapat bahwa bersumpah adalah bersifat jaiz atau lebih
baik tidak terlalu banyak melakukan sumpah. Untuk itu seorang muslim
hendaknya tidak bersumpah untuk melakukan sesuatu yang main-main atau
hanya sekedar urusan sepele saja.
b. Syarat Bersumpah dalam Islam
Di dalam islam, bersumpah bukanlah ucapan yang main-main. Untuk itu,
sumpah harus dengan kesungguhan dan syarat-syarat yang harus dipenuhi. Untuk
itu, orang yang bersumpah haruslah menepati apa yang menjadi sumpahnya
sedangkan pelanggarannya adalah tanggung jawab dunia akhirat. Dalam Al-Quran
disampaikan oleh Allah untuk jangan mengikuti orang yang mudah bersumpah.
“Dan janganlah kamu mengikuti orang yang selalu bersumpah, lagi yang hina”
(QS 68:10).
Berikut adalah syarat-syarat bersumpah dalam islam yang harus dipenuhi oleh
seorang muslim:
1) Bersumpah dengan Nama Allah
“Barang siapa yang ingin bersumpah, maka bersumpahlah atas nama Allah
atau (jika tidak) maka diamlah”(H.R Bukhari)
Di dalam hadist tersebut, dijelaskan bahwa untuk bersumpah maka harus
dengan menyebut nama Allah. Hal ini menunjukkan bahwa
pertanggungjawaban kita sejatinya adalah dengan Allah bukan pada apapun
selain Allah. Selain itu, bersumpah pada selain Allah tentu hal yang
diharamkan, karena tentunya mendekati kepada kemusyirikan. Syirik Dalam
Islam adalah dosa yang berat dan sulit untuk diampuni jika tidak Taubatan
Nasuha , Shalat Taubat, dan Cara Taubat Nasuha Menurut Islam. Bersumpah
pada Allah menunjukkan bahwa pertanggungjawaban apa yang kita sebutkan
bukan hanya di dunia, melainkan kelak di akhirat langsung pada Allah SWT.
Sedangkan pada selain Allah, dikhawatirkan atau berpotensi pada
penyelewengan akidah.
2) Sumpah dengan Salah Satu dari Nama-Nama Allah
Sumpah yang baik adalah yang menyebutkan nama Allah di dalamnya. Nama
Allah yang terdapat dalam Al-Quran ada 99 Nama Sifat dan Nama Allah.
Untuk itu, salah satunya dapat disebutkan dalam sumpah yang dilakukan,
sebagaimana dalam hadist berikut. Menyebut nama Allah sebagai bentuk
sumpah kita adalah sumpah kesungguhan yang disampaikan benar-benar dari
hati dan pertanggungjawaban yang dalam.“Aku berlindung dengan
Kemuliaan Kamu, yang tidak ada Tuhan melainkan Kamu yang tidak mati
manakala jin dan manusia akan mati” (H.R Bukhari)
Menyebut Nama Allah tentu menunjukkan seorang menjadi hamba beriman
pada Allah. Ada banyak sekali manfaat beriman kepada Allah SWT dan
manfaat tawaqal kepada Allah bagi manusia yang menjalankan misinya sesuai
rukun islam, rukun iman, fungsi agama, dan Konsep manusia dalam islam.
3) Sumpah dengan Salah Satu Sifat Allah
Selain itu, sumpah yang baik adalah dengan menyebutkan pula sifat-sifat Allah.
Sebagaimana contohnya dalam hadist berikut ini.
Dari pada Ibn ‘Umar (radhiallahu ‘anhuma), dia berkata, Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam pernah bersumpah dengan berkata: “Tidak! Demi yang
membolak-balikkan hati (HR Bukhari)
Contoh lain dalam penyebutan sifat Allah adalah dalam hadist berikut ini.
“Demi yang jiwa Muhammad berada di Tangan-Nya, tidaklah seorang jua dari
umat ini yang mendengar tentang aku, baik Yahudi mahupun Nasrani,
kemudian dia mati tanpa beriman kepada apa yang aku diutus dengannya
(Islam) melainkan dia menjadi dari kalangan ahli neraka (HR Bukhari)
4) Isi Sumpah Jelas dan Tegas
Isi sumpah haruslah jelas dan tegas. Hal ini untuk meyakinkan dan memastikan
apakah sumpah tersebut dapat berjalan nantinya dengan benar dan konsisten.
Isi sumpah yang ambigu dan tidak dapat dipahami isinya, tentu menjadi
sumpah yang tidak sungguh-sungguh dan akan mudah untuk dilanggar.
Sumpah yang ambigu, nantinya akan berpotensi untuk menjadi penyelewengan
makna atau bias tafsir sehingga akan berefek pada tidak jelasnya tujuan yang
hendak dicapai dari sumpah tersebut. Misalnya “Saya bersumpah tidak akan
melakukan hal itu lagi”. Hal itu yang dimaksud dalam isi sumpah di atas
harus diperjelas dan diucapkan dengan tegas merujuk pada perilaku apa dan
seperti apa.
c. Pelanggaran Sumpah
“Allah tidak menghukum kalian disebabkan sumpah-sumpah yang tidak
bersungguh-sungguh, melainkan Dia menghukum kalian akibat sumpah-sumpah
yang kalian sengaja, maka penyangkalan sumpah itu ialah memberi makanan
untuk sepuluh orang yang membutuhkan, dengan hidangan yang biasa kalian beri
untuk keluarga kalian, atau memberi pakaian untuk mereka atau memerdekakan
seorang budak. Barangsiapa tidak sanggup, maka berpuasa selama tiga hari; Hal
demikian itu adalah penyangkalan terhadap hal yang telah kalian perbuat; namun
jagalah sumpah kalian. Demikianlah Allah menjelaskan kepada kalian tentang
Hukum-HukumNya supaya kalian bersyukur.” (QS Al Maidah: 89)
Dari ayat di atas dapat diambil kesimpulan bahwa jika ada yang melanggar
sumpah maka harus melakukan sebagaimana apa yang disampaikan dalam Ayat di
atas. Hal ini dapat dirangkum dalam poin-poin berikut ini:
 Memberi makan sepuluh orang miskin dengan makanan yang biasa dimakan
sehari-hari atau bersama keluarga
 Memberi pakaian pada orang miskin
 Memerdekakakan seorang budak/hamba
 Jika tidak dapat dilakukan hal-hal diatas, maka hendak untuk berpuasa selama
tiga hari.

