Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sehubungan dengan pentingnya keikhlasan dalam melaksanakan ibadah, Imam Mujahid
berkata bahwa: Amal tanpa niat adalah sia-sia. Niat tanpa didasari keikhlasan adalah riya.
Keikhlasan tanpa dibarengi dengan ilmu bagaikan debu beterbangan tanpa arah. Amalan yang
dilakukan atas dasar riya tak ubahnya dengan perbuatan orang-orang munafik, yang aspek
luarnya menampakkan ketaatan tapi aspek bathinnya penuh dengan penipuan dan kepalsuan.
Dengan kata lain, hakikat amal mereka adalah penipuan belaka, karena ibadah yang mereka
lakukan bukan karena menjalankan perintah dan mengharapkan ridha-Nya, melainkan untuk
mendapatkan penilaian manusia.
Oleh karena itu segala perbuatan yang baik harus diiringi oleh niat, untuk lebih
sempurnanya amal perbuatan yang kita lakukan. Dari perbuatan tersebut harus diiringi dengan
keikhlasan semata-mata karena Allah, sehingga perbuatan kita jauh dari sifat riya yang hanya
ingin mendapat pujian orang lain, dalam melakukan amal perbuatan.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dari latar belakang di atas, kelompok kami membahas beberapa hal
yang berkaitan dengan niat atau motivasi beramal dan menjahui perbutan riya atau syirik kecil.
Berbagai permasalahan yang diuraikan di atas, penyusun memberi batasan dalam
makalah ini, dan penyusun dapat mengembangkan menjadi sub-sub sebagai berikut:
1. Bagaimana niat atau motivasi beramal ?
2. Bagaimana menjahui perbuatan riya ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. NIAT/MOTIVASI BERAMAL
Teks Hadits










Terjemah: Al-Humaidiy Abdullah bin al-Zubair telah menceritakan kepada kami, ia berkata, Sufyan
telah menceritakan kepada kami, ia berkata, Yahya bin Said al-Anshariy telah menceritakan
kepada kami, ia berkata, Muhammad bin Ibrahim al-Taimiy telah mengabarkan kepadaku
bahwa ia telah mendengar Alqamah bin Waqqash al-Laytsiy berkata, aku telah mendengar
Umar bin Khattab r.a. berkata di atas mimbar, ia berkata bahwa dia mendengar Rasulullah
SAW telah telah bersabda: Sesungguhnya amal dinilai berdasarkan niat, dan setiap orang
mendapatkan sesuatu sesuai dengan niatnya. Maka barangsiapa berhijrah semata-mata karena
taat kepada Allah dan Rasulullah-Nya, maka hijrah itu dinilai sebagai hijrah karena ketaatan
kepada Allah dan Rasul-Nya, dan barangsiapa yang hijrah karena mengharapkan keuntungan
dunia, atau karena perempuan yang akan dikawininya, maka hijrahnya dinilai berdasarkan apa
yang ia niatkan dalam berhijrah. (H.R. Bukhari dan Muslim).1
Penjelasan Hadis
Hadits ini adalah Hadits shahih yang telah disepakati keshahihannya, ketinggian
derajatnya dan didalamnya banyak mengandung manfaat. Imam Bukhari telah meriwayatkannya
pada beberapa bab pada kitab shahihnya, juga Imam Muslim telah meriwayatkan hadit ini pada
akhir bab Jihad.2
Hadits ini salah satu pokok penting ajaran islam. Imam Ahmad dan Imam Syafi'i
berkata : "Hadits tentang niat ini mencakup sepertiga ilmu." Begitu pula kata imam Baihaqi dll.
Hal itu karena perbuatan manusia terdiri dari niat didalam hati, ucapan dan tindakan. Sedangkan
niat merupakan salah satu dari tiga bagian itu. Diriwayatkan dari Imam Syafi'i, "Hadits ini
mencakup tujuh puluh bab fiqih", sejumlah Ulama' mengatakan hadits ini mencakup sepertiga
ajaran islam.3

Shahih Bukhari 52, Kitab: 2. Iman, Bab: 40. Sesungguhnya Amal Itu Bergantung Dengan Niat
dan Pengharap. Dalam http://lidwa.com./app/ Kitab Hadis 9 Imam Online Terjemah Indonesia
1

http//salafidb.googlepage.com, Imam Nawawi, Penjelasan Hadist Arbaiin: Bab Niat, 2503-2011


2 [2]

3 http//salafidb.googlepage.com, Ibid.

