Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

AKHLAK DAN TASAWUF

“SIFAT-SIFAT TERPUJI”

Dosen Pengampu : Miswanto S.H.I., M.H.I

DISUSUN OLEH :

1. Agnestia Aritama (1911090282)


2. Angga Bagus Alkohari (1911090294)

JURUSAN PENDIDIKAN FISIKA


FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN INTAN
LAMPUNG
2019/2020
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Pembuatan makalah ini dilatar belakangi oleh keingintahuan
kami sebagai makhluk cintaap Allah SWT yang diberi akal dan
pikiran sehingga menuntut kami umtuk mencari tahu segala sesuatu
yang telah diciptakan-Nya. Dari sekian banyak penciptaan Allah
SWT. Salah satunya adalah kehidupan. Akhak adalah hal ikhwan
yang melekat pada jiwa (sanubari). Kedudukan akhlak manusia
menempati tempat yang penting, sebagai individu maupun
masyarakat dan bangsa, sebab jatuh bangunnya suatu masyarakat
tergantung kepada bagaimana akhlaknya. Apabial akhlaknya baik,
maka sejahteralah lahir dan batinnya. Dan bagi orang-orang yang
mempunya akhlak. Tentunya mereka adalah orang-orang yang
mempunya sifat terpuji. Diantaranya Taubat, Zuhud, Wara’, Ikhlas,
Syukur, Qana’ah, Tawakkal, dan Ridha.
1.2 Rumusan Masalah
1. Pengertian Taubat, Zuhud, Wara’, Ikhlas, Syukur, Qana’ah,
Tawakkal, dan Ridha?
2. Apa saja tingkatan dari Taubat?
3. Apa hakikat dari Tawakkal?
BAB II

PEMBAHASAN

1. PENGERTIAN TAUBAT, ZUHUD, WARA’, IKHLAS, SYUKUR,


QANA’AH, TAWAKKAL, DAN RIDHA

A. TAUBAT

Setelah seorang shufi senantiasa mengadakan koreksi diri dan


menyadari akan segala kekurangan dan cacatnya, maka ia dianjurkan
untuk memperbanyak istighfardengan tujuan taubat. Taubat ini sebagai
langkah awal untuk membersihkan diri,baik lahir maupun batin.
Dengan pembersihan diri dari segala kesalahan dan sifat-sifat tercela
maka hijab-hijab yang membatasi diri dengan khaliq akan segera
terkua. Sesungguhnya ALLAH itu tidak terhijab, hanya manusia sendiri
yang membuat hijab atau karat, sehingga Dia tidak kelihatan. Salah satu
karat atau hijab yang menutup antara manusia dan Tuhan adalah dosa,
baik dosa kecil atau dosa besar.

Tobat hukumnya adalah wajib, sebagaimana ditegaskan oleh


Syeikh Abi Zakariyah Yahya bin Syarif An Nawawy dalam kitabnya
“Riyadlus Sholihin” bahwa taubat itu wajib dari tiap dosa. Maka jika
ma’syiat (dosa) itu hanya antara ia dan Allah, tiada sangkut pautnya
dengan manusia, syaratnya ada tiga yang harus dilakukan, yaitu :

1. Harus menghentikan ma’syiyatnya


2. Harus menyesali perbuatan yang telah terlanjur dilakukannya
3. Niat bersungguh-sungguh tidak mengulangi perbuatan itu kembali

Dan apabila dosa itu ada hubungannya dengan hak manusia, maka
taubatnya ditambah syarat keempat, yaitu :
4. Menyelesaikan urusannya dengan orang yang berhak dengan minta
maaf atau halalnya atau mengembalikan apa yang harus
dikembalikan.1