C. KERJA SAMA ATAU SYIRKAH


1. Pengertian Syirkah
Syirkah secara bahasa berarti al-ikhtilath yang artinya percampuran, yaitu
bercampurnya dua harta bagian secara utuh sehingga tidak dapat lagi dibedakan
mana harta bagian yang satu dari harta bagian yang lain. Secara syara’ syirkah
adalah aqad antara dua orang atau lebih yang bersepakat untuk melakukan
aktivitas yang menggunakan harta dengan maksud memperoleh keuntungan.
Adapun pengertian syirkah menurut para ulama, antar lain :
Pertama, menurut Ulama Hanafiah yaitu : akad antara dua orang yang berserikat
pada pokok harga (modal) dan keuntungannya.
Kedua, menurut Ulama Malikiah yaitu : Izin untuk bertindak secara huku, bagi
dua orang yang bekerja sama terhadap harta mereka.
Ketiga, menurut Ulama Syafi’iyah yaitu : Ketetapan hak pada sesuatu yang
dimiliki dua orang atau lebih dengan cara yang mahsyur (diketahui)
Apabila diperhatikan dari menurut kumpulan ulama diatas, sebenarnya
perbedaannya hanya terlepas pada redaksional saja namun secara esensial
prinsipnya sama yaitu bentuk kerja sama anatara dua atau lebih dalam sebuah
usaha dan konsekuensi keuntungan dan kerugian yang ditanggung secara bersama.
(Ghufron Ihsan, 2010, 127)
Menurut Hadist:
َ:‫ َقاَل َر ُسوُل ِهَّللَا صلى هللا عليه وسلم ( َقاَل ُهَّللَا‬: ‫َع ْن َأِبي ُهَر ْيَر َة رضي هللا عنه َقاَل‬
,‫ َفِإَذ ا َخ اَن َخ َر ْج ُت ِم ْن َبْيِنِهَم ا ) َر َو اُه َأُب و َداُو َد‬,‫َأَنا َثاِلُث َالَّش ِريَكْيِن َم ا َلْم َيُخْن َأَح ُدُهَم ا َص اِحَبُه‬

