Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Para sufi memandang manusia cenderung mengikuti hawa nafsu.


Manusia dikendalikan oleh dorongan-dorongan nafsu pribadi, bukan manusia
yang mengendalikan nafsu. Manusia yang sudah dikendalikan oleh nafsu
cenderung untuk memiliki rasa keinginan untuk menguasai dunia atau agar
berkuasa dunia. Seseorang yang sudah dikendalikan oleh nafsu memiliki
kecenderungan memiliki mental yang kurang baik, hubungan dengan Tuhan
sebagai hamba Allah kurang harmonis karena waktu yang dimiliki habis untuk
mengurus kepentingan duniawi.
Tasawuf adalah suatu bidang ilmu keislaman untuk memasuki atau
menghiasi diri dengan akhlak yang luhur dan keluar dari akhlak yang rendah.
Tasawuf juga dapat diartikan sebagai kebebasan, kemuliaan, meninggalkan
perasaan terbebani alam setiap melaksanakan perbuatan syara’, dermawan, dan
murah hati. Secara garis besar tasawuf terbagi menjadi tasawuf sunni dan
tasawuf falsafi. Tasawuf falsafi ialah tasawuf yang ajaran-ajarannya disusun
secara kompleks dan mendalam dengan bahasa-bahasa simbolik filosofis.
Sementara, tasawuf sunni adalah tasawuf yang didasarkan pada Al-Qur’an dan
sunnah. Tasawuf sunni dibagi dalam dua tipe, yaitu tasawuf akhlaqi, dan
tasawuf amali.
Tasawuf ialah memilih jalan hidup secara zuhud dan menjauhkan diri
dari perhiasan hidup dalam segala bentuknya. Dalam pandangan sufi, manusia
cenderung kepada hawa nafsunya. Manusia dikendalikan oleh nafsu, bukan
manusia yang mengendalikan nafsu. Itulah sebabnya untuk memasuki
kehidupan tasawuf, seseorang harus mampu menguasi nafsunyaagar tidak
sampai membawa kepada kesesatan.1

1
Agustang K. & Sugirma. 2017. Tasawuf Anak Muda (Yang Muda Yang Berhati Mulia). Penerbit: deepublish (Grup Penerbitan
CV. Budi utama). Hlm.37

1
Dalam pandangan kaum sufi, manusia cenderung mengikuti hawa nafsu.
Manusia dikendalikan untuk oleh dorongan-dorongan nafsu pribadi karena
untuk mengetahui bahwa manusia harus bertobat dengan cara mendekatkan diri
kepada Allah Swt. Untuk mengembalikan manusia kekondisi yang baik tidak
hanya dari aspek lahiriah semata melainkan juga melalui aspek batiniah.
Didalam tasawuf proses batiniah itu meliputi tahapan-tahapan. Tujuannya
adalah untuk menguasai hawa nafsu dalam rangka pembersihan jiwa agar bisa
lebih dekat dengan Allah. Tahapan-tahapan itu adalah takhalli, tahalli, dan
tajalli.

B. Rumusan Masalah
Dari permasalahan tersebut di atas kami mengambil rumusan masalah yaitu:
1. Apakah pengertian takhalli, tahalli, dan tajalli?
2. Bagaimana pelaksanaan Takhali, Tahalli dan Tajalli?
3. Bagaimana Hubungan Takhali, Tahalli dan Tajalli ?

C. Tujuan Penulisan
Tujuan penulis mengangkat tema ini yaitu agar penulis dan pembaca
pada umumnya dapat :
1. Mengetahui pengertian takhalli, tahalli, dan tajalli
2. Mengetahui bagaimana pelaksanaan Takhali, Tahalli dan Tajalli
3. Mengetahui bagaimana hubungan Takhali, Tahalli dan Tajalli

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Takhalli, Tahalli dan Tajalli

1. Pengertian Takhalli

Takhalli yakni penyucian diri dari sifat-sifat tercela, dari maksiat lahir
maupun batin. Diantaranya ialah hasad (dengki), hiqd (rasa mendongkol),
su’uzhan (buruk sangka), riya’ (pamer), bukhl (kikir), dan ghadab (pemarah).2
Dalam hal ini Allah berfirman: “Berbahagialah orang yang mensucikan
jiwanya dan rugilah orang yang mengotorinya” (Q.S. Asy-Syams [91]: 9-10).3
Takhalli (purgatifa) merupakan segi filosofis terberat, karena terdiri
dari mawas diri, pengekangan segala hawa nafsu dan mengosongkan hati dari
segala-galanya, kecuali dari diri yang dikasihi yaitu Tuhan.4
Sebagai langkah pertama yang dilakukan oleh orang sufi dengan cara
mengosongkan diri dari akhlak tercela serta memerdekakan jiwa dari hawa
nafsu duniawi yang akan menjerumuskan manusia kedalam kerakusan dan
bertingkah layaknya binatang.5
Takhalli juga berarti menghindarkan diri dari ketergantungan terhadap
kelezatan hidup duniawi. Kelompok sufi yang ekstrim berkeyakinan bahwa
kehidupan duniawi benar-benar sebagai “racun pembunuh” kelangsungan cita-
cita sufi. Oleh karena itu, nafsu duniawi harus dimatikan dari diri manusia agar
ia bebas berjalan mencapai kenikmatan yang hakiki. Bagi mereka, mencapai
keridhaan Tuhan lebih uatam daripada kenikmatan-kenikmatan materiil.
Pengingkaran pada ego dengan meresapkan diri pada kemauan Tuhan adalah