Yang menyebabkan manusia berbuat salah atau


melakukanMengapa pertama kali seorang shufi diisyaratkan bertaubat,
karena manusia tidaklah dapat terlepas dari kesalahan dan dosa, baik
dilakukan sengaja maupun tidak sengaja. Manusia mesti mengalami hal
itu. Dan sebabnya bisabermacam-macam mengapa manusia sampai
berbuat salah atau melakukan suatu kesalahan. Diantaranya masalah
yang menyebabkan manusia berbuat salah atau melakukan kesalahan
adalah :

a. Karena penyebabnya ada dalam diri manusia sendiri


b. Karena manusia makhluk yang lemah dan mudah terpengaruh
c. Karena ada oknum-oknum yang menghendaki agar rohani manusia
menjadi sakit
d. Karena ilmu manusia terbatas sekali
e. Karena penyakit rohani itu sering pula membawa kepuasan-kepuasan,
dapat kenikmatan sebentar dan sebagainya

Adapun tingkatan taubat, yaitu :

1. Taubat ialah kembali dari kemaksiatan kepada keta’atan, semata-


mata karena takut murka-Nya dan takut siksa-Nya. Taubat ini adalah
taubat orang-orang yang beriman seperti diterangkan oleh Allah
dalam firmannya :”Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah,
hai orang-orang yang berima, supaya kamu beruntung” (Q.S An Nur
: 31)
2. Inabah, ialah kembali dari yang baik menuju kepada yang lebih baik,
demi memohon keridhaan dan pahala-Nya. Banyak sekali kita
menjalankan peribadatan, namun kita juga menyadari bahwa
peribadatan tersebut ada kurang beresnya/kurang pas, kita lalu
1
Moh. Saifullah Al Aziz S. Risalah Memahami Ilmu Tasawuf, ( Surabaya : Terbit Terang ), hlm 111
memohon ampunan atas segala bentuk kepribadatan yang lalu,
dengan cara melebih baikkan lagi perbuatan kita. Jadi setiap saat
senantiasa dalam berubah menuju titik sempurna dan sempurna.
3. Taubatnya para Nabi dan Rasul, termasuk Rasulullah SAW.
Mereka bertaubat tidak karena mengharap pahala dan tidak pula
karena takut siksa, sebab baginya sudah terjamin bersih. Hal ini
semata-mata karena mengikuti perintah Allah belaka. Sebagaimana
firman Allah yang artinya :”Dan kami karuniakan kepada Daud;
sulaiman; dia adalah sebaik-baik hamba karena dia amat ta’at” (Q.S
Shaad : 30)2

B. ZUHUD

Sikap zuhud dalam kalangan shufi sangat diutamakan dan benar-


benar ditampakkan dalam sikap dan tingkah laku para shufi dalam
kehidupan sekari-hari. Zuhud ini pada hakikatnya adalah
membelakangkan semua mata benda dunia. Dengan kata lain zuhud
adalah tidak terlalu menghiraukan dunia. Dalam hal ini Khalifah Ali bin
Abi Thalib ra. Pernah ditanya tentang zuhud, beliau menjawab : “Zuhud
ialah hendaklah kamu tidak terpengaruh dan iri hati terhadap orang-
orang yang serakah terhadap keduniaan, baik dari orang mukmin atau
dari orang kafir”.
Syeikh Abul Qasim al Junaidi al Baghdadi memberikan
pengertian :”Zuhud yaitu bersifat dermawan dari harta yang dimiliki
sehingga tak mempunyai harta, serta tidak mempunyai sifat serakah”.
Menurut tokoh shufi lainnya, Masruq mengemukakan
pandangannya, bahwa zuhud adalah seseorang yang mempunyai sifat
selalu tidak memiliki sesuatukecuali karena kemurahan dari Allah.
Sedangkan secara sederhana, Yahya memberikan pandangannya pula :”
Yang dimksud dengan zuhud yaitu meninggalkan sifat-sifat kikir”.
Ibnu Qudamah al Muqaddasi menyoroti zuhud dari sisi harta
kekayaan :” Bahwa harta kekayaan bagi orang zuhud adalah sekedar
2
Moh. Saifullah Al Aziz S. Risalah Memahami Ilmu Tasawuf, (Surabaya : Terbit Terang), hlm 114
perlu, hal ini untuk memelihara kehormatan dirinya,
memperkembangkan agama dan membantu masyarakat”.
Sebagian ulama lainnya berkata :”seorang zahid yang sebenarnya
ialah orang yang tidak pernah mencela dunia dan tidak pernah
memujunya. Bila dunia dating, ia tidak bergembira ria dan bila dunia
pergi darinya ia tidak perlu berdukacita”.3

