Anda di halaman 1dari 16

BAB III

BENTUK-BENTUK PSIKOTERAPI ISLAM TERHADAP


PENDERITA SKIZOFRENIA AKSIS IV

A. Penyucian Diri (Tazkiyat al-Nafs)


Tazkiyat al-Nafs menurut bahasan artinya pembersihan jiwa,
penyucian diri.1 Menurut Sa'id Hawwa kata Tazkiyat al-Nafs secara harfiah
memiliki dua makna yaitu tathir dan al-namy atau al-islah. Tazkiyat al-nafs
dalam pengertian pertama berarti menumbuhkan dan memperbaiki jiwa
dengan sifat-sifat terpuji. 2 Dengan demikian, arti dari tazkiyat al-nafs tidak
saja terbatas pada pembersihan jiwa tentang yang meliputi pembinaan dan
pengembangan jiwa.
Kata yuzakkîhim dalam surat al-Jumuah ayat kedua, diartikan oleh
Imam as-Shobuny sebagai penyucian diri dari najis, kotoran, kekafiran dan
dosa.3 Sedangkan Fakruddin ar-Razy mengartikan sebagai menjadikan mereka
orang yang shalih serta mengajak mereka untuk mengikuti apa-apa yang
mereka dengannya akan menjadi suci dan bertakwa. 4
Yang dimaksud dengan penyucian diri adalah suatu upaya untuk
menghilangkan atau melenyapkan segala kotoran dan najis yang terdapat
dalam diri seseorang secara psikologis dan rohaniyah. Obyek yang disucikn
adalah bekasan pengingkaran dan kedurhakaan yang melekat pada jiwa, qalb,
akal, fikiran, inderawi dan fisik, sehingga "cahaya ketuhanan" tidak dapat
memancarkan sinarnya atau cahaya itu kembali ke hadirat Allah SWT., karena
tempat itu berlabuh telah penuh sesak dengan noda-noda hitam, beraroma
tidak sedap dan sangat kotor. Kotoran dan najis inilah yang membuat
eksistensi fitrah seorang manusia terbelenggu di dalamnya, sehingga jiwa,

1
A. F. Jaelani, Penyucian Jiwa dan Kesehatan Mental, Amzah, Jakarta, 2001, hlm. 43
2
Sa'id Hawwa, al-Mustakhlash fi Tazkiyat al-Anfus, Dar al-Salam, Mesir, 1984, hlm. 5
3
Imam Nawawi, al-Adzkar, Terj. M. Tarsi Alwi, PT. Al-Ma'arif, Bandung, 1984, hlm.
322
4
Muh. Ali as-Sabuniy, Shofwat al-Tafâsir, Jilid IV, Dar al-Fikr, Beirut, Libanon, t.t.,
hlm. 378
31

qalb, akan fikiran, inderawi dan fisik menjadi sakit dan tidak dapat
menjalankan fungsi-fungsi fitrahnya yang hakiki. 5
Dalam latihan kejiwaan al-Ghazali mengartikan tazkiyat sebagai
ilmu penyakit jiwa dan sebab-sebabnya, ilmu pengobatan serta pembinaan
jiwa. Pengertian ini dapat dipahami dalam menafsirkan ayat al-Qur'an surat al-
Syams ayat 9 – 10 :

(10 - 9 : ‫ﻗﺪ أﻓﻠﺢ ﻣﻦ زآﻬﺎ وﻗﺪ ﺧﺎب ﻣﻦ د ﺳﻬﺎ )اﻟﺸﻤﺲ‬


Artinya : "Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwanya dan
merugilah orang yang mengotorinya". (QS. Al-Syams : 9 – 10)

Arti tazkiyat dalam ayat tersebut adalah orang yang melakukan


pengobatan terhadap penyakit jiwanya dan memperbaiki dirinya setelah lebih
dulu mengetahui penyakit dan sebab-sebabnya. Sebaliknya arti dari tazkiyat
adalah orang yang membiarkan dirinya sakit dan merana, serta tidak mau
mengobati dan memperbaiki dirinya. 6
Al-Ghazali menjelaskan obat penyakit jiwa dan cara perbaikannya
yaitu dengan obat dan cara yang ditempuh ilmu syari'at (agama) di samping
obat dan cara yang ditempuh ilmu akal. Akan tetapi pada dasarnya ilmu akal
itu hanya berfungsi sebagai makanan bagi jiwa, sedangkan fungsi obat yang
sebenarnya bagi jiwa hanmya ada pada ilmu syariat. Diantara bentuk
pengobatan dari ilmu syariat adalah ibadah dan akhlak yang disusun oleh para
Nabi Allah untuk pengobatan dan perbaikan jiwa. 7
Penyakit ini adalah penyakit yang tidak tampak kotoran dan
najisnya, tetapi hanya tampak pada penampilan dan perilaku. Penyakit ini
adalah puncaknya penyakit kejiwaan, yaitu penyakit yang diakibatkan karena
sikap musyrik, munafik, kafir, fasik dan zalim kepada Allah SWT. dan
terapinya sangatlah berat karena ada kaitannya dengan qudrat dan iradat
Allah.

