Anda di halaman 1dari 12

Psikologi Sufistik

Zuhud, Wara’ dan Istiqomah

Dosen Pengampu:
Prof. Dr. Abdul Mujib M. Ag / Dr. Syahidah Rena M.Ed

Kelompok :
Mutiara Aisyah 11160700000042
Erica Putri D.W 11160700000048
Safara Chaniago 11160700000054
Ananda Rachma Aulia 11160700000056
Erina Ayu Wulandari 11160700000063
Desy Ramadhani Harahap 11160700000072

Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


Jln. Kertamukti No.5 Cirendeu Jakarta 15417
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang

Pembuatan makalah ini dilatar belakangi oleh keingintahuan kami sebagai makhluk
ciptaan tuhan yang diberi akal dan pikiran sehingga menuntut kami untuk mencari tahu segala
sesuatu yang telah diciptakannya. Dari sekian banyak penciptaan Allah SWT. Salah satunya
adalah kehidupan. Akhlak adalah hal ikhwal yang melekat pada jiwa (Sanubari). Kedudukan
akhlak manusia menempati tempat yang penting, sebagai individu maupun masyarakat dan
bangsa, sebab jatuh bangunnya suatu masyarakat tergantung kepada bagaimana akhlaknya.
Apabila akhlaknya baik, maka sejahteralah lahir dan batinnya. Dan bagi orang-orang yang
mempunyai akhlak. Tentunya mereka adalah orang-orang yang mempunyai sifat terpuji.
Diantaranya Zuhud, Wara’ dan Istiqomah. Zuhud, yaitu keadaan meninggalkan segala hal
berbau duniawi. Kemudian yang selanjutnya adalah Wara', Didalam tasawuf sikap Wara’ juga
sangat penting karena merupakan sarana membersihkan hati dari ikatan keduniaan. Semakin
bersih hati sang hamba, semakin sedikit untuk berpantang. Arti kata wara’ adalah berpantang
atau menjaga diri dari perbuatan dosa atau maksiat sekecil apapun. Kemudian Istiqomah berarti
berpendirian teguh atas jalan yang lurus, berpegang pada akidah Islam dan melaksanakan
syariat dengan teguh, tidak berubah dan berpaling dalam keadaan apapun.

1.2. Rumusan Masalah

1. Mengetahui pengertian zuhud, wara’ dan istiqomah.


2. Mengetahui manfaat zuhud, wara’ dan istiqomah.
3. Mengetahui dimensi-dimensi zuhud, wara’ dan istiqomah.
4. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi zuhud, wara’ dan istiqomah.
BAB II
PEMBAHASAN

1.1. Pengertian zuhud, wara’ dan istiqomah

A. Zuhud
Pengertian zuhud secara bahasa kata zuhud berasal dari bahasa Arab َ‫زَ َهد‬- ‫ َي ْزهَد‬-‫ز ْهد‬
berarti “meninggalkan”. Orang yang zuhud disebut Zahid. Menurut istilah zuhud
didefenisikan dalam kalimat yang berbeda-beda namun tetap dalam arti yang sama. Menurut
istilah zuhud memiliki beberapa pengertian:

 Ibnu Taimiyah, ”Zuhud adalah meninggalkan apa yang tidak bermanfaat demi kehidupan
akhirat”.
 Imam Al Qusyairy, ”Zuhud adalah tidak merasa bangga terhadap kemewahan dunia yang
dimiliki dan tidak merasa sedih ketika kehilangan harta”.
 Imam Al Ghazali, ”Zuhud adalah mengurangi keinginan untuk menguasai kemewahan
dunia sesuai dengan kadar kemampuannya”.
 Hasan Al-Bashri, ”Zuhud itu bukanlah mengharamkan yang halal atau menyia-nyiakan
harta, akan tetapi zuhud di dunia adalah engkau lebih mempercayai apa yang ada di
tangan Allah daripada apa yang ada di tanganmu. Keadaanmu antara ketika tertimpa
musibah dan tidak adalah sama saja, sebagaimana sama saja di matamu antara orang yang
memujimu dengan yang mencelamu dalam kebenaran”.