C. WARA’

Wara’ adalah meninggalkan segala hal yang syubhat, yakni


menjauhi atau meninggalkan segala hal yang belum jelasharam dan
halalnya. Yakni laku (mujahaddah) untuk mencari hidup yang halal
takut terjerumus dalam hal yang haram. Oleh karena itu, dia menjauhi
pula setiap hal yang masih samara tau syubhat. Wara’ adalah salah sati
sendi etika islam yang sangat penting. Dalam hadist nabi
bersabda :”Hendaklah kamu menjalankan wara’, agar kamu jadi ahli
ibadah”. Perilaku hidup wara’ memang penting bagii perkembangan
mentalitas keislaman, apalagi bagi tasawuf. Dalam tasawuf wara’
merupakan langkah kedua setelah taubat, dan disamping itu merupakan
pembinaan mentalitas (akhlak) juga merupakan tangga awaluntuk
membersihkan hati dari ikatan keduniaan. Ibrahin bin Adham
mengatakan :”Wara’ adalah meninggalkan setiap hal yang berbau
syubhat dan meninggalkan apa yang tidak perlu, yaitu meninggalkan
berbagai macam kesenangan”. Jadi perilaku wara’ para shufi telah
mulai menghindari berbagai macam kenikmatan yang halal yang
menurut pertimbangan mereka tidak penting.

D. IKHLAS

3
Moh. Ssaifullah Al Aziz S. Risalah Memahami Ilmu Tasawuf, (Surabaya : Terbit Terang), hlm 128
Ikhlas artinya bersih,murni, belum bercampur dengan sesuatu.
Yang dimaksud dengan ikhlas disini adalah niat didaalam hati yang
semata-mata karena Allah dan hanya untuk mengharapkan keridhaan-
Nya belaka suatu amalan dilaksanakan. Al-Junaid mengatakan :”Ikhlas
ialah mengerjakan sesuatu karena Allah semata-mata”. Misalnya,
seseorang yang bersedekan kepada fakir miskin dengan ikhlas, maka
didalam pekerjaan itu harus terdapat hal-hal berikut :

1. Memberikan sesuatu kepada fakir miskin


2. Pangkal perbuatan itu ialah niat yang baik
3. Tidak ada maksud lain selain mengharap ridha Allah

Dengan demikian, ia memberikan sedekah dengan ikhlas, tidak


mengharap balasan , selain ridha Allah. Tidak karena ingin dipuji, tidak
karena ingin bermegah diri, bukan karena pamer, tetapi ia kerjakan
karena suruhan Allah semata-mata. Inilah ikhlas.4

Syarat utama dalam setiap amal ibadah umat islam agar supaya
amalnya diterima oleh Allah adalah ikhlas. Karena itu hendaklah setiap
hamba Allah menunjukkan segala perhatiannya, segala gerak-geriknya,
amal dan perbuatannya, baik lahir maupun batin semata-mata
ditunjukkan hanyalah kepada Allah. Dan tidaklah mengharapkan
sesuatu terhadap segala-galanya melainkan kepada Alah dan hanya
karena Allah. Seorang hamba hendaklah mengendalikan, mengurus diri
dan hatinya dengan pengetahuan dan pemikirannya, memelihara baik
segala kehendaknya, hanyalah menuju kepada Allah semata, tidak
menginginkan penghargaan dan pujian dari orang lain dan tidak merasa
bangga dengan amalannya apabila diketahui oleh orang lain. Jika
sesuatu perkara-perkara tersebut terlintas dihatinya, segeralah
membentenginya dengan perasaan kesal. Dia tidak pernah merasa
tenang dan gembira apabila mendapat pujian orang. Akan tetapi bila
dipuji orang, segera ia memuji Allah yang telah menutup kejahatannya
4
Yunasril Ali, Pilar-PIlar Tasawuf, (Jakarta : Kalam Mulia), hlm 8
kepada orang lain, Karena Allah telah memberinya taufiq dengan
menunjukkannya kebaikan sehingga terlihat oleh orang banyak.

