“SIFAT-SIFAT TERPUJI”
DISUSUN OLEH :
PEMBAHASAN
A. TAUBAT
Dan apabila dosa itu ada hubungannya dengan hak manusia, maka
taubatnya ditambah syarat keempat, yaitu :
4. Menyelesaikan urusannya dengan orang yang berhak dengan minta
maaf atau halalnya atau mengembalikan apa yang harus
dikembalikan.1
B. ZUHUD
C. WARA’
D. IKHLAS
3
Moh. Ssaifullah Al Aziz S. Risalah Memahami Ilmu Tasawuf, (Surabaya : Terbit Terang), hlm 128
Ikhlas artinya bersih,murni, belum bercampur dengan sesuatu.
Yang dimaksud dengan ikhlas disini adalah niat didaalam hati yang
semata-mata karena Allah dan hanya untuk mengharapkan keridhaan-
Nya belaka suatu amalan dilaksanakan. Al-Junaid mengatakan :”Ikhlas
ialah mengerjakan sesuatu karena Allah semata-mata”. Misalnya,
seseorang yang bersedekan kepada fakir miskin dengan ikhlas, maka
didalam pekerjaan itu harus terdapat hal-hal berikut :
Syarat utama dalam setiap amal ibadah umat islam agar supaya
amalnya diterima oleh Allah adalah ikhlas. Karena itu hendaklah setiap
hamba Allah menunjukkan segala perhatiannya, segala gerak-geriknya,
amal dan perbuatannya, baik lahir maupun batin semata-mata
ditunjukkan hanyalah kepada Allah. Dan tidaklah mengharapkan
sesuatu terhadap segala-galanya melainkan kepada Alah dan hanya
karena Allah. Seorang hamba hendaklah mengendalikan, mengurus diri
dan hatinya dengan pengetahuan dan pemikirannya, memelihara baik
segala kehendaknya, hanyalah menuju kepada Allah semata, tidak
menginginkan penghargaan dan pujian dari orang lain dan tidak merasa
bangga dengan amalannya apabila diketahui oleh orang lain. Jika
sesuatu perkara-perkara tersebut terlintas dihatinya, segeralah
membentenginya dengan perasaan kesal. Dia tidak pernah merasa
tenang dan gembira apabila mendapat pujian orang. Akan tetapi bila
dipuji orang, segera ia memuji Allah yang telah menutup kejahatannya
4
Yunasril Ali, Pilar-PIlar Tasawuf, (Jakarta : Kalam Mulia), hlm 8
kepada orang lain, Karena Allah telah memberinya taufiq dengan
menunjukkannya kebaikan sehingga terlihat oleh orang banyak.
E. SYUKUR
Sebagai seorang mukmin yang telah begiitu banyak menerima
kenikmatan, rahmat dan ma’unah dari Allah SWT, maka sudah
selayaknya dan malah wajid bersyukur kepada Allah Yang Maha
Pemberi Nikmat. Semua itu tidak lain adalah karena banyaknya rahmat
dan nikmat Allah yang tiada terhingga dapat menghitungnya.
Syukur menurut Syeikh Imam Arif Abu Said Ahmad bin Isa al
Baghdadi al Kharraz adalah mengenal pemberi nikmat (Allah) dan
menyatakan (ikrar) dengan ketuhanannya.
Menurut Syeikh Harits bin Asad al Muhasibi :”Syukur adalah
kelebihan-kelebihanan yang diberikan Allah kepada seseorang akibat
terimakasihnya kepada-Nya. Jika disimpulkan, apabila seseorang
bersyukur dengan kelebihan yang diberikan kepadanya, maka Allah
akan menambahnya, lalu bertambah pula syukurnya”.
Sedangkan menurut Ibnu Qudamah al Muqaddasi, bahwa syukur
itu dapat diwujudkan lewat lisan, perbuatan dan dengan hati. Dengan
lisan yaitu melahirkn rasa terimakasih melalui ucapan-ucapan pujian.
