Anda di halaman 1dari 35

MATERI PELAKSANAAN

SMA NEGERI 2 TEUPAH

DINAS PENDIDIKAN ACEH


SMA NEGERI 2 TEUPAH SELATAN
LATALING
2024
Aqidah Akhlak
(Penerapan Sifat, Ikhlas,
Jujur, Dan Syaja’ah
Dalam Kehidupan)
62

Peta Konsep
IKHLAS

JUJUR
IKHLAS, JUJUR,
SYAJAAH DAN
‘ADIL SYAJA’AH

‘ADIL

KOMPETENSI INTI

KI 1 : Menghayati dan mengamalkan ajaran agama yang dianutnya


KI 2 : Menghayati dan mengamalkan perilaku jujur, disiplin, tanggungjawab, peduli
(gotong royong, kerjasama, toleran, damai), santun, responsif dan pro-aktif dan
menunjukkan sikap sebagai bagian dari solusi atas berbagai permasalahan dalam
berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial dan alam serta dalam
menempatkan diri sebagai cerminan bangsa dalam pergaulan dunia.
KI 3 : Memahami, menerapkan, menganalisis pengetahuan faktual, konseptual,
prosedural berdasarkan rasa ingintahunya tentang ilmu pengetahuan, teknologi,
seni, budaya, dan humaniora dengan wawasan kemanusiaan, kebangsaan,
kenegaraan, dan peradaban terkait penyebab fenomena dan kejadian, serta
menerapkan pengetahuan prosedural pada bidang kajian yang spesifik sesuai
dengan bakat dan minatnya untuk memecahkan masalah
KI 4 : Mengolah, menalar, dan menyaji dalam ranah konkret dan ranah abstrak terkait
dengan pengembangan dari yang dipelajarinya di sekolah secara mandiri, dan
mampu menggunakan metoda sesuai kaidah keilmuan
63

KOMPETENSI DASAR (KD)

1.6 Meyakini bahwa Ikhlas, Jujur, Syaja’ah dan ‘Adil adalah ajaran pokok agama
2.6 Menunjukkan perilaku Ikhlas, Jujur, Syaja’ah Dan ‘Adil dalam kehidupan sehari-hari
3.6 Menganalisis manfaat Ikhlas, Jujur, Syaja’ah Dan ‘Adil dalam kehidupan sehari-hari
4.6 Menyajikan kaitan antara perilaku Ikhlas, Jujur, Syaja’ah dan ‘Adil dalam kehidupan
sehari-hari dengan keimanan

TUJUAN PEMBELAJARAN

1. Siswa dapat menjelaskan makna Ikhlas, Jujur, Syaja’ah dan ‘Adil sebagai ajaran pokok
agama
2. Siswa dapat menyebutkan perilaku Ikhlas, Jujur, Syaja’ah dan ‘Adil dalam kehidupan
sehari-hari
3. Siswa dapat menyebutkan dalil tentang Ikhlas, Jujur, Syaja’ah dan ‘Adil
4. Siswa dapat menyebutkan manfaat bersikap Ikhlas, Jujur, Syaja’ah dan ‘Adil dalam
kehidupan sehari-hari

A. IKHLAS

Sesungguhnya pembahasan tentang ikhlas adalah pembahasan yang sangat penting


yang berkaitan dengan agama Islam yang hanif (lurus) ini, dan Allah tidaklah menerima amal
ibadah seseorang hamba kecuali yang dilakukan semata-mata mengharap ridha Allah.
Sebagaimana firman Allah dalam (QS. Al Bayyinah: 5):

            

    


Artinya: “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan
memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya
mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama yang
lurus”.

Definisi ikhlas menurut etimologi (menurut bahasa) Adalah berasal dari bahasa Arab,
yaitu dari kata “akhlasha”( ‫) اخلص‬, yang berarti bersih, murni, dan jernih. yang tidak
tercampur dengan hal-hal yang bisa mencampurinya. Dikatakan bahwa “madu itu murni” jika
sama sekali tidak tercampur dengan campuran dari luar, Dan sesungguhnya pada binatang
64

ternak itu benar-benar terdapat pelajaran bagi kamu. Kami memberimu minum daripada apa
yang berada dalam perutnya (berupa) susu yang bersih antara tahi dan darah, yang mudah
ditelan bagi orang-orang yang meminumnya. (QS. An Nahl: 66).

sumber: https://www.rudylim.com/blog/ikhlas-mengalah-untuk-menang

Menurut istilah syar’i (secara terminologi) Syaikh Abdul Malik menjelaskan, Para
ulama bervariasi dalam mendefinisikan ikhlas namun hakikat dari definisi-definisi mereka
adalah sama, yaitu memurnikan tujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Al ‘Izz bin
Abdis Salam berkata: “Ikhlas ialah, seorang mukallaf melaksanakan ketaatan semata-mata
karena Allah. Dia tidak berharap pengagungan dan penghormatan manusia, dan tidak pula
berharap manfaat dan menolak bahaya”. Al Harawi mengatakan: “Ikhlas ialah,
membersihkan amal dari setiap noda.” Yang lain berkata: “Seorang yang ikhlas ialah, seorang
yang tidak mencari perhatian di hati manusia dalam rangka memperbaiki hatinya di hadapan
Allah, dan tidak suka seandainya manusia sampai memperhatikan amalnya, meskipun hanya
seberat biji sawi”.
Hal senada juga dikatakan oleh Abu ‘Utsman: “Ikhlas ialah, melupakan pandangan
makhluk, dengan selalu melihat kepada Khaliq (Allah)”. Dan juga Abu Hudzaifah Al
Mar’asyi berkata : “Ikhlas ialah, kesesuaian perbuatan seorang hamba antara lahir dan batin”.
Berdasarkan beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa Ikhlas berarti,
mendedikasikan dan mengorientasikan seluruh ucapan dan perbuatan, hidup dan mati, diam,
gerak dan bicara, hingga seluruh amal perbuatan hanya untuk meraih keridhaan Allah.
65

Mewujudkan ikhlas bukan pekerjaan yang mudah seperti anggapan orang jahil. Para
ulama yang telah meniti jalan kepada Allah telah menegaskan sulitnya ikhlas dan beratnya
mewujudkan ikhlas di dalam hati, kecuali orang yang memang dimudahkan Allah. Imam
Sufyan Ats Tsauri berkata,”Tidaklah aku mengobati sesuatu yang lebih berat daripada
mengobati niatku, sebab ia senantiasa berbolak-balik pada diriku.” Karena itu Rasulullah
bersabda:

‫هللا‬
ِ ‫مس ِا ْعت َرمس ْو َل‬ َ : ‫ع ْنه قَا َل‬ َ ‫ب َر ِض َي هللا‬ ِ ‫طا‬ َّ ‫ص ع َا َر ْب ِ ا ْل َخ‬ ٍ ‫ع ْ أ َ ِم ْي ِر ا ْلا ْؤ ِمنِ ْي َ أ َ ِب ْي َح ْف‬
َ
ِ‫ فَ َا ْ كَا َنتْ هِجْ َرته إِلَى هللا‬. ‫ام ِر ٍئ َما نَ َوى‬ ْ ‫ت َوإِنَّ َاا ِلك ِل‬ ِ ِ‫ إِنَّ َاا اْأل َ ْع َاال ب‬: ‫ملسو هيلع هللا ىلص يَق ْول‬
ِ ‫النيَّا‬
‫ام َرأ َ ٍة يَ ْن ِكس َها‬
ْ ‫ َو َم ْ كَا َنتْ هِجْ َرته ِلد ْنيَا ي ِص ْيب َها أ َ ْو‬،‫َو َرمس ْو ِل ِه فَ ِهجْ َرته إِلَى هللاِ َو َرمس ْو ِل ِه‬
‫ [رواه إماما الاسدثي أبو عبد هللا دمحم ب إمسااعيل ب إبراهيم‬. ‫فَ ِهجْ َرته ِإلَى َما َها َج َر ِإلَ ْي ِه‬
‫ب الاغيرة ب بردزبة البخاري وابو السني منلم ب السجاج ب منلم القشيري‬
]‫النينابوري في صسيسيهاا اللذي هاا أصح الكتب الاصنفة‬
Artinya: “Dari Amirul Mu’minin, Abi Hafs Umar bin Al Khottob radiallahuanhu, dia
berkata: Saya mendengar Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda : Sesungguhnya
setiap perbuatan tergantung niatnya. Dan sesungguhnya setiap orang (akan dibalas)
berdasarkan apa yang dia niatkan. Siapa yang hijrahnya karena (ingin mendapatkan
keridhaan) Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya.
Dan siapa yang hijrahnya karena dunia yang dikehendakinya atau karena wanita yang ingin
dinikahinya maka hijrahnya (akan bernilai sebagaimana) yang dia niatkan.” (Riwayat dua
imam hadits, Abu Abdullah Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim bin Al Mughirah bin
Bardizbah Al Bukhori dan Abu Al Husain, Muslim bin Al Hajjaj bin Muslim Al Qusyairi An
Naishaburi dan kedua kitab Shahihnya yang merupakan kitab yang paling shahih yang
pernah dikarang.

Hadits ini merupakan salah satu dari hadits-hadits yang menjadi inti ajaran Islam.
Imam Ahmad dan Imam syafi’i berkata: Dalam hadits tentang niat ini mencakup sepertiga
ilmu. Sebabnya adalah bahwa perbuatan hamba terdiri dari perbuatan hati, lisan dan anggota
badan, sedangkan niat merupakan salah satu dari ketiganya. Diriwayatkan dari Imam Syafi’i
bahwa dia berkata : Hadits ini mencakup tujuh puluh bab dalam fiqh. Sejumlah ulama bahkan
ada yang berkata : Hadits ini merupakan sepertiga Islam. Hadits ini ada sebabnya, yaitu: ada
seseorang yang hijrah dari Mekkah ke Madinah dengan tujuan untuk dapat menikahi seorang
wanita yang konon bernama : “Ummu Qais” bukan untuk mendapatkan keutamaan hijrah.
Maka orang itu kemudian dikenal dengan sebutan “Muhajir Ummi Qais” (Orang yang hijrah
karena Ummu Qais).
Niat merupakan syarat mutlak diterima atau tidaknya amal perbuatan seseorang, dan
amal ibadah tidak akan mendatangkan pahala kecuali berdasarkan niat yang ikhlas karena
66

Allah. Niat yang ikhlas semata-mata karena Allah, dituntut pada semua amal ibadah. Seorang
mu’min akan diberi ganjaran pahala berdasarkan kadar niatnya. Semua perbuatan yang
bermanfaat jika diiringi dengan niat karena mencari keridhoan Allah maka dia akan bernilai
ibadah. Dan begitu pula sebaliknya jika amal ibadah yang tidak disertai dengan niat yang
ikhlas maka tidak mendapatkan apa-apa bahkan akan berdausa.
Abu Laits Samarqandi mengatakan bahwa “amal baik apapun yang dilakukan tanpa
ikhlas, tidak akan diterima dan tiada balasannya kecuali neraka”. Sebagaimana firman Allah
dalam (QS. Annisa’: 142):

            

      


Artinya: “Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas
tipuan mereka. dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas.
mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. dan tidaklah mereka menyebut
Allah kecuali sedikit sekali”.

