Anda di halaman 1dari 11

Macam-macam Aliran Tasawuf Secara keseluruhan Ilmu tasawuf bisa di kelompokkan menjadi dua, yakni tasawuf ilmi atau

nadhari, yaitu tasawuf yang bersifat teoritis, yang tercakup dalam bagian ini ialah sejarah lahirnya tasawuf dan perkembangannya sehingga menjelma manjadi ilmu yang berdiri sendiri, termasuk di dalamnya ialah teori-teori tasawuf menurut bebagai tokoh tasawuf dan tokoh luar tasawuf yang berwujud ungkapan sistematis dan filosofis. Bagian ke dua ialah Tasawuf Amali atau Tathbiqi, yaitu tasawuf terapan yakni ajaran tasawuf yang praktis. Tidak hanya sebagai teori belaka. Namun menuntut adanya pengamalan dalam rangka mencapai tujuan tasawuf. Orang yang menjalanakan ajaran tasawuf ini akan mendapat keseimbangan dalam kehidupannya, antara materiil dan spiritual, dunia dan akhirat. Sementara ada lagi yang membagi tasawuf manjadi tiga macam bagian aliran tasawuf, yakni : 1. Tasawuf akhlaki, 2. Tasawuf amali, 3. Tasawuf falsafi. Perlu di maklumi bahwa pembagian ini hanya sebatas dalam kajian akademik, ke tiganya tidak bisa di pisahkan secara dichotomik, sebab dalam prakteknya ke tiganya tidak dapat di pisahkan satu sama lain. Selanjutnya untuk mengkaji masingmasing bagian tasawuf tadi, berikut ini akan di uraikan satu persatu.

Tasawuf akhlaki adalah ajaran tasawuf yang membahas tentang kesempurnaan dan kesucian jiwa yang di formulasikan pada pengaturan sikap mental dan pendisiplinan tingkah laku yang ketat guna mencapai kebahagian yang optimum, manusia harus lebih dahulu yang mengidentifikasikan eksistensi dirinya dengan ciri-ciri ke tuhanan melaui pensucian jiwa dan raga yang bermula dari pembentukan pribadi yang bermoral dan ber akhlak mulia, yang dalam ilmu tasawuf dikenal Takhalli (pengosongan diri dari sifat-sifat tercela), Tahalli (menghiasi diri dengan sifat-sifat terpuji), dan Tajalli (terungkapnya nur ghaib bagi hati yang telah bersih seehingga mampu menangkap cahaya ketuhanan). Takhalli berarti membersihkan diri dari sifat-sifat tercela, kotoran, dan penyakit hati yang merusak. Langkah pertama yang harus di tempuh adalah mengetahui dan menyadari, betapa buruknya sifat-sifat tercela dan kotor tersebut, sehingga muncul kesadaran untuk memberantas dan menghindarinya. Apabila hal ini bisa dilakukan dengan sukses, maka seseorang akan memperoleh kebahagiaan. Allah berfirman : Asy-Syams: 9-10 Artinya: sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan jiwa itu, dan sungguh merugilah orang yang mengotorinya (asy-syams: 9-10) Adapun sifat-sifat tercela yang harus di hilangkan ialah antara lain Syirik (penyekutuan tuhan), hasad (dengki), hirsh (keinginan yang berlebih-lebihan), Ghadlab ( marah), Riya dan Sumah (pamer), Ujb (bangga diri) dan sebagainya. Untuk menghilangkan sifat-sifat tersebut, maka perlu dilakukan dengan cara : a. Menghayati segala bentuk akidah dan ibadah.

b. c.

Muhasabah (koreksi) terhadap dirinya sendiri. Riyadlah (latihan) dan Mujahadah (perjuangan).

d. Berupaya mempunyai kemauan dan gaya tangkal yang kuat terhadap kebiasaan-kebiasaan yang jelek dan menggantinya dengan kebiasaan-kebiasaab baik. e. f. Mencari waktu yang tepat untuk merubah sifat-sifat yang jelek-jelek itu, dan Memohon pertolongan dari Allah swt.

