Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH

AL- ISLAM DAN KEMUHAMMADIYAHAN


KONSEP PELAYANAN SMART : IKHLAS, BEKERJA SAMA DAN
SUMPAH

Disusun oleh:

Aldy Whisnu Prayudha 1904026117


Fanny Farista 1904026144
Ibrahim Salim 1904026161
Noviyanti Dwi Putri 1904026191
Shinta 1904026210

PROGRAM STUDI APOTEKER


FAKULTAS FARMASI DAN SAINS
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PROF.DR.HAMKA
JAKARTA
2020
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pelayanan adalah setiap kegiatan yang manfaatnya dapat diberikan dari satu
pihak kepada pihak lain yang pada dasarnya tidak berwujud (intangible) dan tidak
berakibat pemilikan sesuatu (Kotler 1985). Pelayanan adalah upaya maksial yang
diberikan oleh petugas pelayanan untuk memenuhi kebutuhan dan harapan
pelanggan sehingga tercapai kepuasaan (Sugiarto 2002).
Pada ajaran islam sifat ikhlas wajib diterapkan sehingga dalam melakukan
kebaikan atau memberikan jasa baiknya kepada siapapun hendaknya dijiwai
dengan semangat untuk mencari keridhaan Allah, semangat ini menjadikan setiap
manusia tidak pernah tebersit dalam hatinya keinginan untuk menanti balasan dan
ucapan terima kasih dari sesama manusia. Berjiwa ikhlas dalam melaksanakan
segala aktivitas, akan menambah semangat melakukan kegiatan, akan membuat
diri untuk terus berprestasi dan berdedikasi, sebab dorongannya hanya mengharap
pahala dan ridha Allah swt oleh karena itu, bersikap ikhlas merupakan suatu
kewajiban bagi seorang mukmin dan muslim, sebab ikhlas adalah kesempurnaan
agama yang secara umum berarti terlepas dari syirik. Ikhlas itu berlawan dengan
persekutuan, barang siapa tidak ikhlas, maka ia adalah orang yang menyekutukan,
hanya saja syirik itu beberapa tingkat, maka ikhlas dalam hal tauhid itu berlawan
dengan persekutuan dalam hal ketuhanan, dan syirik itu sebagiannya tersembunyi
dan sebagiannya jelas.
Ikhlas tidak hanya pada ibadah mahdhah, akan tetapi juga menyentuh
masalah mu’amalah atau interaksi sosial, bahkan dalam masalah mu’amalah
ikhlas lebih diutamakan dari pada ikhlas kepada Allah SWT, karena ketika orang
beribadah kepada Allah SWT tidak ikhlas itu hanya akan merugikan dirinya
sendiri, tetapi kalau bekerja untuk kepentingan sosial tidak ikhlas akan berakibat
tidak baik terhadap banyak orang, meskipun kedua-duanya tidak dibenarkan.
Keikhlasan dapat hilang berangsur-angsur apabila dalam jiwa sesesorang timbul
rasa egoisme dan senang kepada sanjungan manusia, menjadi pangkat dan
kedudukan tanpa memperhatikan rambu-rambunya.
Selain ikhlas, konsep bekerjasama juga diperlukan dalam perlayan. Bekerja
sama diartikan sebagai kegiatan yang di lakukan secara bersama-sama dari
berbagai pihak untuk mencapai tujuan bersama. Biasanya kerjasama melibatkan
pembagian tugas, dimana setiap orang mengerjakan setiap pekerjaan yang
merupakan tanggung jawabnya demi tercapainya tujuan bersama. Tujuan bekerja
sama diharapkan memperoleh nilai keterbukaan dan saling mengerti. Orang yang
memberikan pelayanan terutama pelayanan kesehatan dilakukan pengambilan
sumpah sebagai bentuk tanggung jawab bahwa ada hak dan kewajiban yang harus
dilaksanakan.
B. Rumusan Masalah
Apakah konsep pelayanan smart : ikhlas, bekerja sama dan sumpah dapat
diterapkan di dalam pekerjaan?
C. Tujuan
Untuk mengetahui konsep pelayanan smart : ikhlas, bekerja sama dan sumpah
D. Manfaat
Dengan dibuatnya makalah ini, diharapkan dapat memberikan informasi
tambahan mengenai konsep pelayanan smart : ikhlas, bekerja sama dan sumpah
sehingga dapat daplikasikan dalam kehidupan sehari hari.
BAB II
PEMBAHASAN
A. IKHLAS
1. DEFINISI IKHLAS
Secara bahasa kata ikhlas berasal dari bahasa Arab: ‫ وخالصا خلوصا خلص‬yang
artinya murni, tiada bercampur, bersih, jernih. Ikhlas adalah suci dalam niat,
bersih batin dalam beramal, tidak berpura- pura, lurus hati dalam bertindak, jauh
dari riya’ dan kemegahan dalam berlaku berbuat, mengharapkan ridha Allah
semata-mata. Ikhlas merupakan amalan hati yang paling utama dan paling tinggi
dan paling pokok, Ikhlas merupakan hakikat dan kunci dakwah para rasul sejak
dahulu kala. Menurut Erbe Sentanu ikhlas merupakan Defaul Factory Setting
manusia, yakni manusia sudah dilahirkan dengan fitrah yang murni dari Ilahi,
hanya saja manusia itu sendirilah yang senang mendiskonnya sehingga
kesempurnaannya menjadi berkurang, ini akibat berbagai pengalaman hidup dan
ketidak tepatan dalam berfikir atau berprasangka, sehingga hidupnya pun menjadi
penuh kesulitan. Ikhlas yaitu melaksanakan perintah Allah dengan pasrah tanpa
mengharapkan sesuatu, kecuali keridhaan Allah. Ikhlas adalah menyaring sesuatu
sampai tidak lagi tercampuri dengan yang lainnya. Kalimatul ikhlas adalah
kalimat tauhid yaitu la ila ha illallah. Dari penjelasan di atas, maka dapat
diketahui bahwa makna ikhlas secara bahasa adalah suci (al-safa’), bersih (al-
naqi), dan tauhid. Jadi ikhlas merupakan sesuatu hal yang bersifat batiniyah dan
teruji kemurniannya dengan amalan saleh, ia merupakan perasaan halus yang
tidak dapat diketahui oleh siapapun. Amal perbuatan adalah bentuk-bentuk
lahiriyah yang boleh dilihat sedangkan roh amal perbuatan itu adalah rahasia yaitu
keikhlasan. Ikhlas adalah sebagaimana firman Allah swt. dalam surat al-Ikhlas
ayat 1- 4:
“Katakanlah: "Dia-lah Allah, yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang
bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tidak pula
diperanakkan, Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia.”
Dengan demikian makna ikhlas ialah sebagaimana Imam Ghazali berkata:
“ketahuilah bahwa segala sesuatu digambarkan mudah bercampur dengan
sesuatu yang lain. Jika bersih dari percampurannya dan bersih darinya, maka
itulah yang disebut ikhlas”.
Keikhlasan setiap hamba Allah setingkat dengan martabat dan kedudukan :
a . Pertama, golongan al-Abrar (pelaku kebajikan) ialah dengan keikhlasan
amalnya itu, bisa menyelamatkan dirinya dari riya’ baik yang nampak
maupun tersembunyi dan tujuannya memenuhi keinginan diri, yakni
mengharap limpahan pahala dan kebahagiaan di akhirat sebagaimana yang
dijanjikan oleh Allah untuk orang-orang yang ikhlas, serta menghindarkan
diri dari kepedihan azab dan perhitungan (al- Hisab) yang buruk
sebagaimana diancamkan Allah kepada orang yang tidak ikhlas.
b . Kedua, golongan “Muhibbah” yaitu orang-orang yang mencintai Allah
ialah beramal kepada Allah dengan maksud mengagungkan-Nya. Jadi dia
beramal bukan mengharap pahala dan bukan karena takut akan siksa-Nya.
Sebagaimana yang telah diucapkan oleh Rabi’ah al-Adawiyah : saya
menyembah-Mu bukan karena takut neraka dan tidak pula karena
mengharap surga, tetapi saya menyembah kepada-Mu semata-mata hanya
untuk mengagungkan-Mu.
c . Ketiga, golongan yang dekat kepada Allah (al muqarrabu) ialah orang
meniadakan penglihatan untuk peranan diri sendiri dalam amalnya, jadi
keikhlasan ialah tidak lain daripada kesaksiannya akan adanya hak pada
Allah Yang Maha Benar semata, untuk membuat orang itu bergerak atau
diam, tanpa ia melihat adanya daya kemampuan pada dirinya sendiri.
2. HAKIKAT IKHLAS
Hakikat Ikhlas Ikhlas dengan sangat indah digambarkan oleh Allah dalam
Surat al-An‟am ayat 162,