Hadis di atas diucapkan oleh Rasulullah saw. sebagai jawaban atas pertanyaan seorang
sahabat yang terkait dengan motif keikutsertaannya dalam hijrah. Dalam sebuah riwayat
disebutkan bahwa sabab wurud hadis ini terkait dengan hijrahnya Rasulullah saw. dari Mekah ke
Madinah. Dalam peristiwa tersebut, sejumlah besar sahabat ikut serta dengan Nabi saw. untuk
berpindah (hijrah) ke Madinah. Di antara para sahabat yang ikut bersama Nabi saw., ada salah
seorang di antara mereka yang ikut serta, tapi niat keikutsertaannya bukan motif menyelamatkan
aqidah dan memperjuangkan dakwah Islam, tapi karena ia mengikuti seorang wanita pujaan yang
akan dikawinianya yang kebetulan hijrah bersama Rasulullah saw. ke Madinah. Menurut riwayat,
wanita tersebut bernama Ummu Qais. Pada awalnya, laki-laki tersebut tidak berniat hijrah
bersama Rasulullah saw., tapi karena wanita pujaannya bertekat hijrah dan memutuskan siap
dikawini di Madina. Atas dasar tersebut maka laki-laki itu ikut serta bersama rombongan
muhajirin ke Madinah, meskipun motifnya lain, yaitu menikahi wanita pujaannya. Setelah
sampai di Madinah, kasus tersebut ditanyakan kepada Nabi saw. apakah orang tersebut
mendapatkan pahala hijrah sebagaimana pahala yang diperoleh oleh sahabat-sahabat lain. Maka
Rasulullah saw. bersabda bahwa: amal seseorang dipahalai berdasarkan niat, sebagaimana yang
tercantum dalam hadis yang disebutkan di atas.[4]
Allah berfirman dalam surat Al-Bayyinah ayat 5:




Terjemah:Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan
kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus,[5] dan supaya mereka mendirikan shalat
dan menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama yang lurus. (Q.S. Al-Bayyinah [98]:
5)
Anniyat jamak dari niyyat . Dalam bahasa diartikan al-qhoshdu (tujuan), yaitu hati
menyengaja secara sadar terhadap apa yang dituju (dimaksud) mengerjakannya.[6] Imam Ibnul
Qayyim berkata, Niat adalah ruh amal, inti dan sendinya. Amal itu mengikuti niat. Amal
menjadi benar karena niat yang benar. Dan amal menjadi rusak karena niat yang rusak. (Ilamul
Muwaqqiin VI/106, tahqiq Syaikh Masyhur).[7]
Dalam kitab Riyadhush Shalihin dalam bab ikhlas Imam Nawawi berpendapat:Ikhlas
ialah: seluruh ketaatan yang semata-mata ditunjukan karena Allah. Yakni ketaatan seseorang
mukmin yang dinamakan taqarrub itu tertuju kepada Allah bukan dibuat-buat untuk manusia,

untuk mendapatkan pujian manusia atau untuk supaya disayangi manusia, atau maksud apa saja
selain taqarrub kepada Allah.[8]
Dalam kitab Islamuna Sayid Sabiq mendefinisikan istilah ikhlas sebagai berikut:
Ikhlas adalah bahwa manusia semata-mata mengharapkan ridha Allah swt. dari perkataan,
perbuatan, dan jihadnya, tanpa mengharapkan materi, popularitas, julukan, perhatian,
superioritas, atau pamrih, agar manusia terhindar dari ketidaksempurnaan amal dan akhlak
tercela, sehingga langsung berhubungan dengan Allah swt.
Sesuai penjelasan di atas, maka perbuatan yang mendapatkan pahala hanyalah perbuatan
yang sejalan dengan perintah Allah saw. Dengan demikian, meskipun sesuatu itu dilakukan
dengan niat yang ikhlas, tetapi perbuatan tersebut bertentangan dengan perintah Allah saw. atau
melanggar aturan Allah swt., maka perbuatan tersebut sudah tentu tidak termasuk dalam kategori
niat yang dikehendaki dalam hadis di atas. Jadi, inti niat yang benar adalah harus sesuai dengan
perintah Allah swt.[9]
Niat pada prinsipnya adalah sesuatu yang bersifat abstrak. Niat bersemayam di dalam hati
masing-masing orang. Tidak ada yang mampu mengetahui apa yang menjadi niat seseorang
melakukan sesuatu kecuali Allah sendiri, sebab ia Maha Mengetahui yang tampak maupun yang
tersembunyi. atau motivasi itu bertempat di dalam hati. Jika sesuatu dilakukan dengan niat yang
baik, Allah pasti mengetahuinya, dan demikian pula sebaliknya. Sehubungan dengan hal ini
Allah swt. befirman dalam QS. Ali Imran (3): 29:


Terjemah: Katakanlah: "Jika kamu menyembunyikan apa yang ada dalam hatimu atau kamu
melahirkannya, pasti Allah Mengetahui". Allah mengetahui apa-apa yang ada di langit dan apaapa yang ada di bumi. dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.(Q.S. Ali Imran [3]: 29)
Meskipun niat merupakan sesuatu yang abstrak, namun Allah swt. menjadikannya
sebagai prioritas penilaian. Aspek lahiriyah bisa saja direkayasa oleh manusia untuk
mendapatkan penghargaan sesama manusia, tetapi aspek niat tidak bisa direkayasa. Meskipun
tidak tampak bagi manusia, tapi ia tampak bagi Allah swt. Berkaitan dengan pentingnya aspek
niat, Nabi saw,. bersabda dalam sebuah riwayat Imam Muslim sebagai berikut:
Amru al-Naqid telah menceritakan kepada kami, Katsir bin Hisyam telah menceritakan kepada
kami, Jafar bin Burqan telah menceritakan kepada kami, dari Yazid bin al-Asham, dari Abu

Hurairah r.a ia berkata, Rasulullah saw. bersabda: Sesungguhnya Allah swt. tidak melihat
bentuk badan dan rupamu, tetapi menilai niat dan keikhlasan dalam hatimu. (H.R. Muslim)
Hal-hal yang bersifat materi sering menipu pandangan orang. Adakalanya kepentingan
dunia menodai hasil akhir dari segala amal ibadah manusia. Seeorang yang melakukan amal
shaleh tetapi diselubungi dengan kepentingan duniawi, maka orang tersebut bisa saja
mendapatkan apa yang menjadi kepentingannya di dunia, tetapi pahala akhirat tidak
diperolehnya karena tidak disertai dengan ikhlas dalam perbuatannya. Fenomena seperti ini
disinyalir oleh Allah swt. dalam QS. Hud (11): 15-16:




Terjemah:Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya kami berikan
kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan Sempurna dan mereka di dunia itu
tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan
lenyaplah di akhirat itu apa yang Telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah
mereka kerjakan.[10] (Q.S. Hud [11]:15-16)
Berdasarkan ayat di atas, tampak dengan sangat jelas bahwa seseorang yang melakukan
kebajikan karena memburu kepentingan duniawi belaka, maka amalan yang diperbuatnya tidak
lebih dari fatamorgana yang secara sepintas menjanjikan kebahagiaan, tapi pada hakikatnya
hanya baying-bayang semua yang akan mengakibatkan kekecewaan. Oleh sebab itu, bukanlah
suatu yang mustahil jika seseorang dalam hidupnya di dunia banyak melakukan kebaikan tapi
tidak secara ikhlas, namun di akhirat tidak menemukan yang menjadi dambaannya. Kenyataan
sepeti ini juga dipertegas Allah swt. dalam QS. Al-Furqan (25): 23:

Terjemah:Dan kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan,[11] lalu kami jadikan amal itu (bagaikan)
debu yang berterbangan. (Q.S.Al-Furqan [25]: 23)

Sebaliknya, perbuatan yang dilakukan dengan ikhlas di sisi Allah tidak pernah rugi.
Bahkan amal yang dilakukannya mendapat ganjaran berlipat ganda dan kebahagiaan abadi. Janji
seperti ini ditegaskan Allah swt. dalam bentuk tasybih (perumpamaan) dalam QS. Al-Baqarah
(2): 265-266.
Pelajaran yang terdapat dalam Hadits
1. Niat merupakan syarat layak/diterima atau tidaknya amal perbuatan, dan amal ibadah tidak akan
mendatangkan pahala kecuali berdasarkan niat (karena Allah taala).
2. Waktu pelaksanaan niat dilakukan pada awal ibadah dan tempatnya di hati.
3.

