Anda di halaman 1dari 16

FASE TAKHALLI, TAHALLI, TAJALLI, DAN ALAM

MALAKUT, NASUT, LAHUT

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah:


Akhlak Tasawuf dan Tarekat

Dosen Pengampu:
Zainudin, S. Ag., M. Pd. I.

DISUSUN OLEH:
Kelompok 1 (PAI 4 B)
1. Kharisma Aditya Lafida (12201183003)
2. Nur Muhammad Hanifan (12201183224)
3. Muhammad Robithul Umam (12201183291)

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI TULUNGAGUNG
MARET 2020
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr.Wb.

Alhamdulillah segala puji syukur selalu kami hanturkan atas kehadirat Allah
SWT yang senantiasa melimpahkan rahmat, hidayah, serta inayah-Nya kepada kami,
sehingga kami bisa menyelesaikan makalah yang berjudul “Fase Takhalli, Tahalli,
Tajalli dan Alam Malakut, Nasut, Lahut” untuk memenuhi tugas matakuliah
Akhlak Tasawuf dan Tarekat. Sholawat serta salam kita sanjungkan kepada Nabi
Muhammad SAW yang telah membawa umatnya dari zaman jahiliyah menuju zaman
islamiyah.

Dan ucapan terimakasih tak lupa kami sampaikan kepada Zainudin, S. Ag.,
M. Pd. I. selaku dosen pengampu yang telah membimbing kami dalam penempuhan
matakuliah ini sehingga kami bisa belajar untuk menyelesaikan makalah ini.

Dalam penyusunan makalah ini, kami menyadari masih jauh dari sempurna.
Oleh karena itu, kami tidak menutup diri dari para pembaca akan saran dan kritik
yang sifatnya membangun demi perbaikan dan peningkatan kualitas penyusunan
makalah dimasa yang akan datang.

Dan kami berharap, semoga makalah ini bisa memberikan suatu kemanfaatan
bagi kami penyusun dan para pembaca semuanya. Amin.

Wassalamualaikum Wr.Wb.

Tulungagung, 30 Maret 2020

Penyusun

i
DAFTAR ISI
SAMPUL
KATA PENGANTAR.........................................................................................i
DAFTAR ISI........................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN....................................................................................1
A. Latar Belakang..................................................................................1
B. Rumusan Masalah.............................................................................1
C. Tujuan Penulisan...............................................................................2
BAB II PEMBAHASAN.....................................................................................3
A. Fase Takhalli......................................................................................3
B. Fase Tahalli........................................................................................4
C. Fase Tajalli.........................................................................................8
D. Alam Malakut....................................................................................10
E. Alam Nasut.........................................................................................11
F. Alam Lahut........................................................................................11
BAB III PENUTUP.............................................................................................12
A. Kesimpulan........................................................................................12
B. Saran ..................................................................................................12
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................13

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tasawuf adalah suatu bidang ilmu keislaman untuk memasuki atau
menghiasi diri dengan akhlak yang luhur dan keluar dari akhlak yang rendah.
Tasawuf juga dapat diartikan sebagai kebebasan, kemuliaan, meninggalkan
perasaan terbebani alam setiap melaksanakan perbuatan syara’, dermawan,
dan murah hati. Secara garis besar tasawuf terbagi menjadi tasawuf sunni dan
tasawuf falsafi. Tasawuf falsafi ialah tasawuf yang ajaran-ajarannya disusun
secara kompleks dan mendalam dengan bahasa-bahasa simbolik filosofis.
Sementara, tasawuf sunni adalah tasawuf yang didasarkan pada Al-Qur’an dan
sunnah. Tasawuf sunni dibagi dalam dua tipe, yaitu tasawuf akhlaqi, dan
tasawuf amali.
Di dalam tasawuf akhlaqi, para sufi memandang manusia cenderung
mengikuti hawa nafsu. Manusia dikendalikan oleh dorongan-dorongan nafsu
pribadi, bukan manusia yang mengendalikan nafsu. Manusia yang sudah
dikendalikan oleh nafsu cenderung untuk memiliki rasa keinginan untuk
menguasai dunia atau agar berkuasa dunia. Seseorang yang sudah
dikendalikan oleh nafsu memiliki kecenderungan memiliki mental yang
kurang baik, hubungan dengan Tuhan sebagai hamba Allah kurang harmonis
karena waktu yang imili habis untuk mengurus kepentingan duniawi.
Untuk mengembalikan manusia kekondisi yang baik tidak hanya dari
aspek lahiriah semata melainkan juga melalui aspek batiniah. Didalam
tasawuf proses batiniah itu meliputi tahapan-tahapan. Tujuannya adalah untuk
menguasai hawa nafsu dalam rangka pembersihan jiwa agar bisa lebih dekat
dengan Allah. Tahapan-tahapan itu adalah takhalli, tahalli, dan tajalli.
B. Rumusan Masalah
Dari permasalahn tersebut di atas kami mengambil rumusan masalah yaitu:
1. Apakah pengertian fase Takhalli, Tahalli, dan Tajalli?
2. Apa yang dimaksud dengan alam Malakut, Nasut, dan Lahut?

