Anda di halaman 1dari 14

TAKHALLI, TAHALLI, TAJALLI

Dosen Pengampu :
Drs. Hadis Purba, MA

Disusun oleh :
Kelompok 9

Nur Isnanita (0305192057)


Nurul Fadhilah Pardede (0305192033)
Ayu Annisa (0305193171)
Wiwik Ema Bonita (0305193134)

PENDIDIKAN MATEMATIKA
FAKULTAS ILMU TARBIYAH & KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SUMATERA UTARA
2019/2020
KATA PENGANTAR
Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Alhamdulillah segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah “Takhalli, Tahalli, Tajalli” yang telah disusun
dengan baik meskipun jauh dari kesempurnaan.
Sholawat berangkaikan salam marilah sama-sama kita hadiahkan kepada junjungan
kita Nabi besar Muhammad SAW, semoga dengan memperbanyak bersholawat kepadanya,
dan melaksanakan segala sunnah-sunnahnya kita termasuk umatnya yang mendapat syafaat di
hari akhir kelak.
Dalam penulisan makalah ini, tidak lepas dari hambatan dan kesulitan. Namun berkat
bimbingan, bantuan, nasehat, dan juga saran dari Bapak/Ibu dosen yang mengajar,
alhamdulillah kami dapat menyelesaikan makalah ini.
Makalah ini dibuat untuk menambah wawasan bagi yang membacanya. Selain itu
juga, sebagai salah satu tugas untuk mata kuliah “Akhlak Tasawuf”. Mudah-mudahan
makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Kesempurnaan hanya milik Allah, kami menyadari bahwa pada makalah ini masih
banyak terdapat kekurangan dan kekhilafan, maka saran yang membangun akan kami terima
dengan senang hati dan penuh terima kasih.
Wassalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Medan, 18 Mei 2020

Pemakalah

i
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang.........................................................................................................1
B. Rumusan Masalah....................................................................................................1
C. Tujuan......................................................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Takhalli..................................................................................................2
B. Pengertian Tahalli....................................................................................................3
C. Pengertian Tajalli.....................................................................................................7

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan..............................................................................................................10

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tasawuf adalah suatu bidang ilmu keislaman untuk memasuki atau menghiasi
diri dengan akhlak yang luhur dan keluar dari akhlak yang rendah. Tasawuf juga
dapat diartikan sebagai kebebasan, kemuliaan, meninggalkan perasaan terbebani alam
setiap melaksanakan perbuatan syara’, dermawan, dan murah hati. Secara garis besar
tasawuf terbagi menjadi tasawuf sunni dan tasawuf falsafi. Tasawuf falsafi ialah
tasawuf yang ajaran-ajarannya disusun secara kompleks dan mendalam dengan
bahasa-bahasa simbolik filosofis. Sementara, tasawuf sunni adalah tasawuf yang
didasarkan pada Al-Qur’an dan sunnah. Tasawuf sunni dibagi dalam dua tipe, yaitu
tasawuf akhlaqi, dan tasawuf amali.
Di dalam tasawuf akhlaqi, para sufi memandang manusia cenderung mengikuti
hawa nafsu. Manusia dikendalikan oleh dorongan-dorongan nafsu pribadi, bukan
manusia yang mengendalikan nafsu. Manusia yang sudah dikendalikan oleh nafsu
cenderung untuk memiliki rasa keinginan untuk menguasai dunia atau agar berkuasa
dunia. Seseorang yang sudah dikendalikan oleh nafsu memiliki kecenderungan
memiliki mental yang kurang baik, hubungan dengan Tuhan sebagai hamba Allah
kurang harmonis karena waktu yang imili habis untuk mengurus kepentingan duniawi.
Untuk mengembalikan manusia kekondisi yang baik tidak hanya dari aspek
lahiriah semata melainkan juga melalui aspek batiniah. Didalam tasawuf proses
batiniah itu meliputi tahapan-tahapan. Tujuannya adalah untuk menguasai hawa nafsu
dalam rangka pembersihan jiwa agar bisa lebih dekat dengan Allah. Tahapan-tahapan
itu adalah takhalli, tahalli, dan tajalli.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Takhalli?
2. Apa yang dimaksud dengan Tahalli?
3. Apa yang dimaksud dengan Tajalli?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui takhalli.
2. Untuk mengetahui tahalli.
3. Untuk mengetahui tajalli.