2
M. Amin Syukur, Tasawuf Kontekstual, 2012. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hlm. 2
3 Deprtemen Agama RI. 2005. Al-Jumanatul Ali, Al-qur’an dan Terjemahanny. Bandung: CV. Penerbit J-
ART. hlm. 596
4 Totok jumantoro, Samsul Munir Agus. 2005. Kamus Ilmu Tasawuf. Jakarta: Amzah. hlm. 233.

5 Beni Ahmad Saebani, Abdul Hamid. 2010. Ilmu Akhlak. Bandung: Pusaka Setia.. hlm. 195.

3
perbuatan utama. Dengan demikian nilai moral betul-betul agamis karena
setiap tindakan disejajarkan dengan ibadat yang lahir dari motivasi
eskatologis.6
Takhalli berarti membersihkan diri dari sifat-sifat tercela dan juga dari
kotoran/penyakit hati yang merusak. Takhalli juga berarti mengosongkan diri
dari sikap ketergantungan kepada kelezatan duniawi. Hal ini akan dapat dicapai
dengan jalan menjauhkan diri dari kemaksiatan dalam segala bentuknya dan
berusaha melepasakan dorongan hawa nafsu jahat.

2. Pengertian Tahalli

Tahalli yakni menghiasi dan membiasakan diri engan sikap perbuatan


terpuji.7 Dalam hal ini Allah berfirman: “Sesungguhnya Allah menyuruh
(kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, member kepada kaum kerabat, dan
Allah melarang perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia member
pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pengajaran.” (Q.S. Al-
Balad [16]: 90).
Tahalli ini merupakan tahap pengisian jiwa yang telah dikosongkan.
Apabila manusia mampu mengisi hatinya dengan sifat-sifat terpuji maka ia
akan menjadi cerah dan terang sehingga dapat menerima cahaya ilahi sebab
hati yang kotor tidak dapat menerima cahaya tersebut. Setelah hatinya terang,
maka segala perbuatan dan tindakannya akan dijalankan dengan niat yang
ikhlas: ikhlas melakukan ibadah kepada Allah, mengabdi kepada kepentingan
agamanya, serta ikhlas bekerja untuk melayani kepentingan keluarga,
masyarakat dan negaranya tanpa mengharap balasan apapun kecuali dari Allah.
Tahalli juga dapat diartikan sebagai usaha menghiasi diri dengan jalan
membiasakan diri bersikap dan berbuat baik. Berusaha agar dalam setiap
perilakunya selalu berjalan diatas ketentuan agama baik kewajiban yang
bersifat luar atau ketaatan lahir seperti shalat, puasa, zakat dan haji maupun

6
Sokhi Huda, Tasawuf Kultural, 2008. Yogyakarta: LKiS. hlm. 53-54
7
M. Amin Syukur, Tasawuf Kontekstual, 2012. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hlm. 2

4
ketaatan yang bersifat dalam atau ketaatan batin seperti iman, bersikap ikhlas
dan juga ridha terhadap seluruh ketentuan Allah.8
Tahalli artinya berhias, Maksudnya adalah menghias diri dengan jalan
membiasakan diri dengan sifat dan sikap serta perbuatan yang baik. Berusaha
agar dalam setiap gerak perilaku selalu berjalan diatas ketentuan agama, baik
kewajiban luar maupun kewajiban dalam. Kewajiban luar adalah kewajiban
yang bersifat formal, seperti salat, puasa, zakat, haji dan lain sebagainya.
Sedangkan kewajiban dalam seperti iman, ihsan dan lain sebagainya.

