Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH

TAZKIYATUNNUFUS
IKHLAS

Disusun Oleh :

Nama : Rezali Rahman

Nim : 14194861

Kelas : E/KM/VI

KONSENTRASI MANAJEMEN RUMAH SAKIT


PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
SURYA GLOBAL YOGYAKARTA
2021
BAB 1

PENDAHULUAN

Amal yang pasti diterima adalah yang dikerjakan dengan ikhlas. Amal hanya karena Allah
semata, dan tidak ada harapan kepada makhluk sedikit pun. Niat ikhlas bisa dilakukan
sebelum amal dilakukan, bisa juga disaat melakukan amal atau setelah amal dilakukan. Salah
satu karunia Allah yang harus disyukuri adalah adanya kesempatan untuk beramal. Menjadi
jalan kebaikan dan memberikan manfaat kepada orang lain. Karenanya, jangan pernah
menunda kebaikan ketika kesempatan itu datang. Lakukan kebaikan semaksimal mungkin
dan lupakan jasa yang sudah dilakukan. Serahkan segalanya hanya kepada Allah. Itulah
aplikasi dari amal yang ikhlas.

Berkaitan dengan suatu perbuatan, Islam sangat menekankan pentingnya motif dan tujuan
dari seorang yang melakukan perbuatan tersebut tidak cukup hanya bentuk lahiriahnya saja.
Dalam hal ini dapat diibaratkan bahwa setiap perbuatan itu ada badan dan ruhnya. Badannya
adalah bentuk luar yang terlihat dan terdengar, sedangkan ruhnya adalah niat yang
mendorong dilakukannya perbuatan itu dan jiwa ikhlas yang mendorong terciptanya
perbuatan tersebut. Bagi golongan ahli hakikat (tasawuf), ikhlas merupakan syarat sahnya
suatu ibadah. Dengan demikian, diterima atau tidaknya suatu perbuatan sangat tergantung
kepada niat yang melakukannya.

Sedemikian pentingnya kedudukan ikhlas dalam amal ibadah, sehingga dalam al-Qur’an
sendiri sebagai sumber utama dalam ajaran Islam-terdapat banyak ayat yang membicarakan
masalah ikhlas dalam berbagai aspeknya. Oleh karena itu, sesuai dengan tema yang telah
ditentukan, kajian dalam tulisan ini akan berupaya memaparkan konsep ikhlas
BAB II

PEMBAHASAN

A.      Pengertian Ikhlas

Secara etimologis, kata ikhlas merupakan bentuk mashdar dari kata akhlasha yang
berasal dari akar kata khalasha. Menurut Luis Ma’luuf, kata khalasha ini mengandung
beberapa macam arti sesuai dengan konteks kaliamatnya. Ia bisa berarti shafaa (jernih), najaa
wa salima (selamat), washala (sampai), dan I’tazala (memisahkan diri). Maksudnya, didalam
menjalankan amal ibadah apa saja harus disertai dengan niat yang ikhlas tanpa pamrih
apapun.

Bila diteliti lebih lanjut, kata ikhlas sendiri sebenarnya tidak dijumpai secara langsung
penggunaannya dalam al-Qur’an. Yang ada hanyalah kata-kata yang berderivat sama dengan
kata ikhlas tersebut. Secara keseluruhan terdapat dalam tiga puluh ayat dengan penggunaan
kata yang beragam. Kata-kata tersebut antara lain : kata khalashuu, akhlashnaahum,
akhlashuu, astakhlish, al-khaalish, dan khaalish masing-masing sebanyak satu kali.
Selanjutnya kata khaalishah lima kali, mukhlish (tunggal) tiga kali, mukhlishuun (jamak) satu
kali, mukhlishiin (jamak) tujuh kali, mukhlash (tunggal) satu kali, dan mukhlashiin (jamak)
sebanyak delapan kali.