“Katakanlah: Sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku


hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam”. (QS. al-An‟am: 162).
Menurut ajaran Islam, hidup ini adalah untuk beribadah, bekerja dan berbuat
baik untuk diri sendiri maupun untuk orang lain. Pada hakikatnya semua kebaikan
itu, kapan saja, di mana saja, dan kepada siapa saja sepatutnya hanya
dipersembahkan kepada Allah semata, bukan kepada selain-Nya. Sebagaimana
firman Allah swt.

“Dan Katakanlah: “Bekerjalah kamu, Maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-
orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan
kepada (Allah) yang mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu
diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan”. (QS. At-Taubah:
5).
Ayat di atas menegaskan bahwa beribadah dengan ikhlas adalah satu-satunya
tugas dan kewajiban manusia kepada Allah swt artinya, seluruh aktivitas hidup
dan kehidupan manusia adalah dalam rangka pengabdian ubudiyah dan perilaku
ketauhidan yang jauh dari syirik serta jauh dari kesesatan.
Seorang tokoh sufi menjelaskan tentang ciri-ciri orang yang berbuat ikhlas
dalam amalnya, antara lain: Pertama, disaat orang yang bersangkutan memandang
pujian dan celaan manusia sama saja; kedua, melupakan amal ketika beramal dan;
ketiga, jika ia lupa akan haknya untuk memperoleh pahala di akhirat karena amal
baiknya. Dengan demikian, maka ikhlas merupakan pondasi penting dalam
membangun agama, karena ikhlas mempunyai cakupan yang tidak kalah penting,
antara lain: Ikhlas dalam niat, yakni ikhlas beribadah dan beramal hanya demi
Allah semata. Ikhlas dalam nasihat, sebagaimana asal muara kata nasihat dalam
bahasa Arab adalah tulus atau kemurnian. Ikhlas dalam agama atau akidah, adalah
hakikat Islam dan prinsip dasar yang terbangun atas ketundukan yang mutlak
hanya kepada Allah, tidak yang lain-Nya, hal itu semua merangkum dalam redaksi
kalimat tauhid yang berbunyi: ”La illaha illallah, Muhammadul Rasulullah.”
Untuk memperoleh sifat ikhlas diperlukan beberapa sifat atau sikap sekaligus
sebagai unsur penunjang kesempurnaan yang harus ada dalam sifat ikhlas. Selain
itu, unsur penunjang tersebut sekaligus sebagai quality control bagi keikhlasan itu
sendiri, diantaranya adalah sifat atau sikap istiqamah, tawakal, sabar, syukur,
zuhud dan wara. Banyak diantara manusia yang menganggap dirinya sudah ikhlas
dalam hal niat, iktikad (keyakinan), tujuan dan maksud dari perbuatannya, namun,
apabila mereka mau menyelidikinya dengan teliti, mereka akan mengetahui
bahwa telah tersembunyi dalam niat, keyakinan, tujuan, dan maksud selain Allah
dalam aktivitasnya tersebut.
Adapun indikasi atau tanda-tanda ikhlas berdasarkan al-Qur’an dan hadis
Nabi SAW adalah tidak berharap apapun kepada makhluk, menjalankan
kewajiban bukan mencari status, tidak ada penyesalan, tidak berbeda apabila
direspons positif ataupun negatif, tidak membedakan situasi dan kondisi,
menjadikan harta dan kedudukan bukan sebagai penghalang, berintegrasinya lahir
dan batin, jauh dari sikap sektarian atau fanatisme golongan, selalu mencari celah
untuk beramal saleh. Dengan adanya indikasi tersebut, maka akan menjadi cermin
bagi setiap orang, khususnya bagi seorang apoteker agar senantiasa mengontrol
dirinya untuk ikhlas dan tidak terkecoh akan kemegahan dunia dengan segala
yang menghiasinya.
3. KOMPONEN-KOMPONEN IKHLAS
Untuk memperoleh sifat ikhlas diperlukan beberapa sifat atau sikap sebagai
penunjang kesempurnaan yang harus ada dalam sifat ikhlas dan sekaligus sebagai
quality control bagi keikhlasan itu sendiri, di antaranya adalah sebagai berikut:
a . Tawakal (‫) توكل‬bahasa arab tawakkul dari kata wakala, artinya menyerah
kepada-Nya. Dalam agama Islam, tawakal berarti berserah diri sepenuhnya
kepada Allah dalam menghadapi atau menunggu hasil suatu pekerjaan, atau
menanti akibat dari suatu keadaan. Tawakal adalah suatu sikap mental
seorang yang merupakan hasil dari keyakinannya yang bulat kepada Allah,
karena di dalam tauhid ia diajari agar meyakini bahwa hanya Allah yang
menciptakan segala-galanya, Dia yang menguasai dan mengatur alam semesta
ini, keyakinan inilah yang mendorongnya untuk menyerahkan segala
persoalannya kepada Allah, hatinya tenang dan tenteram serta tidak ada rasa
curiga, karena Allah Maha Tahu dan Maha Bijaksana.