Ikhlas dan membebaskan niat semata-mata karena Allah taala dituntut pada semua amal shaleh
dan ibadah.

4. Seorang mumin akan diberi ganjaran pahala berdasarkan kadar niatnya.


5. Semua pebuatan yang bermanfaat dan mubah (boleh) jika diiringi niat karena mencari keridhoan
Allah maka dia akan bernilai ibadah.
6. Yang membedakan antara ibadah dan adat (kebiasaan/rutinitas) adalah niat.
7.

Hadits diatas menunjukkan bahwa niat merupakan bagian dari iman karena dia merupakan
pekerjaan hati, dan iman menurut pemahaman Ahli Sunnah Wal Jamaah adalah membenarkan
dalam hati, diucapkan dengan lisan dan diamalkan dengan perbuatan.[12]
B. MENJAUHI PERBUATAN RIYA/SYIRIK KECIL
Teks hadis






Artinya: Telah bercerita kepadaku Yunus, telah bercerita kepadaku Laits dari Yazid yaitu Ibnu Had dari
Amar dari Mahmud Ibnu Labid Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa
Sallam bersabda: "Sesungguhnya hal yang paling aku takutkan menimpa umatku ialah syirik
kecil. Para sahabat bertanya,Apakah syirik yang paling kecil itu Ya Rasulallah?. Rasulullah
Saw menjawab, Riya. [13] Allah Azza wa Jalla berfirman, Pada hari kiamat ketika
membalas hamba-hamba karena amal perbuatan mereka, Pergilah kamu pada orang-orang , di
mana kamu memperlihatkan amal perbuatan kepada mereka di dunia. Maka lihatlah,apakah
kamu mendapatkan balasan disisi mereka?.[14] Telah bercerita kepadaku Ibrahim Ibnu Abil
Abbas, telah bercerita kepadaku Abdurrahman Ibnu Abi Zinad dari amar Ibnu Abi Amrin dari

Asim Ibnu Umar al-Thofari dari Mahmud Ibnu Labid bawa Rasulullah saw. bersabda
"Sesungguhnya hal yang paling aku takutkan menimpa umatku, kemudian menyebutkan
maknanya. (Riwayat Ahmad dengan sanad hasan).[15]
Penjelasan Singkat
Riya berasal dari kata yang arti dasarnya adalah (melihat). Riya dalam bentuk
mashdarnya berarti tindakan memperlihatkan atau memamerkan sesuatu. Riya dalam
pengertian istilah syariat adalah melakukan ibadah bukan dengan niat menjalankan kewajiban
dan menunaikan perintah Allah swt., melainkan bertujuan untuk mendapat perhatian orang, baik
untuk tujuan popularitas, mendapat pujian, atau motif-motif selain karena Allah swt.
Dalam dimensi semantik, riya adalah memperlihatkan kepada orang lain berbeda dengan
kenyataannya. Dalam terminologi syariat, riya adalah melakukan taat dan meninggalkan
maksiat tetapi dengan memperhatikan selain Allah SWT, atau menceritakannya, atau dia merasa
suka amal tersebut dilihat orang lain demi tujuan-tujuan duniawi.[16]
Sifat riya memiliki beberapa tingkatan. Jika keseluruhan Tujuannya adalah perbuatan
riya, maka tentu itu membatalkan ibadah. Jika tujuan ibadah dan Riya itu sebanding dengan
mengurangkan setiap salah satunya, maka ini tidak mendatangkan kebaikan baginya dan tidak
pula kejelekan.[17] Keluar kepada manusia dengan pakaian yang bagus adalah riya tetapi tidak
haram, kerena didalamnya tidak ada riya dengan amalan ibadah.[18] Hal ini ditunjukkan
dengan hadis yang diriwayatkan Aisyah r.a. bahwa ia berkata, Apabila Rasulullah saw. hendak
keluar menemui para sahabatnya, ia bercermin pada permukaan air, lalu memperbaiki serban dan
merapikan rambutnya. Aisyah bertanya, Apakah engkau melakukan hal itu, wahai
Rasulullah? Rasulullah menjawab, Benar, Allah SWT. Menyukai hamba-hamba-Nya yang
berhias untuk saudara-saudaranya apabila ia keluar menemui mereka.
Jika perbuatannya semata-mata karena riya, tanpa ada tujuan ibadah, ketika kemudian
terbebas dari riya maka barangkali tidak sia-sia amalannya. Namun dikurangi pahalanya, atau
disiksa berdasarkan kadar riya yang diperbuatnya[19].
Amal ibadah yang disertai dengan syirik di dalam nya, Allah tidak akan menerima amal
tersebut sebagaimana hadis di bawah ini:
( )
Terjemah: Sekali kali Allah tidak akan menerima suatu amal yang di dalamnya terdapat sebesar biji sawi
dari riya. (Ketiga hadis ini diriwayatkan oleh al-Mundziri di dalam kitab at-Tarhibnya).
Seseorang yang beramal dan masih di sertai syirik di dalamnya seperti beramal dengan
maksud agar dikatakan sebagai orang yang alim dan ahli baca Al-Quran, maka Allah akan