3. Pengertian Tajalli

Tajalli yaitu terungkapnya nur ghaib untuk hati. Dalam hal ini kaum sufi
mendasarkan pendapatnya pada firman Allah: “Allah adalah nur (cahaya)
langit dan bumi” (Q.S. An-Nur [24]: 35). Menurut Mustofa Zahri, tajalli
diartika sebagai lenyapnya hijab dari sifat-sifat kemanusiaan, tersingkapnya
nur yang selama itu ghaib, dan lenyapnya segala sesuatu ketika muncul wajah
Allah. Sedangkan menurut Al-Ghazali dalam kitab al-Munqizh min adh-
Dhalal, tajalli adalah tersingkapnya hal-hal ghaib yang menjadi pengetahuan
kita yang hakiki disebabkan oleh nur yang dipancarkan Allah kedalam hati
seseorang. Pengetahuan hakiki tersebut tidak didapat dengan menyusun dalil
dan menata argumentasi, tetapi karena nur yang dipancarkan Allah kedalam
hati, dan Nur ini merupakan kunci untuk sekian banyak pengetahuan. 9
Tajalli merupakan tanda-tanda yang Allah tanamkan didalam diri
manusia supaya Ia dapat disaksiakan. Setiap tajalli melimpahkan cahaya demi
cahaya sehingga seorang yang menerimanya akan tenggelam dalam kebaikan.
Jika terjadi perbedaan yang dijumpai dalam berbagai penyingkapan itu tidak
menandakan adanya perselisihan diantara guru sufi. Masing-masing manusia
unik, oleh karena itu masing-masing tajalli juga unik. Sehingga tidak ada dua

8
Sokhi Huda, Tasawuf Kultural, 2008, (Yogyakarta: LKiS), hlm. 54-55
9
Ibid. hlm. 55-56

5
orang yang meraskan pengalaman tajalli yang sama. Tajalli melampaui kata-
kata. Tajalli adalah ketakjuban.
Al-Jilli membagi tajalli menjadi empat tingkatan, yaitu:
a. Tajalli Af`al, yaitu tajalli Allah pada perbuatan seseorang, artinya segala
aktivitasnya itu disertai qudrat-Nya, dan ketika itu dia melihat-Nya.
b. Tajalli Asma`, yaitu lenyapanya seseorang dari dirinya dan bebasnya dari
genggaman sifat-sifat kebaruan dan lepasnya dari ikatan tubuh kasarnya.
Dalam tingkatan ini tidak ada yang dilihat kecuali hannya dzat Ash Shirfah
(hakikat gerakan), bukan melihat asma`.
c. Tajalli sifat, yaitu menerimanya seorang hamba atas sifat-siafat ketuhanan,
artinya Tuhan mengambil tempat padanya tanpa hullul dzat-Nya.
d. Tajalli Zat, yaitu apabila Allah menghendaki adanya tajalli atas hamba-Nya
yang mem-fana` kan dirinya maka bertempat padanya karunia ketuhanan
yang bisa berupa sifat dan bisa pula berupa zat, disitulah terjadi ketunggalan
yang sempurna. Dengan fana`nya hamba maka yang baqa` hanyalah Allah.10
Tajalli adalah terungkapnya cahaya kegaiban atau nur gaib. Manusia
yang telagh melakukan kesadaran tertinggi dengan cara membiasakan
kehidupannya dengan akhlak terpuji. Kehidupannya tidak ada, kecuali rasa
cinta, rindu, dan bahagia karena dekat dengan Allah Swt.

B. Pelaksanaan Takhalli, Tahali dan Tajalli

1. Pelaksanaan Takhalli
Cara pencapian takhalli ialah dengan jalan menjauhkan diri dari
kemaksiatan dalam segala bentuknya dan berusaha melenyapkan dorongan hawa
nafsu jahat.

10
Aning Septiani, Sofi Ulfa mayanti dan Dewi Fatimatuzzarahrah. 2015. Makalah Takhalli, Tahalli, tajalli
dan alam malakut. Semarang: IAIN Walisongo Herbal beauty store,
http://tarekataulia.blogspot.com/2013/12/kesempurnaan-konsep-takhalli-tahalli.html.

6
Langkah pertama yang harus ditempuh adalah mengetahui dan menyadari
betapa buruknya sifat-sifat tercela dan kotoran-kotoran hati tersebut, sehingga
muncul kesadaran untuk memberantas dan menghindarinya. Apabila hal ini bisa
dilakukan dengan sukses, maka seseorang akan memperoleh kebahagiaan. Allah
berfirman:

َ ‫فَأ َ ْل َه َم َها فُ ُج‬


‫ قَ ْد أ َ ْفلَ َح َمن زَ َّكاهَا‬, ‫ورهَا َوت َ ْق َواهَا‬
Artinya : Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang membersihkan jiwa
itu, dan sungguh merugilah orang yang mengotorinya. (QS. 91: 8-9)11