Ayat menggambarkan tentang sifat orang-orang munafik, merak tidak ikhlas, merka
beribada bukan karena Allah, akan tetapi karena riya, yitu melakukan sesuatu amal tidak
untuk keridhaan Allah tetapi untuk mencari pujian atau popularitas di masyarakat, maka tidak
ada balasan bagi mereka kecuali neraka. Riya’ adalah menampakkan ibadah dengan maksud
agar dilihat orang lain. Jadi riya’ berarti melakukan amalan tidak ikhlas karena Allah karena
yang dicari adalah pandangan, sanjungan dan pujian manusia, bukan balasan murni di sisi
Allah. Penyakit inilah yang sangat dikhawatirkan oleh Rasulullah SAW. Rasulullah bersabda:

ْ َ ‫علَ ْي ُك ُم ال ِش ْركُ األ‬


.» ‫صغ َُر‬ ُ ‫ف َما أَخ‬
َ ‫َاف‬ َ ‫ قَا َل « إِ َّن أ َ ْخ َو‬-‫ملسو هيلع هللا ىلص‬- ِ‫َّللا‬ ُ ‫ع ْن َم ْح ُمو ِد ب ِْن لَ ِبي ٍد أ َ َّن َر‬
َّ ‫سو َل‬ َ
‫ع َّز َو َج َّل لَ ُه ْم َي ْو َم ْال ِقيَا َم ِة إِذَا‬ َّ ‫الريَا ُء يَقُو ُل‬
َ ُ‫َّللا‬ ِ « ‫َّللاِ قَا َل‬ َّ ‫سو َل‬ُ ‫صغ َُر يَا َر‬ ْ َ ‫قَالُوا َو َما ال ِش ْركُ األ‬
‫ظ ُروا ه َْل ت َ ِجدُونَ ِع ْندَ ُه ْم‬ ُ ‫اس بِأ َ ْع َما ِل ِه ْم ا ْذ َهبُوا إِلَى الَّذِينَ ُك ْنت ُ ْم ت ُ َرا ُءونَ ِفى الدُّ ْنيَا فَا ْن‬
ُ َّ‫ى الن‬
َ ‫ُج ِز‬
» ‫َجزَ ا ًء‬
Artinya: “Dari Mahmud bin Labid, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Sesungguhnya yang paling kukhawatirkan akan menimpa kalian adalah syirik ashgor.” Para
sahabat bertanya, “Apa itu syirik ashgor, wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “(Syirik
ashgor adalah) riya’. Allah Ta’ala berkata pada mereka yang berbuat riya’ pada hari kiamat
ketika manusia mendapat balasan atas amalan mereka: ‘Pergilah kalian pada orang yang
kalian tujukan perbuatan riya’ di dunia. Lalu lihatlah apakah kalian mendapatkan balasan
dari mereka?’ (HR. Ahmad 5: 429. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad
hadits ini shahih).
67

Sekalipun banyak orang menilai bahwa kita


orang yang tekun dan rajin beribadah, akan tetapi
tidak diserta dengan ikhlas maka amal ibadah kita
siasia (tidak mendapat pahala). Imam Al-Gazali
menyatakan bahwa manusia itu seluruhnya mati
kecuali mereka yang memiliki ilmu dan orang yang
berilmu itu tidur jika ilmunya tanpa amalan dan
amalan yang sering dilakukan akan selalu tertipu
jika tidak melakukannya dengan ikhlas. Dan dalam sumber: https://www.eramuslim.com
(QS. Albayyinah: 5):

              

  


Artinya: "Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan
memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya
mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama yang
lurus.

Jelaslah bahwa kata ikhlas itu memilliki makna yang sangat luas, namun ikhlas dapat
dipahami bahwa berbuat sesuatu perbuatan bukan atas dasar dorongan nafsu untuk
mendapatkan keuntungan-keuntungan tertentu, akan tetapi mengerjakan segala perbuatan
yang dilakukan semata-mata untuk mengharap ridha Allah SWT.

B. JUJUR

Dalam bahasa Arab, kata jujur semakna dengan


“as-sidqu” atau “siddiq” yang berarti benar,
nyata, atau berkata benar. Lawan kata ini adalah
dusta, atau dalam bahasa Arab ”al-kazibu”.
Secara istilah, jujur atau as-sidqu bermakna:
kesesuaian antara ucapan dan perbuatan,
kesesuaian antara informasi dan kenyataan,
ketegasan dan kemantapan hati dan sesuatu

yang baik yang tidak dicampuri kedustaan, atau


sumber: https://bmcnetku.wordpress.com
68

jujur adalah suatu prilaku yang mencerminkan adanya kesesuaian antara hati, perkataan dan
perbuatan, apa yang diniatkan oleh hati, diucapkan oleh lisan dan di gambarkan dalam
perbuatan.
Kejujuran memang sangat erat kaitannya dengan hati nurani. dan Hati nurani
senantiasa mengajak manusia kepada kebaikan dan kejujuran. Namun terkadang kita enggan
mengikuti hati nurani dikarenakan kita lebih mengikuti keinginan hawa nafsu. Kejujuran
dapat membawa kebenaran, kebenaran dapat mengantarkan seseorang ke surganya Allah
SWT. Sabda Nabi Muhammad SAW: “Dari Abdullah ibn Mas’ud, Rasulullah saw. bersabda,
“Sesungguhnya jujur itu membawa kepada kebaikan dan kebaikan itu membawa kesurga…”
(H.R.Bukhari).
Imam al-Gazali membagi sifat jujur atau benar (śiddiq) menjadi tiga yaitu:
1. Jujur dalam niat atau berkehendak, yaitu tiada dorongan bagi seseorang dalam segala
tindakan dan gerakannya selain dorongan karena Allah Swt.
2. Jujur dalam perkataan (lisan), yaitu sesuainya berita yang diterima dengan yang
disampaikan. Setiap orang harus dapat memelihara perkataannya. Ia tidak berkata kecuali
dengan jujur. Barangsiapa yang menjaga lidahnya dengan cara selalu menyampaikan
berita yang sesuai dengan fakta yang sebenarnya, ia termasuk jujur jenis ini. Menepati
janji termasuk jujur jenis ini.
3. Jujur dalam perbuatan/amaliah, yaitu beramal dengan sungguh sehingga perbatan
§ahirnya tidak menunjukkan sesuatu yang ada dalam batinnya dan menjadi tabiat bagi
dirinya.
Kejujuran merupakan fondasi atas tegaknya suatu nilai-nilai kebenaran karena jujur
identik dengan kebenaran. Allah Swt. berfirman dalam (Q.S. al-Ahzab:70-71):

             

          
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan Katakanlah
Perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan
mengampuni bagimu dosa-dosamu. dan Barangsiapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, Maka
Sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar”.(Q.S. al-Ahzab/33:70)

Orang yang beriman perkataannya harus sesuai dengan perbuatannya karena sangat berdosa
besar bagi orang-orang yang tidak mampu menyesuaikan perkataannya dengan perbuatan,
atau berbeda apa yang di lidah dan apa yang diperbuat. Allah Swt. berfirman (Q.S. As-saf:2-
3)
69

                

 
Artimya: “Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang
tidak kamu kerjakan?. Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa
yang tidak kamu kerjakan”. (Q.S. ash-shaff:2-3)

Kejujuran adalah perbuatan orang yang beriman dan kejujuran juga merupakan ajaran
yang telah diajarkan oleh Allah dan Rasul-Nya, serta kejujuran adalah jalan untuk
mendapatkan kemenangan ( Surga ). Firman Allah (Q.S. Al-isra’ : 53)

               

  


Artinya: “dan Katakanlah kepada hamha-hamba-Ku: "Hendaklah mereka mengucapkan
Perkataan yang lebih baik (benar). Sesungguhnya syaitan itu menimbulkan perselisihan di
antara mereka. Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi manusia”.

Salah satu hal penting dari akhlak Nabi Muhammad saw adalah kejujuran. Kejujuran
adalah satu barometer untuk menilai kebenaran risalah kenabian para utusan Allah. Yaitu
sosok yang terkenal jujur yang mana para musuh para nabipun mengakuinya, maka tidak
mungkin ia tiba-tiba membawa kebohongan yang mengatasnamakan Tuhan. Hal itulah yang
disinggung di dalam Al-Qur’an berkaitan dengan Rasulullah SAW: Katakanlah: "Jikalau
Allah menghendaki, niscaya aku tidak membacakannya kepada kalian dan Allah tidak (pula)
memberitahukannya kepada kalian. Sesungguhnya aku telah tinggal bersama kalian beberapa
lama sebelumnya. Maka apakah kalian tidak memikirkannya?" (QS 10:17).
Dengan kata lain Rasulullah saw hendak mengatakan Saya bukanlah orang yang
berdusta dan mengada-ada. Lihatlah, saya selama 40 tahun sebelumnya tinggal di antara
kalian. Apakah kalian telah membuktikan kedustaan saya atau saya sebagai orang yang
mengada-ada? Jika tidak seharusnya kalian berpikir dan timbul pemahaman bahwa seorang
yang sampai hari ini tidak pernah berdusta dalam corak apapun dan sekecil apapun, maka
bagaimana mungkin tiba-tiba pada hari ini ia berdusta atas nama Tuhan?" Kejujuran
Rasulullah saw sendiri telah diakui tidak saja oleh orang terdekat beliau tetapi oleh para
musuh beliau sendiri.
Di masa muda, jauh sebelum beliau diangkat sebagai rasul, para pemuka Arab telah
mengakui kejujuran Rasulullah saw dan menyebutnya sebagai al-amin. Hal itu dapat kita
70