‫َو َص َّح َح ُه َاْلَح اِكُم‬


Artinya: “Dari Abu Hurairah yang dirafa’kan kepada Nabi SAW bahwa Nabi
SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah SWT berfirman, “Aku adalah yang ketiga
pada dua orang yang bersekutu, selama salah seorang dari keduanya tidak
mengkhianati temannya, Aku akan keluar dari persekutuan tersebut apabila salah
seorang menghianatinya.”
Syirkah hukumnya mubah. Ini berdasarkan dalil hadith Nabi s.a.w berupa
taqrir terhadap syirkah. Pada saat Baginda diutus oleh Allah sebagai nabi, orang-
orang pada masa itu telah bermuamalahdengan cara ber-syirkah dan Nabi
Muhammad SAW membenarkannya. Imam Bukhari juga meriwayatkan bahwa
Aba Manhal pernah mengatakan, “Aku dan rekan pembagianku telah membeli
sesuatu dengan cara tunai dan utang. ”Lalu kami didatangi oleh Al Barra’bin azib.
Kami lalu bertanya kepadanya. Dia menjawab, “Aku dan rekan kongsiku, Zaiq
bin Arqam, telah mengadakan pembagian. Kemudian kami bertanya kepada Nabi
SAW tentang tindakan kami. Baginda menjawab: “Barang yang (diperoleh)
dengan cara tunai silahkan kalian ambil. Sedangkan yang (diperoleh) secara
utang, silalah kalian bayar”. Hukum melakukan syirkah dengan kafir Zimmi
Hukum melakukan syirkah dengan kafir zimmi juga adalah mubah. Imam Muslim
pernah meriwayatkan dari Abdullah bin Umar yang mengatakan: “Rasulullah
SAW pernah memperkerjakan penduduk khaibar (penduduk Yahudi) dengan
mendapat bagian dari hasil tuaian buah dan tanaman”
2. Macam-macam Syirkah
Syirkah terbagi menjadi dua, yaitu syrikah amlak (kepemilikan) dan syirkah
uqud (kontrak). Syirkah amlak yaitu syirkah yang bersifat memaksa dalam hukum
positif, sedagkan syirkah uqud yaitu syirkah yang bersifat ikhtiariyah (pilihan
sendiri).
2.1 Syirkah Amlak
Syirkah amlak adalah dua orang atau lebih yang memiliki barang tanpa adanya
akad baik bersifat ikhtiari atau jabari artinya barang yang dimiliki oleh dua orang
atau lebih tanpa adanya akad. Syirkah amlak dibagi menjadi dua, yaitu :
 Syirkah Ikhtiar (suka rela)
Syirkah ikhtiar adalah syirkah yang muncul karena adanya kontrak
dengandua orang. Seperti dua orang yang sepakat membeli suatu barang atau
keduanya menerima barang hibah, wasiat, atau wakaf dari orang lain maka
benda-benda itu menjadi harta serikat (bersama).
 Syirkah Ijbar (paksaan)
Syirkah ijbar adalah syirkah yang ditetapkan kepada dua orang atau lebih
yang bukan didasarkan atas perbuatan keduanya. Seperti harta warisan yang
mereka terima dari orang tuanya.
Hukum kedua jenis syirkah ini adalah salah seorang yang bersekutu (kelompok)
seolah-olah sebagai orang lain dihadapan sekutunya. Maka dari itu, salah seorang
diantara mereka tidak boleh mengolah (tasharruf) harta syirkah tersebut tanpa ada
izin dari teman sekutunya, karena keduanya tidak punya wewenang unutk
menentukan bagian masing-masing.1
2.2 Syirkah Uqud
Syirkah uqud adalah dua orang atau lebih yang melakukan akad untuk kerjasama
(berserikatberdasarkansuatuakad) dalam modal keuntungan. Artinya, kerjasama
ini didahului oleh transaksi dalam penanaman modal dan kesepakatan pembagian
keuntungan. Macam-macam syirkah uqud, anatara lain :
a. Syirkah Inan
Kesepaktan antara dua orang dalam harta milik untuk berdagang
secara bersama-sama dan membagi laba atau kerugian bersama-sama.
Dalam syirkah ini boleh salah satu pihak memiliki modal yang lebih besar
dari pihak lainnya. Dengan hal ini, beban tanggung jawab dan kerja, boleh
satu pihak bertanggung jawab penuh sedangkan pihak lain tidak.Dalam