Selanjutnya, ditinjau dari segi makna, term ikhlas dalam al-Qur’an juga mengandung
arti yang beragam. Dalam hal ini al-Alma’i merinci pemakaian term tersebut kepada empat
macam :

Pertama, ikhlas berarti al-ishthifaa’ (pilihan) seperti pada surat Shaad : 46-47. Di sini al-
Alma’i mengutip penafsiran dari Ibn al-Jauzi terhadap ayat tersebut yang intinya bahwa Allah
telah memilih mereka dan menjadikan mereka orang-orang yang suci. Penafsiran yang sama
juga dikemukakan oleh al-Shaabuuni dalam tafsirnya Shafwah al-Tafaasiir, yakni “Kami
(Allah) istimewakan mereka dengan mendapatkan kedudukan yang tinggi yaitu dengan
membuat mereka berpaling dari kehidupan duniawi dan selalu ingat kepada negeri akhirat.”
Dengan demikian terdapat kaitan yang erat (munaasabah) antara ayat 46 dengan 47, yakni
ayat yang sesudahnya menafsirkan ayat yang sebelumnya.

Kedua, ikhlas berarti al-khuluus min al-syawaa’ib (suci dari segala macam kotorn),
sebagaimana tertera dalam surat an-Nahl : 66 yang membicarakan tentang susu yang bersih
yang berada di perut binatang ternak, meskipun pada mulanya bercampur dengan darah dan
kotoran ; kiranya dapat dijadikan pelajaran bagi manusia. Makna yang sama juga terdapat
dalam surat al-zumar : 3, walaupun dalam konteks yang berbeda. Dalam ayat tersebut
dibicarakan tentang agama Allah yang bersih dari segala noda seperti syirik, bid’ah dan lain-
lain.

Ketiga, ikhlas berarti al-ikhtishaash (kekhususan), seperti yang terdapat pada surat al-Baqarah
: 94, al-An’am : 139, al-A’raf : 32, Yusuf : 54, dan al-Ahzab : 32.

Keempat, ikhlas berarti al-tauhid (mengesakan) dan berarti al-tathhir (pensucian) menurut
sebagian qira’at. Ikhlas dalam artian pertama inilah yang paling banyak terdapat dalam al-
Qur’an, antara lain terdapat dalam surat al-Zumar : 2,11,14, al-Baqarah : 139, al-A’raf : 29,
Yunus : 22, al-Ankabut : 65, Luqmaan : 32, Ghaafir : 14,65, an-Nisaa : 146, dan al-
Bayyinah : 5. Dalam ayat-ayat tersebut, kata-kata yang banyak digunakan adalah dalam
bentuk isim fa’il (pelaku), seperti mukhlish (tunggal) dan mukhlishuun atau mukhlshiin
(jamak). Secara leksikal kata tersebut dapat diartikan dengan al-muwahhid (yang
mengesakan). Dalam konteks inilah kiranya surat ke-112 dalam al-Qur’an dinamakan surat
al-ikhlaas, dan kalimat tauhid (laa ilaaha illa Allah) disebut kalimat al-ikhlas. Dengan
demikian makna ikhlas dalam ayat-ayat di atas adalah perintah untuk selalu mengesakan
Allah dalam beragama, yakni dalam beribadah, berdo’a dan dalam perbuatan taat lainnya
harus dikerjakan semata-mata karena Allah; bukan karena yang lain. Itulah sebabnya
mengapa term ikhlas pada ayat-ayat di atas selalu dikaitkan dengan al-diin.

Adapun ikhlas dalam arti yang kedua (al-tathhiir) ditujukan kepada orang-orang yang telah
disucikan Allah hatinya dari segala noda dan dosa sehingga mereka menjadi hamba Allah
yang bersih dan kekasih pilihan-Nya. Hal ini seperti yang tercantum dalam surat Yusuf : 24,
al-Hijr : 40, al-shaffat : 40,74,128,166,169, Shaad : 83, dan surat Maryam : 51. Pada ayat-
ayat tersebut semuanya memakai kata mukhlashiin (jamak) kecuali surat Maryam : 51 yang
memakai bentuk tunggal (mukhlash). Selain itu semua kata mukhlashiin dalam ayat-ayat
tersebut selalu dikaitkan dengan kata ibaad (hamba).