Tahap selanjutnya ialah Tahalli, yakni menghias diri dengan perbuatan baik. Berusaha agar dalam setiap gerak dan perilakunya selalu berjalan di atas ketentuan agama. Langkahnya ialah membina pribadi, agar memiliki akhlak al-karimah, dan senantiasa konsisten dengan langkah yang di rintis sebelumnya (dalam bertkhalli). Melakukan latihan kejiwaan yang tangguh untuk membiasakan berprilaku baik, yang pada gilirannya, akan menghasilkan manusia yang sempurna (ihsan kamil). Langkah ini perlu di tingkatkan dengan tahap mengisi dan menyinari hati dengan sifat-sifat terpuji, antara lain at-tauhid (pengesaan Tuhan secara mutlak), ash-shabru (tabah dalam menghadapi segala situasi dan kondisi), dll. Setelah seseorang melalui dua tahap tersebut, maka pada tahap ke tiga yakni Tajalli, seseorang hatinya terbebaskan dari tabir (hijab), yaitu : sifat-sifat kemanusiaan atau memperoleh Nur yang selama ini tersembunyi atau fana segala sesuatu selain Allah ketika Nampak (tajalli) wajah-Nya. Al-kalabadzi membagi tajalli menjadi tiga macam yaitu : 1. 2. Tajallidz Dzat, yaitu mukasyafah (terbukanya selubung yang menutupi kerahasiaan-Nya). Tajallis Sifatidz Dzat, yakni nampaknya sifat-sifat Dzat-Nya sebagai sumber atau tempat cahaya.

3. Tajalli Hukmudz Dzat, yaitu nampaknya hukum-hukum Dzat, atau hal-hal yang berhubungan dengan akhirat dan apa yang ada di dalamnya. Pencapaian tajalli tersebut melalui pendekatan melalui pendekatan rasa atau Dzauq dengan alat alQalb. Qalb menurut shufi mempunyai kemempuan lebih bila dibandingkan dengan akal. Yang kedua ini tidak bisa memperoleh pengetahuan yang sebenarnya tentang Allah swt. Sedang al-Qalb bisa mengetahuinya. Apabila ia telah member atau menembus qalb dengan Nur-Nya, maka akan terlimpahkanlah kepada seseorang karunia dan rahmat-Nya. Ketika itu Qalb menjadi terang-benderang, terangkatlah tabir rahasia dengan karunianya rahmat itu, tatkala itu jelaslah segala hakikat ketuhanan selama itu terhijab dan terahasiakan.

Apabila seseorang telah mencapai tajalli, maka dia akan memperoleh marifat, yaitu mengetahui rahasia-rahasia ketuhanan dan peraturan-peraturan-Nya tentang segala yang ada atau bisa di artikan lenyapnya segala sesuatu dengan ketika menyaksikan Tuhan. Marifat merupakan pemberian Tuhan, bukan usaha manusia. Ia merupakan ahwal tertinggi, yang datangnya sesuai atau sejalan dengan ketekunan, kerajinan, kepatuhan, dan ketaatan seseorang. Menurut Ibrahim Basyuni, marifat merupakan pencapaian tertinggi dan sebagai hasil akhir dari segala pemberian setela melakukan mujahadah dan riyadlah, dan bisa dicapai ketika terpenuhinya qalb dengan Nur Ilahi. Nur Ilahi itu akan diberikan kepada seseorang yang telah terkendali hawa nafsunya, bahkan bisa dilenyapkan sifat-sifat kemanusiaan (basyariyah) nya yang cenderung berbuat maksiat, dan terlepasnya dari kecendrungan kepada masalah duniawiyah. Karena dosa dan cinta kepadanya, akan menjadi penghalang qalb untuk melihat (marifat) kepada-Nya.