1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Takhalli
Takhalli (purgatifa) merupakan segi filosofis terberat, karena terdiri dari
mawas diri, pengekangan segala hawa nafsu dan mengosongkan hati dari segala-
galanya, kecuali dari diri yang dikasihi yaitu Tuhan.1
Sebagai langkah pertama yang dilakukan oleh orang sufi dengan cara mengosongkan
diri dari akhlak tercela serta memerdekakan jiwa dari hawa nafsu duniawi yang akan
menjerumuskan manusia kedalam kerakusan dan bertingkah layaknya binatang.2
Takhalli berarti membersihkan diri dari sifat-sifat tercela dan juga dari
kotoran/penyakit hati yang merusak. Takhalli juga berarti mengosongkan diri dari
sikap ketergantungan kepada kelezatan duniawi. Hal ini akan dapat dicapai dengan
jalan menjauhkan diri dari kemaksiatan dalam segala bentuknya dan berusaha
melepasakan dorongan hawa nafsu jahat.
            Menurut kelompok sufi, maksiat dibagi menjadi dua, yaitu maksiat batin dan
maksiat lahir.3
Maksiat batin adalah maksiat yang dilakukan oleh manusia yang bersumber
dari hati. Maksiat ini sangat berbahaya dan tidak bisa dilihat seperti maksiat lahir,
karena seseorang ketika melakukannya tanpa disadari. Maksiat lahir adalah maksiat
yang dilakukan oleh anggota tubuh manusia. Maksiat ini dapat dihilangkan akan
tetapi perlu diketahui bahwa maksiat batin adalah penggerak utama maksiat lahir.
Maksiat batin akan sulit untuk dihilangkan apabila maksiat lahir tidak dihilangkan
terlebih dahulu.
Setelah kita sadari bahwa kotoran hati/penyakit hati sangatlah buruk dan
berbahaya maka kita harus berusaha untuk membersihkan hati, sehingga kita mudah
untuk menerima cahaya ilahi, dan terbukalah tabir/hijab yang menjadi pembatas
antara dirinya dengan tuhan, yaitu dengan cara:
1. Menghayati segala bentuk ibadah, sehingga pelaksanaannya tidak sekedar apa
yang terlihat secara luarnya saja, namun lebih dari itu, memahami makna
hakikinya.

1
Totok Jumantoro, Samsul Munir Agus. Kamus Ilmu Tasawuf. (Jakarta: Amzah, 2005). hlm. 233.
2
Beni Ahmad Saebani,  Abdul Hamid. Ilmu Akhlak. (Bandung: Pusaka Setia, 2010). hlm. 195.
3
Totok jumantoro, Samsul Munir Agus. Kamus Ilmu Tasawuf. (Jakarta: Amzah, 2005). hlm. 233.

2
2. Riyadhah dan mujahadah, yakni berlatih dan berjuang untuk membebaskan diri
dari dorongan hawa nafsu, dan mengendalikannya serta tidak memperturutkan
keinginan hawa nafsunya tersebut. Menurut al-Ghazali, riyadhah dan
mujahadah adalah latihan dan bersungguh-sungguh dalam menyingkirkan
keinginan hawa nafsu yang negatif dengan mengganti sifat lawannya yang
positif.
3. Mencari waktu yang tepat untuk mengubah sifat yang buruk dan mempunyai
daya tangkal terhadap kebiasaan buruk dan menggantinya dengan kebiasaan
yang baik.
4. Muhasabah (koreksi) terhadap diri sendiri dan selanjutnya meninggalkan sifat-
sifat yang jelek itu, dan memohon pertolongan Allah dari dorongan hawa nafsu
setan.4
Sementara itu, kelompok kaum sufi yang berpandangan ekstrim berkeyakinan
bahwa kehidupan duniawi merupakan “racun pembunuh” serta penghalang perjalanan
mereka menuju Tuhannya. Karena itu, nafsu yang bertendensi duniawi harus
“dimatikan” agar manusia bebas berjalan menuju tujuan, yaitu memperoleh
kebahagiaan spiritual yang hakiki. Bagi mereka cara memperolah keridaan tidak sama
dengan memperoleh kenikmatan material.5