B.       Ayat-ayat Yang Menerangkan Ikhlas

1.    QS. al-Bayyinah: 5

“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan
(mengikhlaskan) ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya
mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama yang
lurus”

2.    QS. Yunus : 105

“dan (aku telah diperintah): "Hadapkanlah mukamu kepada agama dengan tulus dan ikhlas
dan janganlah kamu Termasuk orang-orang yang musyrik”

3.    QS. Al A’raaf : 29 

“Katakanlah: "Tuhanku menyuruh menjalankan keadilan". dan (katakanlah): "Luruskanlah


muka (diri)mu di Setiap sembahyang dan sembahlah Allah dengan mengikhlaskan
ketaatanmu kepada-Nya. sebagaimana Dia telah menciptakan kamu pada permulaan
(demikian pulalah kamu akan kembali kepadaNya)"”

4.    QS. An Nisaa’ : 125

“dan siapakah yang lebih baik agamanya dari pada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya
kepada Allah, sedang diapun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang
lurus? dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayanganNya”

Maksud dari ayat-ayat diatas ialah amal-amal ibadah apa saja jika tidak dijiwai dengan ikhlas
berarti tidak hidup, mati bagaikan bangkai, tidak membawa manfaat sama sekali. Malah,
maaf, menjijikkan seperti bankai yang harus segera dikubur.