memasukkannya ke dalam neraka karena ia menjadikan makhluk, yaitu kemasyhuran, sebagai


tuhannya. Ibadahnya itu bukan karena Allah tetapi karena Makhluk-Nya.
Allah berfirman dalam Q.S An-Nisa : 142



Terjemahnya:Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan
mereka.[20] dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. mereka
bermaksud riya[21] (dengan shalat) di hadapan manusia. dan tidaklah mereka menyebut Allah
kecuali sedikit sekali.[22] (Q.S. An-Nissa[4]: 142)
Firman Allah dalam Q.S Al-Maun: 4-7


Terjemahnya:Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat,(yaitu) orang-orang yang lalai dari
shalatnya, orang-orang yang berbuat riya. Dan enggan (menolong dengan) barang berguna.
(Q.S. Al-Maaun [107]: 4-7)[23]
Orang yang beramal dengan maksud agar ia dikatakan sebagai orang yang dermawan,
maka ia pun dimasukkan ke dalam neraka, karena tujuan ibadahnya itu hanyalah ingin
memperoleh kemasyhuran. Maka memberinya kemasyhuran di dunia dan di akhirat tiada apa-apa
lagi baginya kecuali neraka. Allah berfirman dalam Q.S Al-Isra :18




Terjemahnya:Barangsiapa menghendaki kehidupan sekarang (duniawi), Maka Kami segerakan baginya di
dunia itu apa yang Kami kehendaki bagi orang yang Kami kehendaki dan Kami tentukan
baginya neraka Jahannam; ia akan memasukinya dalam Keadaan tercela dan terusir. (Q.S. AlIsra [17]: 18)
Riya dalam pokok keimanan, maka itu adalah kemunafikan. Pelakunya kekal di dasar
neraka. Jika riya itu dalam pokok-pokok fardhu, bukan dengan pokok-pokok keimanan, maka
itu lebih ringan. Dan jika riyaitu dalam ibadah sunnah atau dalam sifat-sifat ibadah, hukumnya
telah disebutkan di atas.
Riya merupakan suatu kondisi yang bertolak belakang dengan ikhlas, dalam pengertian
bahwa jika unsur riya ada dalam suatu perbuatan maka otomastis keikhlasan akan berkurang
nilainya, dan bahkan bisa hilang sama sekali. Orang yang beribadah didasari oleh unsur riya
tidak akan mendapat pahala dari Allah swt., karena motif ibadahnya tidak lagi murni karena