Bersyukur dengan perbuatan yaitu dengan mempergunakan segala
nikmat Allah hanya untuk mentaati Allah dan tidak dipergunakan untuk
kegiatan ma’syiat. Sedangkan bersyukur didalam hati ialah
berkeinginan untuk senantiasa berbuat baik.
5
Moh. Saifullah Al Aziz S. Risalah Memahami Ilmu Tasawuf, (Surabaya : Terbit Terang), hlm 154
Seorang tokoh shufi lainnya berkata :”Syukur ialah merasa tidak
sadar atas rasa terimakasihnya karena ia melihat si pemberi nikmat
(Allah)”.
Allah memerintahkan kepada hamba-Nya agar mensyukuri atas
segala nikmat yang telah diberikan kepadanya. Sebagaimana firman
Allah yang artinya :”Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti kami
akan menambah (nikmat) kepadamu dan jika kamu menginginkan
(nikmat-Ku) maka sesungghnya azab-Ku sangat pedih”. (Q.S Ibrahim :
7).6
F. QANA’AH
Qana’ah artinya ridla dengan sedikitnya pemberian dari Allah.
Karena itu ada sebagian ahli tasawuf mengatakan, bahwa seorang
hamba adalah sama seperti seorang merdeka bila ia ridla atas segala
pemberian dan seseorang merdeka sama seperti seorang hamba bila
bersifat thama’ (rakus).
Menurut Prof.DR.H.Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA)
dalam bukunya “Tasawuf Modern”, qana’ah ialah menerima cukup.
Qana’ah itu mengandung lima perkara, yaitu:
1. Menerima dengan rela apa yang ada
2. Memohonkan kepada Allah tambahan yang pantas dan berusaha
3. Menerima dengan sabar akan ketentuan Tuhan
4. Bertawakkal kepada Tuhan
5. Tidak tertarik oleh tipu daya dunia
Dari sini sudah jelas bahwa antara orang yang bersifat qana’ah
dengan orang yang berhati thama’ sangat jauh berbeda. Perbedaan antar
orang yang bersifat thama’ dengan orang yang bersifat qana’ah adalah
jika orang yang thama’ selalu terbelenggu nafsu dan ambisi untuk
menguasai dunia, sedangkan orang yang bersifat qana’ah, maka
hidupnya akan terbalas dari segala macam belenggu nafsu dan ambisi.
Hal ini disebabkan karena mereka merasa yakin dan percaya
sepenuhnya akan taqdir Tuhan.7
G. TAWAKKAL
Puncak dari tauhid itulah tawakkal. Dari tauhid yang tumbuh
dengan subur dihati mukmin keluarlah tawakkal menjadi buahnya.
Tapi, kalau tauhid tidak ada janganlah hendak mengharap akan menjadi
orang yang tawakkal. Karena kalau kita tilik arti tawakkal itu sendiri
ialah “menyerahkan/mewakilkan suatu urusan kepada orang lain”.
Seseorang tidak akan menyerahkan sesuatu urusan kepada orang lain
sebelum dia mengenal orang itu dengan baik, boleh jadi orang itu tidak
menerimanya atau tidak mempercayainya. Seseorang tidak akan
7
Moh. Saifullah Al Aziz S. Risalah Memahami Ilmu Tasawuf, (Surabaya : Terbit Terang), hlm 122
bertawakkal kepada Tuhan sebelum ada iman didalam dadanya, justru
itu semakin mendalam tertanamnya tauhid didalam jiwa seseorang
semakin subur pulalah tumbuhnya tawakkal.
Dikalangan masyarakat awan banyak orang yang salah faham
tentang tawakkal ini. Menurut mereka tawakkal ialah menyerahkan diri
bulat-bulat kepada Allah swt, tanpa adanya usaha dan ikhtiar. Serahkan
diri kepada Allah tanpa sesuatu usaha, seperti mayat dihadapan orang
yang memandikannya, tidak bergerak dan tidak berkata apa-apa. Karena
adanya pendapat demikian, jatuhlah umat islam dimata dunia, hina-
hinalah martabat mereka ditengah-tengah penduduk dunia. Padahal
agama islam bukan agama yang statis. Tetapi islam adalah agama yang
penuh dinamika, yang mendorong umatnya untuk merebut
kesejahteraan hidup duniawi dan ukhrawi.8
Tawakkal artinya berserah diri kepada Allah setelah berusaha
sekuat tenaga dan fikiran dalam mencapai suatu tujua. Jadi apabila kita
mempunyai tujuan, lalu berusaha dengan sungguh-sungguh sesuai
dengan kemampuan menurut aturan dan syarat-syarat yang diperlukan,
maka hasilnya tinggal menunggu keputusan Allah.