B. Pengertian Tahalli
Tahalli artinya berhias, maksudnya adalah menghias diri dengan jalan
membiasakan diri dengan sifat dan sikap serta perbuatan yang baik. Berusaha agar
dalam setiap gerak perilaku selalu berjalan di atas ketentuan agama, baik kewajiban
luar maupun kewajiban dalam. Kewajiban luar adalah kewajiban yang bersifat formal,
seperti salat, puasa, zakat, haji dan lain sebagainya. Sedangkan kewajiban dalam
seperti iman, ihsan dan lain sebagainya.6
Tahalli juga dapat diartikan sebagai semadi atau meditasi secara sistematik
dan metodik, meleburkan kesadaran dan pikiran untuk dipusatkan dalam perenungan
kepada Tuhan, dimotivasi bahana kerinduan yang sangat akan keindahan wajah
Tuhan. Tahalli merupakan segi praksional yang dilakukan seorang sufi setelah
melalui proses pembersihan hati yang ternoda oleh nafsu-nafsu duniawi.7

4
Ibid, hlm. 233
5
M. Muchlis Sholichin. Ilmu Akhlak dan Tasawuf (Malang; STAIN Pamekasan Press. 2009). hlm. 119.
6
Totok jumantoro, Samsul Munir Agus. Kamus Ilmu Tasawuf (Jakarta: Amzah, 2005). hlm. 227.
7
Ibid. hlm. 227.

3
Sebagai upaya mengisi jiwa dengan akhlak yang terpuji. Setelah dikosongkan,
otak dicuci, tindakan nafsu detan dibombardir, manusia kembali kepada keasliannya.
Saat itulah jiwa dan otaknya diisi dengan berbagai pesan ilahi dengan
mempertahankan tingkah laku yang terpuji. Hidup penuh dengan tuntunan dan
tuntunan ilahi sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah Saw. Cara terbaik untuk
melakukan tahalli adalah tidak berhenti bertobat dari segala perbuatan nista. Manusia
harus menyesali perbuatannya, berjanji dalam jiwanya tidak akan mengulangi
perbuatan nista, dan memperbanyak perbuatan baik yang dikehendaki oleh Allah
Swt.8
Setelah manusia bertobat dan menyesali perbuatannya, kehidupannya harus
lebih berhati-hati. Akhlaknya terus dibangun oleh rasa takut dan rasa cemas kalau-
kalau ia akan kembali berbuat dosa. Sebaliknya, ia akan terus menerus berharap dapat
meningakatkan kehidupannya menuju pada kehidupan yang lebih baik. Ada tiga hal
yang perlu dikendalikan dan diatur dengan baik, yaitu (1) harta; (2) tahta; dan (3)
wanita.9
1. Harta
Harta dapat menjerumuskan manusia pada keserakahan dan lupa kepada Allah
Swt. yang memberikan harta. Manusia akan lupa bahwa semuanya bersifat sementara.
Dengan harta, manusia akan terperosok pada kesombongan dan melupakan kewajiban
sebagai hamba Allah Swt. Jika mausia diberi harta oleh Allah, jadikanlah harta itu
sebagi alat untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah, yaitu dengan memperbanyak
sedekah, banyak berzakat, tidak lupa membayar pajak, memberdayakan orang fakir
dan miskin, memelihara anak yatim, dan memanfaatkannya harta tersenut di jalan
Allah Swt.10
2. Tahta
Tahta berupa gelar atau jabatan adalah seperangkat kekuatan dan kekuasaan yang
diberikan oleh Allah kepada manusia. Dengan tahta, manusia dapat hilang
kesadaranya sebagai manusia yang akan mati ditelan waktu. Jika manusia diberi harta,
sebaiknya ia menjadikan tahta itu sebagai bagian dari dakwah untuk menegakkan
kebenaran dan membasmi kemunkaran di alam jagat raya ini.11

8
Beni Ahmad Saebani, Abdul Hamid, Ilmu Akhlak  (Bandung: Pusaka Setia, 2010). hlm. 197.
9
Ibid. hlm. 196.
10
Ibid. hlm. 196.
11
Ibid. hlm. 197.