Adapun sifat-sifat atau penyakit hati yang perlu diberantas sebagimana


diterangkan oleh HM. Amin Syukur dalam kedua bukunya sebagai berikut:12
a. Hasad
Hasad diartikan iri dan dengki. Hal ini terkandung pengertian adanya
keinginan hilangnya suatu nikmat dari tangan orang lain, agar berpindah kepada
dirinya. Sifat ini dilarang oleh Allah (QS. An-Nisa’ : 54 dan QS. Al-Baqarah :
109).
Menurut Aboebakar Aceh hasad diartikan membenci nikmat Tuhan yang
dianugerahkan kepada orang lain dengan keinginan agar nikmat orang lain itu
terhapus.13 Hasad merupakan salah satu sifat jiwa yang keji, tidak dapt
dihilangkan jika tidak memperoleh didikan dan latihan secara sufi. Sebelum
orang yang hasad itu mencapai maksudnya, ia lebih dahulu telah membinasakan
dirinya dengan lima akibat, pertama menderita duka cita yang berlarut-larut,
kedua menderita kecelakaan yang tak dapat ditolong, ketiga memperoleh
amarah Tuhan, keempat dan kelima ditutup untuknya pintu hidayat dan taufik.
Hasan Basri berkata: “wahai anak Adam jangan engkau hasad atau dengki

11
Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir al-Qur'an, al-Qur'an dan Terjemahnya, Surya
Cipta Aksara, Surabaya, 1989, hlm. 1064.
12
HM. Amin Syukur, Pengantar Studi Islam, op.cit, hlm. 228-234. HM. Amin Syukur dan
Musyaruddin, op.cit, hlm. 45-46.
13
Aboebakar Aceh, Pendidikan Sufi Sebuah Upaya Mendidik Akhlak Manusia, CV. Ramahani,
Solo, 1991, hlm. 31.

7
terhadap saudaramu, karena ia memperoleh kemuliaan dari Tuhan, maka
tidaklah layak engkau dengki terhadap orang yang telah dimuliakan oleh Tuhan
itu. Sebaliknya jika ia memperoleh sesuatu bukan dari Tuhan, apakah layak
engkau dengki atau iri hati terhadap orang yang akan pergi masuk neraka?” Ada
orang sufi berkata: “seseorang yang mempunyai tiga macam kelakuan tidak
diperkenankan doanya, pertama ia gemar makan barang haram, kedua banyak
mengumpat orang lain, ketiga barang sedikit hasad atau dengki dalam hatinya
terhadap orang Islam. Sedangkan hasad yang tidak berarti dengki terhadap
nikmat yang dikaruniakan kepada orang lain, dan tidak juga menghendaki
hilangnya karunia tersebut, namun sekadar mendorong cita-cita untuk berbuat
sesuatu, sehingga memperoleh karunia seperti orang lain itu, maka sifat yang
demikian itu termasuk sifat yang terpuji dan memperoleh pahala di hari akherat,
sifat ini dinamakan munafasah atau ghirah.14
Imam Ghazali mengatakan hasad itu haram hukumnya yaitu hasad yang
mempunyai tujuan menghilangkan sesuatu nikmat pada diri orang lain dan
mengharapkan datang celaka kepada orang lain itu. Adapun munafasah, yaitu
keinginan agar memperoleh nikmat seperti orang lain itu dengan tidak
menghendaki kebinasaan terhadap orang itu menurut Ghazali tidak haram.15
Sejalan dengan itu HM. Amin Syukur menegaskan ightibath, yaitu
keinginan untuk mendapatkan nikmat seperti nikmat yang diperoleh orang lain
seperti ilmu, harta kekayaan kedudukan dan kebaikan, tanpa adanya keinginan
hilangnya nikmat itu dari orang tersebut adalah diperbolehkan.16
Berlainan dengan hasad ialah sifat haqad, yaitu dengki yang sudah
membuahkan permusuhan, kebencian dan memutuskan silaturrahim, yang
demikian itu aalah sifat yang paling buruk dan sangat tercela, menurut
Rasulullah besar sekali dosanya, karena orang yang demikian itu telah termasuk
kedalam golongan orang yang memisahkan dirinya dari sesama Islam, dan