5
M. Hamdani Bakran adz-Dzaky, Konseling dan Psikoterapi Islam, Fajar Pustaka,
Yogyakarta, 2002, hlm. 433
6
A.F. Jaelani, op. cit., hlm. 38
7
Ibid.
32

Nafs yang dipandang mampu melakukan penyucian, adalah nafs


yang memiliki sifat-sifat hewani dan bernama al-nafs al-ammarah atas jiwa
yang selalu menyuruh pada kejahatan. Nafs ini biasanya mempunyai
kecenderungan pada kejahatan serta menyuruh kita berbuat jahat. Apabila
jiwa ini disucikan dan mulai menjauhi kejahatan, maka ia mulai mencoba (dan
dengan demikian memperbaiki) dirinya sendiri. Kemudian ia disebut an-nafs
al-lawwamah atau jiwa yang mencela.
Manakala jiwa ini benar-benar sudah disucikan dan mencapai
kebahagiaan atau cinta Allah, maka iapun mengembangkan fakultas dan
kemampuannya untuk membuat baik dan benar, dan bukan lagi menjadi
smber kejahatan. Ia kemudian akan melakukan apa yang diperintahkan oleh
Allah dan nafs ini kemudian menjadi sumber yang darinya mengalir sumua
kebaikan dan pikiran baik. 8
Sesungguhnya tazkiyat al-nafs adalah metode agama dalam
pembinaan jiwa dan pendidikan akhlak manusia karena pokok-pokok
ajarannya berdasarkan atas al-Qur'an dan hadis. Sesungguhpun demikian,
metode ini adalah juga metode tasawuf dalam pembinaan jiwa dan pendidikan
akhlak. Tazkiyat sebagai metode Allah bagi manusia diletakkan atas dasar
kodrat, kemampuan naluri, fitrah dan kenyataan historisnya. Maksudnya
adalah pelaksanaan dan keberhasilan metode ini menekankan usaha manusia
itu sendiri di dalam mengembangkan potensi juta yang di dalamnya. Tanpa
usaha atau mujahadah dari orang tersebut metode ini akan sulit terwujud dan
mencapai keberhasilan. Alasan diletakkannya metode tazkiyat dengan melihat
usaha manusia itu sendiri dan dalam batas kemampuan manusia untuk
meraihnya dalah menjadikan hidayah sebagai buah dari usaha, dan perlunya
jihad bagi manusia untuk mendapatkan hidayah Allah agar manusia tidak
pasif dalam hidupnya karena hakikatnya dari hidup itu adalah usaha/jihad,
agar fitrah manusia tetap berfungsi, tidak menjadi lemah dan hilang. Dan agar

8
Mir Valiuddin, Zikir dan Konemplasi dalam Tasawuf, Pustaka Hidayah, Bandung,
2000, hlm. 46
33

manusia mampu bersabar dalam menghadapi cobaan dan mencegah


kebinasaan bagi dirinya sendiri dan orang lain dalam hidupnya. 9
Adapun tindakan teapi dengan penyucian jiwa dan rohaninya dari
bekasan-bekasan kedurhakaan (maksiat) dan pengingkaran terhadap Allah dan
rasul-Nya ialah dengan memberikan bimbingan kepada pemahaman dan
pengamalan tentang :
1. Ilmu Tauhid
Yaitu suatu ilmu yang membahas tentang kemahaesaan Allah, baik
keesaan pada perbuatan-perbuatan-Nya, nama-nama-Nya, sifat-sifat-Nya
dan Dzat-Nya.10 Jiwa dan rahasia kalimah ini adalah meng-Esakan Allah
yang Maha Tinggi puji-Nya, yang Maha Suci dan Maha Berkah Asma-
Nya.11 Mengesakan perbuatan-perbuatan Allah ialah menyakini dan
mempercayai dengan sebenar-benarnya bahwa tidak ada sesuatu apapun
atau seorangpun dari makhluknya yang dapat berbuat melainkan semata-
mata karena izin, qutrat dan iradat-Nya.
Dengan bertauhid yang benar terhadap perbuatan-perbuatan Allah,
seseorang akan terhindar dari sikap pemarah, pendendam, pendengki,
putus asa dan berprasangka buruk kepada Allah dan makhluk-Nya. Karena
pada hakikatnya karena kehendak Allah dan di balik peristiwa dan suatu
kejadian apakah baik atau buruk, bahagia atau sedih, menyenangkan atau
menyedihkan, pasti mengandung hikmah dan rahmat bagi siapa saja yang
telah bertauhid kepada perbuatan dan kebijaksanaan-Nya. Dan mereka
akan selalu berada dalam kesenangan meskipun hidupnya susah dan
dunianya miskin. Seorang hamba yang telah sukses bertauhid pada Dzat
Allah maka ia akan terlepas dari pengaruh negatif unsur-unsur alam dan
makhluk, karena ia telah terangkat di dalam hakikat ruang dan waktunya.
Dan pada saat itulah seorang hamba akan merasakan terlepas dari
belenggu-belenggu materi dan keduniaan.