Tasawuf amali, yaitu tasawuf yang membahas tentang bagaimana cara mendekatkan diri kepada Allah. Dalam pengertian ini, tasawuf amali berkonotasikan thariqah, dalam thariqah dibedakan antara kemampuan shufi yang satu dari pada yang lain, ada orang yang di anggap mampu dan tahu cara mendekatkan diri kepada Allah, dan ada orang yang memerlukan bantuan orang lain yang di anggap memiliki otoritas dalam masalah itu. Dalam perkembangan selanjutnya, para pencari dan pengikut semakin banyak dan terbentuklah semacam komunitas social yang sepaham, dan dari sini muncullah strata-strata berdasarkan pengetahuan serta amalan yang mereka lakukan. Dari sini maka mucullah istilah Murid, Mursyid, Wali, dan sebagainya. Dalam tasawuf amali yang berkonotasikan thariqah ini mempunyai aturan, prinsip dan system khusus. Semula hanya merupakan jalan yang harus di tempuh seorang sufi dalam mencapai tujuan berada sedekat mungkin dengan tuhan, lama-kelamaan bekembang menjadi organisasi shufi, yang melegalisir kegiatan tasawuf. Praktek amaliahnya disistimatisasikan sedemikian rupa sehingga masing-masing thariqah mempunyai metode sendiri-sendiri. Pengertian ini di tegaskan oleh J. Scencer Trimingham bahwa thariqah adalah suatu metode praktis untuk menuntun seorang shufi secara berencana dengan jalan pikiran, perasaan, dan tindakkan, terkendali terus menerus kepada suatu rangkaian maqam untuk dapat merasakan hakikat yang sebenarnya. Dalam thariqah ada tiga unsure yakni: guru, murid, dan ajaran. Guru adalah orang yang mempunyai otoritas dan legalitas ke shufian, yang berhak mengawasi muridnya dalam setiap langkah dan geraknya sesuai dengan ajaran islam. Oleh karena itu dia mempunyai ke istimewaan khusus, seperti jiwa yang bersih.

Tasawuf falsafi, yaitu tasawuf yang ajaran-ajaranya memadukan antara visi intuitif dan visi resional. Terminology filosofis yang digunakan berasal dari bermacam-macam ajaran filsafat yang telah mempengaruhi para tokohnya, namun orisinalitasnya sebagai tasawuf tetap tidak hilang. Walaupun demikian tasawuf filosofis tidak bisa di pandang sebagai filsafat, karena ajaran daan metodenya di dasarkan pada dasar dzauq, dan tidak pula bisa di kategorikan pada tasawuf (yang murni) karena sering di ungkapkan dengan bahasa filsafat. Dalam upaya mengungkapkan pengalaman rohaninya, para shufi falsafi sering menggunakan ungkapanungkapan yang samar, yang sering di kenal dengan syathahiyyat, yaitu suatu ungkapan yang sulit difahami, yang seringkali mengakibatkan kesalahpahaman pihak luar, dan menimbulkan tragedy. Tokohtokohnya ialah Abu Yazid al-busthami, al-Hallaj, Ibn Arabi, dan sebagainya. Abu Yazid al-Busthami mempunyai teori al-Ittihad, yaitu suatu tingkatan dalam tasawuf di mana seorang shufi telah merasa dirinya bersatu dengan Tuhan, suatu tingkatan dimana yang mencintai dan yang dicintai telah menjadi satu, sehingga salah satu dari mereka dapat memanggil yang satu lagi deengan kata-kata : hai aku. Dalam al-Ittihad identitas telah menjadi satu. Salah satu Syathiyat yang di ungkapan al-Busthami ialah : 1. 2. 3. tiada tuhan selain aku, maka sembahlah aku. maha suci aku, maha suci aku, alangkah agungnya keadaan-ku. tidak ada sesuatu dalam bajuku ini kecuali Allah.

Tokoh lainnya ialah al-Hallaj dengan ajaran al-Hululnya, yaitu suatu faham yang mengatakan bahwa tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu mengambil tempat (hulul) di dalamnya, setelah sifat-sifat kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu dilenyapkan. Menurut al-Hallaj dalam diri manusia terdapat dua unsur, yakni unsur Nasut (kemanusiaan), dan unsure Lahut (ketuhanan), karena itu persatuan antara tuhan dan manusia bisa terjadi dan dengan persatuan itu mengambil bentuk hulul. Al-Hallaj juga mengungkapkan syathahiyat sebagaimana di ungkapkan al-Busthami, seperti : aku adalah yang haq. Karena ungkapannya yang di anggap menyimpang dari tauhid inilah, dan tuduhan bekomplot dengan syiah Qaramithah, maka dia di jebloskan ke dalam keputusan pengadilan fuqaha yang sepihak dan berkolusi dengan pemerintahan al-Muqtadir Billah. Dia di jatuhi hukuman mati. Teori Hulul ini di kembangkan labih jauh oleh Ibn Arabi dengan teori Wahdatul Wujud. Dalam teori ini, Ibn Arabi merubah Nasut dalam hulul menjadi al-Khaliq dan Lahut menjadi al-Haq. Kedua unsure tersebut pasti ada pada setiap makhluk yang ada ini , sebagai aspek batin, Ibn Arabi mengungkapkan : maha suci dzat yang menciptakan segala sesuatu, dan dia adalah essensinya sendiri. Paham yang di bawa oleh para shufi falsafi membawa pro dan kontra, karena perbedaan latar belakang sudut tinjauan dan pisau analisianya. Dalam dunia tasawuf di kenal istilah fana dan baqa sebagaimana

