Anda di halaman 1dari 8

MATERI TARBIAH

Jumat 27 agustus 2021

Tema: Aqidah

Judul:ikhlas dalam beramal

Tiu: memahamkan peserta mengenai makna ikhlas yang sebenarnya serta bercermin dari kisah para
salafusshalih

Tik:

1. Memahamkan peserta tentang pengertian ikhlas

2. Memahamkan peserta tentang tingkatan tingkatan ikhlas

3. Memahamkan peserta mengenai ciri- ciri orang yang ikhlas dalam beramal

4. Memahamkan peserta tentnag baagiman cara agar ikhlas karena Allah dlaam beramal disamping
mencontohi kisah teladan dari ornag ornag shaleh

5. Dalil dari Al quran dan sunnah

A. Definisi Ikhlas

Banyak ulama yang memulai kitab-kitab mereka dengan membahas permasalahan niat (di mana hal ini
sangat erat kaitannya dengan keikhlasan). Di antaranya Imam Bukhari dalam kitab Shahihnya, Imam Al
Maqdisi dalam kitab umdatul Ahkam, Imam Nawawi dalam kitab Arbain an-Nawawi dan Riyadhus
Shalihin-nya, Imam Al Baghawi dalam kitab Masobihis Sunnah, serta ulama-ulama lainnya. Hal ini
menunjukkan betapa pentingnya keikhlasan tersebut. namun, apakah sebenarnya makna dari ikhlas itu
sendiri?

Keikhlasan adalah ketika Anda menjadikan niat dalam melakukan suatu amalan hanya karena Allah
Subhaanahu Wata’ala semata. Anda melakukannya bukan karena selain Allah. Bukan karena riya (ingin
dilihat manusia) atau pun sum’ah (ingin didengar manusia). Bukan pula karena Anda ingin mendapatkan
pujian serta kedudukan yang tinggi di antara manusia. Juga bukan karena Anda tidak ingin dicela oleh
manusia. Apabila Anda melakukan suatu amalan hanya karena Allah semata bukan karena kesemua hal
tersebut, maka insya Allah Anda telah ikhlas. Fudhail bin Iyadh berkata, "Beramal karena manusia adalah
syirik, meninggalkan amal karena manusia adalah riya."

Abdul Rasyid Yusuf el Makassary (Al Fikrah No.17 Tahun X/19 Jumadal Ula 1430 H)

Sumber dari: https://wahdah.or.id/menjadi-hamba-yang-ikhlas/


B. Tingkatan - tingkatan Ikhlas

An-Nawawi di kitab Syarh al-Arba’īn menjelaskan bahwa hadis di bawah ini menjadi dalil kuat akan
pentingnya niat yang tulus (ikhlas) dalam setiap amal perbuatan.

Imam Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan dari ’Umar bin Khatthab r.a., bahwasanya Rasulullah
saw. bersabda:

ٍ ‫ َوإِنَّ َما ِلكُ ِِّل ا ْم ِر‬،ِ‫إِنَّ َما اْأل َ ْع َما ُل بِالنِِّيَّات‬


.‫ئ َما ن ََوى‬

“Sesungguhnya setiap perbuatan tergantung niatnya. Dan sesungguhnya setiap orang (akan dibalas)
berdasarkan apa yang diniatkannya.” (HR Bukhari & Muslim).

An-Nawawi juga menerangkan tentang adanya tiga tingkat keikhlasan seorang hamba, yaitu: pertama,
beribadah karena takut akan siksa Allah SWT. An-Nawawi menamakan tingkatan ini
dengan ’ibādatul-’abīd; ibadah para budak. Kenapa? Karena yang seperti ini, sebagaimana mental
seorang budak mematuhi perintah hanya karena takut disiksa oleh Tuhannya.

Kedua, beribadah karena mengharapkan surga dan pahala dari Allah SWT. Tingkatan ikhlas ini oleh An-
Nawawi disebut sebagai ’ibādatut-tujjār; ibadah para pedagang. Sebab, seperti halnya pedagang yang
selalu mencari keuntungan, orang-orang yang berada pada tingkatan ini juga hanya memikirkan
keuntungan dalam ibadahnya.

Ketiga, beribadah karena malu kepada Allah SWT dan demi memenuhi keharusannya sebagai hamba
Allah yang bersyukur disertai rasa khawatir sebab amal ibadahnya belum tentu diterima di sisi-Nya.