jumpai dalam peristiwa pemugaran Ka’bah, suku-suku berselisih tentang siapa yang paling
berhak memindahkan Hajar Aswad, sampai akhirnya diambil kesimpulan bahwa siapa yang
datang paling pertama kesokan harinya maka apapun keputusannya, itulah yang akan
diterima. Keesokan harinya ternyata yang datang pertama kali adalah Nabi Muhammad saw.
Maka mereka yang melihat Rasulullah saw yang datang pertama, mereka langsung
mengatakan: – haa dzal amiin (ini adalah orang yang jujur), kita senang karena orangnya
adalah Muhammad (saw.)". Sehimgga beliau menyuruh untuk membawa sehelai kain, yang
mana setiap pemuka suku masing-masing memegang setiap sudut kain dan mengangkat Hajar
Aswad secara bersama-sama.
Ketika Khadijah r.a mendengar perihal kebenaran tutur kata, kejujuran dan keluhuran
budi pekerti beliau (saw) maka beliau (r.a.) mempercayakan kepada Nabi Muhammad saw
untuk berniaga dengan menyerahkan hartanya kepada beliau saw. Dalam perjalanan itu
Maisarah, pembantu Siti Khadijah r.a., juga ikut bersama beliau saw. Pada saat kembalinya,
Maisarah menceriterakan ihwal perjalanan beliau saw. Setelah mendengar kisah perjalanan
itu Khadijah sangat terkesan dengan kisah perjalanan itu. Maka kemudian beliau menyuruh
mengirim pinangan kepada Rasulullah saw. Beliau terkesan karena beliau (saw.) sangat
memperhatikan ikatan tali kekerabatan, terpandang di masyarakat, seorang yang jujur dan
memiliki budi pekerti yang luhur serta senantiasa berkata benar.
Abu Bakar r.a.. Sahabat nabi dalam setiap keadaan senantiasa membenarkan beliau
dan hanya melihat dan mendengar beliau saw. sebagai seorang yang senantiasa menekankan
akan kebenaran. Oleh karena itu di dalam benak beliau sama sekali tidak dapat terbayangkan
bahwa Rasulullah dapat mengucapkan kata-kata dusta. Sebagaimana tertera dalam sebuah
riwayat bahwa Abu Bakar r.a ketika mendengar pendakwaan beliau sebagai nabi maka
kendati berbagai penjelasan telah diberikan oleh Rasulullah saw., beliau r.a. tidak meminta
argumentasi; sebab sepanjang hidup beliau r.a. inilah yang beliau saksikan bahwa beliau saw.
senantiasa berkata jujur.
Kejujuran Rasulullah saw diakui juga oleh musuh-musuh beliau sendiri, tetapi tidak
seperti halnya Abu Bakar Siddiq yang menerima beliau dengan suatu pemikiran yang
dilandasi hati yang bersih – yaitu seseorang yang selalu berkata benar maka tidak mungkin
dia tiba-tiba berdusta untuk hal yang sangat besar yaitu berdusta atas nama Tuhan - para
musuh Rasulullah saw kendati di satu sisi mengakui kejujuran dan kelurusan Rasulullah saw
tetapi mereka tidak bisa menangkap rahasia dibalik pengakuan kejujuran dari mereka
tersebut. Satu contohnya adalah ketika terjadi usaha stigmatisasi pada diri Nabi Muhammad
saw.
71

Para pemuka Quraisy berkumpul yang di dalamnya terdapat Abu Jahal dan musuh
yang paling besar beliau Al-Akhdhar bin Haris. Salah seorang berkata bahwa hendaknya
Rasulullah (saw) dianggap sebagai tukang sihir atau beliau dinyatakan sebagai seorang yang
pendusta, maka Nadhar bin haris berdiri lalu berkata, "Hai kelompok Quraisy! Kalian
terperangkap dalam suatu masalah yang untuk menghadapinya tidak ada cara yang kalian
dapat tempuh. Muhammad (saw) di antara kalian adalah seorang pemuda yang kalian paling
cintai, merupakan pemuda yang paling benar dalam ucapan.
Kejujuran merupakan akhlak
yang fundamental dalam membangun
pribadi yang mulia, keluarga yang
bermartabat, dan masyarakat yang
kondusif. Kemulian yang diraih oleh
seseorang tidak lepas dari
kejujurannya. Semakin tinggi kualitas
kejujurannya, maka semakin tinggi
sumber : https://pendidikansunnah.wordpress.com pula kualitas kemuliaannya. Demikian
juga dengan tingkatan keluarga dan
masyarakat. Semakin kuat akhlak jujur diterapkan dalam sebuah keluarga, maka semakin
kuat pula kadar kemuliaan dan semakin tinggi martabatnya. Begitu juga masyarakat yang
individu-individunya benar-benar merealisasikan akhlak jujur dalam interaksi dan
transaksinya, maka akan lahir situasi kondusif yang menaungi kehidupan sosial mereka.

C. SYAJA’AH

Ditinjau dari segi bahasa, disebutkan dalam Qamus Mu’jamul Wasith dan Al-Lughatul
‘Arabiyyah Al-Mu’ashirah, pengertian syaja’ah diantaranya adalah:
‫ َر َبا َطةَ ال َجأْ ِش‬، ‫ب ِع ْن َد ال َيأ ْ ِس‬ ِ ، ً‫أ َ ْظ َه َر ق َّوةً َوج ْرأَة‬
ِ ‫ش َّدةَ القَ ْل‬
“Nampaknya quwwah (kekuatan) dan jur’ah (keberanian, kegagahan, ketekunan); kekuatan
hati dalam menghadapi keputusasaan; tenang, sabar, menguasai diri.”

‫ وتدفعه إلى العال بسزم‬, ‫ ومجابهة ال َخطر أو األلم‬، ‫الا َس‬


ِ ‫تاك اإلننان م مقاومة‬
ِ ‫قوة معنوية‬
“Kekuatan jiwa yang mengokohkan seorang manusia dalam melawan al-mihan (cobaan,
bencana, musibah, kesengsaraan, kemalangan); serta menghadapi al-khathar (bahaya,
72

resiko, kesulitan) atau kepedihan; juga menggerakkan/mendorong diri kepada suatu amal
disertai tekad yang kuat.”

‫ب في البأْس‬
ِ ‫شدة القَ ْل‬
ِ
“Kekuatan hati dalam menghadapi ketakutan/kengerian terhadap sesuatu.”

Sumber: https://tarbawiyah.com/2018/01/24/asy-syajaah-keberanian

Menurut istilah syaja’ah adalah keteguhan hati, kekuatan pendirian untuk membela
dan mempertahankan kebenaran secara jantan dan terpuji. Jadi syaja’ah dapat diartikan
keberanian yang berlandaskan ke benaran, dilakukan dengan penuh pertimbangan dan
perhitungan untuk mengharapkan keridaan Allah Swt.
Maka hakikatnya, syaja’ah (keberanian) adalah salah satu pembuktian dari sikap
istiqomah yang diperintahkan oleh Allah Ta’ala dan rasul-Nya kepada setiap hamba-hamba-
Nya.
Allah Ta’ala berfirman,

َ ‫اب َمعَكَ َو َال ت َ ْطغَ ْوا إِنَّه ِب َاا ت َ ْع َال‬


‫ون بَ ِصير‬ ْ ‫فَا‬
َ َ‫مست َ ِق ْم َك َاا أ ِم ْرتَ َو َم ْ ت‬
Artinya:“Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu
dan (juga) kepada orang yang telah taubat beserta kamu dan janganlah kamu melampaui
batas. Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS. Huud, 11: 112)

Abu ‘Amrah, Sufyan bin Abdillah Ats-Tsaqofi radhiallahu anhu dia berkata,
73

َ ً ‫ع ْنه أ َ َحدا‬
‫ ق ْل آ َم ْنت ِباهللِ ث َّم‬: ‫ قَا َل‬. َ‫غ ْي َرك‬ َ ‫مسأَل‬
ْ َ ‫مسالَ ِم قَ ْوالً الَ أ‬
ْ ‫ يَا َرمس ْو َل هللاِ ق ْل ِلي فِي اْ ِإل‬: ‫ق ْلت‬
‫مست َ ِق ْم‬
ْ ‫ا‬
Artinya: “Saya bertanya (kepada Rasulullah), ‘Wahai Rasulullah katakan kepada saya
tentang Islam sebuah perkataan yang tidak saya tanyakan kepada seorangpun selainmu’.
Beliau menjawab, ‘Katakanlah, saya beriman kepada Allah, kemudian beristiqomah-lah’”.
(HR. Muslim)
Allah Swt. memerintahkan kepada
orang-orang yang beriman agar tidak menjadi
penakut dan pengecut. Karena rasa takut dan
pengecut akan membawa kegagalan dan
kekalahan. Keberanian adalah tuntutan
keimanan. Iman pada Allah Swt.
mengajarkan kita menjadi orang-orang yang
sumber: http://awalilmu.blogspot.com/2018
berani menghadapiberagam tantangan dalam
hidup ini. Tantangan utama yang kita hadapi adalah memperjuangkan kebenaran, meskipun
harus menghadapi berbagai rintangan. Rasulullah saw. menjelaskan dalam sabdanya: Islam
tidak menyukai orang yang lemah/penakut. Orang yang lemah/penakut biasanya tidak berani
untuk mempertahankan hidup sehingga gampang putus asa. Keberanian (syaja’ah)
merupakan jalan untuk mewujudkan sebuah ke menangan dalam keimanan. Tidak boleh ada
kata gentar dan takut bagi muslim saat mengemban tugas bila ingin meraih memenangan.
Semangat keimanan akan selalu menuntun mereka untuk tidak takut dan gentar sedikit pun.
Firman Allah (Q.S. Ali Imran/3: 139):

         
Artinya: “janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati,
Padahal kamulah orang-orang yang paling Tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang
beriman”.

Contoh nyata syaja’ah itu sebagaimana ditunjukkan oleh orang-orang beriman seperti
yang diceritakan di dalam surat Al-Buruuj yang dimasukkan ke dalam parit dan dibakar oleh
as-habul ukhdud hanya karena mereka menyatakan keimanannya.