telah di uraikan di depan. Ketika seseorang telah mencapai keadaan demikian, seorang shufi telah mencapai puncak tujuan yang di inginkannya, yakni marifat dan hakikat, sehingga muncul kesadaran bahwa al-marifah (pengetahuan), al-Arif (orang yang mengetahui), dan al-Maruf (yang di ketahui/tuhan) adalah satu. Orang yang telah mencapai marifat, hatinya bersih, dia akan merenungi sifat-sifat tuhan, bukan pada essensi-Nya, karena dalam marifat masih ada sia-sia kegandaan yang masih tertinggal. Sifat utama Tuhan adalah ketuhanan dan kesatuan ilahi merupakan prinsip marifat yang pertama dan yang terakhir. Tuhan bagi shufi difahami sebagai Dzat yang esa yang mendasari seluruh peristiwa. Prinsip ini membawa konsekuensi yang ekstrim. Apabila tiada sesuatu yang mewujudkan selain Tuhan, maka seluruh alam pada dasarnya adalah satu dengan-Nya, apakah ia di pandang emanasi yang berkembang dari pada-Nya, tanpa mengganggu ke esaan-Nya, sebagaimana halnya bekas sinar matahari atau apakah ia berlaku seperti cermin dengan mana sifat-sifat Allah dipancarkan. Konsep inilah yang mendasari para shufi falsafi mempunyai pandangan tersebut di atas. Dengan analisis seperti ini, maka hasil yang diperoleh oleh para shufi falsafi sebagaimana telah di ungkapkan adalah sesuatu yang wajar saja, dan suatu konsekuensi logis. Namun apabila didekati dengan fiqih dan ilmu kalam, adalah jenis hal tersebut di anggap suatu yang menyimpang, karena antara khalik dan makhluk, antara abid dan mabud tidak bisa di satukan.

TOKOH-TOKOH TASAWUF AKHLAQI

Berikut ini adalah contoh-contoh sufi beserta ajaran-ajarannya yang termasuk ke dalam aliran tasawuf akhlaqi.

1. Hasan Al-Bashri (21 110 H)

a. Biografi Singkat

Hasan Al-Bashri, yang nama lengkapnya Abu Sain Al-Hasan bin Yasar, adalah seorang zahid yang amat masyhur di kalangan tabiin. Ia dilahirkan di Madinah pada tahun 21 H. (632 M.) dan wafat pada hari Kamis bulan Rajab tanggal 10 tahun 110 H (728 M). Ia dilahirkan dua malam sebelum Khalifah Umar bin Khathtab wafat. Ia dikabarkan bertemu dengan 70 orang sahabat yang turut menyaksikan peperangan Badr dan 300 sahabat lainnya.

b. Ajaran-ajaran Tasawuf

Hamka mengemukakan sebagian ajaran-ajaran tasawuf Hasan Al-Bashri berikut ini: Perasaan takut yang menyebabkan hatimu tentram lebih baik daripada rasa tenteram yang menimbulkan perasaan takut. Dunia adalah negeri tempat beramal. Barang siapa bertemu dunia dengan perasaan benci dan zuhud, ia akan berbahagia dan memperoleh faedah darinya. Namun, barang siapa bertemu dunia dengan perasaan rindu dan hatinya tertambat dengan duni, ia akan sengsara dan akan berhadapan dengan penderitaan yang tidak dapat ditanggungnya. Tafakur membawa kita pada kebaikan dan berusaha mengerjakannya. Menyesal atas perbuatan jahat menyebabkan kita untuk tidak mengulanginya lagi. Sesuatu yang fana betapapun banyaknya tidak akan menyamai sesuatu yang baqa betapa pun sedikitnya. Waspadalah terhadap negeri yang cepat datang dan pergi serta penuh tipuan.