9
Ibid., hlm. 69 - 70
10
M. Hamdani Bakran adz-Dzaky, op. cit., hlm. 434
11
Ibnu Qayyim, Terapi Penyakit dengan al-Qur'an dan Sunnah, Pustaka Amani, Jakarta,
1999, hlm. 461
34

I'tikad tauhidiyah ini harus terimplementasi pada aplikasi ibadah, yang


mana ibadah itu akan meningkatkan kualitas dan kuantitas ketauhidan
secara konkrit dalam diri dan di luar diri, di dalam teori dan empirik, di
dalam i'tikad dan kenyataan yang sebenarnya dan dapat disaksikan dengan
indrawi bahwa di sinilah hadirnya keyakinan yang sempurna (kamalul
yaqin) dalam diri seseorang yang sekaligus menjadi penyucian jiwa dan
rohaniyah. 12
2. Melakukan Petobatan
Secara bahasa, taubat artinya "kembali". Daam hal ini kembali ke jalan
yang benar yang diridloi Allah.13 Secara istilah taubat adalah
menghentikan perbuatan dosanya dan menyesal serta mempunyai tekad
yang bulat untuk tidak mengulanginya lagi untuk selama-lamanya.
Sebelum pertaubatan dilakukan oleh penderita, hendaknya terlebih dulu
dibiarkan suatu pemahaman yang jelas tentang esensi pertaubatan yakni
mengembalikan seseorang kepada keadaan fitrah, menggiring dan
mengantarkan rohaninya untuk tunduk dan bersimpuh di hadapan
Rabbnya. Dijelaskan pula fungsi dari pertaubatan yakni ia merupakan
media melakukan "Takhalli", yaitu upaya melepaskan, mengosongkan,
membersihkan dan menyucikan diri dari kotoran dan karat yang bernajis
sebagai akibat dari terlalu banyaknya melaukan perbuatan maksiat dan
pengingkaran terhadap Allah. Yang akan dicintai Allah dan mendapat
keberuntungan dan selalu mendapat hidayah dari Allah SWT. 14
Di samping itu perlu dijelaskan tentang perlunya dipenuhi suatu
persyratan dalam perbuatan, yang mana tanpa itu pertaubatan tidak berarti
apa-apa dan bahkan sia-sia belaka. Jika kita memahami arti keterkabulan,
maka kita tidak akan meragukan bahwa setiap tobat yang benar pasti

12
M. Hamdani Bakran adz-Dzaky, op. cit., hlm. 435 - 436
13
Maimunah Hasan, Al-Qur'an dan Pengobatan Jiwa, Bintang Cemerlang, Yogyakarta,
2001, hlm. 61
14
Maimunah Hasan, op. cit., hlm. 43
35

diterima, maka orang-orang yang melihat dengan cahaya hati dapat


melihat cahaya-cahaya al-Qur'an. 15
Dalam hal ini para ahli ushul di kalangan ahli Sunnah mengatakan bahwa
ada 3 syarat yang harus dipenuhi agar pertobatan itu sah, yakni16 : 1)
Menyesali pelanggaran yang telah dilakukan, 2) Meninggalkan secara
langsung penyelewengan, 3) Dengan mantap seseorag memutuskan tidak
kembali pada kemaksiatan yang sama. Jika salah satu dari ketiga syarat
tersebut kurang, maka taubatnya tidak sah. Menurut Said Hawwa, syarat
sahnya taubat adalah yang berkaitan dengan masa lampau adalah
membawa pikirannya kembali ke hari pertama, ketika mencapai usia
baligh dan memeriksa apa yang telah dilakukannya, lalu memperhatikan
berbagai kekurangannya dalam ketaatan dan berbagai maksiat yang telah
dilakukannya. 17 Ayat al-Qur'an yang menerangkan wajibnya bertaubat :

(31 : ‫وﺗﻮﺑﻮا اﻟﻰ اﷲ ﺟﻤﻴﻌﺎ أﻳﻪ اﻟﻤﺆﻣﻨﻮن ﻟﻌﻠﻜﻢ ﺗﻔﻠﺤﻮن )اﻟﻨﻮر‬


Artinya : "Taubatlah kamu semua kepada Allah, hai orang-orang mukmin,
supaya kamu beruntung". (QS. An-Nur : 31)

Ustadz Abu Daqqaq menyatakan bahwa pertaubatan itu dibagi kepada tiga
tahap18, yaitu :
a. Tahap awal disebut taubat, yaitu pertaubatan yang dilakukan karena
merasa takut terhadap siksa atau hukuman.
b. Tahap pertengahan disebut kembali, yaitu pertaubatan yang dilakukan
karena menghilangkan pahala Ilahi.
c. Tahap ketiga disebut awbah, yaitu pertaubatan yang dilakukan karena
mentaati peraturan Ilahi, bukan karena ingin mendapatkan pahala atau
takut terhadap hukuman.