Dari hal keikhlasan dalam beribadah, Allah berulang-ulang kali


memerintahkan kepada hamba-Nya agar beribadah dengan hati yang
ikhlas, sebagaimana firman Allah yang artinya :”Maka beribadahlah
kepada Allah dalam keadaan penuh ikhlas beragama kepada-Nya,
ketauhilah bahwa agama yang bersih itu kepunyaan Allah”. (Q.S Az-
Zumar : 2-3).5

E. SYUKUR
Sebagai seorang mukmin yang telah begiitu banyak menerima
kenikmatan, rahmat dan ma’unah dari Allah SWT, maka sudah
selayaknya dan malah wajid bersyukur kepada Allah Yang Maha
Pemberi Nikmat. Semua itu tidak lain adalah karena banyaknya rahmat
dan nikmat Allah yang tiada terhingga dapat menghitungnya.
Syukur menurut Syeikh Imam Arif Abu Said Ahmad bin Isa al
Baghdadi al Kharraz adalah mengenal pemberi nikmat (Allah) dan
menyatakan (ikrar) dengan ketuhanannya.
Menurut Syeikh Harits bin Asad al Muhasibi :”Syukur adalah
kelebihan-kelebihanan yang diberikan Allah kepada seseorang akibat
terimakasihnya kepada-Nya. Jika disimpulkan, apabila seseorang
bersyukur dengan kelebihan yang diberikan kepadanya, maka Allah
akan menambahnya, lalu bertambah pula syukurnya”.
Sedangkan menurut Ibnu Qudamah al Muqaddasi, bahwa syukur
itu dapat diwujudkan lewat lisan, perbuatan dan dengan hati. Dengan
lisan yaitu melahirkn rasa terimakasih melalui ucapan-ucapan pujian.
Bersyukur dengan perbuatan yaitu dengan mempergunakan segala
nikmat Allah hanya untuk mentaati Allah dan tidak dipergunakan untuk
kegiatan ma’syiat. Sedangkan bersyukur didalam hati ialah
berkeinginan untuk senantiasa berbuat baik.

5
Moh. Saifullah Al Aziz S. Risalah Memahami Ilmu Tasawuf, (Surabaya : Terbit Terang), hlm 154
Seorang tokoh shufi lainnya berkata :”Syukur ialah merasa tidak
sadar atas rasa terimakasihnya karena ia melihat si pemberi nikmat
(Allah)”.
Allah memerintahkan kepada hamba-Nya agar mensyukuri atas
segala nikmat yang telah diberikan kepadanya. Sebagaimana firman
Allah yang artinya :”Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti kami
akan menambah (nikmat) kepadamu dan jika kamu menginginkan
(nikmat-Ku) maka sesungghnya azab-Ku sangat pedih”. (Q.S Ibrahim :
7).6
F. QANA’AH
Qana’ah artinya ridla dengan sedikitnya pemberian dari Allah.
Karena itu ada sebagian ahli tasawuf mengatakan, bahwa seorang
hamba adalah sama seperti seorang merdeka bila ia ridla atas segala
pemberian dan seseorang merdeka sama seperti seorang hamba bila
bersifat thama’ (rakus).
Menurut Prof.DR.H.Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA)
dalam bukunya “Tasawuf Modern”, qana’ah ialah menerima cukup.
Qana’ah itu mengandung lima perkara, yaitu:
1. Menerima dengan rela apa yang ada
2. Memohonkan kepada Allah tambahan yang pantas dan berusaha
3. Menerima dengan sabar akan ketentuan Tuhan
4. Bertawakkal kepada Tuhan
5. Tidak tertarik oleh tipu daya dunia