2. Al-Muhasibi (165-243 H)

a. Biografi Singkat

Nama lengkapnya adalah Abu Abdillah Al-Harits bin Asad Al-Bashri Al-Baghdadi Al-Muhasibi. Tokoh sufi ini lebih dikenal dengan sebutan Al-Muhasibi. Ia dilahirkan di Bashrah, Irak, tahun 165 H/781 M. dan meninggal di negara yang sama pada tahun 243 H/857 M. Ia adalah sufi dan ulama besar yang menguasai beberapa bidang ilmu seperti tasawuf, hadits, dan fiqh. Ia merupakan figur sufi yang dikenal senantiasa menjaga dan mawas diri terhadap perbuatan dosa. Ia juga sering kali mengintropeksi diri menurut amal yang dilakukannya. Ia merupakan guru bagi kebanyakan ulama Baghdad. Orang yang paling banyak menimba ilmu darinya dan dipandang sebagai muridnya paling dekat dengannya adalah Al-Junaid Al-Baghdadi (w. 298 H.) yang kemudian menjadi seorang sufi dan ulama besar Baghdad.

b. Ajaran-Ajaran Tasawuf

Makrifat dan Khauf dan Raja

Dalam pandangan Al-Muhasibi, khauf (rasa takut) dan raja (pengharapan) menempati posisi peneting dalam perjalanan seseorang membersihkan jiwa. Ia terkesan mengaitkan kedua sifat itu dengan etikaetika keagamaan lainnya, yakni, ketika disifati dengan dua sifat di atas, seseorang secara bersamaan disifatipula dengan sifat-sifat lainnya. Pangkal wara, menurutnya, adalah ketakwaan ; Pangkal ketakwaan adalah intropeksi diri (muhasabat an-nafs; Pangkal intropeksi diri adalah khauf dan raja; Pangkal khauf dan raja adalah pengetahuan tentang janji dan ancaman Allah; sedangkan pangkal pengetahuan tentang keduanya adalah perenungan. Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa berada di dalam surga dan di mata air-mata air, sambil mengambil apa yang diberikan kepada mereka oleh tuhan mereka, sesungguhnya mereka sebelum itu di dunia adalah orang-orang yang berbuat baik; Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam; Dan di akhirakhir malam, mereka memohon ampun (kepada Allah). (Q.S. Adz-Dzariyyat: 15 18) 3. Al-Qusyairi (376-465 H) a. Biografi Singkat

Al-Qusyairi adalah salah seorang tokoh sufi utama dari abad kelima Hijriyah. Kedudukannya demikian penting mengingat karya-karynya tentang para sufi dan tasawuf aliran sunni pada abad ketiga dan keempat Hijriyah, membuat terpeliharanya pendapat dan khazanah tasawuf pada masa itu, baik dari segi teoretis maupun praktis. b. Ajaran-Ajaran Tasawuf Mengembalikan Tasawuf ke Landasan Ahlusunnah Kesehatan Batin Penyimpangan Para sufi

4. Al-Ghazali (450 505 H)

a. Biografi Singkat

Nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Taus Ath-Thusi Asy-Syafii Al-Ghazali. Secara singkat dipanggil Al-Ghazali atau Abu Hamid Al-Ghazali. Ia dipanggil AlGhazali karena dilahirkan di kampung Ghazlah, suatu kota di Khurasan, Iran, pada tahun 450 H./1058 M, tiga tahun setelah kaum Saljuk mengambil alih kekuasaan di Baghdad.