15
Al-Ghazali, Muhtashar Ihya' Ulumuddin, Mizan, Bandung, 1996, hlm. 312
16
Imam al-Qusyairy al-Naisabury, Risalah al-Qusyairiyah, terj. M. Lukaman Hakim,
Risalah Gusti, Surabaya, 1997, hlm. 79
17
Sa'id Hawwa, Mensucikan Jiwa Konsep Tazkiyat al-Nafs (Terpadu Intisari Ihya'
Ulumuddin al-Ghazali), Robbani Press, Jakarta, 2003, hlm. 403
18
Ibid., hlm. 82
36

Proses bimbingan pertaubatan ini harus berjalan di atas prinsip-prinsip


yang sangat utama dan tanpa itu pertaubatan tidak akan tercapai. Prinsip-
prinsip yang dimaksud adalah :
a. Niat, yaitu semata-mata pertaubatan dilakukan untuk mengharapkan
ridha, cinta dan perjumpaan dengan-Nya.
b. I'tikad, yaitu adanya prasangka dan keyakinan yang baik terhadap
Allah, bahwa Dia pasti akan menerima pertaubatan hamba-Nya.
c. Maksud dan tujuan, yaitu pertaubatan dilakukan dalam rangka
melepaskan diri dari gangguan syaitan, jin dan iblis, serta
melenyapkan kotoran dan najis yang melekat dalam diri, hati, akal
fikiran, jiwa, inderawi dan jasad.
d. Ber'azam, yaitu mengokohkan diri sekuat tenaga dan pendirian, bahwa
ia tidak akan pernah lagi mengulang suatu perbuatan apapun yang
dapat mengotori jiwa dan rohaninya.
e. 'Uzlah, yaitu mengasingkan diri untuk sementara waktu dari
keramaian manusia dan dunia dengan maksud agar proses pertaubatan
itu tidak akan terganggu dan agar berhasil dengan baik.
f. Khalwat, yaitu menyepi diri dalam suatu tempat untuk menghadirkan
rasa keberadaan Allah dalam kehidupan dirinya.
g. Adab, yaitu sikap sopan santun di hadapan Allah dalam melakukan
pertobatan.
h. Dalam bimbingan dan pengawasan seorang ahli, karena dikhawatirkan
akan dapat membahayakan proses pertobatan itu.
i. Evaluasi, obyek evaluasinya adalah kualitas dari hal pertaubatan itu.
Indikasi keberhasilan adalah kualitas dari hasil pertaubatan itu, rasa
ketenangan dan kedamaian dalam jiwa, hati merasa terasa lembut dan
lembut, sehingga sangat mudah tersentuh dan menangis.
Para ahli jiwa mengakui bahwa taubat merupakan sarana pengobatan
gangguan kejiwaan yang jitu, karena mereka merasa tertekan karena
37

adanya perasaan dosa ang sudah sedemikian parah sehingga tidak akan
terampuni. 19
Terapi Islam terhadap gangguan kejiwan dengan penyucian diri, ialah
terapi dengan penanaman nilai-nilai tauhidiyah ke dalam diri seseorang
dan pertaubatan secara aplikasi langsung dengan berpegang teguh pada
syarat dan prinsip-prinsipnya. Dengan harapan agar gangguan itu akan
pergi dari dalam dirinya. Dan ia akan terlahir sebagai seorang insan yang
baru dengan segenap potensi dan kecerdasan yang suci, terlindung dan
terbimbing oleh qudrat dan iradat-Nya. 20

B. Pendekatan Diri kepada Allah SWT


1. Shalat
obat-obatan memang bukanlah jalan satu-satunya untuk
menyembuhkan suatu penyakit, meskipun demikian, bukan berarti kita
meremehkan peranan obat-obatan tersebut. Akan tetapi kesembuhan suatu
penyakit seringkali malah ditentukan oleh faktor dari dalam diri pasien itu
sendiri.
Memang usaha untuk mencegah terjadinya penyakit kejiwaan
tidak selamanya berhasil. Memang bagi mereka yang tidak memahami
semua itu, hidup mereka akan selalu dilanda kegelisahan dan kecemasan
yang berlarut-larut padahal bila mereka memahami apa yang menimpa
pada diri mereka merupakan suatu batu ujian yang akan mengantar dirinya
mampu meraih kedudukan mulia, insya-Allah hati mereka bisa kembali
tenang dan gembira. Adapun untuk memperoleh ketenangan jiwa atau
kegelisahan tersebut salah satu caranya adalah dengan mendirikan
shalat.21