1
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk menjelaskan tentang definisi fase Takhalli, Tahalli, dan Tajalli.
2. Untuk menjelaskan tentang alam Malakut, Nasut, dan Lahut.

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Fase Takhalli
Takhalli ialah mengosongkan diri dari sikap ketergantungan terhadap
kelezatan hidup duniawi dengan cara menjauhkan diri dari maksiat dan
berusaha menguasai hawa nafsu. Takhalli (membersihkan diri dari sifat
tecela) oleh sufi dipandang pentingkarena semua sifat – sifat tercela
merupakan dinding –dinding tebal yang membatasi manusia dengan
Tuhannya. Oleh karena itu, untuk dapat mendalami tasawuf seseorang harus
mampu melepaskan diri dari sifat tercela dan mengisinya dengan akhlak –
akhlak terpuji untuk dapat memperoleh kebahagiaan yang hakiki.1

Maksiat lahir, melahirkan kejahatan kejahatan yang merusak


seseorang dan mengacaukan masyarakat. Adapun maksiat bathin lebih
berbahaya lagi, karena tidak kelihatan dan biasanya kurang disadari dan sukar
dihilangkan. Maksiat bathin itu adalah pembangkit maksiat lahir dan selalu
menimbulkan kejahatan kejahatan baru yang diperbuat oleh anggota badan
manusia. Dan kedua maksiat itulah yang mengotori jiwa manusia setiap waktu
dan kesempatan yang diperbuat oleh diri sendiri tanpa disadari. Semua itu
merupakan hijab atau dinding yang membatasi diri dengan Tuhan.2 Sifat sifat
yang mengotori jiwa manusia itu adalah seperti dzalim, bakhil, berbuat dosa
besar, berlaku sia sia, berlebih lebihan dalam segala hal, bermegah megah,
khianat, dendam, dengki, dusta, kufur ni’mat, bunuh diri, ria, mencuri,
sombong dan meminum khamr.

Takhalli juga berarti mengosongkan diri dari akhlak tercela. Salah satu
akhlak tercela yang paling banyak menyebabkan timbulnya akhlak tercela
lainnya adalah ketergantungan pada kenikmatan duniawi. Membersihkan diri
sifat sifat tercela oleh kaum sufi dipandang penting karena sifat sifat ini
merupakan najis maknawi (najasah ma’nawwiyah). Adanya najis najis ini
pada diri seseorang, menyebabkannya tidak dapat dekat dengan Tuhan. Hal ini
sebagaimana mempunyai najis dzat (najasah dzatiayyah), yang menyebabkan
seseorang tidak dapat beribadah kepada Tuhan.