An-Nawawi mengatakan, tingkatan ini adalah ’ibādatul-akhyār; ibadah orang-orang pilihan. Tingkatan
yang terakhir ini sebenarnya merupakan manifestasi dari hadis riwayat Imam Muslim yang disabdakan
Rasulullah SAW saat ditegur oleh Aisyah r.a. ketika melihat beliau salat malam ‘kelewatan’ hingga kedua
kakinya bengkak.

“Wahai Rasulullah, kau terlalu memaksakan hal ini, padahal Allah telah mengampuni dosa-dosamu.”
kata Aisyah.

Rasulullah SAW menjawab: “Bukankah sudah seharusnya aku menjadi seorang hamba yang
bersyukur?!” (HR Muslim).

Demikian ditulis Abdul Rozaq, mutakharijin Ma’had Aly Lirboyo, sebagaimana dikutip dari laman resmi
Pesantren Lirboyo pada Minggu (19/1/2020).

©2007-2020 Okezone.com, All Rights Reserved

C. Ciri - ciri orang yang ikhlas dalam beribadah


IKHLAS adalah bentuk ibadah yang hanya bisa dilakukan oleh hati dan tidak bisa terlihat. Ikhlas dalah
perbuatan shaleh yang semata-mata untuk mendapatkan keridhoan Allah dan bukan untuk
mendapatkan pujian.

Imam Syafi’i berkata: “Semua manusia mati kecuali mereka yang memiliki pengetahuan. Dan semua
orang yang memiliki pengetahuan akan tertidur, kecuali mereka yang melakukan beramal shaleh. Dan
mereka yang beramal shaleh akan ditipu, kecuali mereka yang ikhlas. Dan mereka yang ikhlas akan
selalu merasa khawatir.”

Pamer (Riya) adalah salah satu tanda utama hilangnya keihkhlasan. Nabi Muhammad SAW bersabda:

“Yang paling kutakutkan untukmu adalah syirik kecil, yaitu ar-riya’. Allah akan mengatakan pada hari
penghakiman ketika dia menghadiahi orang-orang untuk tindakan mereka: Pergi ke orang-orang yang
kamu lakukan riya ‘untuk di dunia, kemudian lihat apakah kamu menemukan pahala dengan mereka.”
(HR Ahmad)

Berikut ini beberapa ciri dari seorang Muslim yang tulus.

1.Menyempurnakan ibadahnya meskipun dalam keadaan sendiri

Orang yang ikhlas beribadah kepada Allah secara pribadi akan sama dengan ibadah yang ia lakukan
ketika di depan orang. Bahkan, ia beribadah lebih khusyu ketika sendirian sehingga ia melakukan yang
terbaik untuk mendapatkan ridha Allah.

2.Tidak Suka Dipuji

Karena hubungannya kuat dengan Allah, dia takut dipuji, jangan sampai membuat Allah tidak senang
atau jangan sampai dia menjadi sombong.

3.Mendengarkan Nasihat

Orang-orang yang ikhlas tidak pernah mengabaikan nasihat, tidak peduli siapa yang memberikan
nasihat. Orang yang ikhlas akan mengambil setiap kesempatan untuk belajar memperbaiki diri.

4.Tidak berambisi menjadi pemimpin

Anda akan selalu menemukan orang yang tulus tenang dan pendiam. Dia lebih suka dipilih, daripada
mencalonkan dirinya untuk posisi tertinggi.

5.Dia Selalu Mengingat Kelemahan-kelemahannya

Orang yang tulus selalu sibuk memikirkan bagaimana memperbaiki diri dan berhenti melakukan dosa.
Dia selalu melihat kebaikan dalam diri orang lain dan selalu memberikan nasihat yang baik. Bahkan, dia
selalu menganggap orang lain lebih baik daripada dirinya.