Dari empat pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa zuhud adalah suatu sikap
hidup di mana seseorang tidak terlalu mementingkan harta kekayaan dunia atau dunia. Harta
kekayaan atau dunia hanyalah sarana untuk mencapai tujuan hakiki yakni kehidupan akhirat.
Secara harfiah, zuhud artinya tidak ingin kepada sesuatu yang bersifat keduniawian.
Menurut Harun Nasution, zuhud artinya meninggalkan dunia dan materi. Secara syar’i
zuhud adalah mengambil sesuatu yang halal hanya sebatas keperluannya. Zuhud kepada
dunia bukanlah mengharamkan yang halal dan membuang semua harta, serta tidak mau
menikmati hal-hal yang bersifat duniawi, tapi lebih meyakini apa yang ada disisi Allah
ketimbang apa yang ada ditangan kita.
Zuhud adalah sikap hati, sebab zuhud berarti menghilangkan kecintaan terhadap
dunia dari dalam hati, yang mana seorang zahid tidak memalingkan hatinya kepada dunia
dan tidak pula menyibukkan hatinya dengan hal-hal duniawi yang membuatnya lupa dari
tujuan diciptakannya manusia oleh Allah Swt.

B. Wara’
Secara harifah wara’ diartikan saleh, menjauhkan diri dari perbuatan dosa. Ibrahim
bin Adham mengartikan wara’ sebagai perilaku hati-hati, meninggalkan dan memelihara
dari hal-hal yang makruh atau meninggalkan semua hal yang diragukan kedudukan
hukumnya antara halal dan haram. Sedangkan Az Zarnuji mengatakan bahwa wara’ adalah
adalah menghindari hal – hal yang subhat (samar) karena takut terjerumus ke dalam hal –
hal yang haram.
Al harraz mangatakan seseorang dikatakan wara’ apabila dia bebas dari berbuat
kezaliman terhadap mahluk sekalipun seberat atom, sehingga tidak terdapat pada salah
seorangpun diantara manusia yang memiliki pengaduan dan tuntutan atas dirinya.
Sedangkan Al Muhasibi mendefinisikan wara’ sebagai perbuatan menghitung segala apa
yang dibenci oleh allah baik emosi, perbuatan hati atau jasmani. Muhasabah menurutnya
adalah kepastian di dalam hati dan meninggalkan apa yang harus ditinggalkan dan apa yang
harus dikerjakan. (Najar, 2001:236)

Dari beberapa pengertian tentang wara’ diatas dapat disimpulkan bahwa wara’
adalah perilaku sesorang yang selalu disandarkan pada aturan agama yang berintikan pada
proses usaha untuk menjauhi hal-hal yang bisa menghalangi seseorang dalam mencapai
derajat yang tinggi, yakni:

1. Menolak diri dari hal-hal yang diharamkan oleh Allah SWT


2. Menghindari diri dari hal-hal yang berstatus hokum syubhat
3. Menjaga dari hal-hal mubah yang tidak bermanfaat

C. Istiqomah
Secara epismetologi istiqomah adalah tegak dihadapan Allah SWT atau tetap pada
jalan yang lurus dengan tetap menjalankan kebenaran dan menunaikan janji baik yang
berkaitan dengan ucapan, perbuatan sikap dan niat atau pendek kata yang dimaksud dengan
istiqomah adalah menempuh jalan yang lurus (siratal mustaqin) dengan tidak menyimpang
dari ajaran Tuhan (Waryono, 2005, h. 23).

Istiqomah juga bisa diartikan dengan tidak goncang dalam menghadapi macam-
macam problema yang dihadapi dalam kehidupan dengan tetap bersandar dan tetap
berpegang pada tali Allah SWT dan sunnah Rasul (Jamaluddin, 2002, h. 151).

Istiqomah berarti berhadapan dengan segala rintangan masih tetap berdiri.