Dasar dari ajaran tasawuf tentang takhalli ini adalah firman Allah Qs
Asy-syams 9-10 yang berbunyi:

1
Ahmad Bangun Nasution & Rayani Hanum Siregar, Akhlak dan Tasawuf, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2013), hal. 72
2
Mustafa Zahri., Kunci Memahami Ilmu Tasawuf, (Surabaya: Bina Ilmu, 1973), hal 74-75

3
َ ‫قَ ْد أَ ْف لَ َح َم ْن َز َّك‬
‫اه ا‬
Artinya: Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu,

‫اه ا‬
َ ‫اب َم ْن َد َّس‬
َ ‫َو قَ ْد َخ‬
Artinya : Dan Sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.3

Dalam hal menanamkan rasa benci terhadap kehidupan duniawi serta


mematikan hawa nafsu, para sufi berbeda pendapat :

1. Sekelompok sufi yang modern berpendapat bahwa kebencian terhadap


kehidupan duniawi, yaitu sekedar tidak melupakan tujuan hidupnya,
namun tidak meninggalkan duniawi sama sekali. Demikian pula dengan
pematian hawa nafsu itu cukup dikuasai melalui pengaturan disiplin
kehidupan. Golongan ini tetap memanfaatkan dunia sekedar kebutuhannya
dengan mengontrol dorongan nafsu yang dapat mengganggu stabilitas akal
dan perasaan.

2. Sementara itu kelompok sufi yang ekstrim berkeyakinan bahwa kehidupan


duniawi merupakan racun pembunuh kelangsungan cita cita sufi.
Persoalan duniawi adalah penghalang perjalanan karena nafsu yang
bertendensi duniawi harus dimatikan agar manusia bebas berjalan menuju
tujuan yaitu memperoleh kebahagiaan spiritual yang hakiki.4

B. Fase Tahalli
Tahalli disini maksudnya adalah menghiasi atau mengisi diri dari sifat
dan sikap serta perbuatan – perbuatan yang baik. Dengan kata lain, sesudah
mangosongkan diri dari sifat tercela (takhalli), maka usaha itu harus berlanjut
terus ke tahap tahalli (pengisian jiwa yang telah dikososongkan tadi). 5 Tahalli
merupakan tahap pengisian jiwa yang telah dikosongkan pada tahap takhalli.
Dengan kata lain, sesudah tahap pembersihan diri dari segala sikap mental
yang buruk dapat dilalui (takhalli), usaha itu harus berlanjut terus ketahap
berikutnya yang disebut tahalli. Sebab apabila satu kebiasaan telah dilepaskan
tetapi tidak ada penggantinya, maka kekosongan itu dapat menimbulkan

3
Moh. Saifulloh Al Aziz, Risalah Memahami Ilmu Tasawuf, (Surabaya: Terbit Terang, 1998),
hal 87
4
Samsul Munir Amin, Ilmu Tasawuf, (Jakarta: Hamzah, 2012), Hal 213
5
Ibid, hlm. 73–74

4
frustasi. Oleh karena itu, ketika kebiasaan lama ditinggalkan harus segala di
isi kebiasaan baru yang baik.6

Tahapan tahalli dilakukan kaum sufi setelah mengosongkan jiwa dari


akhlak akhlak tercela. Tahalli juga berarti menghiasi diri dengan jalan
membiasakan diri dengan perbuatan baik. Berusaha agar dalam setiap gerak
perilaku selalu berjalan diatas ketentuan agama, baik kewajiban yang bersifat
luar maupun yang bersifat dalam. Kewajiban yang bersifat luar adalah
kewajiban yang bersifat formal, seperti sholat, puasa, dan haji. Adapun
kewajiban yang bersifat dalam, contohnya yaitu iman, ketaatan, dan kecintaan
kepada Tuhan.

Dasar dari tahalli ialah firman Allah Q.S An Nahl: 90 yang berbunyi:

‫اء ِذ ي‬ ِ ‫ان و إِ يت‬


‫الْ ُق ْر ىَب ٰ َو َي ْن َه ٰى َع ِن‬ َ َ ِ ‫إِ َّن اللَّ هَ يَأْ ُم ُر بِ الْ َع ْد ِل َو ا إْلِ ْح َس‬
َ ‫تَ َذ َّك ُر‬
‫ون‬ ِ ‫الْ َف ح ش‬
‫ يَعِ ظُ ُك ْم لَ َع لَّ ُك ْم‬Cۚ ‫اء َو الْ ُم ْن َك ِر َو الْ َب ْغ ِي‬ َ ْ
Artinya: Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat
kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari
perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran
kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.7