b . Sabar (‫بر‬SSSS‫) ص‬merupakan bentuk pengendalian diri atau kemampuan
menghadapi rintangan, kesulitan menerima musibah dengan ikhlas dan dapat
menahan marah, titik berat nurani (hati). Sabar adalah sikap menahan diri dan
membawanya kepada yang diperintahkan oleh Allah dan akal serta
menghindarkannya dari apa yang dibenci keduanya. Sabar terbagi tiga
macam, yaitu sebagai berikut : Sabar dari maksiat, artinya bersabar diri untuk
tidak melakukan perbuatan yang dilarang agama, untuk itu, sangat dibutuhkan
kesabaran dan kekuatan dalam menahan hawa nafsu, Sabar karena taat
kepada Allah SWT artinya sabar untuk tetap melaksanakan perintah Allah
SWT dan menjauhi segala larangan-Nya dengan senantiasa meningkatan
ketakwaan kepada-Nya dan Sabar karena musibah, artinya sabar cobaan dari
Allah SWT.
c . Syukur (‫) شكور‬diambil dari kata syakara, syukuran, yang berarti berterima
kasih kepada-Nya. Syukur berasal dari kata syukuran yang berarti mengingat
akan segala nikmat-Nya. Sedangkan menurut istilah adalah tidak
mendurhakai Allah atas nikmat yang telah dikaruniakan.
d . Zuhud (‫) زهد‬adalah meninggalkan sesuatu yang di kasihi dan berpaling dari
padanya kepada sesuatu yang lain, yang lebih baik daripadanya, karena itu
sikap seseorang yang meninggalkan kasih akan dunia karena mengigihkan
sesuatu didalam akhirat itulah yang dikatakan zuhud. Pengertian zuhud ini
ada tiga macam, yaitu: (a) Meninggalkan sesuatu karena mengigihkan sesuatu
yang lebih baik daripadanya, (b) Meninggalkan keduniaan karena
mengharapkan sesuatu yang bersifat keakhiratan, dan (c) Meninggalkan
segala sesuatu selain Allah karena mencintai-Nya.
e . Wara’ (‫) ورع‬dalam tradisi sufi adalah meninggalkan segala sesuatu yang tidak
jelas atau belum jelas hukumnya (syubhat), hal ini berlaku pada segala hal
atau aktivitas kehidupan manusia, baik yang berupa benda maupun perilaku,
seperti makanan, minuman, pakaian, pembicaraan, perjalanan, duduk, berdiri,
bersantai, bekerja dan lain-lain.
4. HAL-HAL YANG DAPAT MENJADI RUSAKNYA IKHLAS
1. Nifak menurut syara’ (terminologi) berarti menampakkan keislaman dan
kebaikan tetapi menyembunyikan kekufuran dan kejahatan. Dinamakan
demikian karena dia masuk pada syari’at dari satu pintu dan keluar dari pintu
yang lain.
2. Ujub (‫) عجب‬atau bangga diri adalah sifat orang yang membanggakan dirinya
sendiri karena memiliki kelebihan daripada orang lain, misal kaya raya,
pandai, dan lain sebagainya, orang yang seperti itu tidak merasa takut
kehilangan kesempurnaan (kelebihannya) itu, ia sangat bangga terhadap
kenikmatan itu seolah-olah semua itu keberhasilan yang diperoleh dari
usahanya sendiri, ia tidak mengakui bahwa semua kenikmatan dan
kebahagiaan itu sebenarnya datang dari Allah.
3. Riya’. Tiga ciri-ciri orang riya’ sebagai berikut: Malas beramal kalau
sendirian, semangat beramal kalau dilihat orang banyak, amalnya bertambah
banyak kalau di puji oleh orang lain, dan berkurang kalau dicela orang lain.
4. Sumah adalah ucapan-ucapan  yang didengar, secara lahiriah nya dikerjakan
karena Allah, namun tujuan nya adalah untuk selain Allah, contoh nya
seperti: "Membaca alQur'an, dzikir, memberi nasihat dan selain dari itu dari
ucapan-ucapan". Seorang yang berbicara tersebut bertujuan agar ucapannya
didengar manusia, mereka pun menyanjungnya seraya mengatakan:
“ucapannya bagus, dia bagus dalam berdialog, dia bagus dalam berkhutbah,
sesungguhnya suaranya paling bagus dalam membaca Al-Qur'an, apabila dia
menghiasi suaranya dengan Al-Qur'an tujuan nya untuk itu (dipuji ) , apabila
menyampaikan muhadharah (tabligh Akbar), seminar-seminar dan pelajaran-
pelajaran, maka tujuannya adalah agar dipuji manusia.
5. Waswas adalah ragu-ragu; kurang yakin. Was-was itu dari setan,
sebagaimana Allah swt berfirman: “Katakanlah (ya Muhammad): Aku
berlindung kepada Rabb manusia. Rajanya manusia. Sesembahan manusia,
dari kejelekan was-was al-khannas.” (An-Nas: 1-4)
6. Takabur (‫ ) تكبر‬berasal dari bahasa Arab takabbara-yatakabbaru yang artinya
sombong atau membanggakan diri. Secara istilah takabur adalah sikap
berbangga diri dengan beranggaan bahwa hanya dirinya beranggapan yang
paling hebat dan benar dibandingkan orang lain. Dijelaskan dalam firman
Allah swt.

“Tidak diragukan lagi bahwa Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang


mereka rahasiakan dan apa yang mereka lahirkan. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang sombong.” (Surat al-Nahl: 23).
Adapun perbedaan Takabur dengan Sombong ialah sombong itu adalah
membangggakan dirinya dengan sekali saja sedangkan takabur ialah
membangakan dirinya secara terus-menerus.
7. Cinta dunia merupakan induk dari segala kesalahan (dosa) dan merusak
agama. Hal ini ditinjau dari beberapa segi: Pertama: Mencintai dunia berarti
mengagungkan dunia, padahal ia sangat hina di mata Allâh Azza wa Jalla .
Termasuk dosa yang paling besar adalah mengagungkan sesuatu yang
direndahkan oleh Allâh Azza wa Jalla. Kedua: Allâh Azza wa Jalla
mengutuk, memurkai, dan membenci dunia, kecuali yang ditujukan kepada-
Nya. Karena itu, barangsiapa mencintai apa yang dikutuk, dimurkai, dan
dibenci oleh Allâh Azza wa Jalla maka ia akan berhadapan dengan kutukan,
murka dan kebencian-Nya. Ketiga: Mencintai dunia berarti menjadikan dunia
sebagai tujuan dan menjadikan amal dan ciptaan Allâh Azza wa Jalla yang
seharusnya menjadi sarana menuju kepada Allâh Azza wa Jalla dan negeri
akhirat berubah menjadi kepentingan dunia. Sehingga ia membalik persoalan
dan memutar kebijaksanaan. Di sini ada dua persoalan: Menjadikan wasilah
(sarana) sebagai tujuan. Menjadikan amal akhirat sebagai alat untuk
menggapai dunia. Ini adalah keburukan yang terbalik dari semua sisi. Juga
berarti membalik sesuatu pada posisi yang benar-benar terbalik. Ini sesuai
sekali dengan firman Allâh Azza wa Jalla: “Barangsiapa menghendaki
kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya kami berikan kepada mereka
balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu
tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh balasan di
akhirat kecuali neraka. Dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka
usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan.” [Hûd/11:
15-16]. Keempat: Mencintai dunia membuat manusia tidak sempat
melakukan sesuatu yang bermanfaat baginya di akhirat akibat kesibukannya
dengan dunia. Kelima: Cinta dunia menjadikan dunia sebagai cita-cita
terbesar manusia. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Barangsiapa tujuan hidupnya adalah dunia, maka Allâh akan mencerai-
beraikan urusannya, menjadikan kefakiran di kedua pelupuk matanya, dan ia
mendapat dunia menurut apa yang telah ditetapkan baginya. Dan barangsiapa
yang niat (tujuan) hidupnya adalah negeri akhirat, Allâh Azza wa Jalla akan
mengumpulkan urusannya, menjadikan kekayaan di hatinya, dan dunia akan
mendatanginya dalam keadaan hina. Keenam: Pecinta dunia adalah orang
yang paling banyak disiksa karena dunia, ia disiksa pada tiga keadaan. Ia
disiksa di dunia dalam bentuk usaha, kerja keras untuk mendapatkannya, dan
perebutan dengan sesama pecinta dunia. Dia disiksa di alam barzakh (kubur)
dan disiksa pada hari kiamat. Ketujuh: Penggila harta dan pecinta dunia yang
lebih mengutamakan dunia daripada akhirat adalah orang yang paling bodoh
dan paling idiot. Sebab, ia lebih mengutamakan khayalan daripada kenyataan,
lebih mengutamakan tidur daripada terjaga, lebih mengutamakan bayang-
bayang yang segera hilang daripada kenikmatan yang kekal, lebih
mengutamakan rumah yang segera binasa dan menukar kehidupan yang abadi
yang nyaman dengan kehidupan yang tidak lebih dari sekedar mimpi atau
bayang-bayang yang segera hilang. Sesungguhnya orang yang cerdas tidak
akan tertipu dengan hal-hal semacam itu.
8. Hasad (‫) حسد‬yaitu perasaan yang timbul dalam diri seseorang setelah
memandang sesuatu yang tidak dimiliki olehnya, tetapi dimiliki oleh orang
lain, kemudian dia menyebarkan berita bahwa yang dimiliki orang tersebut
diperoleh dengan tidak sewajarnya
9. Bakhil adalah perbuatan seseorang menahan/ tidak memberikan sesuatu yang
semestinya wajib diberikan kepada orang lain, baik wajib secara agama
maupun wajib secara kepatutan menurut adat.
10. Ghadab (‫) غضب‬berasal dari kata ghadaba artinya marah, al-ghadabu dalam
bentuk isim berarti lembu, singa, al-ghudub artinya ular yang jahat.
11. Dengki adalah keinginan hilangnya nikmat dari orang lain, yang disebabkan
adanya rasa sakit hati, rasa dendam, rasa banci dan adanya sifat ujub (merasa
dirinya paling hebat) serta sifat sombong, sehingga ia akan sekuat tenaga
untuk menjatuhkan dan menghilangkan kenikmatan dari diri seseorang
tersebut
Sifat-sifat tersebut mengenai hal yang dapat merusak keikhlasan seseorang
merupakan sifat-sifat yang tercela, sehingga untuk menjadi orang yang ikhlas,
maka harus senantiasa menjaga sikap dan sifatnya dengan terus istiqamah untuk
melakukan kebaikan dan amal saleh semata-mata untuk mendapat ridha Allah dan
senantiasa mengoreksi diri.
5. MANFAAT IKHLAS
a . Akan ditolong dan dibela oleh Allah SWT
b . Selamat dari siksa di akhirat
c . Mendapat kedudukan tinggi di akhirat
d . Diselamatkan dari kesesatan di dunia
e . Merupakan sebab bertambahnya petunjuk
f . Orang yang ikhlas dicintai penduduk langit
g . Orang yang ikhlas diterima dengan baik di muka bumi
h . Orang yang ikhlas akan mendapatkan reputasi (nama baik) di kalangan
manusia
i . Dihindarkan dari kesulitan-kesulitan duniawi
j . Ketenteraman hati dan kebahagiaan
k . Menyebabkan iman indah dalam hati dan menjadikan hati benci kepada
kefasikan dan kemaksiatan
l . Orang yang ikhlas akan diberi taufik oleh Allah sehingga berkesempatan
berteman dengan orang-orang yang ikhlas
m . Sanggup memikul segala kesulitan hidup di dunia, betapa pun beratnya
n . Mendapat husnul khatimah
o . Doanya makbul
p . Merasakan kenikmatan dan kabar gembira akan mendapatkan kesenangan di
dalam kubur.
6. BENTUK KEIKHLASAN DALAM PERBUATAN
Keikhlasan apabila ditinjau dalam bentuk realitas amalan, maka ia dapat dibahagi
kepada tiga peringkat, yaitu:
a . Tidak melihat amalan sebagai amalan semata-mata yaitu tidak mencari
balasan daripada amalan dan tidak puas terhadap amalan, malu terhadap
amalan di samping senantiasa berusaha sekuat tenaga
b . Menjaga amalan dengan senantiasa dan tetap menjaga kesaksian serta
memelihara cahaya taufik yang dipancarkan oleh Allah SWT
c . Memurnikan amalan dengan melakukan amalan berasaskan ilmu serta tunduk
kepada kehendak Allah. Keikhlasan bukanlah hal yang statis yang sekali
wujud akan senantiasa bertahan selamanya di dalam diri manusia, ia adalah