Jadi jelaslah pangkal pokok dari qana’ah adalah menerima apa


adanya atas pemberian Allah sesuai dengan kebutuhannya. Sedangkan
orang yang selalu merasa kurang atas pemberian Allah adalah orang
thama’ atau rakus. Orang yang mempunyai sifat qana’ah akan mulia
dan tentram hidupnya. Sebaliknya orang yang memiliki sifat rakus,
berate didalam dirinya telah tertanam bibit-bibit kehinaan dan tidak
seberapa lama lagi akan semakin berkembang dan terus menjalar.
6
Moh. Saifullah Al Aziz S. Risalah Memahami lLmu Tasawuf, (Surabaya : Terbit Terang), hlm 165
Sebagaimana yang telah dikatakan oleh Syeikh Ahmad bin Muhammad
bin Abdul Karim bin ‘Atha’Illah al Iskandar dalam “Al Hakim” :”Tidak
akan berkembang cabang-cabang kehinaan melainkan berkembang
diatas biji thama”.

Thama’ atau rakus kepada dunia, dapat menyebabkan hati


seseorang terombang-ambing dan selalu dikejar-kejar nafsu untuk
menumpuk harta sebanyak-banyaknya, tanpa memperdulikan apakah
harta tersebut diperoleh dengan cara yang halal ataukah haram.
Sehingga pada akhirnya orang yang demikian ini akan terjatuh kedalam
jurang kehinaan, karena bukan lagi dirinya yang menguasai dan
memperalat harta, tetapi justru dirinyalah yang dikuasai dan diperalat
harta.

Dari sini sudah jelas bahwa antara orang yang bersifat qana’ah
dengan orang yang berhati thama’ sangat jauh berbeda. Perbedaan antar
orang yang bersifat thama’ dengan orang yang bersifat qana’ah adalah
jika orang yang thama’ selalu terbelenggu nafsu dan ambisi untuk
menguasai dunia, sedangkan orang yang bersifat qana’ah, maka
hidupnya akan terbalas dari segala macam belenggu nafsu dan ambisi.
Hal ini disebabkan karena mereka merasa yakin dan percaya
sepenuhnya akan taqdir Tuhan.7