               

             
74

Artinya:”binasa dan terlaknatlah orang-orang yang membuat parit, yang berapi (dinyalakan
dengan) kayu bakar, ketika mereka duduk di sekitarnya, sedang mereka menyaksikan apa
yang mereka perbuat terhadap orang-orang yang beriman. dan mereka tidak menyiksa
orang-orang mukmin itu melainkan karena orang-orang mukmin itu beriman kepada Allah
yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji”(Q.S. Al-Buruuj : 4-8)

Begitu pula Asiah, istri Firaun dan Masyitah, pelayan Firaun, kedua-duanya harus
menebus keimanan mereka kepada Allah dengan nyawa mereka. Asiah di tiang
penyiksaannya dan Masyitah di kuali panas mendidih beserta seluruh keluarganya karena
mereka berdua tak sudi menuhankan Fir’aun. Dan keberanian mereka dinukilkan dalalm
sebuh kisah kehidupan Siti Masyitoh dan raja fir’aun:
Firaun terkenal sebagai raja yang memiliki kekuasaan sangat besar. Namun, kekuasaan
yang sangat besar itu membuat Firaun sombong dan angkuh. Firaun bahkan menganggap
dirinya sebagai tuhan yang agung serta memusuhi siapa saja yang mereka menyembah
tuhan selain dirinya. Dia akan membunuh mereka yang tidak mau mengakui dirinya
sebagai tuhan.

Tersebutlah seorang wanita bernama Siti Masyitoh yang bekerja dilingkungan kerajaan
Firaun. Ia adalah seorang pembantu atau dayang bagi putri Firaun . Suatu hari, Siti
Masyitoh sedang menyisir rambut putri Firaun tersebut. Tiba tiba, tanpa sengaja sisir
yang di pegangnya terjatuh kelantai. Dengan cepat, Siti Masyitoh mengambil sisir
tersebut seraya menyebut nama Allah.

Ucapan Siti Masyitoh ternyata terdengar oleh putri Firaun. Putri Firaun pun bertanya
kepadaMasyitoh,”Apa yang engkau katakan barusan?”

Masyitoh terkejut dengan pertanyaan yang dilontarkan putri Firaun, namun hanya
sebentar. Lalu,dengan tenang ia menjawab,”saya tadi meyebut nama Allah.”

Putri Firaun merasa aneh mendengar nama Allah karena ia belum pernah mendengar
nama itu disebut-sebutoleh siapa pun selain oleh Masyitoh. Ia pun kemudian bertanya
lagi,”Siapa itu Allah?”

Siti Masyithah menjawab,”Allah adalah Tuhan saya yang telah menciptakan saya. Dia
juga yang telah menciptakan Tuan Putri dan ayah Tuan Putri.”

”Apa maksudmu? Bukankah ayahku adalah tuhanku dan tuhanmu juga? Adakah Tuhan
lain selain ayahku?” kata putri Firaun dengan nada tinggi.” Ayah Tuan Putri bukanlah
Tuhan, melainkan manusia. Allah-lah tuhan seluruh manusia yang ada di alam ini,”
jawab Siti Masyitoh tanpa ragu.

Wajah putri Firaun memerah. Kemarahannya sebentar lagi akan meluap, dan dengan
nada yang makin tinggi ia berkata,” Berani sekali kau! Sekarang, engkau harus tobat.
Kalau tidak, aku akan memberitahukan hal ini kepada ayahku.”

Dengan tegas dan penuh keyakinan, Siti Masyitoh berkata,”tuan putri,keyakinanku


kepada Allah tidak akan pernah berubah. Jika Tuan Putri hendak memberitahu hal ini
kepada ayah Tuan Putri, silahkan saja!”
75

Dengan langkap cepat, putri Firaun bergegas menemui ayahnya dan memberitahukan
peristiwa yang baru saja dialaminya. Ketika Firaun Mendengarnya, ia tampak sangat
marah dan kemudian memanggil Siti Masyitoh.

Siti Masyitoh kemudian dihadapkan kepada Firaun. Firaun memandang Siti Masyitoh
dengan penuh kemarahan. Ia kemudian bertanya dengan pertanyaan yang sama, seperti
yang ditanyakan putrinya. Jawaban yang keluar dari mulut Siti Masyitoh tetap tidak
berbeda. Hal ini makin menambah kemarah Firaun karena ada seorang pembantunya
yang tidak mengakuinya dirinya sebagai tuhan.

Keesokan hari, keluarga Siti Masyitoh dibawa ke sebuah tempat yang lapang. Di sana
telah tersedia wajan besar berisi minyak yang sangat panas. Ternyata Firaun hendak
menghukum Siti Masyitoh dan keluarganya, termasuk anaknya yang masih bayi, dengan
memasukannya ke dalam wajan besar itu jika Siti Masyitoh tetap tidak mengakui Firaun
sebagai tuhan. Namun, keimanan Siti Masyitoh tidak luntur meski berhadapan dengan
ancaman mengerikan itu.

Melihat keyakinan Masyitoh yang tetap tidak berubah,Firaun kemudian memerintahkan


para pengawal untuk melemparkan keluarga Siti Masyitoh satu per satu ke dalam minyak
panas itu.

Orang pertama yang dilemparkan ke dalam minyak panas itu adalah suaminya. Siti
Masyitoh hanya bisa bersedih ketika melihat suaminya jatuh ke dalam minyak panas itu
hingga syahid.

Giliran berikut adalah anak yang masih bayi. Ia pandangi wajah anaknya yang sangat ia
cintai. Ia tak tega melihat anaknya akan dilemparkan pula kedalam minyak yang sedang
mendidih itu. Tiba-tiba, dengan kekuasaan Allah, anaknya yang masih bayi itu membuka
mulut dan berbicara,”Ibu, jangan bersedih. Teruskanlah. Biar anakmu ini masuk ke
dalam minyak panas itu. Allah telah menyediakan sebuah tempat bagi kita sekeluarga di
surga.”

Ucapan yang keluar dari mulut mungil itu tentu saja mengejutkan orang-orang yang ada
disana. Dengan ucapan itu pula, Siti Masyitoh menjadi yakin kepada Allah. Tiba-tiba
saja,anaknya telah melemparkan diri ke dalam minyak panas itu, lalu disusul oleh Siti
Masyitoh. Keduanya kemudian meinggal sebagi syahid dengan keridaan dari Allah
SWT.

Keyakinan yang kokoh telah begitu mengakar dalam diri Siti Masyitoh dan keluarganya.
Ia tidak pernah sedikitpun ragu bahwa sesungguhnya Allah adalah Tuhan bagi seluruh
makhluk.

Dalam Peristiwa Isra’Mikraj, Nabi Muhammad SAW. Sampai disuatu tempat yang
sangat harum. Malaikat Jibril memberitahukan bahwa tempat itu adalah tempat bagi Siti
Masyitoh dan keluarganya disurga. Subhanallaah.

Lawan dari as-syaja’ah adalah al-jubn (pengecut). Sikap seperti itu adalah sikap
tercela sebagaimana ditegaskan di dalam hadits,
76

‫علَ ْي ِه‬ َّ ‫صلَّى‬


َ ‫َّللا‬ َ ِ‫َّللا‬ َ ‫مس ِا ْعت أ َ َبا ه َر ْي َرةَ يَقول‬
َّ ‫مس ِا ْعت َرمسو َل‬ َ ‫ان قَا َل‬ ِ ‫ع ْب ِد ا ْلعَ ِز‬
َ ‫يز ْب ِ َم ْر َو‬ َ ْ ‫ع‬
َ
‫مسلَّ َم يَقول ش َُّر َما فِي َرج ٍل ش ٌّح َها ِل ٌع َوج ْب ٌ َخا ِل ٌع‬ َ ‫َو‬
Artinya: “Dari Abdul ‘Aziz bin Marwan, ia berkata; saya mendengar Abu Hurairah berkata;
saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Seburuk-buruk sifat
yang ada pada seseorang adalah sifat pelit yang sangat pelit dan sifat pengecut yang sangat
pengecut” (HR. Abu Dawud)

Sifat pengecut sangat berbahaya karena sikap pengecut adalah sikap yang tidak punya
komitmen terhadap kebenaran, karena takut celaan manusia; takut kehilangan harta dunia;
atau takut terhadap berbagai resiko perjuangan dalam menegakkan Agama Allah. Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ْ َ‫علَ ْيكم األ َمم َك َاا تَدَاعَى األ َ َكلَة ِإلَى ق‬


‫ص َعتِ َها” ا َ َو ِم ْ ِقلَّ ٍة ِبنَا َي ْو َم ِئ ٍذ‬ َ ‫شك أ َ ْن تَدَاعَى‬ ِ ‫ي ْو‬
‫ َوقَ ْد نَ َز َل‬،‫ن ْي ِل‬ َ ‫ َولَ ِكنَّك ْم غثَا ٌ كَغثَا ِ ال‬،‫ “بَ ْل اِنَّك ْم يَ ْو َمئِ ٍذ َكثِ ْير ْو َن‬:‫يَا َرمس ْو َل هللاِ؟ قَا َل‬
‫ت‬ ُّ ‫ “ح‬:‫ارمس ْو َل َّللاِ ؟ قَا َل‬
ِ ‫ب الد ْنيَا َوك ََرا ِهيَة ا ْل َا ْو‬ َ َ‫ َو َما ا ْل َو ْه ي‬:‫ِبكم ا ْل َو ْه ” قِ ْي َل‬
Artinya: “Kamu akan diperebutkan oleh bangsa-bangsa lain sebagaimana orang-orang
berebut melahap isi mangkok.” Para sahabat bertanya: “Apakah saat itu jumlah kami sedikit
ya Rasulullah?” Beliau menjawab: “Tidak, bahkan saat itu jumlah kalian banyak sekali
tetapi seperti buih air bah dan kalian ditimpa penyakit wahn.” Mereka bertanya lagi:
“Apakah penyakit wahn itu ya Rasulullah?” Beliau menjawab: “Terlalu cinta dunia dan
takut kepada mati” (HR. Abu Daud).

oleh karenanya tercabutnya sifat syaja’ah dalam diri umat ini akan menyebabkan mereka
kehilangan izzah (wibawa, kehormatan, dan kemuliaan).

