1
A. F. Jaelani, Penyucian Jiwa dan Kesehatan Mental, Amzah, Jakarta, 2001, hlm. 43
2
Sa'id Hawwa, al-Mustakhlash fi Tazkiyat al-Anfus, Dar al-Salam, Mesir, 1984, hlm. 5
3
Imam Nawawi, al-Adzkar, Terj. M. Tarsi Alwi, PT. Al-Ma'arif, Bandung, 1984, hlm.
322
4
Muh. Ali as-Sabuniy, Shofwat al-Tafâsir, Jilid IV, Dar al-Fikr, Beirut, Libanon, t.t.,
hlm. 378
31
qalb, akan fikiran, inderawi dan fisik menjadi sakit dan tidak dapat
menjalankan fungsi-fungsi fitrahnya yang hakiki. 5
Dalam latihan kejiwaan al-Ghazali mengartikan tazkiyat sebagai
ilmu penyakit jiwa dan sebab-sebabnya, ilmu pengobatan serta pembinaan
jiwa. Pengertian ini dapat dipahami dalam menafsirkan ayat al-Qur'an surat al-
Syams ayat 9 – 10 :
5
M. Hamdani Bakran adz-Dzaky, Konseling dan Psikoterapi Islam, Fajar Pustaka,
Yogyakarta, 2002, hlm. 433
6
A.F. Jaelani, op. cit., hlm. 38
7
Ibid.
32
8
Mir Valiuddin, Zikir dan Konemplasi dalam Tasawuf, Pustaka Hidayah, Bandung,
2000, hlm. 46
33
9
Ibid., hlm. 69 - 70
10
M. Hamdani Bakran adz-Dzaky, op. cit., hlm. 434
11
Ibnu Qayyim, Terapi Penyakit dengan al-Qur'an dan Sunnah, Pustaka Amani, Jakarta,
1999, hlm. 461
34
12
M. Hamdani Bakran adz-Dzaky, op. cit., hlm. 435 - 436
13
Maimunah Hasan, Al-Qur'an dan Pengobatan Jiwa, Bintang Cemerlang, Yogyakarta,
2001, hlm. 61
14
Maimunah Hasan, op. cit., hlm. 43
35
Ustadz Abu Daqqaq menyatakan bahwa pertaubatan itu dibagi kepada tiga
tahap18, yaitu :
a. Tahap awal disebut taubat, yaitu pertaubatan yang dilakukan karena
merasa takut terhadap siksa atau hukuman.
b. Tahap pertengahan disebut kembali, yaitu pertaubatan yang dilakukan
karena menghilangkan pahala Ilahi.
c. Tahap ketiga disebut awbah, yaitu pertaubatan yang dilakukan karena
mentaati peraturan Ilahi, bukan karena ingin mendapatkan pahala atau
takut terhadap hukuman.
15
Al-Ghazali, Muhtashar Ihya' Ulumuddin, Mizan, Bandung, 1996, hlm. 312
16
Imam al-Qusyairy al-Naisabury, Risalah al-Qusyairiyah, terj. M. Lukaman Hakim,
Risalah Gusti, Surabaya, 1997, hlm. 79
17
Sa'id Hawwa, Mensucikan Jiwa Konsep Tazkiyat al-Nafs (Terpadu Intisari Ihya'
Ulumuddin al-Ghazali), Robbani Press, Jakarta, 2003, hlm. 403
18
Ibid., hlm. 82
36
adanya perasaan dosa ang sudah sedemikian parah sehingga tidak akan
terampuni. 19
Terapi Islam terhadap gangguan kejiwan dengan penyucian diri, ialah
terapi dengan penanaman nilai-nilai tauhidiyah ke dalam diri seseorang
dan pertaubatan secara aplikasi langsung dengan berpegang teguh pada
syarat dan prinsip-prinsipnya. Dengan harapan agar gangguan itu akan
pergi dari dalam dirinya. Dan ia akan terlahir sebagai seorang insan yang
baru dengan segenap potensi dan kecerdasan yang suci, terlindung dan
