Anda di halaman 1dari 8

BAB 1

PENDAHULUAN

Amal yang pasti diterima adalah yang dikerjakan dengan ikhlas. Amal hanya karena Allah semata,
dan tidak ada harapan kepada makhluk sedikit pun. Niat ikhlas bisa dilakukan sebelum amal
dilakukan, bisa juga disaat melakukan amal atau setelah amal dilakukan. Salah satu karunia Allah
yang harus disyukuri adalah adanya kesempatan untuk beramal. Menjadi jalan kebaikan dan
memberikan manfaat kepada orang lain. Karenanya, jangan pernah menunda kebaikan ketika
kesempatan itu datang. Lakukan kebaikan semaksimal mungkin dan lupakan jasa yang sudah
dilakukan. Serahkan segalanya hanya kepada Allah. Itulah aplikasi dari amal yang ikhlas.

Berkaitan dengan suatu perbuatan, Islam sangat menekankan pentingnya motif dan tujuan dari
seorang yang melakukan perbuatan tersebut tidak cukup hanya bentuk lahiriahnya saja. Dalam hal ini
dapat diibaratkan bahwa setiap perbuatan itu ada badan dan ruhnya. Badannya adalah bentuk luar
yang terlihat dan terdengar, sedangkan ruhnya adalah niat yang mendorong dilakukannya perbuatan
itu dan jiwa ikhlas yang mendorong terciptanya perbuatan tersebut. Bagi golongan ahli hakikat
(tasawuf), ikhlas merupakan syarat sahnya suatu ibadah. Dengan demikian, diterima atau tidaknya
suatu perbuatan sangat tergantung kepada niat yang melakukannya.

Sedemikian pentingnya kedudukan ikhlas dalam amal ibadah, sehingga dalam al-Qur’an sendiri
sebagai sumber utama dalam ajaran Islam-terdapat banyak ayat yang membicarakan masalah ikhlas
dalam berbagai aspeknya. Oleh karena itu, sesuai dengan tema yang telah ditentukan, kajian dalam
tulisan ini akan berupaya memaparkan konsep ikhlas

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Ikhlas

Secara etimologis, kata ikhlas merupakan bentuk mashdar dari kata akhlasha yang berasal
dari akar kata khalasha. Menurut Luis Ma’luuf, kata khalasha ini mengandung beberapa macam arti
sesuai dengan konteks kaliamatnya. Ia bisa berarti shafaa (jernih), najaa wa salima (selamat), washala
(sampai), dan I’tazala (memisahkan diri). Maksudnya, didalam menjalankan amal ibadah apa saja
harus disertai dengan niat yang ikhlas tanpa pamrih apapun.

Bila diteliti lebih lanjut, kata ikhlas sendiri sebenarnya tidak dijumpai secara langsung
penggunaannya dalam al-Qur’an. Yang ada hanyalah kata-kata yang berderivat sama dengan kata
ikhlas tersebut. Secara keseluruhan terdapat dalam tiga puluh ayat dengan penggunaan kata yang
beragam. Kata-kata tersebut antara lain : kata khalashuu, akhlashnaahum, akhlashuu, astakhlish, al-
khaalish, dan khaalish masing-masing sebanyak satu kali. Selanjutnya kata khaalishah lima kali,
mukhlish (tunggal) tiga kali, mukhlishuun (jamak) satu kali, mukhlishiin (jamak) tujuh kali, mukhlash
(tunggal) satu kali, dan mukhlashiin (jamak) sebanyak delapan kali.

Selanjutnya, ditinjau dari segi makna, term ikhlas dalam al-Qur’an juga mengandung arti
yang beragam. Dalam hal ini al-Alma’i merinci pemakaian term tersebut kepada empat macam :

Pertama, ikhlas berarti al-ishthifaa’ (pilihan) seperti pada surat Shaad : 46-47. Di sini al-Alma’i
mengutip penafsiran dari Ibn al-Jauzi terhadap ayat tersebut yang intinya bahwa Allah telah memilih
mereka dan menjadikan mereka orang-orang yang suci. Penafsiran yang sama juga dikemukakan oleh
al-Shaabuuni dalam tafsirnya Shafwah al-Tafaasiir, yakni “Kami (Allah) istimewakan mereka dengan
mendapatkan kedudukan yang tinggi yaitu dengan membuat mereka berpaling dari kehidupan duniawi
dan selalu ingat kepada negeri akhirat.” Dengan demikian terdapat kaitan yang erat (munaasabah)
antara ayat 46 dengan 47, yakni ayat yang sesudahnya menafsirkan ayat yang sebelumnya.