D. ‘ADIL

sumber : https://cahayawahyu.wordpress.com
77

Kata ‘adl adalah bentuk mashdar dari kata kerja ‘adala- ya‘dilu-‘adlan ( –‫عدَ َل– يَ ْع ِد ُل‬
َ
ً‫ع ْدال‬
َ ) yang maknanya adalah lurus. Berdasarkan mekna diatas, maka kata ‘adl berarti
‘menetapkan hukum dengan benar’, tidak berpihak kepada salah seorang yang berselisih, dan
pada dasarnya seorang yang ‘adl berpihak kepada yang benar. Dengan demikian, ia
melakukan sesuatu yang patut dan tidak sewenang-wenang Jadi. Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia, kata “adil” diartikan: (1) tidak beratsebelah/tidak memihak, (2) berpihak kepada
kebenaran, dan (3) sepatutnya/tidak sewenang-wenang. Firman Allah dalam Al-quran
(Q.S.An-Nisa’ ayat :58):

               

           
Artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak
menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya
kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-
baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat.
(Q.S.An-Nisa’ ayat :58)

Dalam Surah Al-Maidah ayat 8 Allah berfirman:

             

                
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu Jadi orang-orang yang selalu
menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali
kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk Berlaku tidak adil. Berlaku
adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah,
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”.(Q.S. Al-Maidah : 8)

Menurut M. Quraish Shihab, kata ‘adl di dalam Al-Qur’an memiliki aspek dan objek
yang beragam, begitu pula pelakunya. Keragaman tersebut mengakibatkan keragaman makna
‘adl (keadilan). Ada empat makna kata adi dalam Al-quran yaitu: Pertama, adil dalam arti
“sama”. Pengertian ini yang paling banyak terdapat di dalam Al-Qur’an, antara lain pada QS.
An-Nisâ’ [4]: 3, 58, dan 129, QS. Asy-Syûrâ [42]: 15, QS. Al-Mâ’idah [5]: 8, QS. An-Nahl
[16]: 76, 90, dan QS. Al-Hujurât [49]: 9. Kata ‘adl dengan arti ‘sama (persamaan)’ pada ayat-
ayat tersebut yang dimaksud adalah persamaan di dalam hak. Kedua, adil dalam arti
“seimbang”. Pengertian ini ditemukan di dalam QS. Al-Mâ’idah [5]: 95 dan QS. Al-Infithâr
[82]: 7. Ketiga, adil adalah “perhatian terhadap hak-hak individu dan memberikan hak-hak
itu kepada setiap pemiliknya”. Keempat, adil yang dinisbatkan kepada Ilahi. ‘Adl di sini
78

berarti ‘memelihara kewajaran atas berlanjutnya eksistensi, Keadilan Allah mengandung


konsekuensi bahwa rahmat Allah swt. tidak tertahan untuk diperoleh sejauh makhluk itu
dapat meraihnya. Allah memiliki hak atas semua yang ada, sedangkan semua yang ada tidak
memiliki sesuatu di sisi-Nya. Di dalam pengertian inilah harus dipahami bahwa Allah swt.
sebagai Qaiman bi al-qisth (Yang menegakkan keadilan). Firman Allah (QS. Al ‘Imrân [3]:
18):

                 

 
Artinya : “Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak
disembah), yang menegakkan keadilan. Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu[188]
(juga menyatakan yang demikian itu). tak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah),
yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (QS. Al ‘Imrân [3]: 18)

Al-Ghazali dalam kitab al-Musthafa memberi definisi keadilan dalam riwayat dan
pensaksian sebagai suatu ungkapan mengenai konsisten perjalanan hidup dalam agama,
hasilnya merujuk kepada suatu keadaan yang mantap dalam jiwa yang menjamin melakukan
taqwa dan mu’ruah (sikap jiwa) sehingga mencapai kepercayaan jiwa yang dibenarkan, maka
tidak ada kepercayaan atas perkataan bagi orang yang takut Allah dari kebohongan. Jadi
maksud keadilan di sini adalah penerimaan riwayat tanpa dibebani pencarian sebab-sebab
adil dan kesucian diri. Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata : “Yang dimaksud dgn adil ialah orang
yg mempunyai sifat ketaqwaan dan muru’ah”.
Kriteria ‘adil menurut ahli hadits adalah orang yang muslim, merdeka, tidak
melakukan dosa besar dan tidak terus menerus melakukan dosa kecil. Imam Syafii ditanya,
“siapakah ‘adil itu?”, beliau menjawab, “Tidak ada orang yang selamat sama sekali dari
maksiat, namun jika seseorang tidak melakukan dosa besar dan kebanyakan amalnya baik
maka dia ‘adil.
Sedangkan definisi keadilan menurut seorang hakim adalah hanya mencakup sikap dan
perlakuan hakim pada saat proses pengambilan keputusan, “tidak berpihak” kepada salah
seorang yang berselisih dan memberikan haknya kepada yang berhak menerimanya.
Semntara menurut seorang hakim, adil sering diartikan sebagai sikap moderat,
obyektif terhadap orang lain dalam memberikan hukum, sering diartikan pula dengan
persamaan dan keseimbangan dalam memberikan hak orang lain, tanpa ada yang dilebihkan
atau dikurangi. Sikap adil dalam syariah Islam dapat kita lihat dalam setiap sendi ajarannya,
79

baik secara teoritis maupun aplikatif, tarbawiy (pendidikan) maupun tasyri’iy (peraturan).
Islam mewajibkan ummatnya berlaku adil dalam semua urusan.
Beberapa dalil dalam Al-quran yang memerintahkan kita untuk berlaku ‘adil:
(QS. An Nisaa'/4:58 ):

               

           
Artinya : “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak
menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya
kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-
baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat” (QS.
An Nisaa'/4:58 ).

(QS. An-Nahl/16:90):

           

     


Artinya : “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat kebajikan,
memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan
permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran”
(QS. An-Nahl/16:90).

(Q.S. Al-An'am/6:152) :

              

                 

       


Artinya : “dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih
bermanfaat, hingga sampai ia dewasa. dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan
adil. Kami tidak memikulkan beban kepada sesorang melainkan sekedar kesanggupannya.
dan apabila kamu berkata, Maka hendaklah kamu Berlaku adil, Kendatipun ia adalah
kerabat(mu)[519], dan penuhilah janji Allah[520]. yang demikian itu diperintahkan Allah
kepadamu agar kamu ingat” (Q.S. Al-An'am/6:152).

‘Adl/Al-‘Adl (‫عدْل‬
َ ) merupakan salah satu sifat Allah dalam Al-asmaul husna, yang
menunjuk kepada Allah sebagai pelaku. Di dalam kaidah bahasa Arab, apabila kata jadian
(mashdar) digunakan untuk menunjuk kepada pelaku, maka hal tersebut mengandung arti
‘kesempurnaan’. Demikian halnya jika dinyatakan, Allah adalah Al-‘Adl (‫ = ا َ ْل َعدْل‬keadilan),
80

maka ini berarti bahwa Dia adalah pelaku keadilan yang sempurna. Oleh sebab itu, manusia
yang bermaksud meneladani sifat Allah yang ‘adl (‫عدْل‬
َ ) ini setelah meyakini keadilan Allah
dituntut untuk menegakkan ke-adilan walau terhadap keluarga, ibu bapak, dan dirinya,
bahkan terhadap musuhnya sekalipun.

Rangkuman

1. Definisi ikhlas menurut etimologi (menurut bahasa) Adalah berasal dari bahasa Arab,
yaitu dari kata “akhlasha”( ‫) اخلص‬, yang berarti bersih, murni, dan jernih. yang tidak
tercampur dengan hal-hal yang bisa mencampurinya, sedangkan menurut istilah syar’i
Ikhlas berarti, mendedikasikan dan mengorientasikan seluruh ucapan dan perbuatan,
hidup dan mati, diam, gerak dan bicara, hingga seluruh amal perbuatan hanya untuk
meraih keridhaan Allah
2. Dalam bahasa Arab, kata jujur semakna dengan “as-sidqu” atau “siddiq” yang berarti
benar, nyata, atau berkata benar. Secara istilah, jujur atau as-sidqu bermakna:
kesesuaian antara ucapan dan perbuatan, kesesuaian antara informasi dan kenyataan,
ketegasan dan kemantapan hati dan sesuatu yang baik yang tidak dicampuri kedustaan
3. Ditinjau dari segi bahasa syaja’ah adalah: kekuatan hati dalam menghadapi
keputusasaan; tenang, sabar, menguasai diri. Menurut istilah syaja’ah adalah
keteguhan hati, kekuatan pendirian untuk membela dan mempertahankan kebenaran
secara jantan dan terpuji. Jadi syaja’ah dapat diartikan keberanian yang berlandaskan
ke benaran, dilakukan dengan penuh pertimbangan dan perhitungan untuk
mengharapkan keridaan Allah Swt
4. Kata ‘adl adalah bentuk mashdar dari kata kerja ‘adala- ya‘dilu-‘adlan ( – ‫ع َد َل – َي ْعدِل‬
َ
ً‫ع ْدال‬
َ ) yang maknanya adalah lurus. maka kata ‘adl berarti ‘menetapkan hukum
dengan benar’, tidak berpihak kepada salah seorang yang berselisih, dan pada
dasarnya seorang yang ‘adl berpihak kepada yang benar.
5. Menurut M. Quraish Shihab, kata ‘adl di dalam Al-Qur’an Ada empat makna yaitu:
Pertama, adil dalam arti “sama”
Kedua, adil dalam arti “seimbang
Ketiga, adil adalah “perhatian terhadap hak-hak individu dan memberikan hak-hak itu
kepada setiap pemiliknya”.
Keempat, adil yang dinisbatkan kepada Ilahi. ‘Adl di sini berarti ‘memelihara
kewajaran atas berlanjutnya eksistensi
Qur’an Hadits (Hukum
Bacaan Tajwid)
1. HUKUM BACAAN NUN MATI DAN TANWIN

Nun mati disebut juga nun sakinah. Sedang yang dimaksud dengan nun mati adalah nun
yang tidak berbaris, ia menggunakan harakat sukun sehingga nun itu tidak dapat dibunyikan
kecuali diawali huruf lain. Contoh : ‫ِع ْند ي ْن ُم ْوا‬
Sedangkan yang dimaksud dengan tanwin adalah nun mati yang bertempat di akhir isim
(kata benda) yang terlihat apabila dibaca washal (sambung dengan kata lain) dan hilang ketika
ditulis (diwakafkan). Jadi pada dasarnya tanwin itu bermula dari nun mati yang kelihatan dalam
bahasa lisan dan hilang dalam bahasa tulisan. Contoh :

‫ س ِميْع ع ِليْم‬Dibaca ‫س ِم ْيعُ ْن ع ِل ْي ُم ْن‬


ً ‫ سَل ًما تا ّما‬Dibaca ‫سَلم ْن تا َّم ْن‬
Nun mati atau tanwin yang bertemu salah satu huruf hijaiyah, mempunyai dampak hukum
tersendiri dalam bacaaanya. Ada yang dibaca terang (izhar), memasukkan (idgham), menukar
atau berubah (iqlab ) dan menyembunyikan (ikhfa’). Dari dampak tersebut, maka bila ada nun
mati atau tanwin bertemu huruf hijaiyah mempunyai 4 hukum, yaitu:
a. Izhar (‫ار‬ ْ ‫)ا‬
ْ ‫ِظه‬
b. Idgham ( ‫) اِدْغا ْم‬
c. Iqlab ( ْ‫) اِ ْقَلب‬
d. Ikhfa’ ( ‫) اِ ْخفا ْء‬
Keempat cara bacaan itu akan diterangkan satu persatu secara rinci sebagai berikut:
a. Bacaan Izhar