Allah melainkan karena makhluk-Nya. Mengingat bahaya dari riya, maka Rasulullah saw. dalam
hadis yang disebutkan di atas menggolongkannya dalam kelompok syirik kecil. Hal tersebut
karena dia melaksanakan pengabdian kepada Allah swt. dalam ibadah yang dilakukannya, tetapi
di balik pengabdian tersebut dia melibatkan makhluk Allah swt. sebagai mitivasi dalam
perwujudan ibadahnya kepada Allah, sehingga pengabdiannya tidak lagi ikhlas karena Allah swt.
Sebagaimana dosa-dosa yang lain, riya juga mempunyai tingkatan-tingkatan sesuai
dengan kadar besarnya motif luar yang mempengaruhi seseorang dalam melakukan sesuatu.
Imam al-Ghazali, dalam Ihya Ulum al-Din, membagi riya menjadi beberapa tingkatan, yaitu:
1. Tingkatan paling berat, yaitu orang yang tujuan setiap ibadahnya hanyalah untuk riya dan
tidak mengharapkan pahala. Misalnya, seseorang yang hanya melakukan shalat jika
berada di hadapan orang banyak, sedangkan jika sendirian ia tidak melaksanakannya,
bahkan kadang-kadang shalat tanpa berwudhu terlebih dahulu.
2. Tingkatan kedua ialah orang yang beramal dengan mengharapkan pahala, tetapi unsur
riya lebih dominan. Jika dilihat orang maka ia banyak melakukan amal kebajikan, tetapi
jika sendirian amalnya sangat sedikit. Misalnya, seseorang yang memberikan banyak
sedekah di hadapan orang, tapi jika tidak ada yang melihat, maka sedekahnya sedikit.
3. Tingkatan ketiga, yaitu seimbang antara niat memperoleh pahala dari Allah dan riya.
Sikap seperti ini menodai perbuatan baik uang dilakukannya, dalam pengertian
mencampur adukkan antara pahala dan dosa.
4. Tingkatan keempat ialah menjadikan riya (dilihat orang) hanya sebagai pendorong untuk
melakukan ibadah, sehingga jika tidak dilihat orang pun, dia tetap melakukan ibadah.
Hanya saja ia merasa lebih semangat kalau dilihat orang.
Imam Ali r.a mengemukakan tiga cirri-ciri orang riya sebagai berikut:[24]
1. Malas beramal kalau sendirian
2. Semangat beramal kalau dilihat orang banyak

3. Amalnya bertambah banyak kalau di puji oleh orang lain, dan berkurang kalau dicela
orang lain.
Ciri-ciri orang riya sebagaimana disebutkan Imam Ali di atas, hendaknya dijadikan
sebagai rambu-rambu untuk berusaha maksimal membentengi segala amalan kita dari segala
bentuk riya. Syaqiq bin Ibrahim sebagaimana dikutip Abu Laits Samarqandi mengemukakan tiga
perkara yang dapat dijadikan benteng amal, sebaga berikut:[25]
1. Hendaknya mengakui bahwa amal ibadahnya merupakan pertolongan Allah swt. agar
penyakit ujub dalam hatinya hilang;
2. Semata-mata hanya mencari ridha Allah swt. agar hawa nafsunya teratur
3. Senantiasa hanya mengharap ridha Allah swt. agar tidak timbul rasa tamak atau riya
Oleh sebab itu, besarnya ancaman dan bahaya bagi orang yang melakukan amalan karena
riya, tidak boleh menjadi alasan dan membuat kita enggan melakukan amal ibadah. Justru
hendaknya ancaman-ancaman seperti itu dijadikan sebagai motivasi untuk semakin berusaha
membersihkan segala amalan kita dari segala bentuk riya, sekecil apapun bentuknya.
Sehubungan dengan hal ini, Abu Bakar al-Wasith berpendapat bahwa menghilangkan
riya dalam beramal sangat penting. Namun, jika belum dapat membersihkan diri dari unsur-unsur
riya dalam amalan, kita tidak boleh berputus asa dan tidk boleh menjadi penghalang bagi kita
untuk melakukan amal tersebut karena takut riya. Oleh sebab itu, tetaplah beramal seraya
memohon ampun kepada Allah swt. atas kemungkinan riya yang ada dalam amalan yang kita
lakukan, dengan harapan Allah swt. memberi taufik dalam melakukan amal-amal dengan ikhlas.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Niat dalam ajaran Islam mempunyai arti yang sangat penting, sebab ia merupakan kunci
kebermaknaan amal di sisi Allah. swt. Semua bentuk perbuatan yang orientasinya adalah
mengharap pahala dari Allah swt. hanya dapat dinilai jika didasari dengan niat. Niat itulah yang
menentukan nilai dan kualitas sebuah perbuatan. Pahala yang diperolehnya pun sesuai dengan
yang menjadi motivasi dalam melakukan perbuatan tertentu.
Riya akan sangat merugikan bagi pelakunya, karena segala amal ibadahnya akan sia-sia.
Itulah sebabnya riya sangat berbahaya, bahkan dikategorikan sebagai syirik kecil. Namun
demikian, seseorang tidak boleh enggan untuk beramal karena takut riya. Tetapi yang bijaksana
adalah tetap berpacu dalam memperbanyak ibadah dan amal kebajikan seraya memohon taufiq
dari Allah swt. agar dikaruniai keikhlasan dalam segala amalannya.
B. Saran-saran
Dengan adanya makalah mengenai niat/motivasi beramal dan menjauhi perbuatan
riya/syirik kecil, diharapkan mahasiswa dapat mengetahui dan memahami tentang bagaimana
posisi niat dalam beramal dan menjauhi perbuatan riya. Sehingga dapat menambah khasah ilmu
pengetahuan kita. Penyusun menyadari sebaik apapun sebuah karya tulis dalam makalah ini,
kiranya akan lebih baik lagi jikalau teman-teman mahasiswa dan lebih khusus dosen pengasuh
mata kuliah fiqih dapat memberikan sumbang saran yang membangun sehingga makalah ini akan
menjadi bahan pembelajaran yang berkembang untuk pembuatan karya ilmiah selanjutnya.