Konsisten berarti tetap menapaki jalan yang lurus walaupun sejuta halangan menghadang
(Tasmara, 2002:86). Perilaku istiqomah berarti ia melaksanakan kebaikan secara konsisten,
dimana saja dan kapan saja ia berbuat baik (Maimun, 2010: 89).

Ayat yang membahas tentang istiqomah telah dipaparkan oleh beberapa ahli tafsir. Seperti
halnya Q.S. Hud: 112 berikut ini:

“Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepada kamu
dan (juga) orang-orang yang bertaubat bersama kamu dan janganlah kamu melampaui
batas,sesungguhnya Dia Maha melihat apa yang kamu kerjakan (Q.S. Hud : 112)

Sementara itu Assayyid Al-Allamah Abdullah Haddad (1989, h.414) berpendapat


bahwa istiqomah adalah tetap bertahan dalam perilaku–perilaku bersih dengan bersandarkan
kepada Al-Quran dan Al-Hadist.

Berdasarkan beberapa pandangan diatas dapat disimpulkan bahwa istiqomah


merupakan sikap dalam memegang teguh suatu keyakinan secara terus-menerus serta
mampu bertahan dalam setiap godaan agar dapat tercapainya suatu tujuan.
1.2. Manfaat zuhud, wara’ dan istiqomah dalam kehidupan

A. Manfaat zuhud

1. Berkah dalam kehidupan yang sempurna


2. Hidupnya tentram dan bahagia
3. Mendapatkan pertolongan dari Allah swt
4. Memperoleh derajat kepemimpinan
5. Dimasukkan ke surga
6. Tidak mudah mengalami putus asa atas rezeki yang diterimanya
7. Memungkinkan dapat mengatasi kesulitan yang dihadapi
8. Melatih ketentraman batin dalam menjalani kehidupan di dunia ini
9. Bagian dari kesempurnaan
Contoh perilaku zuhud:

 Selalu mensyukuri nikmat yang diberikan Allah Swt., meskipun sedikit


 Senantiasa merasa cukup dengan harta yang dimilkinya, walaupun hanya sekedar untuk
memenuhi kebutuhan primer saja
 Menggunakan harta yang dimilkinya sebagai penunjang kesempurnaan beribadah kepada
Allah
 Hidup dengan berpenampilan sederhana
 Lebih mengutamakan cintanya kepada Allah Swt. dibandingkan cintanya kepada dunia

B. Manfaat wara’

1. Terhindar dari adzab Allah Swt, pikiran menjadi tenang dan hati menjadi tentram
2. Menahan diri dari hal yang dilarang
3. Tidak menggunakan waktu untuk hal-hal yang tidak bermanfaat
4. Mendatangkan cinta Allah swt, karena Allah swt mencintai orang yang wara’
5. Membuat doa dikabulkan , karena manusia jika mensucikan makanan, minuman dan
bersikap wara’, lalu mengangkat kedua tangannya untuk berdoa, maka doanya akan
segera dikabulkan
6. Mendapatkan keridhoan Allah swt dan bertambahnya kebaikan
7. Terdapat perbedaan tingkatan manusia di dalam surga sesuai dengan perbedaan tingkatan
wara’

C. Manfaat Istiqomah

1. Menjadikan seseorang tetap terpelihara kehormatan dan kemuliannya sebagai manusia,


karena ia tidak mudah terkena bujukan yang dapat menyesatkannya.
2. Tidak mudah putus asa saat menghadapi masalah seberat apapun, dan ia tidak akan lari
dari kesulitan yang sedang di hadapinya. Ia yakin benar bahwa Allah bersamanya. Dalam
jiwanya sudah terpatri kalimat bahwa kebenaran datangnya dari Zat nya maha besar,
yaitu Allah Swt. Dialah maha pencipta, Dialah pemberi rezeki, Dialah pemberi derajat
dan kedudukan terhormat kepada manusia di dunia ini.
3. Istiqomah akan mendatangkan kebahagiaan baik di dunia maupun di akhirat, sebagai
mana firman Allah SWT: “Dan bahwasanya jika mereka tetap istiqomah di jalan itu
(agama Islam) benar- benar Kami akan memberi minum kepada mereka air yang segar
(rezeki yang banyak).” (QS: Jin:16)
4. Menurut Abu Bakar Jaabir (1989), istiqomah dapat mengontrol dan mengendalikan diri
dari perbuatan-perbuatan yang melanggar batas-batas ketentuan Allah SWT, dengan
sikap tersebut seseorang juga akan meningkatkan ketaatan dalam melakukan ibadah
kepada Allah SWT, serta tercegah dari melalaikan sebagian kewajibannya terhadap Allah
SWT.
5. Manfaat yang kita dapat dari istiqomah adalah hilangnya rasa takut dan hilangnya rasa
duka cita. Sebagaimana firman Allah SWT: Sesungguhnya orang-orang yang
mengatakan: “Tuhan kami ialah Allah”, kemudian mereka tetap istiqamah maka tidak
ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tiada (pula) berduka cita. (Q.S Al
Ahqaf:13)