Dalam hal ini, seorang tokoh shufi, Ibnu Masruq mengatakan
bahwa :”Tawakkal ialah berserah diri kepada takdir”. Sedangkan
Syaikh Sirri As Saqathi berpendapat :”Tawakkal ialah meninggalkan
daya upaya dan kekuatan (kesanggupan berusaha)”.
Syeikh Abu Ayyub berkata :”Tawakkal ialah bersemangat dalam
beribadah dan selalu menggantungkan hatinya hanya kepada Allah dan
menerima atas pemberian-Nya (merasa cukup dengan sesuatu yang
telah dimiliki).
Syeikh Harits bin Asad Muhasibi berkata :”Tawakkal adalah
menggantungkan diri dan selalu memohon pertolongan Allah dengan
berusah untuk menjauhkan diri dari rakus. Kecuali untuk segala sesuatu
yang berhubungan dengan Allah, meninggalkan hal yang berlebiih-
lebiha dalam hal yang menyangkut makana, merasa cukup dengan yang
8
Yunasril Ali, Pilar-Pilar Tasawuf, (Jakarta : Kalam Mulia), hlm 144
ada, hati dihadapan kepada Allah, duduk beribadah dan kembali kepada
Allah”.
Tawakkal itu pada hakikatnya adalah mempercayakan diri kepada
Allah, bergantung dan berlapang dada kepada-Nya serta merasa aman
terhadap segala yang dijamin oleh Allah kepada-Nya. Bertawakkal juga
diartikan dengan membebaskan diri dari kegelisahan yang bertalian
dengan segala urusan dunia, seperti rizqi dan semua perkara yang
terserah pertanggung jawabannya kepada Allah. Disamping itu harus
mengetahui bahwa segala yang diperlukan oleh seorang hamba dari
urusan dunia dan akhirat adalah Allah yang mengaturnya dan Dialah
yang menguruskannya, tiada yang lain selain dari Allah yang
menyampaikan kepadanya dan tiada seorangpun yang dapat
menahannya. Serentak dengan itu, hendaklah ia menunjukkan tidak
cenderung, bimbang, takut dari hatinya terhadap seseorang, selain
Allah. Kepada Allah sajalah ditunjukkan kepercayaan, disematkan hati
dengan pengetahuan yang bersih serta yakin sepenuhnya, bahwasannya
pertolongan Allah itu luas dan pasti memenuhi segala tuntutannya.
Karena itu, tiada sesuatu yang bisa menyentuh kita, melainkan dengan
kuasa Allah. Dan tiada sesuatu yang jahat bias menimpa kita, melainkan
dengan izin-Nya.9
H. RIDHA
Ridha merupakan prestasi tinggi yang telah dialami seseorang.
Ridha ini menurut beberapa tokoh shufi mempunyai banyak pengertian.
Diantaranya adalah sebagai mana telah dikemukakan oleh Ruwayn,
ridha adalah menerima ketetapan-ketetapan dari Allah untuk dirinya
untuk senang hati.
Menurut Syaikh Dzun Nun al Mishri :”Ridha adalah hati merasa
senang dan bahagia atas apa yang telah ditetapkan oleh Allah
untuknya”.
9
Moh. Saifullah Al Aziz S. Risalah Memahami Ilmu Tasawuf, (Surabaya : Terbit Terang), hlm 145
Ari ridha didunia adalah sesua dengan keputusan?ketentuan yang
berjalan dan orang-orang yang diridhai kelak di akhirat akan diwarisi
dengan apa-apa yang telah ditentukan atas atas dirinya.