“Jika seseorang bijak, perhatiannya atas dosa-dosanya sendiri akan mengalihkan perhatiannya dari
melihat kesalahan orang lain” (Imam Syafi’i)
6.Dia Lebih suka Memberikan Amal Secara Rahasia

Dalam sebuah riwayat disebutkan: “Tujuh orang-orang yang akan mendapatkan perlindungan Allah di
hari kiamat ketika tidak akan ada lagi naungan selain naungan-Nya: Seorang penguasa yang adil, seorang
pemuda yang rajin beibadah kepada Allah, seseorang yang hatinya melekat pada masjid, dua orang yang
mencintai dan saling bertemu dan berangkat satu sama lain demi Allah, seorang pria yang digoda wanita
cantik (untuk hubungan terlarang) tetapi dia (menolak tawaran ini dengan mengatakan): “Aku takut
kepada Allah,” seseorang yang memberi sedekah dan menyembunyikannya sehingga tangan kirinya
tidak tahu apa yang telah diberikan oleh tangan kanannya, dan seseorang yang beribadah Allah
sendirian hingga meneteskan air mata.” (HR Al-Bukhari dan Muslim). []

SUMBER: ABOUTISLAM

© 2019 islampos - Membuka, Menginspirasi, Free to Share.

D. Kiat-kiat agar ikhlas dalam beramal

Ustadz. Bagaimana cara bagi seorang hamba untuk menghadirkan niat dan memperbaikinya sebelum
dan sesudah amal? Apa saja rambu-rambunya untuk mengetahui apa yang kita kerjakan benar atau
murni karena Allah?

Di antara kesibukan seorang muslim yang paling agung adalah memperbaiki niat dan menghadirkannya
pada saat memulai amal karena padanya bertumpu diterima atau ditolaknya amal, dan padanya
bertumpu baik dan buruknya hati.

Dan barang siapa yang ingin berniat dengan niat yang baik dalam amalnya, harus melihat faktor
pendorong yang mengajaknya untuk mengerjakan amal tersebut, sehingga dia bersungguh-sungguh
yang menjadi pendorong utama adalah ridho Allah, taat kepada-Nya dan mengerjakan perintah-Nya.

Maka dengan ini niatan itu akan menjadi karena Allah –ta’ala-, kemudian setelah itu ia harus menjaga
pendorong utama untuk beramal, murni karena Allah, tidak berpaling darinya di tengah-tengah amal,
hati dan niatnya tidak berubah-ubah, tidak berpaling kepada selain Allah, dan tidak dihinggapi kesyirikan
lainnya.

Seorang hamba bisa mengenali keikhlasannya dalam beramal, bahwa ia tidak beramal kecuali karena
Allah, dengan memperhatikan beberapa hal berikut ini:

1. Tidak melakukan amal karena ingin dilihat oleh manusia dan didengar oleh mereka

Imam Bukhori (6499) dan Imam Muslim (2987) telah meriwayatkan dari Jundub berkata: Rasulullah –
shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:

‫ َو َم ْن ي َُرائِي ي َُرائِي هللاُ ِب ِه‬،ِ‫ِع هللاُ ِبه‬


ِ ‫س ِّم‬ َ ُ‫َم ْن ي‬
َ ُ‫س ِِّم ْع ي‬
“Barang siapa yang memperdengarkan (amal) maka Allah akan memperdengarkan hal itu, dan barang
siapa yang ingin memperlihatkan (amalnya) maka Allah akan memperlihatkan hal itu”.

Al Hafidz Ibnu Hajar –rahimahullah- berkata:

“Al Khothabi berkata: “Maknanya adalah barang siapa yang beramal tidak ikhlas, akan tetapi ingin dilihat
oleh manusia dan didengar oleh mereka, maka ia akan dibalas dengan hal itu, Allah akan menjadikannya
terkenal dan dibuka aibnya, dan menampakkan apa yang ia sembunyikan”.

Dan dikatakan:

“Barang siapa yang beramal untuk mendapatkan kedudukan dan gelar di hadapan manusia, dan tidak
ingin beramal karena Allah, maka Allah akan menjadikannya sebagai bahan pembicaraan di tengah
manusia yang ia ingin mendapatkan kedudukan dari mereka, namun tidak ada pahala baginya di
akhirat”. (Fathul Baari: 11/336)

Al Izz bin Abdus Salam –rahimahullah- berkata:

“Dikecualikan dari anjuran menyembunyikan amal, bagi seseorang yang memperlihatkannya untuk
menjadi qudwah atau agar bermanfaat bagi orang lain, seperti menuliskan ilmu”. (Fathul Baari: 11/337)

2. Hatinya tidak bergantung dengan pujian orang atau celaan mereka

Ibnul Qayyim –rahimahullah- berkaata:

“Kapan saja kaki seorang hamba berada pada kedudukan tawadhu’ dan tsabat di dalamnya, maka
tekadnya akan meningkat, jiwanya akan tinggi dari sambaran pujian dan celaan, ia tidak bahagia dengan
pujian orang lain, juga tidak merasa sedih dengan celaan mereka, inilah sifat orang yang keluar dari hak
pribadinya, dan bersiap untuk beribadah kepada Rabbnya dan akan merasakan manisnya keimanan dan
kematapan hati”. (Madarikus Salikin: 2/8)

3. Menyembunyikan amal dan merahasiakannya lebih ia cintai dari pada menampakkannya

Dari Ashim berkata: “Abu Wail jika melaksanakan shalat di rumahnya ia menangis menjadi-jadi, dan
kalau dunia diberikan kepadanya untuk melakukan hal itu agar dilihat oleh seseorang, maka ia tidak
akan melakukannya”. (HR. Ahmad di dalam Az Zuhd: 290)

4. Hendaknya seseorang berusaha untuk menjauhi tempat-tempat yang menjadikannya terkenal dan
terpandang, kecuali jika hal itu menyangkut kemaslahatan yang syar’i

Ibrahim bin Adham –rahimahullah- berkata:

“Allah tidak akan percaya kepada orang yang ingin menjadi terkenal”. (Ihya’ Ulumuddin: 3/297)

5. Tidak menambah amal dan memperindahnya agar dilihat oleh orang lain
Dikatakan bahwa ikhlas itu adalah kesamaan amal seorang hamba secara lahir dan batin. Riya’ adalah
yang nampak menjadi lebih baik dari pada yang batin. (Madarikus Salikin: 2/91)

6. Selalu menuduh diri sendiri dengan penuh kekurangan, tidak melihat adalah keutamaan pada dirinya,
dan mengetahui bahwa keutamaan itu hanya milik Allah, kalau bukan karena Allah maka sudah menjadi
hancur

Allah –ta’ala- berfirman:

َ َّ َّ‫علَيْكُ ْم َو َر ْح َمتُهُ َما زَ كَى ِمنْكُ ْم م ِْن أَ َح ٍد أَبَدًا َولَ ِكن‬


‫َّللا يُزَ كِِّي َم ْن يَشَا ُء‬ ْ َ‫َولَ ْو ََل ف‬
ِ َّ ‫ض ُل‬
َ ‫َّللا‬

21 /‫النور‬

“Sekiranya tidaklah karena kurnia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu sekalian, niscaya tidak
seorangpun dari kamu bersih (dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar itu) selama-lamanya, tetapi
Allah membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya”. (QS. An Nur: 21)

7. Hendaknya memperbanyak istighfar setelah beramal; karena ia merasa dirinya penuh dengan
kekurangan

As Sa’di –rahimahullah- berkata:

“Sebaiknya seorang hamba setiap kali selesai beribadah, hendaknya beristighfar kepada Allah karena
kekurangan dirinya, dan bersyukur kepada-Nya atas segala petunjuk-Nya, tidak melihat bahwa dirinya
telah menyempurnakan ibadah, dan telah mempersembahkannya kepada Tuhannya, sehingga dia
mendapatkan kedudukan yang tinggi, yang demikian ini sungguh mengandung murka dan reaksi,
sebagaimana yang pertama mengandung penerimaan dan petunjuk untuk melakukan amal lainnya”.
(Tafsir As Sa’di: 92)

8. Merasa bahagia dengan taufik dari Allah yang menjadikannya mudah beramal sholehAllah –ta’ala-
berfirman:

َ‫َّللا َوبِ َر ْح َمتِ ِه فَبِذَلِكَ فَلْيَفْ َرحُوا ه َُو َخي ٌْر ِم َّما يَ ْج َمعُون‬ ْ َ‫قُلْ بِف‬
ِ َّ ‫ض ِل‬

58 /‫يونس‬

“Katakanlah: “Dengan kurnia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Kurnia
Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan”. (QS. Yunus: 58)

Barang siapa yang memperhatikan hal itu di dalam amalnya, maka semoga termasuk orang-orang yang
ikhlas

Adapun memastikan ikhlas dalam amal, maka hal itu tidak ada jalannya, karena hanya Allah yang Maha
Mengetahui hal itu, akan tetapi seorang hamba hendaknya melaksanakan sebab-sebab keikhlasan,
selalu memohon taufik dari Allah agar beramal dengan baik, dan dirinya tidak memastikan telah
melakukannya dengan ikhlas, juga tidak dari orang lain. Wallahu A’lam. []
SUMBER: ISLAMQA

© 2019 islampos - Membuka, Menginspirasi, Free to Share.