1.3. Dimensi dan indikator zuhud, wara’ dan istiqomah

A. Dimensi-dimensi zuhud
Menurut Al Ghazali, zuhud meliputi tiga dimensi:

 ‘Ilm
Pengetahuan bahwa akhirat itu lebih baik, kekal. Sedangkan dunia hanyalah sementara.
Menjual dunia untuk meraih akhirat (karena akhirat adalah kehidupan yang lebih disukai
karena lebih baik dan kekal) adalah sebuah kebenaran (QS At Taubah:11). Ilmu ini
penting, karena dengan ilmu orang menjadi berwawasan luas dan kemudian
menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.
 Hal (keadaan)
Dilihat dari sikap seseorang, bagaimana dia hidup bersosial dan berinteraksi dengan
sesame dengan menggunakan akhlak yang baik.
 Amal
1. Meninggalkan sesuatu yang tidak disukai(yaitu dunia)
2. Mengeluarkan dari hati kecitaan pada dunia
3. Memasukkan dalam hati cinta pada kepatuhan
4. Mengeluarkan dari tangan dan mata kecintaan pada dunia
5. Menugaskan tangan, mata dan anggota tubuh yang lain untuk cinta pada kepatuhan

B. Dimensi-dimensi wara’
Sebagaimana dijelaskan dibagian pengertian, bahwa wara’ adalah menjaga diri dari hal-hal
yang membuat seseorang jauh dari Allah SWT. Dari pengertian tersebut bisa digarisbawahi
bahwa dimensi-dimensi yang harus dihindari orang yang wara’ miniml ada tiga hal yaitu:
menjauhi sesuatu yang haram, menjauhi hal-hal yang berstatus hukum syubhat dan
menjauhi hal-hal yang mubah tetapi mempunyai potensi menjauhkan diri dari Allah.