19
M. Afif Anshori, Dzikir demi Kedamaian Jiwa (Solusi Tasawuf atas Problema
Manusia Modern), Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2003, hlm. 108
20
M. Hamdani Bakran adz-Dzaky, op. cit., hlm. 443 - 444
21
Imam Musbikin, Rahasia Shalat bagi Penyembuhan Fisik dan Psikis, Mitra Pustaka,
Yogyakarta, 2003, hlm. 97 - 99
38

Menurut al-Qur'an al-Karim, shalat adalah satu-satunya cara


untuk membersihkan jiwa dan raga manusia. Shalat adalah merupakan
salah satu ibadah yang menuntut gerakan fisik. Di dalam shalat ada 3
aspek yaitu fikiran, perkataan dan tindakan. Melaksanakan shalat tepat
waktu dan ikhlas dapat menumbuhkan kedisiplinan. Sebelum melakukan
shalat, terlebih darhulu harus dibersihkan dari kotoran jasmani dan dapat
mengkonsentrasikan pikiran pada Allah, selain itu, dalam gerakan shalat
juga dapat membantu menyehatkan tubuh (fisik), karena sama dengan
senam, 22 sehingga dapat mencegah dan dapat sebagai penyembuh.
Shalat bukan hanya sebuah kewajiban yang harus dikerjakan dan
dipatuhi oleh setiap muslim, tapi juga perlu dilakukan secara sungguh-
sungguh sehingga mereka bisa merasakan manfaat positif dari shalat. 23
Prof. Dr. H.A. Saboe dalam bukunya "Hikmah Kesehatan dalam
Shalat", mengatakan bahwa hikmah yang diperoleh dari gerakan-gerakan
shalat tidak sedikit artinya bagi kesehatan jasmaniah dan sengan
sendirinya akan membawa efek pula pada kesehatan rohaniah atau
kesehatan mental jiwa seseorang. Ditinjau dari ilmu kesehatan, setiap
gerakan, sikap, serta setiap perubahan dalam gerak dan sikap tubuh apda
waktu melaksanakan shalat adalah yang paling semurna dalam
memelihara kondisi kesehatan tubuh. 24
Shalat sering dipandang hanya dalam bentuk formal ritual, mulai
dari takbir, ruku', sujud dan salam, sebuah gerakan-gerakan fisik yang
terkait erat dengan tatanan fiqh. Padahal bila kita mau merenung sejenak,
di dalamnya terdapat simbol yang tidak sedikit. Banyak simbol hikmah
yang dapat diambil dari postur, irama dan gerak ritmik tubuh ketika kita
shalat. Mulai dari berdiri, mengucapkan takbir, ruku', menunduk, sujud

22
Syaikh Hakim Mu'inuddin Chysti, Penyembuhan Cara Sufi, Terj. Burhan Wirasubrata,
Lentera, Jakarta, 1999, hlm. 190
23
Imam Musbikin, op. cit., hlm. 133
24
A. Saboe, Hikmah Kesehatan dalam Shalat, PT. Al-Ma'arif, Bandung, 1987, hlm. 26
39

hingga terakhir salam, semuanya menjadi simbol dari siklus kehidupan


yakni daur kehidupan yang dinamis. 25
Manusia tidak selamanya muda, bergaya dan berdiri kuat, karena
itu sesat lagi kita harus ruku', sehingga simbol adanya saat manusia mulai
rapuh, umur setengah baya, tidak lama kemudian kitapun harus bersujud.
Hal ini pertanda manusia memasuki masa manula, tua renta, simbol
kelemahan, penghujung perjalanan kehidupan dan akhirnya mau tidak
mau manusia harus mengakhiri perjalanan pendek kehidupannya dengan
mengucapkan salam, seakan-akan melambangkan akhir kehidupan itu
sendiri. Shalat haruslah ditutup dengan salam, seakan-akan memberikan
isyarat bahwa hidup ii haruslah berakhir dengan hati yang damai (qalbun
salim). Hati yang saling adalah hati yang merdeka, tidak lagi terpinjam
oleh urusan duniawi. 26
2. Dzikir
Secara etimologi, perkataan dzikir berakar kata dzakara yang
artinya mengingat, memperhatikan, mengenang, mengambil pelajaran,
mengenal atau ingatan27 atau peringatan, nyanyian-nyanyian peringatan
atau lagu-lagu cinta kepada yang kuasa. 28 Dengan mengulang-ulang salah
satu namanya atau kalimat keagungan-Nya, metode paling efektif untuk
membersihkan hati dan mencapai kehadiran Ilahi. 29
Sedangkan menurut istilah adalah membasahi lidah atau
mengingat akan Tuhan dengan hati dan ucapan-ucapan atau ingatan yang
mempersucikan Tuhan selanjutnya dengan puji-pujian dan sanjungan-
sanjungan dengan sifat-sifat Tuhan yang sempurna, sifat-sifat yang
menunjukan kebesaran dan kemurnian-Nya.30 Dengan mengulang-ulang