G. TAWAKKAL
Puncak dari tauhid itulah tawakkal. Dari tauhid yang tumbuh
dengan subur dihati mukmin keluarlah tawakkal menjadi buahnya.
Tapi, kalau tauhid tidak ada janganlah hendak mengharap akan menjadi
orang yang tawakkal. Karena kalau kita tilik arti tawakkal itu sendiri
ialah “menyerahkan/mewakilkan suatu urusan kepada orang lain”.
Seseorang tidak akan menyerahkan sesuatu urusan kepada orang lain
sebelum dia mengenal orang itu dengan baik, boleh jadi orang itu tidak
menerimanya atau tidak mempercayainya. Seseorang tidak akan
7
Moh. Saifullah Al Aziz S. Risalah Memahami Ilmu Tasawuf, (Surabaya : Terbit Terang), hlm 122
bertawakkal kepada Tuhan sebelum ada iman didalam dadanya, justru
itu semakin mendalam tertanamnya tauhid didalam jiwa seseorang
semakin subur pulalah tumbuhnya tawakkal.
Dikalangan masyarakat awan banyak orang yang salah faham
tentang tawakkal ini. Menurut mereka tawakkal ialah menyerahkan diri
bulat-bulat kepada Allah swt, tanpa adanya usaha dan ikhtiar. Serahkan
diri kepada Allah tanpa sesuatu usaha, seperti mayat dihadapan orang
yang memandikannya, tidak bergerak dan tidak berkata apa-apa. Karena
adanya pendapat demikian, jatuhlah umat islam dimata dunia, hina-
hinalah martabat mereka ditengah-tengah penduduk dunia. Padahal
agama islam bukan agama yang statis. Tetapi islam adalah agama yang
penuh dinamika, yang mendorong umatnya untuk merebut
kesejahteraan hidup duniawi dan ukhrawi.8
Tawakkal artinya berserah diri kepada Allah setelah berusaha
sekuat tenaga dan fikiran dalam mencapai suatu tujua. Jadi apabila kita
mempunyai tujuan, lalu berusaha dengan sungguh-sungguh sesuai
dengan kemampuan menurut aturan dan syarat-syarat yang diperlukan,
maka hasilnya tinggal menunggu keputusan Allah.
Dalam hal ini, seorang tokoh shufi, Ibnu Masruq mengatakan
bahwa :”Tawakkal ialah berserah diri kepada takdir”. Sedangkan
Syaikh Sirri As Saqathi berpendapat :”Tawakkal ialah meninggalkan
daya upaya dan kekuatan (kesanggupan berusaha)”.
Syeikh Abu Ayyub berkata :”Tawakkal ialah bersemangat dalam
beribadah dan selalu menggantungkan hatinya hanya kepada Allah dan
menerima atas pemberian-Nya (merasa cukup dengan sesuatu yang
telah dimiliki).
Syeikh Harits bin Asad Muhasibi berkata :”Tawakkal adalah
menggantungkan diri dan selalu memohon pertolongan Allah dengan
berusah untuk menjauhkan diri dari rakus. Kecuali untuk segala sesuatu
yang berhubungan dengan Allah, meninggalkan hal yang berlebiih-
lebiha dalam hal yang menyangkut makana, merasa cukup dengan yang
8
Yunasril Ali, Pilar-Pilar Tasawuf, (Jakarta : Kalam Mulia), hlm 144
ada, hati dihadapan kepada Allah, duduk beribadah dan kembali kepada
Allah”.
Tawakkal itu pada hakikatnya adalah mempercayakan diri kepada
Allah, bergantung dan berlapang dada kepada-Nya serta merasa aman
terhadap segala yang dijamin oleh Allah kepada-Nya. Bertawakkal juga
diartikan dengan membebaskan diri dari kegelisahan yang bertalian
dengan segala urusan dunia, seperti rizqi dan semua perkara yang
terserah pertanggung jawabannya kepada Allah. Disamping itu harus
mengetahui bahwa segala yang diperlukan oleh seorang hamba dari
urusan dunia dan akhirat adalah Allah yang mengaturnya dan Dialah
yang menguruskannya, tiada yang lain selain dari Allah yang
menyampaikan kepadanya dan tiada seorangpun yang dapat
menahannya. Serentak dengan itu, hendaklah ia menunjukkan tidak
cenderung, bimbang, takut dari hatinya terhadap seseorang, selain
Allah. Kepada Allah sajalah ditunjukkan kepercayaan, disematkan hati
dengan pengetahuan yang bersih serta yakin sepenuhnya, bahwasannya
pertolongan Allah itu luas dan pasti memenuhi segala tuntutannya.
Karena itu, tiada sesuatu yang bisa menyentuh kita, melainkan dengan
kuasa Allah. Dan tiada sesuatu yang jahat bias menimpa kita, melainkan
dengan izin-Nya.9
H. RIDHA
Ridha merupakan prestasi tinggi yang telah dialami seseorang.
Ridha ini menurut beberapa tokoh shufi mempunyai banyak pengertian.
Diantaranya adalah sebagai mana telah dikemukakan oleh Ruwayn,
ridha adalah menerima ketetapan-ketetapan dari Allah untuk dirinya
untuk senang hati.
Menurut Syaikh Dzun Nun al Mishri :”Ridha adalah hati merasa
senang dan bahagia atas apa yang telah ditetapkan oleh Allah
untuknya”.