Menurut Al Ghazali, jiwa manusia dapat diubah, dilatih, dikuasai, dan


dibentuk sesuai dengan kehendak manusia itu sendiri. Perbuatan baik yang
sangat penting di isikan kedalam jiwa manusia dan dibiasakan dalam
perbuatan agar menjadi manusia paripurna (insane kamil). Perbuatan baik itu,
antara lain sebagai berikut:

1. Taubat

Kebanyakan sufi menjadikan taubat sebagai perhentian awal dijalan


menuju Allah. Pada tingkatan terendah, taubat menyangkut dosa yang
dilakukan anggota badan. Pada tingkat menengah, taubat menyangkut
pangkal dosa dosa, seperti dengki, sombong, dan ria. Pada tingkat yang
lebih tinggi, tobat menyangkut usaha menjauhkan bujukan setan dan
menyadarkan jiwa akan rasa bersalah. Pada tingkat terakhir, taubat berarti
penyesalan atas kelengahan pikiran dalam mengingat Allah. Taubat pada

6
Samsul Muniri, Ilmu Tasawuf...,. hlm. 215
7
Moh. Saifulloh, Risalah Memahami..., hlm. 94

5
tingkat ini adalah penolakan terhadap segala sesuatu yang dapat
memalingkan dari jalan Allah.

2. Khauf dan Raja’

Bagi kalangan sufi khauf dan raja’ berjalan seimbang dan saling
mempengaruhi. Khauf adalah perasaan takut seorang hamba semata mata
kepada Allah, sedangkan Raja’ adalah perasaan hati yang senag karena
menati sesuatu yang diinginkan dan disenangi.

Menurut Al Ghazali, Raja’ adalah rasa lapang hati dalam


menantikan hal yang diharapkan pada masa yang akan datang yang
mungkin terjadi. Raja’ merupakan sikap hidup yang selalu mendorong
seseorang untuk lebih banyak berbuat dan beramal shaleh sehingga
menjadi taat kepada Allah dan Rasul NYA.

Khauf dan raja’ saling berhubungan, kekurangan Khauf akan


menyebabkan seseorang lalai daan berani berbuat maksiat, sedangkan
Khauf yang berlebihan akan menjadikan seseorang menjadi putus asa dan
pesimistis. Keseimbangan antara Khauf dan Raja’ sama sama penting
karena tanpa Raja’, orang akan serba khawatir, tidak mempunyai gairah
hidup, serba takut, dan pesimistis. Dimilikinya Khauf dalam kadar sedang
akan membuat orang senatiasa waspada dan hati hati dalam berperilaku
agar terhindar dari ancaman.

3. Zuhud

Zuhud yaitu ketidak tertarikan pada dunia atau harta benda. Zuhud
terbagi menjadi tiga tingkatan yaitu:

a. Zuhud yang terendah adalah menjauhkan diri dari dunia ini agar
terhindar dari hukuman di akhirat.

b. Menjauhi dunia dengan menimbang imbalan akhirat

c. Merupakan maqam tertinggi adalah mengucilkan dunia bukan karena


takut atau karena berharap, tetapi karena cinta kepada Allah.

Orang yang berada pada tingkat tertinggi ini akan memandang


segala sesuatu, kecuali Allah, tidak mempunyai arti apa apa. Sesuai dengan
pandangan sufi, hawa nafsu duniwilah yang menjadi sumber kerusakan
moral manusia. Sikap kecenderungan seseorang kepada hawa nafsu,
mengakibatkan kebrutalan dalam mengejar kepuasan nafsunya. Dorongan

6
jiwa yang ingin menikmati kehidupan dunia akan menimbulkan
kesenjangan antar manusia dengan Allah.