DAFTAR PUSTAKA

Shahih Bukhari 52, Kitab: 2. Iman, Bab: 40. Sesungguhnya Amal Itu Bergantung Dengan Niat
dan Pengharap. Dalam http://lidwa.com./app/ Kitab Hadis 9 Imam Online Terjemah Indonesia
Husaini Majid Hasyim , Syarah Riyadhush Shalihin Jilid I, (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1993).
h.15-16

Ibnu Hajar Ats-Qalani alih bahasa Masdar Helmy, Bulughul Maram .Bab Peringatan Untuk
Menghindari Kejelekan Akhlak (Cet ke III, Bandung; CV. Gema Risalah Press, 1994) Hal.489
Al-Ghazali, Mutiara Ihya Ulumuddin diterjemahkan Irwan Kurniawan (Cet ke I, Bandung; PT.
Mizan Pustaka, 1990) Hal. 280
Musnad Ahmad 22523, Kitab: 13. Sisa Musnad Sahabat Anshor, Bab; 1057. Hadist Mahmud
Bin Labid Radiyallahuanhu. Dalam http://lidwa.com./app/ Kitab Hadis 9 Imam Online Terjemah
Indonesia.
Syamsudin al-Dzahaby, al-Kabair (Jakarta: Dinamika Berkat Utama, t.t), h. 123.
Al-Faqih Abu Laits Samarqandi, Tanhib al-Ghafilin; Pembangun Jiwa Moral, penerjemah: Abu
Imam Taqiyuddin, BA.m (Malang: Dar al-Ihya, 1986), h. 15.
http//salafidb.googlepage.com, Imam Nawawi, Penjelasan Hadist Arbaiin: Bab Niat, 07-042013
http//salafidb.googlepage.com, Imam Nawawi, Riyadhus Shalihin, Keikhlasan Dan
Menghadhirkan Niat Dalam Segala Perbuatan, Ucapan Dan Keadaan Yang Nyata Dan Yang
Samar,07-04-2013
http://muslim.or.id, Abul Abbas Khalid Syamhudi, Fikih Niat: Peran Niat dalam Amal,
(Disebarkan dalam bentuk Ebook di Maktabah Abu Salma al-Atsari http://dear.to/abusalma), h.
9. 08-04-2013

http://muslim.or.id, Abul Abbas Khalid Syamhudi, Fikih Niat: Peran Niat dalam Amal,
(Disebarkan dalam bentuk Ebook di Maktabah Abu Salma al-Atsari http://dear.to/abusalma), h.
9. 08-04-2013