Sahal berkata :”Apabila ridha bergabung dengan keridhaan maka
akan terjadilah ketenangan, berbahagialah orang-orang yang demikian
dan ini adalah merupakan pilihan yang terbaik”.
Syeikh Abul Qasim al Junaidi al Baghdadi berkata :”Ridha
adalah meninggalkan usaha (ikhtiar)”. Sedangkan Syeikh Al Harits al
Muhasibi berkata :”Ridha ialah hati menerima keputusan hokum
(taqdir)”.
Tanda seseorang telah mempunyai rasa ridha adalah ditandai
dengan gembiranya hati dengan pahit getirnya keputusan Allah.
Jadi pada intinya ridha itu adalah bila seseorang menyambut bala
dan bencana dengan harapan dan kegembiraan atau dengan senyum dan
wajah yang gembira. (footnote)
Ridha inilah yang menjadi puncak kebahagiaan insan didunia ini,
inilah maqam yang tertinggi, yang dicapai oleh hamba yang bertaqarrub
kepada Tuhan; dan nanti ridha pulalah ynag menjadi pincak
kebahagiaan mereka diakhirat kelak.10
BAB III
PENUTUP
10
Moh. Saifullah Al Aziz S. Risalah Memahami Ilmu Tasawuf, (Surabaya : Terbit Terang), hlm 173
A. KESIMPULAN
Taubat adalah bergantinya berbagai gerakan yang tercela dengan
berbagai gerakan yang terpuji.
Zuhud adalah bersikap dermawan dari harta yang dimiliki
sehingga tak mempunyai harta,serta tidak mempunyai sifat serakah.
Wara’ adalah meninggalkan segala yang syubhat, yakni menjauhi
atau meninggalkan segala hal yang belum jelas haram dan halalnya.
Ikhlas ialah bersih, murni, belum bercampur dengan sesuatu.
Artinya niat didalam hati yang semata-mata karena Allah dan hanya
untuk mengharapkan ridha-Nya belaka suatu amalan dilaksanakan.
Syukur menurut Syeikh Harits bin Asad al Muhasabi :”Syukur
adalah kelebihan-kelebihan yang diberikan Allah kepada seseorang
akibat terimakasihnya kepada-Nya. Jadi, apabila seseorang bersyukur
dengan kelebihan yang diberikan kepadanya, maka Allah akan
menambahnya, lalu bertambah pula syukurnya”.
Qana’ah artinya ridha dengan sedikitnya pemberian dari Allah.
Pangkal pokok dari qana’ah adalah menerima apa adanya atas
pemberian Allah sesuai dengan kebutuhannya.
Tawakkal menurut Syeikh Abu Ayyub berkata :”Tawakkal
adalah bersemangat dalam beribadah dan selalu menggantungkan
hatinya hanya kepada Allah dan menerima atas pemberian-Nya (merasa
cukup dengan sesuatu yang telah dimiliki).
Ridha menurut Syeikh Dzun Nun al Mishri :”Ridha adalah hati
merasa senang dan bahagia atas apa yang telah ditetapkan oleh Allah
untuknya”.
Taubat menurut para shufi ada tiga tingkatan, yaitu (1) Taubat
orang-orang yang beriman yaitu hijrah dari kemaksiatan ke keta’atan,
dimana hal itu dilakukan dengan kesadaran bahwa dosa itu akan
menyeret kepada kenistaan dan penderitaan baik di dunia maupun
diakhirat. (2) Inabah ialah kembali dari yang baik menuju kepada yang
lebih baik, demi memohon keridhaan dan pahala-Nya. (3) Taubatnya
para Nabi dan Rasul yaitu mereka bertaubat bukan karena mengharap
pahala dan tidak pula karena takut siksa, sebab baginya sudah terjamin
bersih. Hal ini semata-mata karena mengikuti perintah Allah semata.
Hakikat dari tawakal itu sendiri ialah mempercayakan diri kepada
Allah, bergantung dan berlapang dada kepada-Nya serta merasa aman
terhadap segala yang dijamin oleh Allah kepada-Nya.
DAFTAR PUSTAKA