b. Ajaran Tasawuf Al-Ghazali Di dalam tasawufnya, Al-Ghazali memilih tasawuf Sunni yang berdasarkan Al-Quran dan Sunnah Nabi ditambah dengan doktrin Ahlusunnah wal Jamaah. Dari paham tasawufnya itu, ia menjauhkan semua kecenderungan gnostis yang memengaruhi para filosof Islam, sekte Ismailiyyah,m aliran Syiah, Ikhwan Ash-Shafa, dan lain-lainnya. 1) Makrifat Menurut Al-Ghazali, sebagaimana dijelaskan oleh Harrun Nasution, makrifat adalah mengetahui rahasia Allah dan mengetahui peraturan-peraturan Tuhan tentang segala yang ada. Alat memperoleh makrifat bersandar pada sirr, qalb, dan ruh. Selanjutnya, Harun Nasution juga menjelaskan pendapat Al-Ghazali yanag dikutip dari Al-Qusyairi bahwa qalb dapat mengetahui hakikat segala yang ada. Jika dilimpahi cahaya Tuhan, qalb dapat mengetahui rahasia-rahasia Tuhan dengan sirr, qalb dan ruh yang telah suci dan kosong, tidak berisi apa pun. Saat itulah ketiganya akan menerima illuminasi (kasyf) dari Allah. Pada waktu itu pulalah, Allah menurunkan cahaya-Nya kepada sang sufi sehingga yang dilihat sang sufi hanyalah allah. Di sini, sampailah ia ke tingkat makrifat.

2) As-Sadah Menurut Al-Ghazali, kelezatan dan kebahagiaan yang paling tinggi adalah melihat Allah (ruyatullah). Di dalam kita kimiya As-Saadah, ia menjelaskan bahwa As-Saadah (kebahagiaan) itu sesuai dengan watak (tabiat), sedangkan watak sesuatu itu sesuai dengan ciptaannya. Nikmatnya mata terletak ketika melihat gambar yang bagus dan indah. Nikmatnya telinga terletak ketika mendengar suara yang merdu. Demikian juga, seluruh anggota tubuh, masing-masing mempunyai kenikmatan tersendiri.

TASAWUF IRFANI & ROBIATUL ADAWIYAH Tasawuf Irfani Hakikat Irfani

Secara etimologis, kata Irfan merupakan kata jadian (mashdar) dari kata arafa (mengenal/pengenalan). Adapun secara terminologis, irfan diindentikkan dengan marifat sufistik. Ahli irfan adalah orang yang bermarifat kepada Allah.Irfan diperoleh seseorang melalui jalan al-idrak al- mubasyir al wujudani (penagkapan langsung secara emosional), bukan penangkapan secara rasional.[1]

Sebagai sebuah ilmu, irfan memiliki dua aspek, yakni aspek praktis dan aspek teoritis. Aspek praktisnya adalah bagian yang menjelaskan hubungan dan pertanggung jawaban manusia terhadap dirinya, dunia, dan Tuhan. Sebagai ilmu praktis, bagian ini menyerupai etika. Bagian praktis ini disebut sayr wa suluk (perjalanan rohani). Bagian ini menjelaskan bagaimana seseorang penempuh rohani (salik) yang ingin mencapai tujan puncak kemanusiaan, yakni tauhid, harus mengawali perjalanan, menempuh tahapantahapan (maqam) perjalanannya secara berurutan, dankeadaan jiwa (hal) yang bakal dialaminya sepanjang perjalanannya tersebut.

Sementara itu, irfan teoritis memfokuskan perhatiannya pada masalah wujud (ontologi), mendiskusikan manusia, Tuhan serta alam semesta. Dengan sendirinya, bagian ini menyerupai teosofi (falsafah ilahi) yang juga memberikan penjelasan tentang wujud. Seperti halnya filsafat, bagian ini mendefinisikan berbagai prinsip dan problemanya. Namun, jika filsafat hanya mendasarkan argumennya pada prinsipprinsip rasional, irfan mendasarkan diri pada ketersibukan mistik yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa rasional untuk menjelaskannya.[2] Tokoh-tokoh Tasawuf Irfani Rabiatul Adawiyah (95-185 H) Biografi Singkat

Nama lengkap Rabiah adalah Rabiah binti Ismail Al Adawiyah AL Bashriyah Al Qaisiyah. Ia diperkirakan lahir pada tahun 95 H/ 713 M atau 99 H/ 717 M di suatu perkampungan dekat kota Bashrah (Irak) dan wafat di kota itu pada tahun 185 H/ 805 M. Ia dilahirkan sebagai putri keempat, orang tuanya menamakan Rabiah. Kedua orang tuanya meninggal ketika dia masih kecil. Konon, pada saat terjadinya bencana perang di Bashrah, ia dilarikan penjahat dan dijual kepada keluarga Atik dari suku Qais Banu Adwah. Dari sini, ia dikenal dengan Al-Qaisyah atau Al-Adawiyah. Pada keluarga ini pulalah, ia bekerja keras tetapi akhirnya dibebaskan lantaran tuannya melihat cahaya yang memancar di atas kepala Rabiah dan menerangi seluruh ruangan rumah pada saat ia sedang beribadah.