 Mata
Sebenernya pusat kendali manusia baik dalam urusan agama maupun dunia itu terletak
di hati. Adapun indra penangkap stimulus yang paling banyak memberikan masukan
kepada hati adalah mata. Oleh karenanya mata mempunyai andil yang sangat besar
terhadap segala keputusan yang akan diambil oleh seseorang setelah rangsag masuk
pertimbangan hatinya.
Sehubungan dengan ini Ali bin Abi thalib mengatakan:
“Barang siapa yang tidak bisa memiliki (menguasai) matanya atau cara pandangnya
maka tidak ada bagian (nilai) dihatinya”. Artinya barang siapa yang tidak bisa menahan
matanya dari sesuatu yang diharamkan atau tidak memberi faidah dunia akhirat maka
hatinya tidak berharga.
 Selain mata, anggota tubuh yang perlu dijaga dari keharaman dan kesubhatan adalah
lisan. Lisan sebagai alat komunikasi dengan manusia lainnya memiliki peran yang sangat
besar dalam kaitannya bergaul dengan sesama. Oleh karenanya dalam mengeluarkan
statement, Seseorang harus sangat hati-hati dan harus berusaha selektif agar terhindar
dari kata-kata yang bisa menyakiti perasaan orang lain dan menggangu keharmonisan
hubungan mereka. Lisan harus selalu dijaga agar jangan sampai mengeluarkan kata-kata
yang tidak sopan, mengolok-olok, mencaci maki, menghasud, dll.
 Perut
Dalam pandangan islam makanan yang dikonsumsi oleh manusia dianggap sangat
penting dan mendapatkan perhatian yang serius. Makanan yang masuk keperut manusia
dan menjadi darah daging, diyakini sangat mempenguruhi kehidupannya baik secara fisik
maupun mental. Oleh karenanya Allah berfirman dalam Q.S Abasa (80) ayat 24: yang
artinya “Maka hendaklah manusia memperhatikan makanannya”. Dalam pandangan
tasawuf makanan memberikan pengaruh yang sangat besar kepada pemakannya. Ketika
seseorang memakan makanan yang diharamkan maka akan memberi dampak negatif
kepada orang yang memakannya. Ibarat segelas air yang tadinya berisi air putih ketika
ditetesi oleh tonta hitam maka keputihan airnya pasti akan berubah. Begitu juga ketika
seseorang deberi makan dengan barang yang dilarang Allah maka kejiwaannya akan
terpengaruh ikut menjadi kurang baik.
 Kemaluan
Menurut al-Ghazali penjagaan kemaluan dari hal-hal yang diharamkan sebenarnya tidak
bisa dilepaskan dari penjagaan anggota tubuh yang telah dipaparkan diatas. Menurutnya
menjaga kemaluan tidak akan terlaksana dengan baik tanpa:
1. Menjaga mata terlebih dahulu dari melihat hal-hal yang tidak diperbolehkan
2. Menjaga hati dari memikir-mikir keindahan yang bisa membangkitkan gairah seksual
3. Menjaga perut dari terlalu kenyang. Karena orang-orang yang terlalu kenyang juga
bisa membangkitkan syahwat ((Ghazali:73)
 Hati
Dalam pandangan tasawuf posisi hati sangat menentukan kepribadian seseorang. Dalam
konteks wara’ disamping anggota jasmani yang harus dijaga dari keharaman maupun
kesubhatan sebagaimana telah dipaparkan diatas, ada satu hal yang tidak boleh dilupakan
sama sekali yaitu kedudukan hati. Dapat disimpulkan bahwa hati perlu dijaga
kebersihannya, kesuciannya dari hal-hal yang bisa merusaknya seperti sifat riya’,
takabur, sombong, dsb. Al-Ghazali mengatakan bahwa sumber penyakit hati ada tiga
macam yaitu hasud, riya, ujub.

C. Dimensi-dimensi istiqomah
Terdapat beberapa dimensi dalam menjalankan prilaku istiqomah, seperti apa yang telah
diuraikan oleh Munawwaroh (2012) yaitu antara lain:
 Totalitas
Menjaga hafalan Al-quran bukanlah pekerjaan sepele yang dapat dikesampingkan oleh
pekerjaan yang lain. Ketidak mampuan dalam mengulang-ulang bacaan menyebabkan
hafalan akan hilang sedikit demi sedikit dari ingatan, tidak hanya mengulang-ulang
hafalan, namun juga selalu menjaga setiap tingkah laku dari segala perbuatan yang
negatif atau yang berbau maksiat. Oleh karena itu dibutuhkan totalitas dalam
menjalankan istiqomah, sehingga hafalan Alquran yang dimilikinya tidak hilang serta
mampu meningkatkan kualitas hafalnnya.
 Mengelola resiko
Selalu ada resiko dalam menjalankan sesuatu, begitu pula dengan ber istiqomah, akan
ada rintangan atau hambatan yang akan menghadangnya sehingga dapat menghambat
dalam menjalankan istiqomah dengan baik. Oleh karena itu dibutuhkan pemahaman akan
resiko yang akan dialaminya sehingga dapat mengola resiko tersebut dengan baik agar
dapat menjalankan istiqomah dengan baik. Ketika seseorang telah memahami betul
resiko pekerjaan yang ditekuninya, ia akan selalu dapat bekerja secara mantap.
 Cinta pekerjaan
Cinta adalah sikap batin yang akan melahirkan kelembutan, kesabaran, kelapangan,
kreativitas, serta tawakkal, sebagaimana dicontohkan rasulullah SAW. Semakin serius
seseorang di mata Allah, maka akan semakin besar pertolongan yang akan diberikan
kepadanya.
Bila seorang Hamilil Quran betul-betul telah mendasari semua akrtifitasnya dalam
beristiqomah dengan cinta, dengan cinta dan ketulusan di dalam dada, membuat hamilil
quran tidak surut dari kesetiaan dalam menunaikan tugasnya yang mulia. Cinta membuat
seseorang tak mengharapkan balasan apapun.
 Sabar
Sabar ialah tabah dan sanggup menderita dalam menghadapi berbagai cobaan dan ujian.
Orang tabah tidak pernah mengeluh dan tanpa ada rasa putus asa, baik dalam keadaan
senang maupun skeadaan susah (Al-Baqoroh:153). Nasrun mengatakan bahwa sabar
merupakan kemampuan seseorang mengendalikan diri terhadap sesuatu yang terjadi,
baik yang disenangi atau dibenci. Menurut qosim junaidi sabar adalah mengalihkan
perhatian dari urusan dunia kepda urusan akhirat. Al-Ghozali menyebutkan sabar sebagai
kondisi jiwa dalam mengendalikan nafsu yang terjadi karena dorongan agama.
1.4. Faktor-faktor yang mempengaruhi zuhud, wara’ dan istiqomah