14
Ibid, hlm. 32
15
Aboebakar Aceh, op.cit, hlm. 32.
16
HM. Amin Syukur, Pengantar Studi Islam, op.cit, hlm. 228-229.

8
membuka ‘aib dan rahasia sesama saudaranya, sehingga baginya tidak ada
tempat lain daripada neraka. 17
b. Al-Hirshu
Al-Hirshu adalah suatu keinginan yang berlebih-lebihan terhadap masalah-
masalah keduniaan. Sifat selalu ingin menang merupakan sifat kemanusiaan
(manusiawi) dan sifat pembawaan manusia (al-Imran : 14). Islam memandang,
keinginan yang berlebih-lebihan adalah dilarang, namun keinginan dalam batas
kewajaran dan dalam rangka memenuhi kebutuhan primer seseorang, masih
dalam batas diperbolehkan, karena ia merupakan sarana mempertahankan
eksistensi di atas dunia ini, hanya saja cara dan materi pemenuhan keinginan
(kebutuhan hidup) itu dalam kerangka norma dan kaidah yang berlaku.18
c. Al-Takabburu
Takabbur yang biasa diartikan kesombongan, berarti sikap dan sifat
merendahkan orang lain dan bisa berarti menolak al-haq (kebenaran). Sebab-
sebab yang menjadikan seseorang berlaku sombong (takabbur) ialah adanya
perasaan kelebihan pada dirinya, seperti ilmu pengetahuan, amal ibadah,
keturunan orang terhormat, harta kekayaan, kekuatan fisik, kedudukan,
kecantikan, ketampanan dan sebagainya.19
Dalam realisasinya, takabbur itu dapat diklasifikasikan menjadi tiga:
pertama, takabbur kepada Allah, seperti Fir’aun yang mengaku sebagai Tuhan.
Takabbur ini yang terjelak. Kedua, takabbur kepada rasulnya seperti orang-
orang quraisy. Ketiga, takabbur kepada sesamanya. Ketiga-tiganya harus kita
hilangkan dari diri kita masing-masing.
d. Al-Ghadlab
Ghadlab berarti marah. Sifat ini merupakan pembawaan setiap manusia,
namun mereka berbeda dalam kadarnya, ada yang berdarah dingin, berdarah
panas dan ada yang berdarah sedang. Bagi mereka yang berdarah dingin tidak

17
Ibid. hlm. 228
18
Ibid. hlm. 229.
19
HM.Amin Syukur, Op.cit, hlm. 3.

9
mempunyai sifat marah, atau seandainya mempunyai, kadarnya hanya sedikit.
Orang seperti ini dinilai tidak baik, karena justru manusia suatu ketika harus
marah, manakala menyangkut hak asasinya yang harus dipertahankan. Imam
Syafi’i pernah menyatakan, barang siapa yang semestinya harus marah, akan
tetapi tidak mau marah, maka orang itu bagaikan himar. Sebaliknya bagi yang
berdarah panas, sedikit tersinggung perasaannya, naik pitam, sehingga lupa
daratan, keluar dari rel pemikiran yang sehat dan ketentuan agama bahkan
seperti orang gila. Memang demikianlah, marah pada awalnya seperti orang gila,
tapi akhirnya akan menyesal. Dalam hubungan ini menurut HM. Amin Syukur,
yang paling baik ialah bersikap tengah di antara keduanya, yaitu marah untuk
membela suatu kebenaran (haq), artinya marah yang proporsional.
e. Riya’ dan Sum’ah
Riya’ artinya mencari simpati dengan mempertahankan kebaikannya. Sifat
ini dilarang oleh Allah (al-Ma’un : 4-6). Hal-hal atau kebaikan yang
diperlihatkan ialah tubuh, perhiasan, ucapan, amalan lahir, pengikut atau teman
dan sebagainya. Tanda-tanda orang yang riya’ ialah malas beramal ketika berada
dalam kesendirian dan giat apabila dilihat orang banyak, serta menambah
amalnya ketika dipuji orang dan menguranginya ketika dicaci.
Sum’ah adalah sifat yang tercela yang mirip ria, bedanya ialah kalau
sum’ah melakukan amal kebaikan disertai tujuan agar didengar oleh orang
dengan tujuan ingin populer.
f. Ujub atau Ta’jub
Ujub adalah mengherani diri sendiri atas kebaikan yang dilakukan dan
kelebihan yang dimilikinya tanpa mengingat pemberi dan pendukungnya. Sifat
ini mempunyai pengaruh negatif terhadap diri seseorang antara lain menjurus
kepada sifat takabbur (sombong), lupa nikmat Allah dan dosanya, dan
sebagainya. Oleh karena itu Allah mencelanya (at-Taubah : 25 dan al-Kahfi :
104).
g. Syirik

10
Syirik adalah mempersekutukan Allah SWT dengan makhluknya, baik
dalam dimensi rububiyah, mulqiyah maupun illahiyah, secara langsung atau
tidak, secar nyata atau terselubung. Dalam dimensi rububiyah misalnya
meyakini bahwa ada makhluk yang mampu menolak segala kemudharatan dan
meraih segala kemanfaatan, atau dapat memberikan berkat, seperti meyakini
“kesaktian para wali Allah”, sehingga ia minta bantuan kepada mereka untuk
menolak petaka atau untuk meraih keuntungan apalagi bila wali tersebut sudah
meninggal dunia.
Dalam dimensi mulqiyah misalnya mematuhi sepenuhnya para penguasa
non muslim – bukan terpaksa – di samping menyatakan patuh kepada Allah
SWT, padahal pemimpin non muslim itu menghalalkan apa yang diharamkan
Allah SWT dan mengharamkan apa yang dihalalkan atau mengajaknya
melakukan kemaksiatan.20