suatu yang dinamis yang sentiasa menuntut kesungguhan pemeliharaan dan
peningkatan.
B. BEKERJA SAMA
1. DEFINISI BEKERJASAMA
Bekerja sama merupakan salah satu bentuk interaksi sosial. Menurut
Abdulsyani, bekerjasama adalah suatu bentuk proses sosial, dimana didalamnya
terdapat aktivitas tertentu yang ditunjukkan untuk mencapai tujuan bersama
dengan saling membantu dan saling memahami aktivitas masing-masing.
Bekerjasama juga diartikan sebagai kegiatan yang di lakukan secara bersama-
sama dari berbagai pihak untuk mencapai tujuan bersama. Biasanya kerjasama
melibatkan pembagian tugas, dimana setiap orang mengerjakan setiap pekerjaan
yang merupakan tanggung jawabnya demi tercapainya tujuan bersama Ada
beberapa cara yang dapat menjadikan bekerja sama dapat berjalan dengan baik
dan mencapai tujuan yang telah disepakati oleh dua orang atau lebih tersebut
yaitu:
a. Saling terbuka, dalam sebuah tatanan kerjasama yang baik harus ada
komunikasi yang komunikatif antara dua orang yang berkerja sama atau
lebih.
b. Saling mengerti, bekerjasama berarti dua orang atau lebih bekerja sama untuk
mencapai suatu tujuan, dalam proses tersebut, tentu ada, salah satu yang
melakukan kesalahan dalam menyelesaikan permasalahan yang sedang
dihadapkan.
2. FAKTOR PENDUKUNG DAN PENGHAMBAT KERJASAMA
Faktor penghambat dalam kerjasama Sekumpulan orang belum tentu
merupakan suatu tim. Orang- orang dalam suatu kelompok tidak secara otomatis
dapat bekerjasama, sering kali tim tidak dapat berjalan sebagaimana yang di
harapkan.
3. PRINSIP-PRINSIP KERJASAMA
Prinsip-prinsip kerjasama antara lain dapat dikemukakan sebagai berikut :
a. Berorientasi pada tercapainya tujuan yang baik
b. Memperhatikan kepentingan bersama
c. Prinsip saling menguntungkan
4. TUJUAN DAN MANFAAT KERJASAMA
Dari sisi bahwa manusia pada dasarnya adalah makhluk sosial dan sangat
banyak kebutuhan-kebutuhannya terpenuhi di masyarakat, oleh karena itu,
manusia harus bekerja sama dengan orang lain di masyarakat. Kehidupan manusia
tergantung dari keterlibatannya dalam kehidupan kemasyarakatannya dengan
orang lain. Asas agama Islam adalah hidup bersama dan hubungan seseorang
dengan masyarakat karena seorang individu memiliki keterbatasan. Oleh karena
itu, manfaat-manfaat yang diperoleh dari masyarakat, tidak pernah sebanding
manfaat-manfaat yang diperoleh dari individu karena keterbatasannya. Agama
Islam memerintahkan kepada pengikutnya dalam mengerjakan pekerjaan-
pekerjaan baik selalu bekerja sama dengan orang lain dan ketika individu-individu
bekerja sama dan memiliki hubungan kemasyarakatan, spirit persatuan yang
berhembus dalam anatomi mereka akan menjaga mereka dari perpecahan,
sehingga Islam sangat memandang penting keikutsertaan dalam masyarakat. Allah
Swt dalam al-Quran berfirman:
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebaikan dan takwa,
dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.”  (Qs Al-
Maidah [5]: 2)
Tak diragukan lagi bahwa di dalam setiap masyarakat, terdapat orang-orang
yang fakir dan miskin, orang-orang yang tidak memiliki kemampuan bekerja dan
pendapatannya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan mereka. Dengan
memperhatikan bahwa menurut sudut pandang agama Islam, semua manusia
adalah makhluk Allah SWT dan semua kekayaan pada dasarnya kepunyaan-Nya,
maka kita harus memenuhi kebutuhan-kebutuhan individu-individu ini dalam
batasan yang memungkinkan dan dapat diterima. Masalah ini membuktikan
betapa pentingnya menjalin kerja sama dengan sesama individu dalam
masyarakat.
“Dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.”  (Qs
Al-Maidah [5]: 2) [2]
Perlu diperhatikan bahwa kerja sama dan saling tolong menolong dalam
masyarakat tidak hanya terbatas pada pemberian uang dan sedekah kepada para
fakir dan miskin, namun merupakan suatu ajaran asli yang bersifat global dan
sangat luas, mencakup persoalan kemasyarakatan, hak-hak, akhlak dan lainnya.
Sebagai contoh bekerja sama dengan lembaga-lembaga tertentu untuk
menyiapkan pernikahan dan pembentukan keluarga bagi para pemuda dan pemudi
merupakan salah satu contoh nyata dalam kerja sama kemasyarakatan.
C. SUMPAH
1. DEFINISI SUMPAH
Sumpah adalah memperkuat suatu perkara dengan menyebut nama Allah atau
salah satu sifat-Nya. Seperti mengatakan:Wallahi, Billahi, Tallahi (Demi Allah),
Demi Ar-Rahman, Demi keagungan Allah, Demi kemuliaan-Nya, dan yang
semisalnya. Diantara dalil bahwa bersumpah harus dengan nama Allah , adalah
sebagaimana hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Umar , Rasulullah bersabda :
“Barangsiapa bersumpah, hendaknya bersumpah dengan Nama Allah atau
diam”.
Adapun dalil tentang bersumpah dengan sifat-sifat Allah, adalah sebagaimana
hadits yang diriwayatkan pula dari Ibnu Umar ia berkata :
“Nabi bersumpah (dengan mengatakan), “Tidak demi (Dzat) yang membolak-
balikkan hati.”
2. HUKUM SUMPAH
Hukum sumpah terbagi menjadi lima, antara lain :
a. Sumpah yang wajib, seperti; sumpah seorang yang tidak bersalah agar
selamat dari kebinasaan.
b. Sumpah yang sunnah, seperti; sumpah ketika mendamaikan pihak yang
bertikai.
c. Sumpah yang mubah, seperti; bersumpah melakukan atau meninggalkan
perbuatan mubah atau untuk menegaskan suatu perkara.
d. Sumpah yang makruh, seperti; bersumpah melakukan hal yang makruh atau
meninggalkan hal yang dianjurkan. Termasuk sumpah yang makruh adalah
bersumpah dalam jual beli. Hal sebagaimana hadits yang diriwayatkan dari
Abu Hurairah ia berkata, sesungguhnya aku mendengar Rasulullah bersabda:
”Sumpah menjadikan barang dagangan laris, namun menghilangkan
keberkahan.”
e. Sumpah yang haram, seperti: bersumpah secara dusta dengan sengaja,
bersumpah untuk melakukan kemaksiatan atau bersumpah untuk
meninggalkan yang wajib.
3. MACAM-MACAM SUMPAH
Sumpah terbagi menjadi tiga macam, antara lain :
a. Sumpah palsu (Al-Yaminul Ghamus) Sumpah palsu yaitu sumpah secara
dusta dengan sengaja untuk mengambil harta/hak orang lain atau untuk suatu
dosa dan pengkhianatan.
Sumpah palsu merupakan salah satu dosa besar.Sumpah palsu dinamakan
dengan ghamus, karena ia membenamkan pelakunya di dalam dosa, kemudian
nanti membenamkan pelakunya ke dalam Neraka. Allah berfirman :
“Sesungguhnya orang-orang yang menukar janji Allah dan sumpah-sumpah