terbimbing oleh qudrat dan iradat-Nya. 20
19
M. Afif Anshori, Dzikir demi Kedamaian Jiwa (Solusi Tasawuf atas Problema
Manusia Modern), Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2003, hlm. 108
20
M. Hamdani Bakran adz-Dzaky, op. cit., hlm. 443 - 444
21
Imam Musbikin, Rahasia Shalat bagi Penyembuhan Fisik dan Psikis, Mitra Pustaka,
Yogyakarta, 2003, hlm. 97 - 99
38
22
Syaikh Hakim Mu'inuddin Chysti, Penyembuhan Cara Sufi, Terj. Burhan Wirasubrata,
Lentera, Jakarta, 1999, hlm. 190
23
Imam Musbikin, op. cit., hlm. 133
24
A. Saboe, Hikmah Kesehatan dalam Shalat, PT. Al-Ma'arif, Bandung, 1987, hlm. 26
39
25
Imam Musbikin, op. cit., hlm. 104
26
Ibid., hlm. 104 - 105
27
M. Afif Anshori MA., op. cit., hlm. 16
28
R.N.L O'oriordan, Seni Penyembuhan Sufi (Jalan lain Meraih Kesehatan Fisik,
Mental dan Spiritual), terj. Mariana Aristyowati, PT. Serambi Ilmu Semesta, Jakarta, 2002, hlm.
22
29
Aboe Bakar Atjeh., PengantarIlmu Tarikat, Ramadhani, Jakarta, 1965, hlm. 78
30
R.N.L. O'oriordan, Seni Penyembuhan Alami (Rahasia Penyembuhan melalui Energi
Ilahii), terj. Sulaiman al-Kumayi, PT. Prasindo Bunga Mas Nagari, Jakarta, 2002, hlm. 112
40
fase tunggal seperti la Ilaha illa Allah (tidak ada Tuhan selain Allah) fase-
fase ini diulang terus menerus. 31
Dzikir yang hakiki inilah, sebuah keadaan spiritual di mana
seseorang mengingat Allah (dzikir) memusatkan segenap kekuatan fisik
dan spiritualnya kepada Allah.32 Sehingga dalam tubuh merasakan
kekuatan dalam iman kepada Allah, karena kemungkinan keadaan
berbagai pengaruh datang. Maka tubuh tidak bisa lepas dari was-was yang
selalu menghimpit, dengan berdzikir di dalam hati, akan terasa tenang.
Pada sufi melakukan dzikir kepada Allah untuk menghilangkan rentangan
jiwa dan membersihkan dari perilaku atau akhlak buruk dan sifat-sifat
tidak baik, serta menghiasinya dengan dzikir. 33
Kata dzikir itu adalah berasal dari al-Qur'an yang disebutkan
lebih dari seratus kali.34 Dalam al-Qur'an menjelaskan dzikir berarti
membangkitkan daya ingat kepada Allah dan memenangkan hati, dengan
berdzikir berarti pula ingat akan hukum-hukum Allah. "Sesungguhnya
Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi
kaum kerabat dan Allah melarang berbuat keji, kemungkaran dan
permusuhan. Dan memberi pengajaran kepada kamu agar kamu dzikir
dalam al-Qur'an". (An-Nahl/16 : 90) 35
Menurut Dr. Asep Usman Ismail, dzikir dapat dilakukan dengan
dua cara, dengan cara lisan dan kalbu. Dalam dzikir lisan adalah dzikir
mengucapkan lafal-lafal dzikir tertentu, baik dengan suara keras maupun
dengan suara yang hanya dapat didengar oleh yang berdzikir itu sendiri.