Muhammad Mahmud menyatakan bahwa dalam arti bahasa, izhar berarti : ْ ‫ا ْلبي‬
‫ان‬ yakni
terang, jelas, tampak. Sedangkan menurut istilah adalah
ُ ‫ار هُو ِإ ْخرا ُج ُك ِّل ح ْرف ِم ْن م ْخر ِج ِه ِم ْن غي ِْر‬
‫غ َّنة‬ ْ ‫اإل‬
ُ ‫ظه‬ ِ
“Mengeluarkan setiap huruf dari tempat keluarnya tanpa disertai berdengung”

Pengertian itu menjelaskan agar cara membaca nun mati atau tanwin jelas dan terang,
tanpa disertai dengung jika bertemu dengan huruf izhar. Huruf-huruf izhar Huruf izhar ada 6

macam, keenam huruf itu disebut huruf halqi ( ‫) الح ْل ِقي‬, karena makhraj huruf izhar

pada halqi (tenggorokan). Adapun huruf-huruf halqi adalah : ‫غ‬ ‫ ء هـ ح خ ع‬. Dengan keenam
huruf itu pula, maka bacaan ini bisa disebut dengan izhar halqi. ( ‫ح ْل ِقي‬ ‫ار‬ ْ ‫)ا‬
ْ ‫ِظه‬
Contoh :
No Tertulis Dibaca Sebab

1 ‫ي ْنئ ْون‬ ‫ي ْنئ ْون‬ ‫ ن‬bertemu ‫ء‬

2 ‫ُكل ٰامن‬ ‫ُكلّ ْن ٰامن‬ ‫ ــــ‬bertemu ‫ء‬

3 ‫ي ْنه ْون‬ ‫ي ْنه ْون‬ ‫ ن‬bertemu ‫ه‬

4 ‫ق ْوم هاد‬ ‫ق ْو ِم ْن هاد ِْن‬ ‫ ـــــ‬bertemu ‫ه‬

5 ‫ِم ْن ِع ْلم‬ ‫ِم ْن ِع ْلم‬ ‫ ن‬bertemu ‫ع‬

‫ج َّن ِت ْن‬
6 ‫ج َّنة عا ِلية‬ ‫عا ِلي ِت ْن‬ ‫ ــــــ‬bertemu ‫ع‬

7 ‫ِم ْن ِغ ّل‬ ‫ِم ْن ِغ ّل‬ ‫ ن‬bertemu ‫غ‬

‫ع ِزيْز‬ ‫ع ِزي ُْز ْن‬


8 ‫غفُ ْور‬ ‫غفُ ْو ُر ْن‬ ‫ ــــ‬bertemu ‫غ‬

9 ‫وا ْنح ْر‬ ‫وا ْنحر‬ ‫ ن‬bertemu ‫ح‬

‫ح ِميْم‬ ‫ح ِم ْي ُم ْن‬
10 ‫ح ِم ْي ًما‬ ‫ح ِميْم ْن‬ ‫ ــــ‬bertemu ‫ح‬

11 ‫ِم ْن خيْر‬ ‫ِم ْن خي ِْر ْن‬ ‫ ن‬bertemu ‫خ‬

‫ِندآء ْن‬
12 ‫ِندآ ًء خ ِفيًّا‬ ‫خ ِفي َّْن‬ ‫ ـــًــ‬bertemu ‫خ‬

b. Bacaan Idgham

Menurut Muhammad Mahmud, idgham dalam arti bahasa berarti: ‫ْئ فِى‬ َّ ‫إِدْخا ُل ال‬
ِ ‫شي‬
‫ْئ‬ َّ ‫( ال‬Memasukkan sesuatu pada sesuatu). Arti ini jika dikembangkan berarti memasukkan
ِ ‫شي‬
huruf nun mati pada idgham.
Sedangkan dalam arti istilah idgham berarti:

‫ان ح ْرفًا ُمشدَّدًا‬


ِ ‫صيْر‬ ُ ‫ا ِالدْغا ُم هُو ا ِْل ِتقا ُء ح ْرف سا ِكن ِب ُمتح ِ ّرك ِبحي‬
ِ ‫ْث ي‬
“Pertemuan huruf yang mati dengan huruf yang hidup sehingga kedua huruf itu menjadi satu
huruf yang ditasydid”.
Dari pengertian diatas, tampak bahwa cara membaca bacaan idgham adalah memasukkan
nun mati atau tanwin pada huruf-huruf idgham, dan seakan-akan kedua huruf itu menjadi satu.
Seperti huruf-huruf yang ditasydid walaupun asal kedua huruf ini tidak bertasydid. Huruf

idgham ada 6 macam, yang terkumpul pada rumus : ‫ي ْر ِملُ ْون‬


Sehingga jika ada nun mati dan tanwin bertemu salah satu keenam huruf tersebut, maka
nun mati dan tanwin tersebut harus dimasukkan padanya. Keenam huruf itu ada yang dibaca
mendengung ada yang tidak, karena itu idgham terbagi menjadi dua macam. Idgham

Bighunnah (‫بغنة‬ ‫) ادغام‬, dan Idgham Bilaghunnah ( ‫) ادغام بَلغنة‬


• Idgham bighunnah sebagaimana dalam pengertian di atas, adalah membunyikan nun

mati atau tanwin dengan memasukkan pada huruf idgham bighunnah, yaitu : ‫( ي ْن ُم ْو‬ya’,
nun, mim, wawu) disertai mendengung. Cara membunyikannya harus memasukkan nun
mati atau tanwin pada keempat huruf tersebut. Contoh:

No Tertulis Dibaca Sebab

1 ‫م ْن يقُ ْو ُل‬ ‫م ْي يقُ ْو ُل‬ ‫ ن‬bertemu ‫ى‬

‫ب ْرق‬ ‫ب ْرقُ ْى‬


2 ‫يجْ علُ ْون‬ ‫يجْ علُ ْون‬ ‫ ـــ‬bertemu ‫ى‬

3 ‫ع ْن ن ْفس‬ ْ ‫ع ْن ن ْف‬
‫سن‬ ‫ ن‬bertemu ‫ن‬

َّ ‫ِح‬
‫طة‬ َّ ‫ِح‬
‫طت ُ ْن‬
4 ‫ن ْغ ِف ْرل ُك ْم‬ ‫ن ْغ ِف ْرل ُك ْم‬ ‫ ـــ‬bertemu ‫ن‬

5 ‫ِم ْن مالــ‬ ْ ‫ِم ْم م‬


‫الــن‬ ‫ ن‬bertemu ‫م‬
‫ماء‬ ‫ما ِئ ْم‬
6 ‫ُمصفًّى‬ ‫ُمصفّ ْن‬ ‫ ـــــ‬bertemu ‫م‬

7 ‫ِم ْن والــ‬ ‫ِم ْو والــ‬ ‫ ن‬bertemu ‫و‬

‫ي ْوم ِئذ‬ ‫ذو‬


ْ ‫ي ْوم ِئ‬
8 ‫وا ِهي ْة‬ ‫وا ِهي ْة‬ ‫ ـــــ‬bertemu ‫و‬

Dan hukum bacaan idgham bighunnah mempunyai syarat yaitu: harus terjadi dalam dua
kalimat. Maksudnya antara nun mati dan tanwin harus terpisah dengan huruf idgham
bighunnah. Jika syarat tersebut tidak dipenuhi, yaitu nun mati atau tanwin bertemu salah satu
huruf idgham bighunnah dalam satu kalimat, maka cara membacanya terang (izhar). Ulama
tajwid menyebutkan dengan istilah izhar kilmi ( ‫) اظهار كلمى‬, karena kejadian izhar
berdasarkan satu kalimat. Atau disebut izhar wajib ( ‫ ) اظهار واجب‬karena sangat wajib meng-
izharkan (menerangkan) bacaannya. Contoh:

No Tertulis Dibaca Sebab

1 ‫ص ْنوان‬
ِ ‫ص ْنوان‬
ِ ‫ ن‬bertemu ‫و‬

2 ‫قِ ْنوان‬ ‫قِ ْنوان‬ ‫ ن‬bertemu ‫و‬

3 ‫بُ ْنيان‬ ‫بُ ْنيان‬ ‫ ن‬bertemu ‫ى‬

4 ‫دُ ْنيا‬ ‫دُ ْنيا‬ ‫ ن‬bertemu ‫ى‬

• Idgham Bilaghunnah cara membaca nun mati atau tanwin dengan memasukkanya
pada huruf lam dan ra’ tanpa mendengung. Karena itu, huruf idgham bilaghunnah
terdapat dua macam, yaitu ‫ ( لر‬lam dan ra’ ). Jika ada nun mati atau tanwin bertemu
salah satu dari kedua huruf itu, maka wajib dimasukkan padanya tanpa mendengung.
Contoh :

No Tertulis Dibaca Sebab

1 ُ‫ِم ْن لدُ ْنه‬ ُ‫ِم ْل لدُ ْنه‬ ‫ ن‬bertemu ‫ل‬


ً‫رحْ مة‬ ‫رحْ مت ْل‬
2 ‫ِلّ ْلعال ِميْن‬ ‫ِلّ ْلعال ِميْن‬ ‫ ـــًــ‬bertemu ‫ل‬

3 ‫ِم ْن ر ِّب ِه ْم‬ ‫ِم ْر ر ِّب ِه ْم‬ ‫ ن‬bertemu ‫ر‬

‫رؤُف‬
4 ‫ر ِحيْم‬ ‫ر ُؤفُ ْر ر ِحيْم‬ ‫ ـــ‬bertemu ‫د‬

c. Bacaan Iqlab
Menurut Muhammad Mahmud, iqlab dalam arti bahasa adalah ‫شي ِْئ ع ْن وجْ ِه ِه‬
َّ ‫ تحْ ِو ْي ُل ال‬:
“mengubah bentuk sesuatu dari asalnya“. Dalam arti mengubah huruf nun mati atau tanwin
pada huruf iqlab. Sedangkan menurut arti istilah adalah:

ُ ‫ا ْ ِال ْقَل‬
‫ب هُوج ْع ُل ح ْرف مكان ح ْرف اخرمع ُمراعاةِ اْلغُ َّن ِة‬
“Menjadikan huruf satu pada ketentuan huruf lain disertai mendengung”
Dari pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa nun mati atau tanwin ketika bertemu dengan
huruf iqlab, maka nun mati atau tanwin tersebut harus dibaca sebagaimana bacaan iqlab disertai
mendengung. Huruf iqlab hanya satu, yaitu ba’ ( ‫) ب‬. Maka ketika ada nun mati atau tanwin
bertemu dengan huruf ba’, maka nun mati atau tanwin itu harus dibaca mim ( ‫ ) م‬karena bacaan
iqlab. Contoh :

No Tertulis Dibaca Sebab

1 ‫ا ْن ِب ْئ ُه ْم‬ ‫ا ْم ِب ْئ ُه ْم‬ ‫ ن‬bertemu ‫ب‬

2 ‫ع ِليْم ِبذات‬ ‫ع ِل ْي ُم ْم ِبذات‬ ‫ ـــ‬bertemu ‫ب‬

d. Bacaan Ikhfa

Menurut Muhammad Mahmud, ikhfa dalam arti bahasa adalah: ‫س ْت ُر‬


َّ ‫“ ال‬menutupi atau
menyembunyikan“. Sedangkan dalam arti istilah adalah:

‫ار‬ ْ ‫صفة بيْن ا ِال‬


ِ ‫ظه‬ ِ ‫ى خالــ ع ْن التَّ ْش ِد ْي ِد على‬ ْ ‫ق ِبح ْرف سا ِكن عارا‬ ْ ‫ا ْ ِال ْخفا ُءهُو ِعبارة ع ِن ال ُّن‬
ِ ‫ط‬
ِ ‫اء الغُ َّن ِة فِى اْلح ْر‬
‫ف‬ ِْ ‫و‬
ِ ‫االدْغ ِام مع بق‬
“Ikhfa’ adalah mengungkapkan huruf yang mati dan tersembunyi atau sunyi dari tasydid
pada bacaan antara terang dan memasukkan dengan mendengungkan pada huruf pertama”.
Pengertian tersebut tampak jelas bahwa bacaan yang samar-samar antara izhar (terang)
dengan idgham (memasukkan pada yang lain) disertai mendengung, atau ketika
mengucapkan nun mati atau tanwin seakan-akan bertemu huruf “ng” seperti dalam bahasa
Indonesia. Huruf ikhfa’ sebanyak 15 macam, yang terkumpul pada awal kata berikut ini:

‫ دُ ْم ط ِّيبًا ِز ْد فِى تُقًى ض ْع ظا ِل ًما‬# ‫ف ذاثناك ْم جاد ش ْخص قدْسما‬


ْ ‫ص‬
ِ
Dari kelima belas huruf ikhfa’ itu terdapat 3 klasifikasi, yaitu:

1. Ikhfa’ A’la ( ‫اع ْٰلى‬ ‫) ا ِْخفا ُء‬, yaitu bacaan ikhfa’ yang lebih lama dari
ghunnahnya, adapun hurufnya ada tiga, yaitu: ‫ط‬,‫د‬ ,‫ت‬ contoh: ‫ن‬
ِ ‫د ُْو‬ ‫ ِم ْن‬,
ِ ‫ِم ْن ط ِّيبا‬
‫ت‬
2. Ikhfa’ Adna ( ‫اد ْٰنى‬ ‫) ا ِْخفاء‬, yaitu bacaan ikhfa’ yang lebih pendek dari ghunnah,
adapun hurufnya ada dua : ‫ك‬ , ‫ ق‬contoh:‫ ِم ْن ق ْب ِل‬, ‫م ْن كان‬
3. ْ ‫ا ْوس‬
Ikhfa’ Ausath ( ‫ط‬ ‫) ا ِْخفا ْء‬, yaitu antara bacaan ikhfa’ dengan ghunnah sama-
sama sedang, adapun hurufnya yaitu selain dari bagian ikhfa A’la dan ikhfa’

Adna. Contohnya: ُ‫ ا ْنز ْلناه‬, ‫ا ْنفُس ُك ْم‬


Contoh- contoh bacaan ikhfa yaitu sebagai berikut:

No Tertulis Dibaca Sebab

1 ُ ‫ا ُ ْن‬
‫ص ْرن‬ ُ ‫ا ُ ْن‬
‫ص ْرن‬ ‫ ن‬bertemu ‫ص‬

‫ِرجال‬ ‫ِرجالُ ْن‬


2 ‫صدقُ ْوا‬ ‫صدقُ ْوا‬ ‫ ـــ‬bertemu ‫ص‬

3 ‫ُم ْنذِر‬ ‫ُم ْنذ ُِر ْن‬ ‫ ن‬bertemu ‫ذ‬


‫صوابًا‬ ‫صواب ْن‬
‫‪4‬‬ ‫ذا ِلك‬ ‫ذا ِلك‬ ‫ذ ‪ bertemu‬ـــًــ‬

‫‪5‬‬ ‫م ْنث ُ ْو ًرا‬ ‫م ْنث ُ ْور ْن‬ ‫ث ‪ bertemu‬ن‬

‫ِشهاب‬
‫‪6‬‬ ‫ثاقِب‬ ‫ِشهاب ُْن ثاقِب ُْن‬ ‫ث ‪ bertemu‬ـــ‬

‫‪7‬‬ ‫ا ِْن ُك ْنت ُ ْم‬ ‫ا ِْن ُك ْنت ُ ْم‬ ‫ك ‪ bertemu‬ن‬

‫ُمس ِْرف‬ ‫ُمس ِْرفُ ْن‬


‫‪8‬‬ ‫كذَّاب‬ ‫كذَّاب ُْن‬ ‫ك ‪ bertemu‬ـــ‬

‫‪9‬‬ ‫م ْن َٓجاء‬ ‫م ْن َٓجاء‬ ‫ج ‪ bertemu‬ن‬

‫عيْن‬ ‫ع ْي ُن ْن‬
‫‪10‬‬ ‫ارية‬
‫ج ِ‬ ‫اريت ُ ْن‬
‫ج ِ‬ ‫ج ‪ bertemu‬ـــ‬

‫‪11‬‬ ‫يُ ْن ِش ُ‬
‫ئ‬ ‫يُ ْن ِش ُ‬
‫ئ‬ ‫ش ‪ bertemu‬ن‬

‫‪12‬‬ ‫ِلن ْفس ش ْيئًا‬ ‫ِلن ْف ْ‬


‫سن شيْئ ْن‬ ‫ش ‪ bertemu‬ـــــ‬

‫‪13‬‬ ‫ِم ْن ق ْب ُل‬ ‫ِم ْن ق ْب ُل‬ ‫ق ‪ bertemu‬ن‬

‫سَل ُم ْن‬
‫‪14‬‬ ‫سَلم ق ْو ًال‬ ‫ق ْو ْ‬
‫لن‬ ‫ق ‪ bertemu‬ـــ‬
‫ِم ْن‬
‫‪15‬‬ ‫س ُه ْو ِلها‬
‫ُ‬ ‫ِم ْن ُ‬
‫س ُه ْو ِلها‬ ‫س ‪ bertemu‬ن‬

‫‪16‬‬ ‫ِبق ْلب س ِليْم‬ ‫ِبق ْل ِب ْن س ِلي ِْم ْن‬ ‫س ‪ bertemu‬ـــــ‬

‫‪17‬‬ ‫ا ْندادًا‬ ‫ا ْنداد ًْن‬ ‫د ‪ bertemu‬ن‬

‫قِ ْنوان‬ ‫قِ ْنوانُ ْن‬


‫‪18‬‬ ‫دا ِنية‬ ‫دا ِنيت ُ ْن‬ ‫د ‪ bertemu‬ـــ‬

‫‪19‬‬ ‫اِ ْنط ِلقُ ْوا‬ ‫اِ ْنط ِلقُ ْوا‬ ‫ط ‪ bertemu‬ن‬

‫‪20‬‬ ‫ب ْلدة ط ِّيبة‬ ‫ب ْلدت ُ ْن ط ِّيبت ُ ْن‬ ‫ط ‪ bertemu‬ـــ‬

‫‪21‬‬ ‫ا ْنز ْلنا‬ ‫ا ْنز ْلنا‬ ‫ز ‪ bertemu‬ن‬

‫‪22‬‬
‫سا ز ِكيةً‬
‫ن ْف ً‬ ‫ن ْف ً‬
‫س ْن ز ِكيت ْن‬ ‫ز ‪ bertemu‬ـــًــ‬

‫‪23‬‬ ‫ِليُ ْن ِف ْق‬ ‫ِليُ ْن ِف ْق‬ ‫ف ‪ bertemu‬ن‬

‫‪24‬‬ ‫خا ِلدًا فِيْها‬ ‫خا ِلد ْن فِيْها‬ ‫ف ‪ bertemu‬ـــًــ‬

‫‪25‬‬ ‫ِم ْن تحْ ِتها‬ ‫ِم ْن تحْ ِتها‬ ‫ت ‪ bertemu‬ن‬

‫ج َّنات‬ ‫ج َّنا ِت ْن‬


‫‪26‬‬ ‫ى‬
‫تجْ ِر ْ‬ ‫ى‬
‫تجْ ِر ْ‬ ‫ت ‪ bertemu‬ـــــ‬
27 ُ ‫م ْن‬
‫ض ْود‬ ُ ‫م ْن‬
‫ض ْود ِْن‬ ‫ ن‬bertemu ‫ض‬

‫ُك ًَّل‬
28 ‫ضربْنا‬ ‫ُك ًَّل ضربْنا‬ ‫ ـــًــ‬bertemu ‫ض‬

29
ُ ‫ي ْن‬
‫ظ ُر ْون‬ ُ ‫ي ْن‬
‫ظ ُر ْون‬ ‫ ن‬bertemu ‫ظ‬

‫قُ ًرى‬
30 ً ‫ظا ِهرة‬ ً ‫قُر ْن ظا ِهرة‬ ‫ ـــًــ‬bertemu ‫ظ‬

2. HUKUM BACAAN MIM MATI

Hukum bacaan mim mati merupakan salah satu hukum dalam ilmu tajwid tentang cara
membaca Alquran yang baik dan benar. Mim mati adalah huruf mim yang tidak memiliki tanda

baris atau harakat (‫) ْم‬. Mim mati terjadi apabila bertemu dengan salah satu huruf hijaiyah.
Dalam ilmu tajwid, hukum mim mati terbagi menjadi 3 yaitu: izhar syafawi, ikhfa’ syafawi,
dan idgham mimiy.
a. Izhar Syafawi Izhar

Syafawi yaitu bagian dari ilmu tajwid yang terjadi ketika huruf hijaiyah Mim Sukun ( ‫) ْم‬
ketemu dengan seluruh huruf hijaiyah, selain huruf hijaiyah Mim dan huruf hijaiyah Ba.
Izhar berarti terang (jelas) atau tak berdengung. Syafawi berarti bibir; sebab huruf hijaiyah
Mim makhrajul hurufnya yaitu bertemunya bibir di bagian bawah dan bibir di bagian atas.
Dalam istilah yang ada di dalam ilmu tajwid, Izzhar Syafawi yaitu melafalkan huruf-huruf
hijiayah yang ketemu dengan huruf Mim Sukun dengan terang dan jelas, dan ini tidak disertai
dengan berdengung (ghunnah). Dan dalam Idzhar Syafawi bisa terjadi dalam satu kalimat
(kata), ataupun di luar kalimat (kata) yang terpisah.