A. Pendorong zuhud
Ada beberapa hal yang akan menjadikan kita zuhud terhadap dunia, diantaranya:

 Kuatnya iman hamba dan menghadirkan diri seolah–olah menyaksikan apa–apa yang
disisi Allah, dan menyaksikan kedahsyatan hari kiamat, inilah yang akan menjadikan
hilangnya kecintaan terhadap dunia dan kenikmatannya dari hati hamba, akhirnya ia pun
berpaling dari kelezatannya dan kesenangannya serta mencukupkan diri dengan yang
sedikit saja darinya.
 Seorang hamba harus merasakan dan menyadari bahwasanya dunia itu akan
menyibukkan hati terikat dengan Allah, dan akan menjadikan seseorang terlambat dari
mencapai tingginya derajat di akhirat, dan bahwasannya seseorang kelak akan ditanya
tentang kenikmatan yang ada padanya, Allah berfirman:
َ ‫ث ُ َّم لَتُسْأَلُ َّن َي ْو َمئِ ٍذ‬
‫ع ِن النَّ ِع ِيم‬
Artinya : “kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan
(yang kamu megah – megahkan di dunia itu)” (QS. At – Takasur: 8)

 Dunia tidak akan didapat oleh seorang hamba sampai dia bersusah payah dan
bersungguh–sungguh untuk mendapatkannya, dia mengerahkan segenap
kemampuannya, tenaganya dan pikirannya dan kadang dia pun mengalami kerendahan
ataupun kegagalan dan harus siap bersaing dengan lainnya. Yang seharusnya dia
kerahkan tenaga dan pikirannya tersebut untuk mencari ilmu agama, berdakwah, berjihad
dan beribadah kepada Allah. Perasaan ini yang dirasakan oleh hamba yang cemerlang
hatinya, akan menjadikan dia bosan terhadap dunia dan beralih kepada sesuatu yang lebih
baik dan kekal yaitu akhirat.
 Al Qur’an telah merendahkan dan menghinakan dunia dan kenikmatannya dan
bahwasannya dunia itu sesuatu yang menipu, bathil dan permainan dan sesuatu yang
melalaikan. Dan Allah telah mencela orang yang lebih mngutamakan dunia di atas
akhirat. Semua dalil ini baik yang ada dalam Al Qur’an ataupun As Sunnah, akan
menjadikan seorang mukmin bosan terhadap dunia dan dia hanya terikat dengan yang
kekal yaitu akhirat.