2. Pelaksanaan Tahalli

Untuk melakukan tahalli langkahnya ialah membina pribadi, agar memiliki


akhlak al-karimah, dan senatiasa konsisten dengan langkah yang dirintis
sebelumnya (dalam takhalli). Melakukan latihan kejiwaan yang tangguh untuk
membiasakan berprilaku baik, yang pada gilirannya akan menghasilkan manusia
yang sempurna (insan kamil).
Langkah pengosongan dalam takhalli secara langsung dan disinari dengan
sifat-sifat terpuji (mahmudah), dan sifat-sifat ketuhanan antara lain al-tauhid
(pengesaan Tuhan secara mutlak), al-taubah (kembali kejalan yang baik), al-zuhdu
(sikap hati mengambil jarak dengan dunia materi), al-hub al-llah (cinta Tuhan), al-
wara (memelihara diri dari barang-barang yang haram dan syubhat), al-shabru
(tabah dan tahan) dalam menghadapai segala situasi dan kondisi, al-fakr (merasa
butuh kepada Tuhan) al-syukru (sikap terima kasih dengan menggunakan nikmat
dan rahmat Allah SWT secara fungsional dan proporsional), al-ridha (rela terhadap

20
Yunahar Ilyas, Kuliah Aqidah Islam, Lembaga Pengkajian dan Pengamalan Islam (LPPI),
Yogyakarta, 2002, hlm. 70.

11
apa yang diterimanya), al-tawakal (pasrah diri kepada Allah SWT setelah berusaha
maksimal), al-qan’ah (menerima pemberian Allah SWT secara ikhlas) dan
21
sebagainya.
Setelah seseorang berupaya melalui dua tahap tersebut, yaitu tahap takhalli
dan tahalli maka kemudian tahap ketiga yakni tajalli.

3.Pelaksanaan Tajalli

Telah lahirnya seseorang dari kelahiran yang baru dan di dalam hidup dan
kehidupan yang baru adalah semata-mata karena pertolongan Allah, syafa’at
Rasulullah saw dan doanya para malaikat di sisinya melalui upaya, perjuangan,
pengorbanan dan kedisiplinan yang sangat tinggi dari diri sendiri dalam
melaksanakan ibadah-ibadah berupa menjalankan segala perintah-Nya, menjauhi
larangan-Nya, dan tabah terhadap ujian-Nya.
Adapun indikasi-indikasi kelahiran baru seorang manusia adalah :
Pertama, (tingkat dasar). Yaitu hadirnya rasa aman, tenang, tentram baik
secara psikologis, spiritual maupun fisik; sebagai indikasi telah lenyapnya bekasan-
bekasan hitam sebagai akibat dari pengingkaran (maksiat) kepada Allah, yang
melekat pada akal fikiran, qalb, inderawi, jiwa, jasad dan kehidupan.
Kedua, (tingkat menengah). Yaitu hadirnya sifat, sikap dan perilaku yang
baik, benar, sopan santun, tulus, istiqomah, yaqin, kesatria dan sebagainya secara
otomatis bukan rekayasa.
Ketiga, (tingkat atas). Yaitu hadirnya potensi menerima mimpi yang benar,
ilham yang benar dan kasysyaf yang benar.
Keempat, (tingkat kesempurnaan). Yaitu hadirnya ketiga tingkatan itu ke
dalam diri. 22
Dari uraian di atas, tampak pentingnya ketiga jenjang pembinaan dalam
tasawuf untuk diamalkan dalam kehidupan manusia di alam dunia ini.

21
Mustafa Zahri, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf, PT. Bina ilmu, Surabaya, 1998, hlm. 82-89.
22
M. Hamdani Bakran adz-Dzaky, op.cit, hlm. 328-329

12
C. Hubungan antara Takhalli, tahalli dan Tajalli

Orang sufi memikirkan suatu cara tersendiri sebagai usaha melenyapkan


pertentangan kepentingan yang ada dalam diri manusia itu. Mereka berpendapat
bahwa ketiga pokok penggerak hidup rohani manusia itu sebenarnya berasal
yang satu juga, yaitu hawa nafsu atau syahwat. Hawa nafsu dan syahwat inilah
yang seringkali menggiatkan kehidupan manusia, tetapi yang seringkali juga
menumbuhkan dua sebab kerusuhan dunia, yaitu kekufuran terhadap Tuhan dan
cinta diri yang berlebih-lebihan. Oleh karena itu ajaran tasawuf ingin
mengendalikan ajakan nafsu syahwat itu atau menguranginya sampai kepada
minimum kekuatannya, karena mereka berkeyakinan, bahwa syahwat itulah
yang sebenarnya menyebabkan keinginan menimbulkan kekayaan, mencari
makan dan minuman yang sedap, memburu nama, kedudukan, pangkat dan
kekuasaan pada manusia yang akhirnya menyebabkan adanya perbuatan dan
perkelahian di atas muka bumi. Dengan keyakinannya orang sufi ingin
mengajarkan untuk membiasakan tahan lapar, memakai pakaian
yang sederhana, mengurangi cinta kepada harta benda, istri dan anak,
melepaskan hasrat memburu nama, kedudukan kemuliaan, pangkat dan sebab-
sebab yang lain, yang membuat manusia itu mencintai dunia terlalu banyak
untuk kepentingan dirinya sendiri. Dengan ajarannya pula orang sufi ingin
mengisi jiwa manusia yang sudah dibersihkan itu dengan sifat-sifat yang baik,
yang dapat memajukan serta menyuburkan persaudaraan dan perdamaian di
antara manusia. Maka lahirlah terhadap perbaikan manusia di dunia, yang dalam
istilah tasawuf, disebut takhalli, mengosongkan jiwa manusia dari pada sifat-
sifat yang tercela, yang digerakkan oleh hawa nafsu, dan tahalli, mengisi
kembali jiwa manusia itu dengan sifat-sifat yang terpuji, yang terutama
digerakkan oleh akal dan ilmunya, sehingga dengan demikian terciptalah