Setelah dimerdekakan tuannya, Rabiah hidup menyendiri menjalani kehidupan sebagai seorang Zahidah dan Sufiah. Ia jalani sisa hidupnya hanya dengan beribadah dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah sebagai kekasihnya. Ia memperbanyak taubat dan menjauhi hidup duniawi. Ia hidup dalam kemiskinan dan menolak segala bantuan materi yang diberikan orang kepadanya. Bahkan dalam doanya, ia tidak meminta hal-hal yang bersifat materi dari Tuhannya.[3] Ajaran Tasawuf : Mahabbah (Cinta)

Dalam perkembangan mistisme Islam, Rabiah Al Adawiyah tercatat sebagai peletak dasar tasawuf berdasarkan cinta kepada Allah. Sementara generasi sebelumnya merintis aliran astisketisme Islam berdasarkan rasa takut dan pengharapan kepada Allah. Rabiah pula yang pertama-tama mengajukan pengertian rasa tulus ikhlas dengan cinta yang berdasarkan permintaan ganti dari Allah.

Untuk memperjelas pengertian al-hubb yang diajukan Rabiah , yaitu hub al hawa dan hub anta al lahu, perlu dikutip tafsiran beberapa tokoh berikut. Abu Thalib Al Makiy dalam Qut Al Qulub, sebagai mana dijelaskan Badawi, memberikan penafsiran bahwa makna hubb al-hawa adalah rasa cinta yang timbul dari nikmat-nikmat adalah nimat material, tidak spriritual, karena hubb di sini bersifat indrawi. Walaupun demikian hubb al-hawa yang diajukan Rabiah ini tidak berubah-ubah, tidak bertambah dan berkurang karena bertambah dan berkurangnya nikmat. Sebab, Rabiah tidak memandang nikmat itu sendiri, tetapi sesuatu yang ada di balik nikmat. Adapun al-hubb anta ahl lahu adalah cinta yang tidak didorong kesenangan indrawi, tetapi didorong Dzat yang dicintai. Cinta yang kedua ini tidak mengharapkan balasan apa-apa. Kewajiban yang dijalankan Rabiah timbul karena perasaan cinta kepada dzat yang dicintai.

Dikatakan bahwa waktu Robiah menghadapi maut ,ia meminta teman-temannya meninggalkannya dan ia mempersilahkan pada para utusan Tuhan lewat. Waktu teman-temannya berjalan keluar, mereka mendengar robiah mengucapkan Syahadat, dan ada suara yang menjawab, sukma, tenanglah kembalilah kepada Tuhanmu legakan hatimu kepadaNya, ini akan memberi kepuasan kepadaNya *4+ Cinta Rabiah kepada Allah begitu mendalam dan memenuhi seluruh relung hatinya, sehingga membuatnya hadir bersama Tuhan. Hal ini terungkap dalam Syairnya: ku jadikan Kau teman berbincang dalam kalbu Tubuhku pun biar berbincang dengan temanku. Dengan temanku tubuhku bercengkrama selalu. Dalam kalbu terpancang selalu kekasih cintaku. Bagi manusia yang mempunyai cinta kepada Allah yang tidak tulus ikhlas, Rabiahselalu mengatakan: Dalam batin, kepada-Nya engkau durhaka Tetapi dalam lahir kau nyatakan cinta Sungguh aneh gejala ini Andaikan cinta-Mumemang tulus dan sejati tentu yang Ia perintahkan kau taati ebab pecinta selalu patuh dan bakti kepada yang dicintai. Dalam kesempatan bermunajat. Robiah kerap menyampaikan: Wahai Tuhanku, tenggelamkan aku dalam mencintaiMu, sehingga tidak ada yang menyibukkan aku selain dariMu, ya Tuhan, bintang dilangit telah germelapan, mata telah bertiduran, pintu-pintu istana telah dikunci dan tiap pecinta telah menyendiri dengan yang dicintai, dan inilah aku berada di kehadiratMu

Anda mungkin juga menyukai