4. Fakir

Fakir bermakna tidak menuntut lebih banyak dan merasa puas


dengan apa yang sudah dimiliki sehingga tidak meminta sesuatu yang lain.
Sikap mental fakir merupakan benteng pertahana yang kuat dalam
menghadapi pengaruh dalam menghadapi kehidupan materi. Hal ini karena
sikap fakir dapat menghindarkan seseorang dari semua keserakahan.
Dengan demikian, pada prinsipnya sikap mental fakir merupakan rentetan
sikap zuhud. Hanya saja, zuhud lebih keras menghadapi kehidupan
duniawi, sedangkan fakir hanya sekadar pendisiplinan diri dalam
memanfaatkan fasilitas hidup.

5. Sabar

Menurut Al Ghazali, sabar adalah suatu kondidi jiwa yang terjadi


karena adanya dorongan ajaran agama dalam mengendalikan hawa nafsu.
Dengan demikian, sabar berarti konsisten dalam melaksanakan semua
perintah Allah, menghadapi kesulitan, dan tabah dalam menghadapi cobaan
selama dalam perjuangan untuk mencapai tujuan. Oleh karena itu, sabar
erat hubungannya dengan pengendalian diri, sikap dan emosi. Apabila
seseorang telah mapu mengendalikan nafsunya, maka sikap sabar akan
tercipta.

6. Ridha

Menurut Ibnu Ajibah, ridha adalah menerima hal hal yang tidak
menyenangkan dengan wajah senyum ceria. Seorang hamba dengan senag
hati menerima qadha dari Allah dan tidak mengingkari apa yang telah
menjadi keputusanNYA.8 Sikap mental ridha merupakan perpaduan dari
mahabbah dan sabar. Rasa cinta yang diperkuat dengan ketabahan akan
menimbulkan kelapangan hati untuk berkorban demi yang dicintai.
Seorang hamba yang ridha, ia rela menuruti apa yang dikehendaki Allah
dengan senang hati, sekaligus tidak dibarengi sikap menentang dan
menyesal.

7. Muraqabah

8
Abdul Mustaqim, Akhlak tasawuf, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2007), hal 95

7
Muraqabah adalah mawas diri. Muraqabah mempunyai arti yang
mirip dengan introspeksi. Dengan kata lain, muraqabah adalah siap dan
siaga setiap saat untuk meneliti keadaan sendiri. Seorang calon sufi sejak
awal sudah diajarkan bahwa dirinya tidak pernah lepas dari pengawasan
Allah. Seluruh aktifitas hidupnya ditujukan untuk berada sedekat mungkin
denganNYA. Ia sadar bahwa Allah “memandang” NYA. Kesadaran itu
membawanya pada satu sikap mawas diri atau muraqabah.9

C. Fase Tajalli
Tajalli dapat dikatakan terungkap nya nur ghaib untuk hati. Rasulullah
Saw. bersabda: “ada saat – saat tiba karunia dari Tuhanmu, maka sikapkanlah
dirimu untuk itu”. Oleh karena itu, setiap calon sufi mengadakan latihan jiwa
(riyadah), berusaha untuk membersihkan dirinya dari sifat – sifat tercela,
mengosongkan hati dari sifat yang keji ataupun dari hal – hal duniawi, lalu
mengisinya dengan sifat – sifat terpuji seperti: beribadah, zikir,
menghindarkan diri dari hal – hal yang dapat mengurangi kesucian diri dan
seluruh jiwa (hati) semata – mata hanya untuk memperoleh tajalli yaitu
menerima pancaran ilahi.

Apabila Tuhan telah menembus hati hambanya dengan nur-Nya, maka


berlimpah ruahlah rahmat dan karunianya. Pada tingkatan ini, hati hamba
akan bercahaya terang – benderang, dadanya terbuka luas, dan terangkat tabir
rahasia alam malakut dengan karunia rahmat Tuhan tersebut.10

Dasar dari tajalli ini sebagaiman firman Allah, Q.S An Nur: 35 yang berbunyi:

ِ ِ‫ور ِه َك ِم ْش َك ٍاة ف‬ ِ ُ‫ َم ثَ ل ن‬Cۚ‫ض‬ ِ ‫الس م او‬


Cۖ ‫اح‬
ٌ َ‫ص ب‬ ْ ‫يه ا م‬ َ ُ
ِ ‫ات َو ا أْل َ ْر‬ َ َ َّ ‫ور‬ ُ ُ‫اللَّ هُ ن‬
‫ي يُوقَ ُد ِم ْن‬ ٌّ ‫ب ُد ِّر‬ٌ ‫اج ةُ َك أَ نَّ َه ا َك ْو َك‬ ُّ Cۖ ‫اج ٍة‬
َ ‫الز َج‬ َ ‫اح يِف ُز َج‬ ُ َ‫ص ب‬
ِ
ْ ‫الْ م‬
‫ض يءُ َو لَ ْو‬ ِ ‫َش ج ر ٍة م ب ار َك ٍة َز ي تُ ونَ ٍة اَل َش ر قِ يَّ ٍة و اَل َغ ر بِ يَّ ٍة ي َك اد َز ي ُت ه ا ي‬
ُ َ ْ ُ َ ْ َ ْ ْ َ َُ َ َ
ُ ‫ض ِر‬
‫ب‬ ِ ُ‫ َي ْه ِد ي اللَّ هُ لِ ن‬Cۗ ‫ور‬
ْ َ‫ َو ي‬Cۚ ُ‫ور ِه َم ْن يَ َش اء‬ ٍ ُ‫ور َع لَ ٰى ن‬ٌ ُ‫ ن‬Cۚ ‫ار‬ٌ َ‫مَلْ مَتْ َس ْس هُ ن‬
ِ‫ و اللَّ ه بِ ُك ل ش ي ٍء ع ل‬Cۗ‫اس‬ ِ َ ‫اللَّ ه ا أْل َ م ث‬
ٌ َ ْ َ ِّ ُ َ ِ َّ‫ال ل لن‬
‫يم‬ َْ ُ
Artinya: Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan
cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di
9
Samsul Muniri, Ilmu Tasawuf..., hlm. 220
10
Ibid, hlm. 74–75

8
dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan
bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak
dari pohon yang berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di
sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya), yang minyaknya
(saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas
cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia
kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi
manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.11

Setiap calon sufi perlu mengadakan latihan latihan jiwa, berusaha


membersihkan dirinya dari sifat sifat tercela, mengosongkan hati dari sifat
sifat hati, dan melepaskan segala sangkut paut dengan dunia. Setelah itu
mengisi dirinya dengan sifat sifat terpuji, segal tindakannya selalu dalam
rangka ibadah, memperbanyak zikir, dan menghindarkan diri dari segala yang
dapat mengurangi kesucian diri baik lahir maupun bathin. Seluruh hati semata
mata di upayakan untuk memperoleh tajalli dan menerima pancaran nur ilahi.
Apabila Tuhan telah menembus hati hambanya, dengan nur NYA maka
berlimpah ruahlah karunia NYA. Pada tingkat ini seorang hamba akan
memperoleh cahaya yang terang benderang dan dadanya lapang. Pada saat,
jelaslah segala hakikat ketuhanan yang selama ini terhalangi oleh kekotoran
jiwa.

Jalan menuju Allah menurut kaum sufi terdiri atas dua usaha, pertama
mulazamah, yaitu selalu berzikir. Kedua mukhalafah, selalu menghindarkan
diri dari segala sesuatu yang dapat melupakan NYA. Keadaan ini dinamakan
safar kepada Tuhan. Safar merupakan gerak dari satu pihak, tidak dari pihak
yang datang (hamba) dan tidak dari pihak yang di datang (Tuhan) tetapi
pendekatan dari keduanya. Hal tersebut sebagaiman firman Allah Q.S Qaaf:
16, yang berbunyi:

‫ب إِ لَ ْي ِه ِم ْن‬ ِ ِ ‫ان و َن ع لَ م م ا ُت و س ِو‬


ُ ‫ َو حَنْ ُن أَ ْق َر‬Cۖ ُ‫س ب ه َن ْف ُس ه‬ ِ
ُ ْ َ َ ُ ْ َ َ ‫َو لَ َق ْد َخ لَ ْق نَ ا ا إْل نْ َس‬
ِ‫ح ب ِل الْ و ِر يد‬
َ َْ
Artinya: Dan Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan
mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat
kepadanya daripada urat lehernya,