mereka dengan harga yang sedikit, mereka itu tidak mendapat bagian (pahala) di
akhirat, dan Allah tidak akan berkata-kata dengan mereka, tidak akan melihat
mereka pada Hari Kiamat, tidak akan mensucikan mereka, dan bagi mereka siksa
yang pedih.”
Karena demikian besar dosa sumpah palsu, sehingga tidak ada kaffarah untuk
sumpah palsu. Namun pelakunya wajib bertaubat dan mengembalikan hak-hak
kepada yang berhak menerimanya. Ini adalah pendapat jumhur ulama, yaitu:
Hanafiyah, Malikiyah, dan Hanabilah. Diriwayatkan dari Abu Hurairah ia berkata,
Rasulullah bersabda;
“Lima hal yang tidak ada kaffarahnya; meyekutukan Allah, membunuh jiwa
tanpa hak, merampas hak orang mu’min, lari dari peperangan, dan sumpah palsu
untuk mendapatkan harta yang bukan haknya.”
b. Sumpah yang tidak dimaksudkan sumpah (Al- Yaminul Laghwi) Sumpah
yang tidak dimaksudkan sumpah yaitu ucapan sumpah yang tidak diniatkan
untuk sumpah. Seperti ucapan, “Tidak demi Allah, Ya demi Allah, Demi
Allah engkau harus makan, dan semisalnya. Sumpah jenis ini tidak sah, jika
melanggarnya tidak ada kewajiban kaffarah, dan pelakunya tidak berdosa.
c. Sumpah yang dianggap sah (Al-Yaminul Mun’aqidah) Sumpah yang
dianggap sah yaitu sumpah yang disengaja dengan tujuan untuk menguatkan
suatu perkara yang akan datang. Jika sumpah ini dilanggar, maka wajib
membayar kaffarah.
4. KAFFARAH SUMPAH
Seorang yang melanggar sumpah, maka diwajibkan untuk memilih salah
satu dari kaffarah sumpah berikut ini :
a. Memberi makan sepuluh orang miskin, dengan makanan yang biasa diberikan
untuk keluarganya. Ukuran makanan tersebut adalah berdasarkan ’urf
(kebiasaan) daerah tersebut. Ini adalah pendapat Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah.
Apalagi ada pendukung dari Firman Allah , ”Yaitu dari makanan yang biasa
kalian berikan kepada keluarga kalian.”
b. Memberi pakaian kepada sepuluh orang miskin, dengan pakaian yang dapat
menutup aurat ketika shalat. Ini adalah pendapat Imam Malik dan Imam
Ahmad
c. Memerdekakan hamba sahaya, yang muslim. Ini adalah pendapat Jumhur
ulama.
d. Jika seorang tidak mampu melakukan salah satu dari ketiga hal diatas, maka
kaffarahnya dengan berpuasa tiga hari.
Hal ini sebagaimana firman Allah :
“Allah tidak menghukum kalian disebabkan karena sumpah-sumpah kalian yang
tidak dimaksudkan (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kalian disebabkan
sumpah-sumpah yang kalian sengaja, maka kaffarah (melanggar) sumpah itu,
ialah; memberi makan sepuluh orang miskin, dari makanan yang biasa kalian
berikan kepada keluarga kalian, atau memberi pakaian kepada mereka, atau
memerdekakan seorang hamba sahaya. Barangsiapa tidak sanggup (melakukan
yang demikian), maka kaffarahnya (adalah) berpuasa selama tiga hari. Yang
demikian itu adalah kaffarah sumpah-sumpah kalian, jika kalian (melanggar)
sumpah.”
Berlakunya kaffarah sumpah jika terpenuhi beberapa syarat berikut :
a. Sumpah dilakukan oleh seorang yang mukallaf (baligh dan berakal).
b. Sumpah yang dilafazhkan dengan sengaja dan dilakukan secara sukarela
(tanpa paksaan).
c. Sumpah yang diucapkan dimaksudkan untuk sumpah (Al-Yaminul
Mun’aqidah).
d. Sumpah dilakukan atas sesuatu yang akan datang (bukan untuk yang telah
terjadi).
e. Terjadi pelanggaran sumpahnya dalam keadaan sadar dan tanpa ada paksaan.
Hal ini berdasarkan hadits dari Ibnu Abbas, dari Nabi beliau sabda:
”Sesungguhnya Allah memaafkan perbuatan umatku yang disebabkan oleh
salah, lupa, atau dipaksa.”
Catatan :
a. Dimakruhkan terlalu banyak bersumpah. Karena Allah mencela orang yang
banyak bersumpah. Sebagaimana firman-NYA:
”Dan janganlah engkau mengikuti setiap orang yang banyak bersumpah lagi
hina.”
b. Seorang yang mengatakan, “Aku bersumpah” (tanpa menyebut nama Allah
atau sifat-Nya), maka perkataan tersebut dianggap sebagai sumpah jika di
dalam hatinya ia berniat untuk bersumpah. Ini adalah pendapat Ishaq, Malik,
dan Ibnul Mundzir.
c. Apabila seorang mengucapkan insya Allah (jika Allah menghendaki) ketika
bersumpah, maka jika ia menyelisihi sumpahnya, ia tidak dianggap
melanggar sumpah. Dengan syarat kata-kata insya Allah tersebut harus
bersambung (muttashil) dengan ucapan sumpahnya, baik kata insya Allah
tersebut diucapkan di awal atau di akhir sumpah. Hal ini merupakan
kesepakatan para ulama. Diriwayatkan dari Abu Hurairah ia berkata,
Rasulullah bersabda;
“Seandainya ia mengucapkan, “Insya Allah” (berarti) ia tidak
melanggarnya.”
d. Diharamkan bersumpah dengan selain Allah Ini merupakan kesepakatan para
ulama‟. Misalnya mengatakan, ”Demi Nabi, demi hidupmu, demi amanah,
demi Ka‟bah, dan semisalnya. Hal tersebut merupakan bentuk kesyirikan,
karena sumpah adalah pengagungan terdapat sesuatu yang dijadikan sandaran
sumpah, sedangkan pengagungan hanyalah untuk Allah. Dan seorang yang
bersumpah dengan selain Allah,maka sumpahnya tidak diperhitungkan.
Diriwayatkan dari Ibnu Umaria berkata, aku mendengar Rasulullah bersabda:
“Barangsiapa yang bersumpah dengan selain Allah, maka ia telah berbuat
kekufuran atau kesyirikan.”
e. Apabila seorang terpeleset lisannya bersumpah dengan selain Allah, maka
hendaklah ia segera mengucapkan Laa Ilaha Illallah. Hal ini sebagaimana
diriwayatkan dari Abu Hurairah y ia berkata, Rasulullah bersabda:
”Barangsiapa yang bersumpah dan mengatakan dalam sumpahnya, ”Demi
Latta dan ’Uzza,” maka katakanlah Laa Ilaha Illallah (Tidak ada
sesembahan yang berhak untuk disembah selain Allah).”
Dan bersumpah dengan selain Allah tidak perlu membayar kaffarah. Berkata
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah”Bersumpah dengan makhluk, seperti
bersumpah; dengan ka‟bah, raja-raja, nenek moyang, pedang, dan selainnya.
Sumpah-sumpah tersebut tidak sakral (tidak dihormati), bahkan sumpah
(tersebut) tidak diterima dan tidak (menuntut adanya) kaffarah bagi yang
melangarnya. (Hal ini) berdasarkan kesepakatan kaum muslimin.”
f. Dianjurkan untuk melanggar sumpah jika ada hal yang lebih baik daripada
sumpahnya. Seperti seorang yang bersumpah untuk melakukan yang makruh
atau untuk meninggalkan yang dianjurkan, maka hendaknya ia melakukan hal
yang lebih baik dari sumpahnya tersebut dan membayar kaffarah sumpahnya.
Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Abdurrahman bin
Samurah, bahwa Rasulullah bersabda;