4
3. Wanita
Wanita adalah karunia Allah Swt., dan sesungguhnya bukan hanya wanita yang
dapat membawa manusia kedalam kerugian. Laki-laki pun dapat menjadi penyebab
hancurnya kehidupan wanita. Oleh sebab itu, laki-laki dan wanita diciptakan untuk
berpasang-pasangan membangun rumah tangga yang penuh dengan ketenteraman.12
Tahap tahalli dilakukan oleh kaum sufi setelah mengosongkan jiwa dengan
akhlak jelek. Pada tahap ini, kaum sufi berusaha agar setiap sikap dan perilaku selalu
berjalan sesuai dengan ketentuan Allah, baik kewajiban yang bersifat ritual maupun
yang bersifat sosial.13
Sikap mental dan perbuatan luhur yang harus diisikan ke dalam kalbu agar
menjadi manusia yang dapat berhubungan dengan Tuhan adalah :

a. Taubat
Taubat adalah rasa penyesalan yang sungguh-sungguh dalam hati dan
disertai dengan permohonan ampun serta meninggalkan segala perbuatan
yang dapat menimbulkan dosa sehingga hanya Allah yang ada dalam
ingatan dan jiwanya. Dalam kitab Riyadhus Shalihin, syarat taubat itu
adalah :
 Harus menghentikan maksiat
 Harus menyesal atas perbuatan yang dilakukannya
 Niat bersungguh-sungguh tidak mengulangi perbuatan itu kembali.
Dan apabila dosa itu ada hubungannya dengan hak manusia, maka
syarat taubatnya ditambah dengan:
 Menyelesaikan urusannya dengan orang yang berhak dengan
meminta maaf atau halalnya atau mengembalikan apa yang harus
dikembalikan (Salim Bahreisy, 29)
b. Cemas dan Harap
Maksudnya ialah suatu perasaan yang takut yang timbul karena banyak
berbuat salah dan sering lalai kepada Allah atau karena menyadari
kekurangsempurnaan dalam mengabdi kepada Allah maka timbullah rasa
takut dan khawatir kalau Allah akan murka kepadanya dan seiring dengan
itu dia tetap mengharap ampunan dan keridhoan dari Allah.

12
Ibid. hlm. 197.
13
M. Muchlis Sholichin. Ilmu Akhlak dan Tasawuf  (Malang: STAIN Pamekasan Press. 2009). hlm. 120.

5
c. Al-Zuhd
Maksudnya ialah cara melepaskan diri dari rasa ketergantungan terhadap
kehidupan duniawi denagn mengutamakan kehidupan akhirat, karena itu
harus pasrah dan rela menerima akan rezeki yang ia terima dari Tuhan.
Haidar Putra Daulay ( 2003: 73) mengemukakan bahwa sikap Zuhd itu
adalah :
 Menenpatkan dunia sebagai sarana menuju akhirat
 Tidak mencintai dunia berlebihan sehingga melupakan akhiratnya
 Hidup sederhana
 Harta bukanlah sesuatu yang dibangga banggakan tetapi jalan
untuk beribadah kepada Allah, karenanya kewajiban terhadap
harta dilaksanakannya dengan baik
d. Al- Faqr
Maksudnya ialah tidak menuntut lebih banyak dari apa yang telah ia
punya, merasa puas dengan apa yang dimiliki, sehingga tidak meminta
sesuatu lain walaipun masih miskin. Dengan demikian, sebenarnya Al-
Faqr ini adalah rangkaian sebelum al-Zuhd.
e. Ash-Shabru
Sabar oleh sufi diartikan sebagai suatu keadaan jiwa yang kokoh, stabil
dan konsekuen dalam pendirian. Jiwanya tidak tergoyahkan, pendiriannya
tidak letih walau bagaimanapun bertanya tantangan yang dihadapi,
pantang mundur dan tak kenal menyerah karena segala sesuatu itu terjadi
merupakan iradah Tuhan yang mengandung ujian.
f. Ridho
Term ridho mengandung arti menerima dengan lapan dada dan hati
terbuka apa saja yang datang dari Allah, baik dalam menerima serta
mengamalkan ketentuan-ketentuan agama maupun yang berkenaan
dengan masalah nasib dirinya.
g. Al- Muqarabah
Seorang kandidat sufi, sejak awal sudah diajarkan bahwa dirinya tidak
pernah lepas dari pengawasan Allah, karena itu seluruh aktivitas hidupnya
harus ditujukan untuk dapat berada sedekat mungkin dengan Allah. Ia

6
sadar bahwa Allah selalu memandang kepadanya sehingga dia harus
selalu intropeksi diri.