25
Imam Musbikin, op. cit., hlm. 104
26
Ibid., hlm. 104 - 105
27
M. Afif Anshori MA., op. cit., hlm. 16
28
R.N.L O'oriordan, Seni Penyembuhan Sufi (Jalan lain Meraih Kesehatan Fisik,
Mental dan Spiritual), terj. Mariana Aristyowati, PT. Serambi Ilmu Semesta, Jakarta, 2002, hlm.
22
29
Aboe Bakar Atjeh., PengantarIlmu Tarikat, Ramadhani, Jakarta, 1965, hlm. 78
30
R.N.L. O'oriordan, Seni Penyembuhan Alami (Rahasia Penyembuhan melalui Energi
Ilahii), terj. Sulaiman al-Kumayi, PT. Prasindo Bunga Mas Nagari, Jakarta, 2002, hlm. 112
40

fase tunggal seperti la Ilaha illa Allah (tidak ada Tuhan selain Allah) fase-
fase ini diulang terus menerus. 31
Dzikir yang hakiki inilah, sebuah keadaan spiritual di mana
seseorang mengingat Allah (dzikir) memusatkan segenap kekuatan fisik
dan spiritualnya kepada Allah.32 Sehingga dalam tubuh merasakan
kekuatan dalam iman kepada Allah, karena kemungkinan keadaan
berbagai pengaruh datang. Maka tubuh tidak bisa lepas dari was-was yang
selalu menghimpit, dengan berdzikir di dalam hati, akan terasa tenang.
Pada sufi melakukan dzikir kepada Allah untuk menghilangkan rentangan
jiwa dan membersihkan dari perilaku atau akhlak buruk dan sifat-sifat
tidak baik, serta menghiasinya dengan dzikir. 33
Kata dzikir itu adalah berasal dari al-Qur'an yang disebutkan
lebih dari seratus kali.34 Dalam al-Qur'an menjelaskan dzikir berarti
membangkitkan daya ingat kepada Allah dan memenangkan hati, dengan
berdzikir berarti pula ingat akan hukum-hukum Allah. "Sesungguhnya
Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi
kaum kerabat dan Allah melarang berbuat keji, kemungkaran dan
permusuhan. Dan memberi pengajaran kepada kamu agar kamu dzikir
dalam al-Qur'an". (An-Nahl/16 : 90) 35
Menurut Dr. Asep Usman Ismail, dzikir dapat dilakukan dengan
dua cara, dengan cara lisan dan kalbu. Dalam dzikir lisan adalah dzikir
mengucapkan lafal-lafal dzikir tertentu, baik dengan suara keras maupun
dengan suara yang hanya dapat didengar oleh yang berdzikir itu sendiri.
Adapun lafal dalam dzikir lisan disebutkan dalam hadits Nabi SAW
adalah sebagai berikut :

31
Sudirman Tebba, Meditasi Sufistik, Pustaka Hidayah, Bandung, 2004, hlm. 77
32
Ahmad Tafsir, Kamus Tasawuf, t.p., 2002, hlm. 36
33
Zaenal Arifin Djamais, Menyempurnakan Shalat (Dengan Menyempurnakan Kaifat
dan Menggali Latar Filosofisnya), PT. Raja Grafinso Persada, Jakarta, 1996, hlm. 101
34
M. Amin Syukur dan Fatimah Usman, Insan Kamil Kontemporer (Paket Pelatihan Seni
Menata Hati/SMHI), CV. Bima Sejati, Semarang, 2004, hlm. 59
35
Aboe Bakar Atjeh, Miftahur Sudur (Kunci Membuka Dada), Miftahus Sudur,
Surabaya, 1970, hlm. 17
41