1
syirkah ini, disyaratkan modalnya harus berupa uang (nuqûd); sedangkan
barang (‘urûdh), misalnya rumah atau mobil, tidak boleh dijadikan modal
syirkah, kecuali jika barang itu dihitung nilainya (qîmah al-‘urûdh) pada
saat akad. Keuntungan dibagi sesuai presentase yang telah disepakati
sebelumnya. Jika mengalami kerugian ditanggung bersama dilihat dari
presentasi modal.Jika masing-masing modalnya 50%, maka masing-masing
menanggung kerugian sebesar 50%. Diriwayatkan oleh Abdur Razaq dalam
kitab Al-Jâmi’, bahwa Ali bin Abi Thalib ra. pernah berkata, "Kerugian
didasarkan atas besarnya modal, sedangkan keuntungan didasarkan atas
kesepakatan mereka (pihak-pihak yang bersyirkah)."
b. Syirkah al-Abdan
Perserikatan dalam bentuk kerja yang hasilnya dibagi bersama sesuai
kesepakatan. Artinya, dalam syirkah ini tidak disyaratkan memiliki
kesamaan profesi atau keahlian, tetapi boleh berbeda profesi.
Kesepakatandua orang atau lebih untuk menerima sesuatu pekerjaan tukang
besi, kuli angkut, tukang jahit, dan sebagainya. Tujuan syirkah ini mencari
keuntungan dengan modal pekerjaan bersama.
c. Syirkah Mudharabah
Syirkah mudhârabah adalah syirkah antara dua pihak atau lebih
dengan ketentuan, satu pihak memberikan konstribusi kerja (‘amal),
sedangkan pihak lain memberikan konstribusi modal (mal). Istilah
mudhârabah dipakai oleh ulama Irak, sedangkan ulama Hijaz menyebutnya
qirâdh. Hukum syirkah mudhârabah adalah jâ’iz (boleh) berdasarkan dalil
as-Sunnah (taqrir Nabi Saw) dan Ijma Sahabat. Dalam syirkah ini,
kewenangan melakukan tasharruf hanyalah menjadi hak pengelola
(mudharib/‘amil). Pemodal tidak berhak turut campur dalam tasharruf.
Namun demikian, pengelola terikat dengan syarat-syarat yang ditetapkan
oleh pemodal. Jika ada keuntungan, ia dibagi sesuai kesepakatan di antara
pemodal dan pengelola modal, sedangkan kerugian ditanggung hanya oleh
pemodal. Sebab, dalam mudhârabah berlaku hukum wakalah (perwakilan),
sementara seorang wakil tidak menanggung kerusakan harta atau kerugian
dana yang diwakilkan kepadanya. Namun demikian, pengelola turut
menanggung kerugian, jika kerugian itu terjadi karena kesengajaannya atau
karena melanggar syarat-syarat yang ditetapkan oleh pemodal.
d. Syirkah Wujuh
Disebut syirkah wujûh karena didasarkan pada kedudukan, ketokohan,
atau keahlian (wujûh) seseorang di tengah masyarakat. Syirkah mudhârabah
adalah syirkah antara dua pihak atau lebih dengan ketentuan, satu pihak
memberikan konstribusi kerja (‘amil), sedangkan pihak lain memberikan
konstribusi modal (mâl). Dalam hal ini, pihak A dan B adalahtokoh
masyarakat. Syirkah semacam ini hakikatnya termasuk dalam syirkah
mudhârabah sehingga berlaku ketentuan-ketentuan syirkah mudhârabah
padaumumnya. Bentuk kedua syirkah wujûh adalah syirkah antara dua
pihak atau lebih yang ber-syirkah dalam barang yang mereka beli secara
kredit, atas dasar kepercayaan pedagang kepada keduanya, tanpa konstribusi
modal dari masing-masing pihak.
e. Syirkah Mufawidah
Kesepakatan dimana modal sesuai pihak dan bentuk kerjasama yang
mereka lakukan baik kualitas, kuantitasnya harus sama dan keuntungannya
dibagi rata. Dalam syirkah mufawidah ini masing-masing pihak harus sama-
sama bekerja. Hal yang terpenting dalam syirkah ini yaitu modal, kerja
maupun keuntungan merupakan hak dan kewajiban yang sama.
3. Syarat-syarat Syirkah Uqud
3.1 Syarat Syirkah Uqud
Menurut ulama Hanafiyah syarat syirkah uqud tebagi dua macam, yaitu umum
dan khusus. Adapun syarat umum syirkah uqud, antara lain :
a. Dapat dipandang sebagai perwakilan.
b. Ada kejelasan dalam pembagian keuntungan.
c. Laba meurpakan bagian (juz) umum dari sunnah.
d. Syarat Khusus pada Syirkah Amwal