13
manusia baru yang indah dan sempurna, jamal dan kamal, untuk masyarakat
damai, yang penuh dengan rasa persaudaraan dan cinta mencintai.23
Amin Syukur memaparkan ketiga konsep di atas (takhalli, tahalli dan
tajalli) sebagai berikut: takhalli berarti membersihkan diri dari sifat-sifat tercela,
kotoran, dan penyakit hati yang merusak.24 Adapun sifat-sifat tercela
yang harus dihilangkan ialah antara lain al-syirik (menyekutukan Tuhan), al-
hasad (keinginan yang berlebih lebihan), al-ghadlab (marah), al-riya dan al-
sum’ah (pamer), al-‘ujub (bangga diri), dan sebagainya.
Tahap selanjutnya adalah tahalli, yakni menghias diri dengan jalan
membiasakan dengan sikap dan sifat serta perbuatan yang baik. Berusaha agar
dalam setiap gerak dan perilakunya selalu berjalan di atas ketentuan agama.
Langkahnya ialah membina kepribadian agar memiliki akhlak al-karimah, dan
senantiasa konsisten dengan langkah yang dirintis sebelumnya (dalam
bertakhalli). Melakukan latihan kejiwaan yang tangguh untuk membiasakan
berperilaku baik, yang pada gilirannya akan menghasilkan manusia
yang sempurna (insan kamil)
Setelah seseorang melalui dua tahap tersebut maka tahap ketiga yakni
tajalli. Menurut Mustafa Zahri tajalli ialah lenyapnya/hilangnya hijab dari sifat-
sifat kebasyaria’an, jelasnya nur yang selama itu ghaib, fananya/lenyapnya
segala yang lain ketika nampaknya wajah Allah. Pada halaman lain, Mustafa
Zahri merumuskan tajalli sebagai memperoleh kenyataan Tuhan.25
Hubungan antara takhalli, tahalli dan tajalli, terletak pada sikap
penyerahan diri seseorang terhadap kepada suatu kekuasaan Yang Maha Tinggi.
Sikap pasrah yang serupa itu diduga akan memberi sikap optimis pada diri
seseorang sehingga muncul perasaan positif seperti rasa bahagia, rasa senang,
puas, sukses, merasa dicintai atau merasa aman. Sikap emosi yang demikian

23
Aboebakar Atjeh, Pendidikan Sufi, Sebuah Upaya Mendidik Akhlak Manusia, Ramdani, Solo,
1991, hlm. 30-68
24
Mustafa Zahri, Kunci Memahami Tasawwuf, PT Bina Ilmu, Surabaya, 1995, hlm. 65.
25
Ibid. hlm. 245.

14
merupakan bagian dari kebutuhan asasi manusia sebagai makhluk yang
bertuhan. Maka dalam kondisi yang serupa itu, manusia berada dalam keadaan
tenang dan normal, yang oleh Muhammad Mahmud Abd al-Qadir, berada dalam
keseimbangan persenyawaan kimia dan hormon tubuh, dengan kata lain, kondisi
yang demikian menjadi manusia pada kondisi kodratinya, sesuai dengan fitrah
kejadiannya, sehat jasmani dan rohani.26
Dari paparan di atas, menurut penulis bahwa seseorang yang melakukan
riyadhah melalui tiga tahapan yaitu takhalli, tahalli dan tajalli, secara otomatis
akan mengalami ketenangan jiwa yang berdampak kepada kesehatan mental.
Untuk memperkuat pendapat ini penulis ambil keterangan H. Ramayulis yang
mengungkapkan bahwa “dalam literatur yang berkembang, setidak-tidaknya
terdapat tiga pola untuk mengungkap metode perolehan dalam pemeliharaan
kesehatan mental dalam perspektif Islam: (1) Metode pengembangan potensi
jasmani dan rohani, (2) Metode Iman, Islam dan Ikhsan, (3) Metode takhalli,
tahalli dan tajalli.27