B. Tingkatan wara’
Abu Nasr As-Sarraj at-Tusi membagi wara dalam tiga tingkatan berikut:
1. Wara umum: tingkat wara orang yang menjauhi sesuatu yang syubhat.
2. Wara khusus: tingkat wara orang yang menjauhi sesuatu yang halal, tapi hatinya belum
menerima kehalalannya secara utuh.
3. Wara Khusus al-Khusus: tingkatan wara orang arif, yang menjauhkan diri dari tindakan
yang tidak mengandung usaha menghampiri Allah SWT.

Masing – masing tingkatan wara diatas tergambar dari beberapa sabda Rasulullah
SAW. Wara’ pada tingkat pertama terlihat dari hadist yang berbunyi:
“Sesungguhnya yang halal itu jelas, sebagaimana yang haram pun jelas. Di antara
keduanya terdapat perkara syubhat -yang masih samar- yang tidak diketahui oleh
kebanyakan orang. Barangsiapa yang menghindarkan diri dari perkara syubhat, maka ia
telah menyelamatkan agama dan kehormatannya. Barangsiapa yang terjerumus dalam
perkara syubhat, maka ia bisa terjatuh pada perkara haram. Sebagaimana ada pengembala
yang menggembalakan ternaknya di sekitar tanah larangan yang hampir
menjerumuskannya. Ketahuilah, setiap raja memiliki tanah larangan dan Allah di bumi ini
adalah perkara-perkara yang diharamkan-Nya.” (HR. Bukhari no.2051 dan Muslim
no.1599)

Selanjutnya wara’ pada tingkat kedua tercermin pula dalam hadits yang berbunyi,
“Yang dikatakan dosa itu ialah sesuatu yang diragukan oleh hati,” (HR Ahmad). Dalam
wara’ tingkat ketiga pun tercemin dari ungkapam Asy-Syibli yang menyatakan bahwa orang
yang wara hatinya tak pernah lupa mengingat Allah SWT. Ucapan ini sejalan dengan ayat
yang berbunyi:

َ‫ّللاَ يَ ْذ ُك ُرونَ الَّذِين‬


َّ ‫علَى َوقُعُودًا قِيَا ًما‬ ِ ‫ت خ َْل‬
َ ‫ق فِي َو َيت َ َف َّك ُرونَ ُجنُو ِب ِه ْم َو‬ ِ ‫س َم َاوا‬ ِ ‫َو ْاْل َ ْر‬
َّ ‫ض ال‬
َ ‫اط ًل َهذَا َخلَ ْق‬
‫ت َما َربَّنَا‬ َ َ ‫عذ‬
ُ ‫اب فَ ِقنَا‬
ِ َ‫س ْب َحان ََك ب‬ َ ‫ار‬ ِ َّ‫الن‬
Yang artinya, “(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau
duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan
langit dan bumi (seraya berkata): ‘Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan
ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.’”
(QS Ali Imran: 191)