D. Keistimewaan Orang-orang yang Ikhlas

Orang-orang yang ikhlas merupakan orang-orang yang bersih dari dosa karena
mereka telah berusaha membersihkan dirinya dengan benar-benar melaksanakan segala
perintah Allah denga tulus. Dalam beraqidah mereka benar-benar mengesakan Allah SWT.
dan tidak menyekutukan-Nya dengan yang lain seperti halnya orang-orang musyrik, yahudi
dan nasrani. Selanjutnya dalam melakukan ibadah dan amal kebajikan lainnya mereka
kerjakan semata-mata karena Allah dan untuk Allah; bukan karena manusia dengan cara riya’
dan sum’ah, untuk mendapatkan popularitas dan kesenangan hawa nafsu lainnya. Oleh
karena itu wajar kiranya terhadap orang-orang yang ikhlas ini Allah SWT. menganugrahkan
keistimewaan dan kelebihan kepada mereka, baik dalam kehidupan duniawi dan ukhrawinya.
Apabila kita kembali merujuk kitab suci al-Qur’an, maka akan kita temukan di
dalamnya beberapa ayat yang menerangkan keistimewaan dan keutamaan orang-orang yang
ikhlas, antara lain sebagai berikut.
Pertama, selamat dari kesesatan. Sebagaimana telah dijelaskan oleh Allah dalam surat
al-Hijr: 39-40 yang artinya sebagai berikut: Iblis berkata: “Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau
telah memutuskan bahwa aku sesat, pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik
(perbuatan ma’siat) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya.
Kecuali hamba-hamba Engkau yang mukhlis di antara mereka”. Dan begitu juga firman
Allah dalam surat Shad ayat 82-83 yang artinya sebagai berikut: Iblis menjawab: “Demi
kekuasan Engkau aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba-Mu yang
mukhlas di antara mereka”.
Ayat di atas merupakan penggalan kisah Nabi Adam dan pembangkangan pertama
yang dilakukan oleh iblis terhadap Allah SWT. Mereka adalah hamba Allah yang
membangkang, durhaka, ingkar, sombong dan terkutuk yang diberi umur panjang—karena
perminyaan mereka—hingga mendekati hari kiamat. Mereka ingin menyesatkan semua
manusia untuk diajak ke neraka dengan bujuk rayunya yang manis. Maka berdasarkan ayat di
atas, orang-orang yang ikhlas tidak akan dapat digoda oleh iblis dan sekutunya karena mereka
telah mendapatkan perlindungan dari Allah SWT.
Kedua, dapat mengendalikan hawa nafsu. Hawa nafsu merupakan salah satu potensi
yang ada dalam diri manusia yang selalu cendrung untuk mengajak manusia kepada
kesenangan-kesenangan badaniah, pemuasan syahwat dan keinginan-keinginan rendah
lainnya. Hal ini sebagaimana diterangkan Allah dalam al-Qur’an surat Yusuf: 53 yang artinya
sebagai berikut: Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya
nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku.
Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Di antara orang yang tidak mudah diperbudak oleh hawa nafsunya adalah orang-orang
yang ikhlas. Seperti dikisahkan dalam surat Yusuf: 24 tentang Yusuf yang diajak
berselingkuh oleh seorang wanita (Zulaikha), istri seorang raja Mesir. Namun berkat
perlindungan Allah, ia selamat dari godaan hawa nafsu yang akan menjerumuskannya ke
dalam kema’siatan.
Dengan demikian, sikap ikhlas akan membentengi manusia dari segala dorongan dan
bujukan hawa nafsu, seperti keinginan terhadap kemewahan, kedudukan, harta, popularitas,
simpati orang lain dan sebagainya. Di mana untuk mewujudkan keinginan-keinginannya
tersebut kadang-kadang seseorang cenderung melakukan segala cara seperti dengan
melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme. Di samping itu juga tidak segan-segan untuk
menjilat atasan dan menginjak bawahannya, asalkan tujuannya tercapai.
Ketiga, do’anya akan dikabulkan Allah SWT.. Dalam menjalani kehidupannya di
dunia, manusia seringkali dihadapkan kepada berbagai problema kehidupan yang tidak dapat
ditanggulangi oleh dirinya sendiri. Dalam kondisi yang demikian, manusia biasanya baru
menyadari akan kelemahannya dan tidak henti-hentinya berdo’a kepada Allah supaya cepat
terbebas dari problema yang dihadapinya. Meskipun demikian, Allah SWT. akan tetap
mengabulkan permohonan mereka jika memang dilakukannya dengan penuh keikhlasan.
Sebagaimana dalam firman Allah dalam surat Lukman ayat 32 yang artinya sebagai berikut:
Dan apabila mereka dilamun ombak yang besar seperti gunung, mereka menyeru Allah
dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya, maka tatkala Allah menyelamatkan mereka
sampai di daratan, lalu sebagian mereka tetap menempuh jalan yang lurus. Dan tidak ada
yang mengingkari ayat-ayat Kami selain orang-orang yang tidak setia lagi ingkar.
Keempat, terhindar dari siksaan neraka dan masuk kedalam syurga di akhirat.
Sebagaimana telah dijelaskan oleh Allah SWT. Dalam al-Qur’an surat al-Shaffat : 40, 74,
128,160, dan 169. Ayat – ayat tersebut menjelaskan orang – orang yang telah disucikan Allah
dari segala dosa dan noda sehingga menjadi orang – orang pilihan dan kesayangan-Nya.di
dunia mereka telah diselamatkan dari segala kehinaan dan bencana, seperti yang dialami
kaum Nabi Nuh, kaum ‘Ad, Tsamud dan kaum yang ingkar lainnya. Sementara di akhirat
nanti mereka akan terbebas dari siksaan api neraka, serta akan mendapatkan balasan yang
sempurna atas amal saleh yang telah mereka lakukan berupa kenikmatan di dalam surga yang
tiada tandingannya, kenikmatan yang belum pernah terlintas pada pendengaran, penglihatan,
dan hati manusia. Itulah balasan dari Allah SWT kepada orang – orang yang ikhlas dalam
beraqidah, beribadah, dan bermuamalah.

E.         Orang-orang yang ikhlas memiliki ciri - ciri, diantaranya:

1.  Selalu memandang diri sendiri


2. Khawatir terhadap popularitas
3. Cinta dan benci karena Allah
4. Tidak terpengaruh oleh kedudukan dan pangkat
5. Tetap beramal meski belum terlihat hasilnya.

E.      Balasan Orang yang Tidak Ikhlas

“Maksud Hadis Nabi SAW: “Sesungguhnya manusia yang pertama dihisab pada hari kiamat
nanti adalah seseorang yang mati syahid, di mana dia dihadapkan dan diperlihatkan
kepadanya nikmat yang telah diterimanya serta ia pun mengakuinya, kemudian ditanya:
Apakah yang kamu gunakan terhadap nikmat itu? Ia menjawab: Saya berjuang di jalan-Mu
sehingga saya mati syahid. Allah berfirman: Kamu dusta, kamu berjuang (dengan niat) agar
dikatakan sebagai pemberani, dan hal itu sudah terpenuhi. Kemudian Allah memerintahkan
untuk menyeret orang tersebut yang akhirnya dia dilemparkan ke An Nar (neraka).