KES IMPULAN
A. Kesimpulan

Takhalli yakni penyucian diri dari sifat-sifat tercela, dari maksiat


lahir maupun batin. Takhalli juga berarti menghindarkan diri dari

26
H. Ramayulis, Pengantar Psikologi Agama, Kalam Mulia, Jakarta, 2002, hlm. 120.
27
Ibid, hlm. 129.

15
ketergantungan terhadap kelezatan hidup duniawi. Tahalli yakni menghiasi
dan membiasakan diri engan sikap perbuatan terpuji. Tahalli ini merupakan
tahap pengisian jiwa yang telah dikosongkan.apabila manusia mampu
mengisi hatinya dengan sifat-sifat terpuji maka ia akan menjadi cerah dan
terang sehingga dapat menerima cahaya ilahi sebab hati yang kotor tidak
dapat menerima cahaya tersebut. Sedangkan Tajalli adalah tersingkapnya
hal-hal ghaib yang menjadi pengetahuan kita yang hakiki disebabkan oleh
nur yang dipancarkan Allah kedalam hati seseorang. Ada empat macam
tajalli yaitu tajalli Af`al, tajalli Asma’, tajalli sifat, dan tajalli Zat.
Cara pencapian takhalli ialah dengan jalan menjauhkan diri dari
kemaksiatan dalam segala bentuknya dan berusaha melenyapkan dorongan
hawa nafsu jahat. Untuk melakukan tahalli langkahnya ialah membina
pribadi, agar memiliki akhlak al-karimah, dan senatiasa konsisten dengan
langkah yang dirintis sebelumnya (dalam takhalli). Melakukan latihan
kejiwaan yang tangguh untuk membiasakan berprilaku baik, yang pada
gilirannya akan menghasilkan manusia yang sempurna (insan kamil).
Sedangkan tajalli, Telah lahirnya seseorang dari kelahiran yang baru dan di
dalam hidup dan kehidupan yang baru adalah semata-mata karena
pertolongan Allah, syafa’at Rasulullah saw dan doanya para malaikat di
sisinya melalui upaya, perjuangan, pengorbanan dan kedisiplinan yang
sangat tinggi dari diri sendiri dalam melaksanakan ibadah-ibadah berupa
menjalankan segala perintah-Nya, menjauhi larangan-Nya, dan tabah
terhadap ujian-Nya.

Hubungan antara takhalli, tahalli dan tajalli, terletak pada sikap


penyerahan diri seseorang terhadap kepada suatu kekuasaan Yang Maha
Tinggi. Sikap pasrah yang serupa itu diduga akan memberi sikap optimis

16
pada diri seseorang sehingga muncul perasaan positif seperti rasa bahagia,
rasa senang, puas, sukses, merasa dicintai atau merasa aman.

B. Kritik dan Saran

Demikian makalah yang dapat tim penulis paparkan. Semoga makalah


ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pembaca pada khususnya serta
khalayak ramai pada umumnya. Kritik dan saran penulis harapkan demi
terwujudnya makalah yang lebih baik.

DAFTAR PUSTAKA

17
Aceh, Aboebakar. 1991. Pendidikan Sufi Sebuah Upaya Mendidik Akhlak
Manusia. Solo: CV. Ramahani.

Agustang K. & Sugirma. 2017. Tasawuf Anak Muda (Yang Muda Yang Berhati
Mulia). Penerbit: deepublish (Grup Penerbitan CV. Budi utama).

Deprtemen Agama RI. 2005. Al-Jumanatul Ali, Al-qur’an dan Terjemahannay.


Bandung: CV. Penerbit J-ART

Huda, Sokhi. 2008. Tasawuf Kultural. Yogyakarta: LkiS

Ilyas, Yunahar. 2002. Kuliah Aqidah Islam. Yogyakarta: Lembaga Pengkajian


dan Pengamalan Islam (LPPI

Jumantoro, Totok dan Agus, Samsul Munir. 2005. Kamus Ilmu Tasawuf. Jakarta:
Amzah.

Ramayulis, H. 2002. Pengantar Psikologi Agama. Jakarta : Kalam Mulia.

Saebani, Beni Ahmad dan Hamid, Abdul. 2010. Ilmu Akhlak. Bandung: Pusaka
Setia.

Syukur, M. Amin Tasawuf Kontekstual, 2012. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Septiani A, Mayanti SU dan Fatimatuzzarahrah D. 2015. Makalah Takhalli,


Tahalli, tajalli dan alam malakut. Semarang: IAIN Walisongo Herbal
beauty store, http://tarekataulia.blogspot.com/2013/12/kesempurnaan-
konsep-takhalli-tahalli.html.

Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir al-Qur'an. 10989. al-Qur'an dan


Terjemahnya. Surabaya: Surya Cipta Aksara.

Zahri, Mustafa. 1998. Kunci Memahami Ilmu Tasawuf . Surabaya: PT. Bina
ilmu..

18

Anda mungkin juga menyukai