Kedua, ikhlas berarti al-khuluus min al-syawaa’ib (suci dari segala macam kotorn), sebagaimana
tertera dalam surat an-Nahl : 66 yang membicarakan tentang susu yang bersih yang berada di perut
binatang ternak, meskipun pada mulanya bercampur dengan darah dan kotoran ; kiranya dapat
dijadikan pelajaran bagi manusia. Makna yang sama juga terdapat dalam surat al-zumar : 3, walaupun
dalam konteks yang berbeda. Dalam ayat tersebut dibicarakan tentang agama Allah yang bersih dari
segala noda seperti syirik, bid’ah dan lain-lain.

Ketiga, ikhlas berarti al-ikhtishaash (kekhususan), seperti yang terdapat pada surat al-Baqarah : 94, al-
An’am : 139, al-A’raf : 32, Yusuf : 54, dan al-Ahzab : 32.

Keempat, ikhlas berarti al-tauhid (mengesakan) dan berarti al-tathhir (pensucian) menurut sebagian
qira’at. Ikhlas dalam artian pertama inilah yang paling banyak terdapat dalam al-Qur’an, antara lain
terdapat dalam surat al-Zumar : 2,11,14, al-Baqarah : 139, al-A’raf : 29, Yunus : 22, al-Ankabut : 65,
Luqmaan : 32, Ghaafir : 14,65, an-Nisaa : 146, dan al-Bayyinah : 5. Dalam ayat-ayat tersebut, kata-
kata yang banyak digunakan adalah dalam bentuk isim fa’il (pelaku), seperti mukhlish (tunggal) dan
mukhlishuun atau mukhlshiin (jamak). Secara leksikal kata tersebut dapat diartikan dengan al-
muwahhid (yang mengesakan). Dalam konteks inilah kiranya surat ke-112 dalam al-Qur’an
dinamakan surat al-ikhlaas, dan kalimat tauhid (laa ilaaha illa Allah) disebut kalimat al-ikhlas.

2
Dengan demikian makna ikhlas dalam ayat-ayat di atas adalah perintah untuk selalu mengesakan
Allah dalam beragama, yakni dalam beribadah, berdo’a dan dalam perbuatan taat lainnya harus
dikerjakan semata-mata karena Allah; bukan karena yang lain. Itulah sebabnya mengapa term ikhlas
pada ayat-ayat di atas selalu dikaitkan dengan al-diin.

Adapun ikhlas dalam arti yang kedua (al-tathhiir) ditujukan kepada orang-orang yang telah disucikan
Allah hatinya dari segala noda dan dosa sehingga mereka menjadi hamba Allah yang bersih dan
kekasih pilihan-Nya. Hal ini seperti yang tercantum dalam surat Yusuf : 24, al-Hijr : 40, al-shaffat :
40,74,128,166,169, Shaad : 83, dan surat Maryam : 51. Pada ayat-ayat tersebut semuanya memakai
kata mukhlashiin (jamak) kecuali surat Maryam : 51 yang memakai bentuk tunggal (mukhlash).
Selain itu semua kata mukhlashiin dalam ayat-ayat tersebut selalu dikaitkan dengan kata ibaad
(hamba).