Kedua, seseorang yang belajar dan mengajar serta suka membaca Al Qur’an, dia dihadapkan
dan diperlihatkan kepadanya nikmat yang telah diterimanya serta ia pun mengakuinya,
kemudian ditanya: Apakah yang kamu gunakan terhadap nikmat itu? Ia menjawab: Saya telah
belajar dan mengajarkan Al Qur’an untuk-Mu. Allah berfirman: Kamu dusta, kamu belajar Al
Qur’an (dengan niat) agar dikatakan sebagai orang yang alim (pintar), dan kamu membaca Al
Qur’an agar dikatakan sebagai seorang Qari’ (ahli membaca Al Qur’an), dan hal itu sudah
terpenuhi. Kemudian Allah memerintahkan untuk menyeret orang itu yang akhirnya dia
dilemparkan ke dalam An Nar (neraka).
Ketiga, seseorang yang dilapangkan rezekinya dan dikurniai berbagai macam kekayaan, lalu
dia dihadapkan dan diperlihatkan kepadanya nikmat yang telah diterimanya serta ia pun
mengakuinya, kemudian ditanya: Apakah yang kamu gunakan terhadap nikmat itu? Ia
menjawab: Tidak pernah aku tinggalkan suatu jalan yang Engkau sukai untuk berinfaq
kepadanya, kecuali pasti aku akan berinfaq kerana Engkau. Allah berfirman: Kamu dusta,
kamu berbuat itu (dengan niat) agar dikatakan sebagai orang yang dermawan, dan hal itu
sudah terpenuhi. Kemudian Allah memerintahkan untuk menyeret orang tersebut yang
akhirnya dia dilemparkan ke dalam An Nar.” (HR Muslim)

Demikianlah ketiga orang yang beramal dengan amalan mulia tetapi tidak didasari keikhlasan
kepada Allah. Allah lemparkan mereka ke dalam An Nar (neraka). Semoga kita termasuk
orang-orang yang dapat mengambil pelajaran daripada kisah tersebut. “

                                                                                                                                                       
       
         

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Secara etimologis, kata ikhlas merupakan bentuk mashdar dari kata akhlasha yang berasal
dari akar kata khalasha. Menurut Luis Ma’luuf, kata khalasha ini mengandung beberapa
macam arti sesuai dengan konteks kaliamatnya. Ia bisa berarti shafaa (jernih), najaa wa
salima (selamat), washala (sampai), dan I’tazala (memisahkan diri). Maksudnya, didalam
menjalankan amal ibadah apa saja harus disertai dengan niat yang ikhlas tanpa pamrih
apapun.

tidaklah heran apabila kini belum belum banyak orang yang bisa bersikap ikhlas, padahal dia
sudah seringkali berkata “Akan melakukan segala sesuatu dengan ikhlas”. mungkin dia sudah
bisa bersikap ikhlas, tetapi rasa ikhlas itu tidak sepenuhnya terwujud. Namun, hal itu lebih
baik daripada rasa ikhlas tersebut tidak ada sama sekali dalam diri seseorang. Ibaratnya, rasa
ikhlas itu bisa secara perlahan-lahan ditambah dan terus dipupuk dalam dirinya. Sehingga,
ketika melakukan segala sesuatu, dia bisa bersikap ikhlas secara penuh dan tidak setengah-
setengah.

Dan orang yang tidak ikhlas atau mengerjakan sesuatu bukan karna Allah dinamakan musyrik
yang akan disiksa didalam neraka.
DAFTAR PUSTAKA

http://faisalchoir.blogspot.com/2011/05/ikhlas.html

http://coretanbinderhijau.blogspot.com/2013/04/hadis-tentang-ikhlas-dan-keterangannya.html

http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/12/10/04/mbcw2i-belajar-ikhlas

http://islamic-education7.blogspot.co.id/2012/10/pengertian-ikhlas.html

Anda mungkin juga menyukai