Sedangkan, syarat khusus pada syirkah amwal baik pada syirkah inan
maupun mufawidah adalah berikut ini :
a. Modal syirkah harus ada dan jelas
b. Modal harus bernilai atau berharga secar mutlak
c. Syarat Khusus Syirkah Mufawidah
3.2 Syarat Syirkah Mufawidah
Ulama Hanafiyah menyebutkan beberapa syarat khusus pada syirkah mufawidah,
diantaranya :
a. Setiap aqid (yang akad) harus ahli dalam perwakilan dan jaminan, yakni
keduanya harus merdeka telah baligh, berakal, sehat dan dewasa.
b. Ada kesamaan modal dari segi ukuran, harga awal dan akhir.
c. Adapun yang pantas menjadi modal dari salah seorang yang bersekutu
dimaukkan dalam perfungsian.
d. Ada kesamaan dalam pebagian keuntungan.
e. Ada kesamaan dalam berdagang. Tidakboleh dikhususkan pada seorang
atas saja, juga tidak bersifat dengan orang kafir.
3.3 Syarat Syirkah A’mal
Jika syirkah berbentuk mufawidah, harus memenuhi syarat mufawidah. Tapi jika
berbentuk syirkah inan, hanya disyaratkan ahli dalam perwakilan saja. Namun
demikian, jika pekerjaan membutuhkan alat itu dipakai oleh salah seorang aqid,
hal itu tidak berpengaruh terhadap syirkah. Akan tetapi, jika membutuhkan
kepada orang lain, pekerjaan itu menjadi tanggung jawab yang menyuruh dan
perkongsian dipandang rusak.
3.4 Syarat Syirkah Wujuh
Apabila syirkah ini berbentuk mufawidah, hendaklah yang bersekutu itu ahli
dalam memberikan jaminan dan masing-masing harus memiliki setengah harga
yang dibeli. Selain itu, keuntungan dibagi dua dan ketika akad harus
menggunakan kata mufawidah. Namun jika syirkah berbentuk inan, tidak
disyaratkan harus memenuhi persyaratan yang adadan dibolehkan salah seorang
aqid melebihi yang lain. Hanya saja, keuntungan harus didasarkan pada
tanggungan. Jika meminta lebih, akan batal.
4. Karakteristik Akad Syirkah
Dalam akad ini dikenal adanya karakteristik yang membedakan dengan
akad-akad yang lain, yaitu :
a. Para mitra (syarik) bersama-sama menyediakan dana untuk mendanai
suatu usaha, baik yang sudah berjalan maupun yang baru. Selanjutnya mitra
dapat mengembalikan dana awal dan membagi hasil yang tela disepakati.
b. Investasi musyarakah dapat diberikan dalam bentuk kas, setara kas atau
aset nonkas, termasuk aset tak berwujud, seperti lisensi dan hak paten.
c. Karena setiap mitra tidak dapat menjamin dana mitra lainnya, setiap mitra
dapat meminta mitra lainnya untuk menyediakan jaminan atas kelalaian atau
kesalahan yang disengaja. Beberapa hal yang menunjukkan adanya
kesalahan, ialah :
- Pelanggaran terhadap akad antara lain penyalahgunaan dana investasi,
manipulasi biaya, dan pendapatan operasional.
- Pelaksanaan yang tidak sesuai dengan prinsip syariah.Jika tidak terdapat
kesepakatan antara pihak yang bersengketa, kesalahan yang disengaja
harus dibuktikan berdasarkan keputusan institusi yang berwenang.
- Pendapatan usaha musyarakah dibagi diantara para mitra secara
proporsional sesuai dengan dana yang disetorkan atau sesuai nisbah yang
telah disepakati oleh para mitra. Sedangkan rugi dibebankan secara
proporsional sesuai dengan dana yang disetorkan.
- Jika salah satu mitra memberikan kontribusi atau nilai lebih dari mitra
lainnya dalam akad musyrakah, mitra tersebut dapat memperoleh
keuntungan lebih besar untuk dirinya. Bentuk keuntungan lebih tersebut
dapat berupa pemberian porsi dananya atau bentuk tambahan keuntungan
lainnya.
- Porsi jumlah bagi hasil untuk para mitra ditentukan berdasarkan nisbah
yang disepakati dari pendapatan usaha yang diperoleh selam periode
akad bukan dari jumlah investasi yang disalurkan.
- Pengelola musyarakah mengadminitrasikan transaksi usaha yang terkait
dengan investasi musyarakah yang dikelola dalam pembukuan tersendiri.