C. Pengertian Tajalli
Tajalli adalah terungkapnya cahaya kegaiban atau nur gaib. Manusia yang
telah melakukan kesadaran tertinggi dengan cara membiasakan kehidupannya dengan
akhlak terpuji. Kehidupannya tidak ada, kecuali rasa cinta, rindu, dan bahagia karena
dekat dengan Allah Swt. Kebersihan diri dengan tobat, kehati-hatian hidup karena
waspada, ketakutan akan dosa, penuh harapan, dan sabar menghadapi berbagai
macam cobaan, akan terus melatih jiwa manusia untuk lebih stabil dan berani
menghadapinya dengan rida dan senantiasa mengembalikan seluruh urusan kepada
Allah Swt.14

Tajalli merupakan tanda-tanda yang Allah tanamkan didalam diri manusia


supaya ia dapat disaksikan. Setiap tajalli melimpahkan setiap cahaya demi cahaya
sehingga seorang yang menerimanya bakal tenggelam dalam kebaikan. Jika terjadi
perbedaan yang dijumpai dalam berbagai penyingkapan itu tidak unik, Oleh kerena itu
masing-masing tajalli juga unik. Sehingga tidak ada dua orang yang merasakan
pengalaman tajalli yang sama. Tajalli melampaui kata-kata. Tajalli adalah ketakjuban
(haryah).15
Al-Jili membagi tajalli menjadi empat tingkatan, yaitu:
1. Tajalli Af’al, yaitu tajalli Allah pada perbuatan seseorang, artinya segala
aktivitasnya itu disetai qudrat-Nya, dan ketika itu dia melihat-Nya (dalam arti
gerak dan diam itu adalah atsar/bekas dari qudrat Allah).
2. Tajalli Asma’, yakni lenyapnya seorang dari dirinya dan bebasnya dari genggaman
sifat-sifat kebaruan dan lepasnya dari ikatan tubuh kasarnya. Pada tingkatan ini
tiada yang dilihatnya kecuali zat Al-shirfah (hakikat gerakan), bukan melihat
asma’.
3. Tajalli sifat, yakni menerimanya seorang hamba atas sifat-sifat ketuhanan, artinya
Tuhan mengambil tempat padanya tanpa hulul zat-Nya.
4. Tajalli zat, yakni apabila Allah menghendaki adanya tajalli atas hamba-Nya yang
mem-fana’-kan dirinya maka bertempat padanya karunia ketuhanan yang bisa
berupa sifat dan bisa pula berupa zat. Apabila berupa zat, disitulah terjadi
14
Beni Ahmad Saebani, Abdul Hamid, Ilmu Akhlak  (Bandung: Pusaka Setia, 2010). hlm. 199.
15
Totok jumantoro, Samsul Munir Agus, Kamus Ilmu Tasawuf  (Jakarta: Amzah, 2005). hlm. 231.

7
ketunggalan yang sempurna. Dengan fana’-nya hamba maka yang baqa’ hanyalah
Allah. Dalam pada itu hamba telah berada dalam situasi ma siwallah  yakni dalam
wujud Allah semata.16
Ibnu Arabi menyatakan bahwa tajalli Tuhan dalam dua bentuk, yaitu tajalli ghaib dan
tajalli syuhudi.
1. Tajalli ghaib
Tajalli ghaib merupakan penyingkapan diri zat dalam diri-Nya sendiri, tampak yang
mutlak menampakkan diri pada diri-Nya sendiri. Manifestasi diri yang mutlak ini
juga disebut dengan emanasi paling suci (al-faydh al-aqdas). Tajalli ini, secara
interinsik, hanya terjadi di dalam esensi Tuhan sendiri. Oleh karena itu, wujud-Nya
tidak berbeda dengan esensi Tuhan itu sendiri, karena ia lebih dari satu proses ilmu
Tuhan didalam esensi-Nya sendiri.17
Tajalli ghaib menurut Ibnu Arabi terdiri dari dua martabat:
a. Martabat ahadiyah
Pada martabat ahadiyah, Tuhan merupakan wujud tunggal lagi mutlak yang
belum dihubungkan dengan kausalitas (sifat) apa pun, sehingga Ia belum
dikenal oleh siapa pun. Esensi Tuhan pada peringkat ini, hanya merupakan
totalitas dari potensi (quwwah) yang ada dalam kabut tipis, yakni awan tipis
yang membatasi “langit” ahadiyah dan “bumi” keserbagandaan makhluk
yang identik dengan Nafs Ar-Rahman (nafas Tuhan yang maha Pengasih).
Bagi Ibnu Arabi, wujud Tuhan pada martabat ahadiyah ini masih terlepas
dari segala kualitas dan pluralitas apa pun, tidak terkait dengan sifat, nama,
rupa, ruang, waktu, syarat, sebab dan sebagainya.18
b. Martabat wahidiyah
Pada martabat wahidiyah Tuhan memanifestasikan diri-Nya secara ilahiyah
yang unik, di luar batas ruang dan waktu, dan di dalam citra sifat-sifat-Nya.
Sifat-sifat tersebut terjelma dalam asma Tuhan. Sifat-sifat asma itu
merupakan satu kesatuan dengan hakikat alam semesta yang berupa entitas-
entitas laten (a’yan tsabitah). Bila sifat-sifat dan nama-nama itu dipandang
dari aspek ketuhanan, ia disebut asma kiyaniyah (nama-nama kealaman).19
2. Tajalli syuhudi
16
Ibid. hlm. 230.
17
Ibid. hlm. 231.
18
Ibid. hlm. 231.
19
Ibid. hlm. 231.