1) Tahmid, yaitu mengucapkan alhamdulillah (segala puji kepunyaan


Allah)
2) Tasbih, yaitu mengucapkan subhanallah (Maha Suci Allah)
3) Takbir, yaitu mengucapkan Allahu Akbar (Allah Maha Besar)
4) Tahlil, yaitu mengucapkan la Ilaha illa Allah (Tiada Tuhan selain
Allah)
5) Istighfar, yaitu mengucapkan Astaghfirullah (aku memohon ampun
kepada Allah)
6) Basmalah, yaitu mengucapkan bismillahirrahmanirrahim (dengan
meyebut nama Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang)
7) Hawqalah, yaitu mengucapkan la hawla walaa quwwata illa billah
(tiada daya dan tiada kekuatan kecuali daya dan kekuatan dari Allah)
8) Lafal dzikir berupa ayat-ayat al-Qur'an baik keseluruhan maupun
sebagainya, satu surat maupun berupa ayat tertentu. 36
Dengan niat untuk mendekatkan diri kepada Allah, dilakukan
dengan berwudlu, dzikir dilakukan pada tempat dan suasana yang
menunjukkan kehusukan dan dengan mengosongkan hati dan ingatan dari
segala sesuatu selain Allah, serta dzikir itu bisa dijadikan sebagai wirid
harian.
Cara yang kedua, dengan cara kalbu adalah dzikir tersembunyi,
di dalam hati tanpa suara dan kata-kata. Dzikir ini hanya memenuhi kalbu
dengan kesadaran yang sangat dekat dengan Allah. Seirama dengan detak
jantung serta mengikuti keluar masuknya nafas. 37 Dzikir qalb (mengingat
Allah dengan hati ketika merenungkan keindahan dan keagungan Allah
38
dalam relung hati). Dalam dzikir kalbu, mempunyai efek-efek sendiri
yang mencerahkan, dapat menjadi kerinduan kepada Allah, membina
kecintaan kepada Allah dalam hati, melahirkan perenungan.
Banyak perbedaan posisi atau cara berdzikir, tetapi nilai inti dari
berdzikir itu sama menuju kepada Tuhan. Dalam ilmu kedokteran yang
36
Qomaruddin S.F., Dzikir Sufi, PT. Serambi Ilmu Semesta, Jakarta, 2000, hlm. 173
37
Ibid., hlm. 176
38
Sudirman Tebba, op. cit., hlm. 82
42

berkembang saat ini diterangkan bahwa tubuh kita mempunyai kejiwaan


(psikis), saraf (neuron) dan psikoneuron endoktrinologi, ketiganya
terdapat hubungan yang sangat erat. Di dalam tubuh manusia terdapat
syaraf yang mengendalikan hormon, yang bergantung dengan kondisi
kejiwaan, aabila kondisi kejiwan atau psikis kita baik, maka syaraf kita
akan baik, atau bahkan sebaliknya dan akan berpengaruh pada hormon,
yang pada akhirnya tubuh terjangkit penyakit, ketiga aspek itu harus
seimbang dan dalam keadaan sehat.
Kondisi psikis kita yang sehat dalam jaringan psikoneur
endokkrin dapat mengendalikan kekebalan tubuh meningkat manakala
faktor psikis dalam jaringan tersebut semakin meningkat. Pada akhirnya
penurunan kekebalan tubuh akan memudahkan penyakit fisik kita untuk
pengembangannya agat tubuh tetap sehat, maka kita akan memberi
motivasi pada diri kita sendiri untuk selalu menumbuhkan ketenangan,
rasa sabar dan semangat yang tinggi serta kita selalu mendekatkan diri
pada Allah melalui ajaran-ajaran Islam, yang paling utama adalah
melakukan dzikir setiap hari.39 Ketika kita menyembunyikan kalimat la
Ilaha illa Allah baik itu dengan diam maupun dengan suara keras yang
akan berpengaruh pada pribadi kita secara psikis dan hati kitapun akan
bersih seperti beningnya air.
Kalau terus menerus melakukan praktek dzikir akan menaruh
perhatian pada proses berfikir tak ada ujung pangkalnya yang harus
berlangsung dengan memusatkan perhatian pada satu titik dan
berkonsentrasi, yang akan bergema dalam hati. Hati merupakan wahana
kesadaran dan memiliki lapisan-lapisan bila dilakukan terus menerus,
dzikir akan masuk menembus lapisan-lapisannya hati dan hati akan
40
menjadi bersih cemerlang, yang akan membawa pada sifat-sifat yang
dikehendaki Allah, serta dapat terhindar dari penyakit psikis.

39
M. Amin Syukur, "Dzikir dan Kesehatan" Makalah Seminar Sufi Healing dan Prana,
IAIN Walisongo Semarang, 2002, hlm. 2
40
Sudirman Tebba, op. cit., hlm. 78
43