www.google.com, pdf. Hadits Arbain Nawawi, Hadits Pertama: Niat, 08-04-2013

[1]Shahih Bukhari 52, Kitab: 2. Iman, Bab: 40. Sesungguhnya Amal Itu Bergantung
Dengan Niat dan Pengharap. Dalam http://lidwa.com./app/ Kitab Hadis 9 Imam Online
Terjemah Indonesia
[2] http//salafidb.googlepage.com, Imam Nawawi, Penjelasan Hadist Arbaiin: Bab Niat,
25-03-2011
[3] http//salafidb.googlepage.com, Ibid.
[4]http//salafidb.googlepage.com, Imam Nawawi, Riyadhus Shalihin, Keikhlasan Dan Menghadhirkan
Niat Dalam Segala Perbuatan, Ucapan Dan Keadaan Yang Nyata Dan Yang Samar
[5]Lurus berarti jauh dari syirik (mempersekutukan Allah) dan jauh dari kesesatan.
[6] http://muslim.or.id, Abul Abbas Khalid Syamhudi, Fikih Niat: Peran Niat dalam Amal, (Disebarkan
dalam bentuk Ebook di Maktabah Abu Salma al-Atsari http://dear.to/abusalma), h. 9. (26-03-2011)

[7]http://muslim.or.id, Abul Abbas Khalid Syamhudi, Ibid, h. 14


[8]Husaini Majid Hasyim , Syarah Riyadhush Shalihin Jilid I, (Surabaya:

PT Bina Ilmu,

1993). h.15-16
[9] Ibid
[10] Maksudnya: apa yang mereka usahakan di dunia itu tidak ada pahalanya di akhirat.

[11]Yang dimaksud dengan amal mereka disini ialah amal-amal mereka yang baikbaik yang mereka kerjakan di dunia amal-amal itu tak dibalasi oleh Allah Karena mereka
tidak beriman.
[12]www.google.com, pdf. Hadits Arbain Nawawi, Hadits Pertama: Niat, 23-03-2011
[13]Ibnu Hajar Ats-Qalani alih bahasa Masdar Helmy, Bulughul Maram .Bab Peringatan

Untuk Menghindari Kejelekan Akhlak (Cet ke III, Bandung; CV. Gema Risalah Press, 1994)
Hal.489
[14]Al-Ghazali, Mutiara Ihya Ulumuddin diterjemahkan Irwan Kurniawan (Cet ke I,
Bandung; PT. Mizan Pustaka, 1990) Hal. 280
[15]Musnad Ahmad 22523, Kitab: 13. Sisa Musnad Sahabat Anshor, Bab; 1057. Hadist
Mahmud Bin Labid Radiyallahuanhu. Dalam http://lidwa.com./app/ Kitab Hadis 9 Imam Online
Terjemah Indonesia.
[16]Ibnu Hajar Al-AsQalani, Syarah Bulughul Maram penerjemah Achmad Sunarto (Cet
ke I, Surabaya; Maktabah Asy-Syuruq Mesir,2001) Hal. 948
[17]Al-Ghazali, Mutiara Ihya Ulumuddin diterjemahkan Irwan Kurniawan, Op Cit, Hal.
287
[18]Al-Ghazali, Ibid.
[19]Al-Ghazali, Ibid. Hal. 288
[20]Maksudnya: Alah membiarkan mereka dalam pengakuan beriman, sebab itu mereka
dilayani sebagai melayani Para mukmin. dalam pada itu Allah telah menyediakan neraka buat
mereka sebagai pembalasan tipuan mereka itu.
[21]Riya Ialah: melakukan sesuatu amal tidak untuk keridhaan Allah tetapi untuk mencari
pujian atau popularitas di masyarakat.
[22]Maksudnya: mereka sembahyang hanyalah sekali-sekali saja, Yaitu bila mereka
berada di hadapan orang.
[23]Sebagian Mufassirin mengartikan: enggan membayar zakat.
[24]Syamsudin al-Dzahaby, al-Kabair (Jakarta: Dinamika Berkat Utama, t.t), h. 123.
Laits Samarqandi, Tanhib al-Ghafilin; Pembangun Jiwa
Moral, penerjemah: Abu Imam Taqiyuddin, BA.m (Malang: Dar al-Ihya, 1986), h. 15.
[25]Al-Faqih Abu

Anda mungkin juga menyukai