8
Tajalli syuhudi adalah manifestasi diri di alam nyata. Penampakan diri secara nyata
yang mengambil bentuk penampakan diri dalam citra tertentu. Tajalli syuhudi
terjadi ketika potensi-potensi yang ada di dalam esensi mengambil bentuk actual
dalam berbagai fenomena alam semesta. Istilah ini mengacu pada arketipe-arketipe
permanen yang memancar dan potensialitas menjadi aktualitas dan keluar dialam
nyata. Hal ini merupakan aktualisasi arketipe-arketipe dalam bentuk real. Tajalli
syahadah disebut juga dengan emanasi suci (al-faydh al-muqaddas).20
Al-Kalakabzi membagi tajalli  menjadi tiga macam:
a. Tajalli Zat, yaitu mukasyafah (terbukanya selubung yang menutupi kerahasiaan-
Nya).
b. Tajalli Shifat al-Dzat, yaitu tampaknya sifat-sifat zat Allah sebagai sumber atau
tempat cahaya.
c. Tajalli Hukma al-Dzat, yaitu tampaknya hukum zat-Nya yaitu hal-hal yang
berhubungan dengan akhirat dan apa yang ada didalamnya.21
          Menurut al-Jili, tajalli ilahi yang berlangsung secara terus-menerus pada alam
semesta ini terdiri dari lima martabat.
a. Martabat uluhiyah.
b. Martabat ahadiyah.
c. Martabat wahidiyah.
d. Martabat rahmaniyah.
e. Martabat rububiyyah.22

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

20
Ibid. hlm.  232.
21
Ibid. hlm. 230.
22
Ibid. hlm. 230.

9
1. Takhalli berarti membersihkan diri dari sifat-sifat tercela dan juga dari
kotoran/penyakit hati yang merusak. Takhalli juga berarti mengosongkan diri
dari sikap ketergantungan kepada kelezatan duniawi. Hal ini akan dapat
dicapai dengan jalan menjauhkan diri dari kemaksiatan dalam segala
bentuknya dan berusaha melepasakan dorongan hawa nafsu jahat.
2. Tahalli artinya berhias, Maksudnya adalah menghias diri dengan jalan
membiasakan diri dengan sifat dan sikap serta perbuatan yang baik. Berusaha
agar dalam setiap gerak perilaku selalu berjalan diatas ketentuan agama, baik
kewajiban luar maupun kewajiban dalam. Kewajiban luar adalah kewajiban
yang bersifat formal, seperti salat, puasa, zakat, haji dan lain sebagainya.
Sedangkan kewajiban dalam seperti iman, ihsan dan lain sebagainya.
3. Tajalli adalah terungkapnya cahaya kegaiban atau nur gaib. Manusia yang
telagh melakukan kesadaran tertinggi dengan cara membiasakan kehidupannya
dengan akhlak terpuji. Kehidupannya tidak ada, kecuali rasa cinta, rindu, dan
bahagia karena dekat dengan Allah Swt.

DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Saebani, Beni. Hamid Abdul. Ilmu Akhlak. Bandung: Pusaka Setia, 2010.

10
Jumantoro, Totok. Munir Agus, Samsul. Kamus Ilmu Tasawuf. Jakarta: Amzah, 2005.
Sholichin, M. Muchlis. Ilmu Akhlak dan Tasawuf. Malang: STAIN Pamekasan Press,
2009.

11

Anda mungkin juga menyukai