11
Moh. Saifulloh, Risalah Memahami..., hlm. 151

9
Para sufi sependapat bahwa satu satu cara untuk mencapai tingkat
kesempurnaan kesucian jiwa, yaitu dengan mencintai Allah dan memperdalam
rasa cinta tersebut. Dengan kesucian jiwa, jalan untuk mencapai Tuhan akan
terbuka.tanpa jalan ini tidak ada kemungkinan terlaksananya tujuan dan
perbuatan yang dilakukanpun tidak dianggap sebagai perbuatan baik. Dalam
menempuh jalan (tarekat) untuk memperoleh kenyataan Tuhan (tajalli), kaum
sufi berusaha melalui ridha, latihan latihan dan muhajadah (perjuangan)
dengan menempuh jalan, antara lain melalui suatu dasar pendidikan tiga
tingkat yang dinamakan: takhalli, tahalli dan tajalli.

Adapun menenmpuh jalan suluk dengan sistim yang dinamakan:


“muratabatu-thariqah” yang terdiri dari empat tingkat: (seperti sistim yang
dipakai tarekat naqsabandiyah):

a. Taubat

b. Istiqamah: taat lahir dan bathin

c. Tahzib: yang terdiri daru beberapa riadah/latihan seperti puasa, mengurangi


tidur dan menyendiri

d. Taqarrub: mendekatkan diri kepada Allah dengan jalan bershalawat dan


zikir terus menerus.12

D. Alam Malakut
Alam Malakut ialah Alam yang diisi oleh malaikat dan pikiran baik.
Tak mungkin dilihat oleh manusia, kecuali nabi. Al-Malakut yang berarti
dunia malaikat, adalah ranah yang tak terlihat, dalam kosmologi Islam, berisi
beberapa makhluk metafisik dan tempat-tempat dalam pengetahuan Islam,
seperti malaikat, setan, jin, neraka, dan ketujuh langit.13
Alam malakut merupakan Alam Qolbi (hati) isinya para malaikat,
asalnya dari unsur angin, kejadiannya dari Nafsu Mutmainah (tenang),
keluarnya dari hidung, wataknya bisa mencium, ilmunya tingkt hakekat,
Akalnya Huda (menjedi wayang) artinya orang itu sudah betul-betul pasrah
(tawakal) bagaimana yang mengatur saja, dan ia merasakan kehadiran Allah,
dan orang yang ilmu pengetahuannya sudan mencapai Alam Malakut, maka ia
akan bisa melihat suatu Alam yang mana makhluknya serba putih yang
sedang berdiri, ruku, sujud,dan duduk. Dan orang yang mencapai tingkat ini
12
Asmaran As., Pengantar Studi Tasawuf, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), hal 71
13
Jess Hollenback Mysticism, Experience, Response, and Empowerment (Penn State Press,
1996) hlm. 259

10
hatinya di penuhi oleh Nur (Cahaya) sehingga di kehidupannya tenang dan
tentram.

Alam Malakut adalah suatu alam yang tingkat kedekatan dengan aspek
Allahnya lebih rendah dari Alam Jabarut, namun masih lebih tinggi dari Alam
Mulk. Baik Alam Jabarut maupun Alam Malakut, keduanya adalah
realitas/wujud yang tidak dapat ditangkap oleh indera jasadiah kita. Indera
jasad biasanya hanya bisa menangkap sesuatu yang terukur secara jasad,
sedang Alam Jabarut dan Alam Malakut memiliki ukuran melampui ukuran
jasad. Misal penghuni Alam Malakut adalah malaikat, An-nafs (jiwa).