Berdzikir juga dapat menyehatkan fisik, ketika melantunkan


kalimat la Ilaha illa Allah bisa menimbulkan energi panas yang
dikeluarkan dari Allah, karena itu tubuh akan mengeluarkan sinar aura, 41
dari sinar aura itulah kotoran atau penyakit pada tubuh kita akan hilang
dengan berlahan-lahan, metode berdzikir dapat membantu penyembuhan
fisik dan psikis, pada kehidupan sehari-hari tubuh perlu dijaga dari
problem yang akan membelenggu, sehingga kesehatan fisik dan psikis
harus selalu seimbang.
3. Do'a
Do'a adalah obat yang paling efektif. Dia adalah musuh abadi
bagi semua penyakit karena ia mampu membentengi, mengobati dan
menolak atau meringankan bila penyakit datang menyerang.
Do'a adalah bagian dari cara-cara yang sudah lazim bagi seorang
mukmin untuk ia lakukan dikala dalam keadaan dicoba, dalam kecemasan
dan kekhawatiran, khususnya dalam kondisi sakit parah. berdasarkan
kenyataan yang ada bahwa setidak-tidaknya penyakit yang menimpa
manusia itu bisa hilang karena do'anya benar, adanya kenyamanan dan
ketenangan. Bila semua itu tidak ada pilihan lain baginya kecuali hanya
menghadap pada kekuatan yang terbesar dan tertinggi, dengan harapan
kekuatan itu dapat menolongnya dan memberinya ketegasan, keridlaan
dan kesabaran. Tidak ada suatu kekatan apapun yang dapat membuka
harpaan-harapan baru dan yang menolongnya dari apa yang menimpanya
kecuali hanya kekuatan Allah. Satu-satunya cara untuk menghadap
kepada-Nya adalah berdo'a. seorang mukmin tidaklah memiliki senjata
kecuali do'a yang sesuai dengan yang diperintahkan Allah kepada kita. 42
Di era sekarang ini, para dokter jiwa bersepakat bahwa
pengobatan syarat yang tegang dan jiwa yang gelisah haruslah dilakukan
secara terang-terangan bukan secara tertutup. Mereka juga mengatakan,

41
M. Amin Syukur, Tasawuf Kontekstual (Solusi Problem Manusia Modern), Pustaka
Pelajar, Yogyakarta, 2003, hlm. 258
42
Ibrahim Muhammad Hasan al-Jamal, Penyembuhan dengan Dzikir dan Do'a, CV.
Cendekia Sentra Muslim, Jakarta, 2003, hlm. 26 - 27
44

kalau kita melihat do'a secara medis dan dampak positifnya terhadap jiwa,
maka kita akan mengetahui bahwa do'a sesungguhnya berfungsi untuk
mempersiapkan seorang mukmin yang selalu bisa merasakan kehadiran
Allah di hadapannya.43 Bila itu diucapkan dan dipanjatkan dengan
sungguh-sungguh maka pengaruhnya sangat jelas bagi perubahan jiwa
maupun badannya. 44
Menurut Robert H. Thouless, do'a sebagai teknik penyembuhan
gangguan mental (jiwa), dapat dilakukan dalam berbagai kondisi yang
terbukti membantu efektifitasnya dalam merubah mental seseorang. 45 Dia
juga akan dapat merasakan beta berharganya suatu kenikmatan ketika dia
sudah tidak mampu lagi merasakan kenikmatan yang ada di dunia ini.
Kesemuanya itu akan dapat memicu meningginya kekuatan nilai-nilai
spiritualnya, memperkuat motivasinya dan menjadikan sebab segala jenis
penyakit jiwa dan syaraf tidak mau menghinggapinya.
Sungguh ucapan adalah modal dasar pengobatan modern untuk
menguatkan nilai-nilai mental pengidap penyakit kejiwaan, sedangkan
do'a adalah sarana terpenting untuk itu. Hal itu disebabkan karena do'a
mampu memberikan ilham kepada jiwanya dan karenanya pendo'a bisa
memperoleh makanan sekaligus obat bagi roh dan jiwanya. Selain itu, do'a
juga sebagai penguat dan pengokoh motivasinya yang positif, sehingga dia
dapat menjadikan roh dan jiwa mampu mengalihkan segala apa yang
menimbulkan dampak negatif terhadapnya. Pada gilirannya nanti roh dan
jiwanya tersebut tidak bisa ditembus oleh sifat lemah (mudah patah
semangat). 46
Do'a adalah obat mujarab yang mampu menghilangkan
kerisauan jiwa yang bisa berbuntut dengan timbulnya penyakit jiwa yang
risau dan enggan menghadap Rabbnya saat dirundung masalah maka ia

43
Ibid., hlm. 28
44
Aulia, Agama dan Kesehatan Badan/Jiwa, Bulan Bintang, Jakarta, 1979, hlm. 164
45
Robert H. Thoules, Pengantar Psikologi Agama, terj. Machnun Husein, Rajawali
Press, Jakarta, 1992, hlm. 164
46
Ibrahim Muhammad Hasan al-Jamal, op. cit., hlm. 29
45

akan selalu diliputi oleh rasa khawatir dan takur, munculnya pengalaman-
pengalaman kejiwan yang simpang siur dan kemungkinan timbulnya sok
dan traumatis yang berbuntut dengan jatuhnya korban akibat menderita
penyakit syaraf, lambung, tekanan darah tinggi dan sebagainya. 47

47
Ibid.

Anda mungkin juga menyukai