Contoh Izhar Syafawi ‫نا ِئ ُم ْون‬ ‫ = ُه ْم‬hum naaimuuna


‫ = قُ ْل نع ْم وا ْنت ُ ْم‬qul na‘am wa antum
b. Ikhfa Syafawi
Ikhfa Syafawi yaitu suatu hukum tajwid yang terjadi ketika ada huruf hijaiyah Mim Sukun
( ‫ْم‬ ) ketemu dengan huruf hijaiyah Ba ( ‫ب‬ ) . Ikhfa’ berarti menyembunyikan atau
menyamarkan. Syafawi berarti bibir Disebut dengan Ikhfa Syafawi sebab makhraj dari huruf
hijaiyah Mim dan huruf hijaiyah Ba adalah pertemuan antara bibir bawah dan bibir atas.
Hukum Ikhfa Syafawi ini sangat berbeda dengan hukum Idgham Bighunnah, Iqlab, atau
Ghunnah Musyaddadah di huruf hijaiyah Mim – di dalam Al-Quran Al Karim – khusus untuk
hukum Ikhfa Syafawi ini tak diberikan tanda tasydid ataupun tanda yang lain, sama halnya
seperti pada hukum Ikhfa Haqiqi. Akan tetapi, pada hukum Ikhfa Syafawi ini tetaplah wajib
dibaca dengan dengung sekitar 2 – 3 harakat atau 1 1/2 alif, sebab bila hukum Ikhfa Syafawi
ini tidak didengungkan, maka hukumnya akan berubah jadi hukum Izhar. Cara membaca dari
hukum Ikhfa Syafawi yaitu dengan membaca lebih dulu HURUF HIJIAYAH sebelum mim
sukun, setelah itu masuk ke dalam huruf Mim Sukun dengan cara mengeluarkan irama
dengungnya hukum dari ikhfa Syafawi yaitu dengan cara menahan huruf hijaiyah mim secara
samar-samar sehingga ketika akan ketemu dengan huruf hijaiyah ‫ ب‬maka bibir atas dan bibir
bawah dalam posisi yang tertutup, contoh ‫ِبدا ِلك‬ ‫ = اِن ُه ْم‬innahumm bidaalika
‫ = ت ْر ِم ْي ِه ْم ِب ِحجارة‬tarmiihimm bihijaaratin.
c. Idgham Mimi
Idgham Mimi merupakan hukum tajwid yang terjadi khusus untuk huruf hijaiyah Mim
Sukun ( ‫ ) ْم‬ketemu dengan huruf hijaiyah Mim yang mempunyai harakat [ ‫ ُم‬, ‫] م ِم‬. Disebut
dengan Mitslain sebab terjadinya sebiaj pertemuan dua huruf hijaiyah yang makhraj dan juga
sifatnya adalah sama persis (identik), tetapi khusus bagi huruf hijaiyah Mim Sukun yang
ketemu huruf Mim yang mempunyai harakat.
Dinamai dengan Idgham sebab cara untuk membacanya yaitu dengan cara meleburkan
(menggabungkan) satu huruf hijaiyah ke dalam huruf hijaiyah sesudahnya, atau istlah lainnya
adalah dengan di-tasydid-kan. Hukum dari Idgham Mitslain adalah dibaca dengan
mendengung [makhraj huruf hijaiyah mim-nya jelas dan mengalun] kurang lebih sekitar 2 – 3
harakat (1 Alif hingga 1 1/2 alif)
Di dalam Al-Quran Al Kariim ayat yang mengandung hukum Idgham Mimiy telah ada
tanda tasydidnya. Tasydid Idgham Mimiy merupakan Tasydid Hukum, yaitu sebuah tanda
tasydid yang ada dan diberikan sebab terjadinya suatu hukum peleburan atau pertemuan.
Contoh Idgham Mimi ‫مايتقُ ْون‬ ‫ = ل ُه ْم‬lahumm mmaa yattaquuna
‫ = ُه ْم مااِ ْنفقُ ْوا‬humm maa infaquu.
Dengan mengetahui hukum bacaan nun mati dan tanwin serta hukum bacaan mim mati
diharapkan Kaum Muslim bisa membaca Al- Qur’an dengan baik dan tartil. Lebih dari itu, bisa
menyelami makna yang terkandung di dalamnya.
SEJARAH
KEBUDAYAAN
ISLAM
1. SEJARAH PERINTAH KEWAJIBAN PUASA

Bulan Ramadhan memiliki makna istimewa bagi umat Islam. Pengamalan puasa pada
bulan ini bahkan sudah berlaku sejak zaman Nabi
Pada bulan Ramadhan, setiap muslim di seluruh dunia menjalankan ibadah puasa, menahan
diri dari makan, minum, dan hubungan suami istri dari terbit fajar hingga terbenam matahari.
Berdasarkan catatan sejarah, Nabi Nuh AS disebut sebagai sosok yang pertama kali berpuasa
pada bulan Ramadhan. Lantas, bagaimana sejarah puasa Ramadhan bisa menjadi kewajiban
bagi umat Islam.
Hukum Islam tidak turun secara langsung dan serentak saat agama Islam hadir di tanah
Arab bersamaan dengan kedatangan Nabi Muhammad SAW. Sebaliknya, hukum itu
diberlakukan secara bertahap, sesuai dengan konteks dan faktor yang ada pada masa tersebut.
Tujuan dari pemberlakuan syariat Islam secara perlahan-lahan adalah agar umat Islam tidak
terkejut atau merasa terbebani secara tiba-tiba saat menjalankannya. Untuk itu, setiap hukum
Islam memiliki sejarah dan proses penurunan yang berbeda-beda, termasuk puasa Ramadhan.
Dikutip dari buku Misteri Bulan Ramadhan oleh Yusuf Burhanuddin, Imam Al-Qurthubi
menjelaskan Nabi Nuh AS merupakan orang pertama yang berpuasa di bulan Ramadhan. Nabi
Nuh AS melakukan ibadah puasa setelah turun dari bahteranya setelah peristiwa badai yang
menghantam negeri kaumnya.
Puasa yang dilakukan pada zaman Nabi Nuh AS dilakukan sebagai rasa syukur kepada
Allah SWT atas keselamatan dirinya dan kaumnya dari badai yang menghantam. Namun, Nabi
Nuh AS tidak berpuasa selama satu bulan penuh karena belum ada perintah yang mewajibkan
puasa Ramadhan sebulan penuh. Sebaliknya, menurut Syekh Sulaiman Ahmad Yahya Al Faifi
dalam buku Ringkasan Fikih Sunnah Sayyid Sabiq, perintah puasa Ramadhan diturunkan pada
zaman Nabi Muhammad SAW. Puasa Ramadhan pertama kalinya disyariatkan pada tahun
kedua Hijriah yakni, pada Senin, 10 Syaban tahun ke-2 Hijriah atau satu setengah tahun setelah
Rasulullah SAW dan umatnya hijrah dari Makkah ke Madinah.
Dari awal perintah puasa Ramadhan turun hingga Rasulullah SAW wafat, setidaknya
Rasulullah SAW telah melaksanakan sembilan kali puasa dalam sembilan tahun. Dikutip dari
buku Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad oleh Moenawar Khalil, sebelum adanya perintah
dari Allah SWT mengenai puasa Ramadhan, Nabi Muhammad SAW dan umatnya telah
mengerjakan puasa di setiap bulannya pada tanggal 13, 14, dan 15. Nabi Muhammad SAW dan
umatnya juga berpuasa setiap tanggal 10 bulan Muharram atau biasa juga disebut puasa Asyura.
Kemudian, 18 bulan setelah Nabi Muhammad SAW hijrah ke Madinah, lebih tepatnya pada
bulan Syaban tahun kedua Hijriah, Allah SWT menurunkan perintah untuk wajib berpuasa
kepada umat Islam. Allah SWT menurunkan perintah secara langsung kepada umat Islam untuk
melakukan puasa pada surah Al-Baqarah ayat 183,

‫الصيا ُم كما ُك ِتب على الَّذِين ِم ْن ق ْب ِل ُك ْم لعلَّ ُك ْم تتَّقُون‬


ّ ِ ‫يا أيُّها الَّذِين آمنُوا ُك ِتب عل ْي ُك ُم‬
Artinya: Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana
diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa.
Dalam ayat tersebut, dijelaskan orang-orang yang beriman wajib untuk berpuasa
sebagaimana orang-orang dahulu berpuasa. Puasa ini dilakukan selama sebulan penuh di bulan
Ramadhan. Puasa Ramadhan memang bertujuan untuk meningkatkan ketakwaan dan
menghindari perbuatan buruk. Dengan menahan diri dari berbagai hal yang dibolehkan selama
berpuasa, umat Islam diharapkan dapat lebih fokus beribadah dan mendekatkan diri kepada
Allah SWT.

2. KEUTAMAAN PUASA RAMADHAN

Selain kewajiban dan hikmahnya, puasa Ramadhan juga diyakini memiliki berbagai
keutamaan bagi umat Islam yang menjalankannya dengan penuh keimanan dan keikhlasan.
Berikut beberapa keutamaan:
• Bulan penuh keberkahan dan ampunan.
• Dibukanya pintu surga.
• Adanya malam Lailatulqadar.
• Turunnya Al-Qur'an.
• Doa yang mustajab.
• Bulan jihad dan perjuangan.

Anda mungkin juga menyukai