“Apabila engkau bersumpah terhadap suatu hal, lalu engkau melihat ada
sesuatu yang lebih baik daripada sumpahmu, maka bayarlah kaffarah untuk
sumpahmu dan lakukan hal yang lebih baik (tersebut).”
g. Sumpah bergantung kepada niat orang yang bersumpah. Sehingga misalnya;
seorang bersumpah untuk tidak tidur diatas tanah, namun yang ia maksudkan
adalah tidak tidur diatas ranjang, maka sumpah yang berlaku adalah yang ia
niatkan. Maka jika ia tidur diatas tanah, ia tidak dianggap melanggar
sumpahnya. Atau seorang yang bersumpah untuk tidak menggunakan kain
katun, namun yang ia maksudkan adalah tidak menggunakan kain katun yang
berupa baju. Maka jika ia menggunakan celana yang terbuat dari kain katun,
ia tidak dianggap melanggar sumpahnya. Ini adalah penjelasan dari Syaikh
Abu Bakar Jabir Al- Jaza‟iri .
h. Namun apabila seorang diminta untuk bersumpah, maka sumpah tersebut
sesuai dengan niat orang yang meminta sumpah. Dan niat orang yang
bersumpah tidak diperhitungkan (walaupun orang yang bersumpah
melakukan tauriyah). Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Abu
Hurairah ia berkata, Rasulullah bersabda yang artinya :
“Sumpah itu sesuai dengan niat orang yang meminta sumpah.”
i. Apabila ada seorang yang memiliki barang, lalu tiba-tiba ada seorang yang
mengaku bahwa barang itu adalah miliknya, maka orang yang menuntut
tersebut harus mendatangkan bukti atau saksi. Jika ia tidak dapat
mendatangkan saksi, maka cukup bagi yang dituntut untuk bersumpah dan
barang tersebut tetap menjadi miliknya.
j. Apabila seorang bersumpah untuk mengharamkan sesuatu yang halal baginya
(selain isterinya) – misalnya seorang mengatakan, “Makanan ini haram
bagiku,”- maka sesuatu tersebut tetap halal baginya (tidak menjadi haram).
Namun ia wajib membayar kaffarah, jika ia melanggar sumpahnya tersebut.
Hal ini sebagaimana firman Allah :
“Wahai Nabi, mengapa engkau mengharamkan apa yang Allah halalkan
bagimu, engkau mencari kesenangan hati isteri-isterimu? Dan Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang. Sesungguhnya Allah telah mewajibkan
kepadamu sekalian membebaskan diri dari sumpahmu dan Allah adalah
Pelindungmu dan Dia Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
k. Apabila seorang bersumpah bahwa orang lain akan melakukan sesuatu hal,
dan ternyata orang tersebut tidak melakukannya –misalnya seorang
mengatakan, ”Demi Allah, sunguh engkau akan melakukan hal ini,” dan
ternyata orang tersebut tidak melakukannya, maka orang yang bersumpah
wajib membayar kaffarah. Ini adalah pendapat jumhur ulama, dan ini pula
pendapat yang dipilih oleh Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz.
l. Apabila ada seorang bersumpah atas nama Allah maka harus
mempercayainya. Diriwayatkan dari Abu Hurairah, dari Rasulullah beliau
bersabda:
“Isa bin Maryam melihat seorang yang sedang mencuri. Lalu Isa berkata
kepadanya, ”(Apakah) engkau mencuri?” Orang tersebut menjawab, ”Tidak,
demi Dzat yang tidak ada Ilah selain-Nya. ” Maka Isa berkata, ”Aku
beriman kepada Allah, dan aku mendustakan penglihatanku.”
m. Diperbolehkan membayar kaffarah sebelum melanggar sumpah. Ini adalah
pendapat jumhur ulama. Hal ini sebagaimana yang diisyaratkan dalam hadits
yang diriwayatkan dari
Abdurrahman bin Samurah y, bahwa Rasulullah a bersabda:
“Bayarlah kaffarah sumpahmu, kemudian lakukan apa yang lebih baik
(tersebut).”
Diperbolehkan pula membayar kaffarah setelah melanggar sumpah. Namun
tidak diperbolehkan membayar kaffarah sebelum bersumpah. Ini merupakan
kesepakatan para ulama‟.
n. Hendaknya pembayaran kaffarah kepada sepuluh orang dengan jenis yang
sama (makanan semua atau pakaian semua). Ini adalah pendapat Imam Asy-
Syafi’i dan Ibnu Hazm.
o. Pembayaran kaffarah berupa makanan dan pakaian tidak dapat digantikan
dengan uang, karena ayat yang menerangkannya jelas menentukan bentuk
makanan dan pakaian. Ini adalah pendapat jumhur ulama.
p. Kaffarah dengan berpuasa tiga hari tidak disyaratkan harus dilakukan dengan
berturut-turut. Ini adalah pendapat Imam Malik, Imam Asy- Syafi’i, dan Ibnu
Hazm.
q. Apabila seorang berulang-ulang bersumpah atas satu hal, lalu ia
melanggarnya, maka cukup baginya membayar kaffarah satu kali. Ini adalah
pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan Ibnu Hazm, dan ini pula
pendapat yang dipilih oleh Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz.
r. Tidak diperbolehkan seorang bersumpah dengan agama selain Islam.
Misalnya mengatakan, “Jika aku mendapatkan harta tersebut, maka aku
menjadi nashrani. Jika ia mengucapkan sumpah tersebut dengan maksud
sungguh-sungguh dan menyetujui kekafiran, maka ia menjadi kafir. Namun
jika ia mengucapkan sumpah tersebut dengan maksud dusta, maka ia tetap
berdosa karena telah meremehkan agama Islam. Dan seorang bersumpah
dengan agama selain Islam tidak berkewajiban membayar kaffarah.
D. KONSEP PELAYANAN SMART: JUJUR, BERTANGGUNG JAWAB,
DAN SUMPAH
Pelayanan prima ialah melayani dengan sepenuh hati dan memberikan yang
terbaik untuk pelanggan atau konsumen agar mereka percaya dan tidak
mengalami kebingungan dan keragu-raguan dengan transaksi di bank yang rumit
dan membingungkan. Disebut sangat baik karena sesuai dengan standar pelayanan
yang berlaku atau dimiliki oleh instansi yang memberikan pelayanan, pelayanan
prima sesuai dengan harapan pelanggan. Dalam melakukan pelayanan terhadap
pelanggan, seharusnya karyawan menjaga amanah keprcayaan yang diberikan
oleh perusahaan serta konsumen untuk dapat melakukan pelayanan dengan baik.
Dituliskan juga dalam Al-Qur’an Surat Al Baqarah ayat 283
Artinya: “jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai)
sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang
tanggungan yang dipegang(oleh yang berpiutang). akan tetapi jika sebagian kamu
mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu
menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah
Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) Menyembunyikan persaksian. dan
Barangsiapa yang menyembunyikannya, Maka Sesungguhnya ia adalah orang
yang berdosa hatinya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Barang tanggungan itu diadakan bila satu samalain tidak percaya mempercayai”
(QS: Al Baqarah ayat 283).
Seperti yang tertulis dalam surat Al Anfaal ayat 27