Ayat-ayat Yang Menerangkan Ikhlas

1.    QS. al-Bayyinah: 5

“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan
(mengikhlaskan) ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka
mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama yang lurus”

2.    QS. Yunus : 105

“dan (aku telah diperintah): "Hadapkanlah mukamu kepada agama dengan tulus dan ikhlas dan
janganlah kamu Termasuk orang-orang yang musyrik”

3.    QS. Al A’raaf : 29 

“Katakanlah: "Tuhanku menyuruh menjalankan keadilan". dan (katakanlah): "Luruskanlah muka


(diri)mu di Setiap sembahyang dan sembahlah Allah dengan mengikhlaskan ketaatanmu kepada-Nya.
sebagaimana Dia telah menciptakan kamu pada permulaan (demikian pulalah kamu akan kembali
kepadaNya)"”

4.    QS. An Nisaa’ : 125

“dan siapakah yang lebih baik agamanya dari pada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada
Allah, sedang diapun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus? dan Allah
mengambil Ibrahim menjadi kesayanganNya”

Maksud dari ayat-ayat diatas ialah amal-amal ibadah apa saja jika tidak dijiwai dengan ikhlas berarti
tidak hidup, mati bagaikan bangkai, tidak membawa manfaat sama sekali. Malah, maaf, menjijikkan
seperti bankai yang harus segera dikubur.

B. Orang-orang yang ikhlas memiliki ciri - ciri, diantaranya:

1.  Selalu memandang diri sendiri


2. Khawatir terhadap popularitas
3. Cinta dan benci karena Allah
4. Tidak terpengaruh oleh kedudukan dan pangkat

3
5. Tetap beramal meski belum terlihat hasilnya.

C. Hal-hal yang dapat merusak rasa ikhlas

Hal-hal yang dapat merusak rasa ikhlas dalam diri manusia antara lain :

Riya’

Sifat riya‟ memiliki beberapa tingkatan, jika keseluruhan Tujuannya adalah perbuatan riya‟,


maka tentu itu membatalkan ibadah, jika tujuan ibadah dan riya‟ itu sebanding dengan
mengurangkan setiap salah satunya, maka ini tidak mendatangkan kebaikan baginya dan
tidak pula kejelekan. Keluar kepada manusia dengan pakaian yang bagus adalah riya‟ tetapi
tidak haram, kerena didalamnya tidak ada riya‟ dengan amalan ibadah. Jika perbuatannya
semata-mata karena riya‟, tanpa ada tujuan ibadah, ketika kemudian terbebas
dari riya‟ maka barangkali tidak sia-sia amalannya, namun dikurangi pahalanya, atau disiksa
berdasarkan kadar riya‟ yang diperbuatnya.

Tiga ciri-ciri orang riya‟ sebagai berikut:

 Malas beramal kalau sendirian;

 Semangat beramal kalau dilihat orang banyak;

 Amalnya bertambah banyak kalau di puji oleh orang lain, dan berkurang kalau dicela
orang lain.

Ciri-ciri orang riya‟, hendaknya dijadikan sebagai rambu-rambu untuk berusaha maksimal


membentengi segala amalan kita dari segala bentuk riya‟. Sebagaimana dikutip Abu Laits
Samarqandi mengemukakan tiga perkara yang dapat dijadikan benteng amal, sebagai
berikut:

 Hendaknya mengakui bahwa amal ibadahnya merupakan pertolongan Allah swt.


agar penyakit ujub dalam hatinya hilang;

 Semata-mata hanya mencari rida Allah swt. agar hawa nafsunya teratur;

 Senantiasa hanya mengharap rida Allah swt. agar tidak timbul rasa tamak atau riya‟.

Takabur
Takabur berasal dari bahasa Arab takabbara-yatakabbaru yang artinya sombong atau
membanggakan diri. Secara istilah takabur adalah sikap berbangga diri dengan beranggaan
bahwa hanya dirinya beranggapan yang paling hebat dan benar dibandingkan orang lain.
Takabur semakna dengan ta`azum, yakni menampakan keagungan dan kebesaranya.
Banyak hal yang menyebabkan orang menjadi sombong akibat takabur di antaranya
dalam ilmu pengetahuan, amal dan ibadah, nisab, kecantikan, dan kekayaan.

4
Takabur termasuk termasuk sifat yang tercela yang harus di hindari. Menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI), takabur adalah merasa diri mulia atau hebat, pandai,
angkuh, sombong. Dijelaskan dalam firman Allah swt:

“Tidak diragukan lagi bahwa Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang mereka rahasiakan
dan apa yang mereka lahirkan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang
yang sombong.” (Surat al-Nahl: 23).