9
Moh. Saifullah Al Aziz S. Risalah Memahami Ilmu Tasawuf, (Surabaya : Terbit Terang), hlm 145
Ari ridha didunia adalah sesua dengan keputusan?ketentuan yang
berjalan dan orang-orang yang diridhai kelak di akhirat akan diwarisi
dengan apa-apa yang telah ditentukan atas atas dirinya.
Sahal berkata :”Apabila ridha bergabung dengan keridhaan maka
akan terjadilah ketenangan, berbahagialah orang-orang yang demikian
dan ini adalah merupakan pilihan yang terbaik”.
Syeikh Abul Qasim al Junaidi al Baghdadi berkata :”Ridha
adalah meninggalkan usaha (ikhtiar)”. Sedangkan Syeikh Al Harits al
Muhasibi berkata :”Ridha ialah hati menerima keputusan hokum
(taqdir)”.
Tanda seseorang telah mempunyai rasa ridha adalah ditandai
dengan gembiranya hati dengan pahit getirnya keputusan Allah.
Jadi pada intinya ridha itu adalah bila seseorang menyambut bala
dan bencana dengan harapan dan kegembiraan atau dengan senyum dan
wajah yang gembira. (footnote)
Ridha inilah yang menjadi puncak kebahagiaan insan didunia ini,
inilah maqam yang tertinggi, yang dicapai oleh hamba yang bertaqarrub
kepada Tuhan; dan nanti ridha pulalah ynag menjadi pincak
kebahagiaan mereka diakhirat kelak.10

BAB III

PENUTUP
10
Moh. Saifullah Al Aziz S. Risalah Memahami Ilmu Tasawuf, (Surabaya : Terbit Terang), hlm 173
A. KESIMPULAN
Taubat adalah bergantinya berbagai gerakan yang tercela dengan
berbagai gerakan yang terpuji.
Zuhud adalah bersikap dermawan dari harta yang dimiliki
sehingga tak mempunyai harta,serta tidak mempunyai sifat serakah.
Wara’ adalah meninggalkan segala yang syubhat, yakni menjauhi
atau meninggalkan segala hal yang belum jelas haram dan halalnya.
Ikhlas ialah bersih, murni, belum bercampur dengan sesuatu.
Artinya niat didalam hati yang semata-mata karena Allah dan hanya
untuk mengharapkan ridha-Nya belaka suatu amalan dilaksanakan.
Syukur menurut Syeikh Harits bin Asad al Muhasabi :”Syukur
adalah kelebihan-kelebihan yang diberikan Allah kepada seseorang
akibat terimakasihnya kepada-Nya. Jadi, apabila seseorang bersyukur
dengan kelebihan yang diberikan kepadanya, maka Allah akan
menambahnya, lalu bertambah pula syukurnya”.
Qana’ah artinya ridha dengan sedikitnya pemberian dari Allah.
Pangkal pokok dari qana’ah adalah menerima apa adanya atas
pemberian Allah sesuai dengan kebutuhannya.
Tawakkal menurut Syeikh Abu Ayyub berkata :”Tawakkal
adalah bersemangat dalam beribadah dan selalu menggantungkan
hatinya hanya kepada Allah dan menerima atas pemberian-Nya (merasa
cukup dengan sesuatu yang telah dimiliki).
Ridha menurut Syeikh Dzun Nun al Mishri :”Ridha adalah hati
merasa senang dan bahagia atas apa yang telah ditetapkan oleh Allah
untuknya”.
Taubat menurut para shufi ada tiga tingkatan, yaitu (1) Taubat
orang-orang yang beriman yaitu hijrah dari kemaksiatan ke keta’atan,
dimana hal itu dilakukan dengan kesadaran bahwa dosa itu akan
menyeret kepada kenistaan dan penderitaan baik di dunia maupun
diakhirat. (2) Inabah ialah kembali dari yang baik menuju kepada yang
lebih baik, demi memohon keridhaan dan pahala-Nya. (3) Taubatnya
para Nabi dan Rasul yaitu mereka bertaubat bukan karena mengharap
pahala dan tidak pula karena takut siksa, sebab baginya sudah terjamin
bersih. Hal ini semata-mata karena mengikuti perintah Allah semata.
Hakikat dari tawakal itu sendiri ialah mempercayakan diri kepada
Allah, bergantung dan berlapang dada kepada-Nya serta merasa aman
terhadap segala yang dijamin oleh Allah kepada-Nya.

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Yunasril, 1999, Pilar-Pilar Tasawuf, Jakarta : Kalam Mulia


Senali, Moh. Saifullah Al Aziz, 1998, Risalah Memahami Ilmu Tasawuf,
Surabaya : Terbit Terang

Anda mungkin juga menyukai