Adapun lafal dalam dzikir lisan disebutkan dalam hadits Nabi SAW
adalah sebagai berikut :
31
Sudirman Tebba, Meditasi Sufistik, Pustaka Hidayah, Bandung, 2004, hlm. 77
32
Ahmad Tafsir, Kamus Tasawuf, t.p., 2002, hlm. 36
33
Zaenal Arifin Djamais, Menyempurnakan Shalat (Dengan Menyempurnakan Kaifat
dan Menggali Latar Filosofisnya), PT. Raja Grafinso Persada, Jakarta, 1996, hlm. 101
34
M. Amin Syukur dan Fatimah Usman, Insan Kamil Kontemporer (Paket Pelatihan Seni
Menata Hati/SMHI), CV. Bima Sejati, Semarang, 2004, hlm. 59
35
Aboe Bakar Atjeh, Miftahur Sudur (Kunci Membuka Dada), Miftahus Sudur,
Surabaya, 1970, hlm. 17
41
39
M. Amin Syukur, "Dzikir dan Kesehatan" Makalah Seminar Sufi Healing dan Prana,
IAIN Walisongo Semarang, 2002, hlm. 2
40
Sudirman Tebba, op. cit., hlm. 78
43
41
M. Amin Syukur, Tasawuf Kontekstual (Solusi Problem Manusia Modern), Pustaka
Pelajar, Yogyakarta, 2003, hlm. 258
42
Ibrahim Muhammad Hasan al-Jamal, Penyembuhan dengan Dzikir dan Do'a, CV.
Cendekia Sentra Muslim, Jakarta, 2003, hlm. 26 - 27
44
kalau kita melihat do'a secara medis dan dampak positifnya terhadap jiwa,
maka kita akan mengetahui bahwa do'a sesungguhnya berfungsi untuk
mempersiapkan seorang mukmin yang selalu bisa merasakan kehadiran
Allah di hadapannya.43 Bila itu diucapkan dan dipanjatkan dengan
sungguh-sungguh maka pengaruhnya sangat jelas bagi perubahan jiwa
maupun badannya. 44
Menurut Robert H. Thouless, do'a sebagai teknik penyembuhan
gangguan mental (jiwa), dapat dilakukan dalam berbagai kondisi yang
terbukti membantu efektifitasnya dalam merubah mental seseorang. 45 Dia
juga akan dapat merasakan beta berharganya suatu kenikmatan ketika dia
sudah tidak mampu lagi merasakan kenikmatan yang ada di dunia ini.
Kesemuanya itu akan dapat memicu meningginya kekuatan nilai-nilai
spiritualnya, memperkuat motivasinya dan menjadikan sebab segala jenis
penyakit jiwa dan syaraf tidak mau menghinggapinya.
Sungguh ucapan adalah modal dasar pengobatan modern untuk
menguatkan nilai-nilai mental pengidap penyakit kejiwaan, sedangkan
do'a adalah sarana terpenting untuk itu. Hal itu disebabkan karena do'a
mampu memberikan ilham kepada jiwanya dan karenanya pendo'a bisa
memperoleh makanan sekaligus obat bagi roh dan jiwanya. Selain itu, do'a
juga sebagai penguat dan pengokoh motivasinya yang positif, sehingga dia
dapat menjadikan roh dan jiwa mampu mengalihkan segala apa yang
menimbulkan dampak negatif terhadapnya. Pada gilirannya nanti roh dan
jiwanya tersebut tidak bisa ditembus oleh sifat lemah (mudah patah
semangat). 46
Do'a adalah obat mujarab yang mampu menghilangkan
kerisauan jiwa yang bisa berbuntut dengan timbulnya penyakit jiwa yang
risau dan enggan menghadap Rabbnya saat dirundung masalah maka ia
43
Ibid., hlm. 28
44
Aulia, Agama dan Kesehatan Badan/Jiwa, Bulan Bintang, Jakarta, 1979, hlm. 164
45
Robert H. Thoules, Pengantar Psikologi Agama, terj. Machnun Husein, Rajawali
Press, Jakarta, 1992, hlm. 164
46
Ibrahim Muhammad Hasan al-Jamal, op. cit., hlm. 29
45
akan selalu diliputi oleh rasa khawatir dan takur, munculnya pengalaman-
pengalaman kejiwan yang simpang siur dan kemungkinan timbulnya sok
dan traumatis yang berbuntut dengan jatuhnya korban akibat menderita
penyakit syaraf, lambung, tekanan darah tinggi dan sebagainya. 47
47
Ibid.