Ghadab
Kata Ghadab berasal dari kata ghadaba artinya marah, al-ghadabu dalam bentuk isim
berarti lembu, singa, al-ghudub artinya ular yang jahat. Adapun cara mengendalikan
kemarahan itu dapat dilakukan dengan berbagai cara antara lain, yaitu:

 Berzikir kepada Allah;


 Membaca selawat kepada Nabi Muhammad saw.;
 Berwudu atau mandi;
 Membaca taawud;
 Segera mengubah keadaan ketika marah.

‘Ujub
Ujub atau bangga diri adalah sifat orang yang membanggakan dirinya sendiri karena
memiliki kelebihan daripada orang lain, misal kaya raya, pandai, dan lain sebagainya, orang
yang seperti itu tidak merasa takut kehilangan kesempurnaan (kelebihannya) itu, ia sangat
bangga terhadap kenikmatan itu seolah-olah semua itu keberhasilan yang diperoleh dari
usahanya sendiri, ia tidak mengakui bahwa semua kenikmatan dan kebahagiaan itu
sebenarnya datang dari Allah. Ujub merupakan penyakit yang membinasakan atau
membahayakan karena termasuk perbuatan tidak terpuji di sisi Allah swt.

Hasad
Hasad yaitu perasaan yang timbul dalam diri seseorang setelah memandang sesuatu yang
tidak dimiliki olehnya, tetapi dimiliki oleh orang lain, kemudian dia
menyebarkan berita bahwa yang dimiliki orang tersebut diperoleh dengan tidak sewajarnya.

Dengki adalah keinginan hilangnya nikmat dari orang lain, yang disebabkan adanya
rasa sakit hati, rasa dendam, rasa banci dan adanya sifat ujub (merasa dirinya paling hebat)
serta sifat sombong, sehingga ia akan sekuat tenaga untuk menjatuhkan dan
menghilangkan kenikmatan dari diri seseorang tersebut. 63

Ciri-ciri orang yang memiliki sifat dengki adalah senang melihat orang lain susah dan susah
melihat orang lain senang, seorang pendengki itu selalu mencari kejelekan dan berusaha
menghancurkan seseorang yang didengki supaya tidak mendapat
kesuksesan, kebahagiaan atau pujian dari orang lain, ia akan lebih senang jika melihat
orang yang didengkinya menderita dan sengsara. Islam mendidik umatnya agar menjauhi
sifat hasad.

D. Manfaat dan keutamaan Ikhlas


a. manfaat ikhlas dikutip dari buku Memaknai Kehidupan oleh Abdul Hamid:

1. Mendapat pahala dari Allah SWT

5
2. Hati menjadi tenang dan ibadah menjadi lancar
3. Menjadi manusia yang pemaaf
4. Tidak mudah marah dan tidak diperdaya oleh amarah
5. Selalu disayangi dan disenangi orang lain
6. Dijauhkan dari sifat-sifat kotor seperti ujub, takabur, dan iri
7. Hati selalu lapang dan terasa ringan dalam menjalani hidup
8. Selalu bersyukur atas nikmat yang diberikan Allah SWT dan menerima Qada dan
Qadar Allah
9. Menjadi sosok yang hebat dan kuat
10. Mendapat kemuliaan di sisi Allah SWT

b. Keutamaan Ikhlas
Selain memiliki sejumlah manfaat baik untuk diri sendiri, sifat ikhlas juga memiliki beberapa
keutamaan di mata Allah Allah Subhanahu wa ta’ala. Kira-kira apa saja keutamaannya, yuk cari tahu
sama-sama!
1. Menjadi syarat diterimanya ibadah
Kita memang harus taat beribadah, apalagi kalau ibadah yang dilakukan adalah ibadah wajib. Namun
yang namanya ibadah, juga harus dilakukan dengan tulus dan ikhlas. Lagipula, terlepas dari ibadah
yang wajib, Allah Subhanahu wa ta’ala tidak melihat berapa banyak ibadah yang kita lakukan,
melainkan seberapa tulus ibadah tersebut.
Hal serupa tertulis dalam Al-Qur’an surat Al-An’am ayat 162 berikut ini:

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

َ‫ي َو َم َما تِ ْي هّٰلِل ِ َربِّ ْال ٰعلَ ِم ْين‬ َ ‫قُلْ اِ َّن‬


َ ‫صاَل تِ ْي َونُ ُس ِك ْي َو َمحْ يَا‬

qul inna sholaatii wa nusukii wa mahyaaya wa mamaatii lillaahi robbil-‘aalamiin


“Katakanlah (Muhammad), “Sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk
Allah, Tuhan seluruh alam”. (QS. Al-An’am 6: Ayat 162)

2. Sifat ikhlas merupakan sifat yang dimiliki oleh para nabi dan rasul
Para nabi dan rasul di masa lalu, berdakwah untuk mengajak umatnya menyembah Allah Subhanahu
Wa Ta’ala. Mereka berdakwah secara sembunyi-sembunyi, kemudian secara terang-terangan.
Sayangnya, meski sudah berusaha sebaik mungkin, dakwah yang mereka lakukan tidak selalu
disambut baik.
Banyak umat terdahulu menentang dakwah yang sudah disampaikan. Bukan hanya menentang dengan
kata-kata kasar, tetapi juga perilaku buruk, bahkan berani mengancam utusan Allah Subhanahu Wa
Ta’ala. Namun tetap saja, para nabi dan rasul tetap menjalankan tugasnya dengan ikhlas dan taat.
3. Diberi hati yang lapang
Banyak orang malas melakukan ibadah. Jangankan melaksanakan ibadah sunnah, ibadah yang wajib
seperti shalat lima waktu saja masih terasa berat. Namun beda ceritanya dengan orang yang ikhlas

Buat mereka, ibadah apa pun akan terasa ringan dan lapang untuk dikerjakan. Jangankan shalat lima
waktu, ibadah shalat dengan jumlah rakaat yang banyak seperti tarawih pun dikerjakannya dengan
senang hati tanpa beban sedikitpun.

6
      

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Secara etimologis, kata ikhlas merupakan bentuk mashdar dari kata akhlasha yang berasal dari akar
kata khalasha. Menurut Luis Ma’luuf, kata khalasha ini mengandung beberapa macam arti sesuai
dengan konteks kaliamatnya. Ia bisa berarti shafaa (jernih), najaa wa salima (selamat), washala
(sampai), dan I’tazala (memisahkan diri). Maksudnya, didalam menjalankan amal ibadah apa saja
harus disertai dengan niat yang ikhlas tanpa pamrih apapun.

tidaklah heran apabila kini belum belum banyak orang yang bisa bersikap ikhlas, padahal dia sudah
seringkali berkata “Akan melakukan segala sesuatu dengan ikhlas”. mungkin dia sudah bisa bersikap
ikhlas, tetapi rasa ikhlas itu tidak sepenuhnya terwujud. Namun, hal itu lebih baik daripada rasa ikhlas
tersebut tidak ada sama sekali dalam diri seseorang. Ibaratnya, rasa ikhlas itu bisa secara perlahan-
lahan ditambah dan terus dipupuk dalam dirinya. Sehingga, ketika melakukan segala sesuatu, dia bisa
bersikap ikhlas secara penuh dan tidak setengah-setengah.

Dan orang yang tidak ikhlas atau mengerjakan sesuatu bukan karna Allah dinamakan musyrik yang
akan disiksa didalam neraka.

7
DAFTAR PUSTAKA

http://faisalchoir.blogspot.com/2011/05/ikhlas.html

http://coretanbinderhijau.blogspot.com/2013/04/hadis-tentang-ikhlas-dan-keterangannya.html

http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/12/10/04/mbcw2i-belajar-ikhlas

http://islamic-education7.blogspot.co.id/2012/10/pengertian-ikhlas.html

https://www.dictio.id/t/hal-hal-apa-saja-yang-dapat-merusak-ikhlas/119532/2

Anda mungkin juga menyukai