C. Pendorong istiqomah
Untuk menjaga hati tetap istiqamah ada dua cara berikut:

1. Cinta kepada Allah harus mendahului cinta kepada yang lain-Nya. Jika cinta kepada
Allah bertentangan dengan cinta kepada selain-Nya, maka cinta kepada Allah harus
dikedepankan dari selain-Nya. Dengan demikian, cinta Allah akan membawa
konsekuensi balik, terjadinya sinergi cinta.
Sunnah Allah yang berlaku untuk tipe hamba yang mengedepankan cintanya kepada-Nya
adalah Dia akan memperdayakan cinta hamba itu kepada sesuatu tersebut. Juga akan
menenggelamkannya dalam-dalam dan tidak akan menerima cintanya sedikitpun.
Karena, cinta yang ia miliki adalah sebuah cinta yang telah keruh dan tenggelam, ini bisa
terjadi, sebagai balasan baginya, karena ia lebih menuruti hawa nafsunya.
2. Perkara yang membantu hati tetap lurus dalam petunjuk-Nya adalah dengan
mengagungkan semua perintah Allah. Sifat ini dapat tumbuh karena tunasnya berawal
dari mengagungkan Allah Yang Memerintah dan Melarangnya. Karena pada hakikatnya
Allah sangat mencela orang-orang yang tidak mengagungkan perintah dan larangan-Nya.
3. Mengikuti sunnah Rasulullah SAW, Dari Abu Hurairah ra. ia berkata:”Telah bersabda
Rasulullah SAW:”aku tinggalkan dua perkara yang kalian tidak akan tersesat selama
kalian berpegang teguh dengan keduanya, yaitu Kitabullah dan Sunnahku, serta
keduanya tidak akan berpisah sampai keduanya mendatangiku di telaga (Surga).
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa ketiga poin besar yang
disebutkan merupakan sifat-sifat dalam akhlak-tasawuf. Sebagai mana kita ketahui bahwa
tasawuf sendiri berarti pelatihan dengan kesungguhan untuk dapat membersihkan,
memperdalam, mensucikan jiwa atau rohani manusia. Hal ini dilakukan untuk melakukan
pendekatan atau taqarub kepada Allah dan dengannya segala hidup dan fokus yang dilakukan
hanya untuk Allah semata.
Untuk itu, tasawuf tentu berkaitan dengan pembinaan akhlak, pembangunan rohani,
sikap sederhana dalam hidup, dan menjauhi hal-hal dunia yang dapat melenakan. Tentu hal ini
bisa membantu manusia dalam mencapai tujuannya dalam hidup. Untuk itu, praktik tasawuf
ini dapat dilakukan oleh siapapun yang ingin membangun akhlak yang baik, sikap terpuji,
kesucian jiwa, dan kembalinya pada Illahi dalam kondisi yang suci.
Pada praktiknya, terdapat banyak sekali sifat-sifat yang berkaitan dengan tasawuf
contohnya seperti ketiga sifat yang telah dibahas dalam makalah ini, yaitu:
Zuhud, suatu sikap hidup di mana seseorang tidak terlalu mementingkan harta kekayaan dunia
atau dunia. sifat ini memiliki beberapa tingkatan yang mengelompokkan orang-orang yang
memiliki sifat zuhud tergantung pada kadar atau tinggi-rendah sifat yang ia miliki. Zuhud
adalah sikap hati, sebab zuhud berarti menghilangkan kecintaan terhadap dunia dari dalam hati,
yang mana seorang zahid tidak memalingkan hatinya kepada dunia dan tidak pula
menyibukkan hatinya dengan hal-hal duniawi yang membuatnya lupa dari tujuan
diciptakannya manusia oleh Allah Swt. Istiqamah, merupakan sikap dalam memegang teguh
suatu keyakinan secara terus-menerus serta mampu bertahan dalam setiap godaan agar dapat
tercapainya suatu tujuan. Banyak fakktor yang mempengaruhi seseorang untuk bersikap
istiqamah dalam menjalani hidup. Beberapa manfaat juga disebutkan saat seseorang memiliki
sifat istiqamah. Seperti halnya sifat lain dalam akhlak-tasawuf, istiqamah juga memili tujuan
untuk mencapai puncak ketenangan rohani/jiwa seseorang. Wara’, menghindari diri dari
perbuatan dosa atau menjauhi hal- hal yang tidak baik dan subhat. Sedangkan menurut para
sufi wara’ menghindari segala yang tidak jelas antara halal dan haram. Sifat ini juga memiliki
beberapa tingkatan yang mengukur seberapa besar seseorang dapat menghindari dosa atau
berbuat saleh. Dalam ilmu sufistik, wara’ sangat dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari, agar
kita mendapatkan keridhaan dari Allah Swt.
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Qadir Isa. 2016. Hakekat Tasawuf. Jakarta: Qisthi Press.

Mujieb, M. Abdul, Syafi’ah dan H. Ahmad Ismail M. (2009). Ensiklopedia Tasawuf Imam Al-
Ghazali. Jakarta: PT Mizan Publika
Qayyim, Ibnul. (2002). Zikir Cahaya Kehidupan. Jakarta: Gema Insani
Tebba, Sudirman. 2007. Hidup Bahagia Cara Sufi. Jakarta: Pustaka Irvan

Anda mungkin juga menyukai