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan
Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat
yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui”
Saat memberikan servis atau pelayanan kepada pelanggan sebaiknya
dilakukan dengan sepenuh hati untuk membantu konsumen dalam memenuhi
kebutuhannya, tanpa adanya paksaan. Kejujuran dan pelayan yang baik, ramah,
sopan, dan membuat mereka merasa nyaman itu akan membuat pelanggan senang
dan mendapatkan pelayanan yang memuaskan. Dengan adanya keinginan untuk
membantu konsumen melayani kebutuhannya, diharapkan karyawan dapat
melayani dengan mengutamakan kepentingan konsumennya.
Adapun budaya kerja dalam Islam yang mengaju kepada sifat-sifat Nabi
adalah kesuksesan Nabi Muhammad SAW berbisnis dilandasi oleh:
1. Shiddiq berarti memiliki kejujuran, dan selalu melandasi ucapan,keyakinan dan
perbuatan berdasarkan ajaran Islam. Dalam dunia kerja dan usaha, kejujuran
ditampilkan kesungguhan dan ketepatan, janji, dan pelayanan.
2. Istiqomah berarti konsisten dalam Iman dan nilai-nilai yang baik meskipun
menghadapi berbagai godaan dan tantangan. Istiqomah dalam kebaikan
ditampilkan dengan keteguhan, kesabaran serta keuletan sehingga
menghasilkan sesuatu yang optimal.
3. Fathanah berarti mengerti, memahami, dan menaati secara mendalam segala
hal yang menjadi tugas dan kewajiban.
4. Tablight yaitu mampu berkomunikasi dengan baik, mengajak sekaligus
memberikan contoh kepada pihak lain untuk melaksanakan ketentuan-
ketentuan ajaran Islam. Tabligh yang disampaikan dengan hikmah, sabar
argumentative dan persuasive akan menumbuhkan hubungan kemanusianyang
semakin solid dan kuat.
5. Amana berarti memiliki rasa tanggung jawab dalam melaksanakan setiap tugas
dan tanggung jawab. Amanah ditampilkan dalam keterbukaan, kejujuran,
pelayanan obtimal, dan ihsan (berbuat yangbaik) dalam keterbukaan, kejujuran,
pelayanan yang optimal, dan ihsan(berbuat baik) dalam segala hal.
Berikut adalah bentuk-bentuk kecurangan dalam pelayanan kesehatan:
1. Penagihan untuk layanan yang tidak pernah diberikan baik dengan
menggunakan informasi pasien asli, kadang-kadang diperoleh melalui
pencurian identitas, untuk membuat seluruh klaim atau klaim palsu dengan
biaya atas layanan yang tidak pernah dilakukan.
2. Penagihan untuk layanan lebih mahal dari prosedur yang sebenarnya
disediakan atau dilakukan, umumnya dikenal sebagai "upcoding" yaitu,
penagihan palsu untuk pengobatan harga yang lebih tinggi dari sebenarnya.
3. Melakukan pelayanan medis yang tidak perlu hanya yang bertujuan
menghasilkan pembayaran asuransi terlihat sering.
4. Kekeliruan Perawatan, dimana secara medis bertujuan memperoleh sebanyak-
banyaknya pembayaran asuransi.
5. Memalsukan diagnosis pasien untuk membenarkan tes, operasi atau prosedur
lain yang secara medis tidak diperlukan, misalnya kasus bedah kosmetik
diklaimkan sebagai kasus kecelakaan.
6. Unbundling - penagihan setiap langkah dari prosedur seolah-olah prosedur
terpisah.
Contoh: USG dada dan perut ditagihkan berbeda, padaha dilakukan sekaligus,
tindakan operasi appendectomy dan hysterectomy ditagihkan sendiri dan
seterusnya.
7. Billing pasien lebih dari jumlah co-membayar untuk layanan yang prabayar
atau dibayar penuh oleh program imbalan bawah persyaratan kontrak managed
care.
8. Menerima suap untuk merujuk pasien, padahal sebenanya rujukan tersebut
tidak dibutuhkan oleh pasien
BAB III
KESIMPULAN
1. Ikhlas adalah suci dalam niat, bersih batin dalam beramal, tidak berpura-
pura, lurus hati dalam bertindak, jauh dari riya’ dan kemegahan dalam
berlaku berbuat, mengharapkan ridha allah semata-mata.
2. Komponen ikhlas yaitu tawakal, sabar , syukur , zuhud, wara.
3. Hal-hal yang dapat menjadi rusaknya ikhlas seperti nifak, ujub, riya’,
takabur, hasad, was was bakhil, ghadab, dengki dan cinta dunia.
4. Bekerjasama adalah suatu bentuk proses sosial, dimana didalamnya
terdapat aktivitas tertentu yang ditunjukkan untuk mencapai tujuan
bersama dengan saling membantu dan saling memahami aktivitas masing-
masing.
5. Prinsip-prinsip kerjasama seperti berorientasi pada tercapainya tujuan
yang baik serta Memperhatikan kepentingan bersama.
6. Sumpah adalah memperkuat suatu perkara dengan menyebut nama allah
atau salah satu sifat-nya. Seperti mengatakan : wallahi, billahi, tallahi
(demi allah), demi ar-rahman, demi keagungan allah demi kemuliaan-nya.
7. Kaffarah sumpah : Memberi makan sepuluh orang miskin, dengan
makanan yang biasa diberikan untuk keluarganya. Memberi pakaian
kepada sepuluh orang miskin, dengan pakaian yang dapat menutup aurat
ketika shalat. Memerdekakan hamba sahaya, yang muslim. Ini adalah
pendapat jumhur ulama. Jika seorang tidak mampu melakukan salah satu
dari ketiga hal diatas, maka kaffarahnya dengan berpuasa tiga hari.
DAFTAR PUSTAKA

Daud MRH. 2017. Ikhlas Dalam Perspektif Al-Qur‘An. Dalam : Skripsi.


Universitas Islam Negeri Ar-Raniry, Banda Aceh

Heri,S. 2004. Konsep Ekonomi Islam; Suatu Pengantar.Yogyakarta: Ekonosia

Anda mungkin juga menyukai