E. Alam Nasut
Alam Nasut ialah Alam kebendaan (materi), yang pertama-tama
disadari seorang manusia. Dapat diraba dan dilihat langsung dengan panca
indera atau dengan alat bantu.
Alam nasut merupakan Alam yang terlihat oleh mata ahir (Alam
jasmani) yang isinya : Manusia, hewan asalnya dari unsur air, kejadiannya
dari Nafsu Sawiah (bening), keluarnya dari mata, wataknya bisa mlihat,
Ilmunya tingkat syareat, akalnya hasab (mencari) dan orang yang ilmu
pengetahuannya masih di Alam Nasut, biasanya orang tersebut,hatinya masih
lalai atau masih tidur, ilmu pengtahuannya masih di dapat dari orang lain
(orang awam) bukan bersumber dari dirinya sendiri, ibaratnya bak air, ada air
kalau diisi saja tetapi kalu tidak diisi, ia akan kosong dan kering,dan orang
tersebut mudah sekali dihasut, hidupnya hanya mengikuti umum saja tidak
mempunyai pegangan sendiri.
F. Alam Lahut
Alam Lahut ialah Arsy, alam yang tak ada awal, tak ada akhir, tak
terbatas dan tak berwujud. Kalau terpikir bentuknya oleh manusia, maka itu
bukanlah yang dimaksud.
Alam Lahut ialah ALAM GHAIBUL GHAIB yang maksudnya ialah
Alam yang lebih bersifat Ghaib di dalam Ghaib. Alam Jabarut dan Alam
Malakut ialah sudah termasuk wilayah alam Ghaib, Namun masih lebih Ghaib
lagi Alam Lahut.

BAB III

11
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Takhalli yakni penyucian diri dari sifat-sifat tercela, dari maksiat lahir
maupun batin. Takhalli juga berarti menghindarkan diri dari
ketergantungan terhadap kelezatan hidup duniawi. Tahalli yakni
menghiasi dan membiasakan diri engan sikap perbuatan terpuji. Tahalli ini
merupakan tahap pengisian jiwa yang telah dikosongkan.apabila manusia
mampu mengisi hatinya dengan sifat-sifat terpuji maka ia akan menjadi
cerah dan terang sehingga dapat menerima cahaya ilahi sebab hati yang
kotor tidak dapat menerima cahaya tersebut. Tajalli adalah tersingkapnya
hal-hal ghaib yang menjadi pengetahuan kita yang hakiki disebabkan oleh
nur yang dipancarkan Allah kedalam hati seseorang. Ada empat macam
tajalli yaitu tajalli Af`al, tajalli Asma’, tajalli sifat, dan tajalli Zat.
2. Alam Malakut adalah suatu alam yang tingkat kedekatan dengan aspek
Allahnya lebih rendah dari Alam Jabarut, namun masih lebih tinggi dari
Alam Mulk yang tidak dapat ditangkap oleh indera jasadiah kita. Alam
Nasut ialah Alam kebendaan (materi), yang pertama-tama disadari seorang
manusia. Dapat diraba dan dilihat langsung dengan panca indera atau
dengan alat bantu. Alam Lahut ialah Arsy, alam yang tak ada awal, tak
ada akhir, tak terbatas dan tak berwujud. Kalau terpikir bentuknya oleh
manusia, maka itu bukanlah yang dimaksud.
B. Saran
Demikian makalah yang dapat penulis paparkan. Semoga makalah ini
dapat bermanfaat bagi penulis dan pembaca dan saran penulis harapkan demi
terwujudnya makalah yang lebih baik.

DAFTAR PUSTAKA

12
Ali, Mudzakir. 2012. Ilmu Pendidikan Islam. Semarang: PKPI2 Universitas Wahid
Hasyim.
Nasution, Ahmad Bangun & Siregar, Rayani Hanum. 2013. Akhlak dan Tasawuf.
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Zahri, Mustafa. 1973. Kunci Memahami Ilmu Tasawuf, Surabaya: Bina Ilmu.

Al-Aziz. Moh. Saifulloh. 1998. Risalah Memahami Ilmu Tasawuf. Surabaya: Terbit
Terang.
Amin, Samsul Munir. 2012. Ilmu Tasawuf. Jakarta: Hamzah.
Mustaqim, Abdul. 2007. Akhlak tasawuf. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Asmaran, As. 1996. Pengantar Studi Tasawuf. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Hollenback, Jess. 1996. Mysticism, Experience, Response, and Empowerment. Penn
State Press.

13

Anda mungkin juga menyukai