5. Berakhirnya Akad Syirkah


Beberapa hal yang dapat membatalkan syirkah secara umum, antara lain :
 Salah satu pihak mengundurkan diri.
 Salah satu pihak yang berserikat meninggal dunia.
 Salah satu pihak kehilangan kecakapan bertindak hukum.
Sementara, pembatalan syirkah secara khusus sebagian syirkah, anatara lain :
 Harta syirkah rusak dan tidak ada kesamaan modal
Para mitra (syarik) bersama-sama menyediakan dana untuk mendanai suatu
usaha, baik yang sudah berjalan maupun yang baru. Selanjutnya mitra dapat
mengembalikan dana awal dan membagi hasil yang tela disepakati. Investasi
musyarakah dapat diberikan dalam bentuk kas, setara kas atau aset nonkas,
termasuk aset tak berwujud, seperti lisensi dan hak paten. Karena setiap mitra
tidak dapat menjamin dana mitra lainnya, setiap mitra dapat meminta mitra
lainnya untuk menyediakan jaminan atas kelalaian atau kesalahan yang
disengaja. Beberapa hal yang menunjukkan adanya kesalahan, ialah :
 Pelanggaran terhadap akad antara lain penyalahgunaan dana investasi,
manipulasi biaya, dan pendapatan operasional.
 Pelaksanaan yang tidak sesuai dengan prinsip syariah.
Jika tidak terdapat kesepakatan antara pihak yang bersengketa,
kesalahan yang disengaja harus dibuktikan berdasarkan keputusan institusi
yang berwenang. Pendapatan usaha musyarakah dibagi diantara para mitra
secara proporsional sesuai dengan dana yang disetorkan atau sesuai nisbah
yang telah disepakati oleh para mitra. Sedangkan rugi dibebankan secara
proporsional sesuai dengan dana yang disetorkan. Jika salah satu mitra
memberikan kontribusi atau nilai lebih dari mitra lainnya dalam akad
musyrakah, mitra tersebut dapat memperoleh keuntungan lebih besar untuk
dirinya. Bentuk keuntungan lebih tersebut dapat berupa pemberian porsi
dananya atau bentuk tambahan keuntungan lainnya. Porsi jumlah bagi hasil
untuk para mitra ditentukan berdasarkan nisbah yang disepakati dari
pendapatan usaha yang diperoleh selam periode akad bukan dari jumlah
investasi yang disalurkan.Pengelola musyarakah mengadminitrasikan
transaksi usaha yang terkait dengan investasi musyarakah yang dikelola
dalam pembukuan tersendiri.
KESIMPULAN

 Secara bahasa kata ikhlas berasal dari bahasa Arab: ‫ وخالصا خلوصا خلص‬yang
artinya murni, tiada bercampur, bersih, jernih. Ikhlas adalah suci dalam niat,
bersih batin dalam beramal, tidak berpura- pura, lurus hati dalam bertindak,
jauh dari riya’ dan kemegahan dalam berlaku berbuat, mengharapkan ridha
Allah semata-mata
 Bersumpah adalah mengucapkan seperti janji atau ikrar dengan kesungguhan
untuk menguatkan pernyataan yang dibuat oleh seseorang. Sumpah tentu
memiliki derajat yang tinggi atau tidak main-main. Sumpah tentu memiliki
konsekwensi dan dampak pada yang mengucapkannya. Untuk itu, sumpah
tidak bisa diucapkan main-main, apalagi jika membawa nama Agama, Allah,
dan Rasulullah
 Berikut adalah syarat-syarat bersumpah dalam islam yang harus dipenuhi oleh
seorang muslim: Bersumpah dengan nama Allah, Sumpah dengan salah satu
dari nama-nama Allah, Sumpah dengan salah satu sifat Allah dan isi sumpah
jelas dan tegas
 Syirkah secara bahasa berarti al-ikhtilath yang artinya percampuran, yaitu
bercampurnya dua harta bagian secara utuh sehingga tidak dapat lagi
dibedakan mana harta bagian yang satu dari harta bagian yang lain. Secara
syara’ syirkah adalah aqad antara dua orang atau lebih yang bersepakat untuk
melakukan aktivitas yang menggunakan harta dengan maksud memperoleh
keuntungan.

DAFTAR PUSTAKA

Harisudin M. Noor, Fiqih Muamalah 1, Surabaya : Pena Salsabila 2014.


Syafe’i Rachmat, Fiqih Muamalah, Bandung : C.V Pustaka Setia 2001.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun XVI/1434H/2013. Diterbitkan


Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta

Anda mungkin juga menyukai