E. Teladan

Assalamu’alaikum warahmatullah wabarakatuh.

‘Amru bin Taghlib adalah salah satu dari para sahabat Rasulullah Shalallahu’alaihi wasallam. Yang
istimewa dari dirinya adalah, kisah keikhlasan ketika ia adalah salah satu dari kaum muslimin yang tidak
mendapatkan bagian harta rampasan setelah perang.

Dikisahkan bahwa setelah berakhirnya perang, ada sebagian kaum muslimin yang diberikan harta
rampasan perang dan ada yang tidak mendapatkan sama sekali. Lantas Rasulullah menjelaskan bahwa
kenapa sebagian tidak mendapatkan harta rampasan sedangkan sebagian yang lain mendapatkan. Hal
ini dikarenakan kaum muslimin yang mendapatkan harta rampasan karena masih ada didalam hatinya
ketakutan dan keluh kesah terhadap kehidupan dunia.

Sedangkan yang tidak mendapatkan harta rampasan itu lebih disenangi. mereka orang-orang yang tidak
mendapatkan harta rampasan tersebut ada yang hatinya senantiasa diberikan Allah dengan rasa
kecukupan dan kebaikan, Rasulullah memberitahukan salah satu dari orang-orang tersebut adalah Amru
bin Taghlib.

Tak dipungkiri lagi banyak diantara kita yang memang merasakan betapa sulitnya menghadirkan
keikhlasan. Terlebih lagi apabila mengenai kehidupan duniawi. Kecenderungan kita untuk takut hak kita
diambil, merasa lebih berhak, menginginkan orang mengetahui apa yang telah kita korbankan.

Fudhail ibn Iyadh berkata, meninggalkan suatu amal karena orang lain adalah riya’. Sedangkan beramal
karena orang lain adalah syirik. Adapun ikhlas adalah ketika Allah menyelamatkanmu dari keduanya.

Pula disebutkan oleh Ibnul Jauzi dalam Mukhtashar Shaid al-Khatir, ia mengatakan, manakala orang yang
beramal menginginkan hati orang agar tertuju padanya, maka ia telah ikut menyekutukan-Nya, karena
seharusnya ia hanya puas dengan pandangan zat yang seharusnya ia beramal untuk-Nya.

Allah Subhanahuwata’ala berfirman,

‫صا ِلحًا َو ََل ُي ْش ِركْ ِب ِع َبا َد ِة َر ِبِّ ِه أَ َحدًا‬ َ ْ‫ي أَنَّ َما ِإ ٰلَ ُهكُ ْم ِإ ٰلَهٌ َواحِ دٌ ۖ فَ َم ْن كَانَ يَرْ جُو ِلقَا َء َر ِبِّ ِه فَلْ َي ْع َمل‬
َ ‫ع َم ًًل‬ َّ َ‫قُلْ ِإنَّ َما أَنَا َبش ٌَر مِثْلُكُ ْم يُو َح ٰى ِإل‬

Katakanlah, “Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku,
“Bahwa sesungguhnya Rabb kamu itu adalah Rabb Yang Esa”. Barangsiapa mengharap perjumpaan
dengan Rabbnya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shaleh dan janganlah ia mempersekutukan
seorang pun dalam beribadat kepada Rabbnya.” (al-Kahfi :110)

Maka hendaknya kita begitu berhati-hati dalam melakukan amal. Bukan berarti jikalau begitu tidak usah
melakukannya karena takut memiliki perasaan-perasaan riya. Melainkan tetap melakukan amal ibadah
dengan penuh kehati-hatian. Jangan sampai amalan yang kita lakukan tidak mendapatkan pahala dari
sisi Allah Subhanahuwata’ala.

Semua yang benar datangnya dari sisi Allah ‘Azza wajalla, dan segala kesalahan serta kekeliruan
datangnya dari diri penulis sendiri dan atas gangguan syeithan laknatullah.

Penulis : Ahmad Daud

Sumber dari: https://wahdah.or.id/belajar-ikhlas-dari-kisah-amru-bin-taghlib/

Anda mungkin juga menyukai