Anda di halaman 1dari 14

TASAWUF DAN TAHAPAN-TAHAPAN PENDIDIKAN SPIRITUAL

Makalah Di presentasikan pada Mata Kuliah Pemikiran Islam

Dosen : Prof. Dr. Zainun Kamal, MA

Disusun oleh

Yudhi Fachrudin 2112011000010

PROGRAM MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2013
Tahapan-Tahapan Pendidikan Spiritual

Hamka mengartikan Tasawuf itu artinya membersihkan. Tasawuf merupakan mengajar


membersihkan hati daripada khizib, khianat, loba, tamak, takabbur, dengki dan lain-lai sifat-sifat
tercela; dan memenuhi jiwa tadi dengan akhlak mulia, itu namanya timbang rasa, merasai
kesakitan orang lain.

Dalam tasawuf ada tiga huruf. Apa yang dikatakan tasawuf?. Pertama, takhalli, ini bahasa
Arab. “Kha”= ada titik di muka, takhalli. Kalau titik itu sudah hilang, lama-lama titik itu tumbuh
lagi di bawah= tajalli. Jadi “takhalli”, “tahalli, “tajalli”. Apa artinya takhalli. Bebaskan dirimu,
bersihkan jiwamu dari sifat-sifat tercela. Tahalli=hapuskan, hilangkan, jadi hapus itu titik. Kalau
titik itu betul-betul sudah hapus yang terletak di ujung sanubarimu, yaitu perangai-perangai yang
tercela nanti bacaannya tahalli, tahalli= engkau berhias, engkau jadi bagus, karena yang buruk
taka da lagi. Engkau berusaha siang malam mendidik dirimu untuk itu. Kalau nanti sudah seperti
itu apa jadinya, titik itu tumbuh kembali, tetapi di bawah, lafadznya “tajalli”=kelihatan Allah
dalam hati. Bukan di mata, tetapi terasa di hati, bahwa Dia ada1.

A. 3 Tahapan Pendidikan Mental

Untuk tujuan menghilangkan penghalang (hijab) yang membatasi manusia dengan Tuhan
ini, para sufi menyusun suatu sistem atau teknik-teknik tertentu yang terpola dalam didikan
(spiritual) tiga tingkat: takhalli, tahalli, dan tajalli.

1. Takhalli adalah usaha membersihkan diri dari semua perilaku yang tercela, baik batin
maupun lahir, sebagai langkah pertama yang harus dilakukan oleh seorang sufi. Perilaku
tercela merupakan maksiat, kotoran atau najis ma’nawiyah yang menjadi penghalang menuju
kedekatan dengan Tuhan.

Takhalli berarti mengosongkan diri dari sikap ketergantungan terhadap kelezatan kehidupan
duniawi2. Takhalli juga berarti melepaskan diri dari ketergantungan hidup kepada kenikmatan

1
Hamka, Renungan Tasawuf, (Jakarta:Pustaka Panjimas, 1985), cet. 1, hal. 21-22
2
Usman Said, dkk. Pengantar Ilmu Tasawuf, (Medan : Naspar Djaja,1981), cet. 2, hal. 99
yang bersifat duniawi dengan melenyapkan drongan hawa nafsu yang cenderung kepada
melenyapkan dorongan hawa nafsu yang cenderung kepada keburukan.

Jika hati telah dihinggapi penyakit atau sifat-sifat tercela, maka ia harus diobati. Obatnya
adalah dengan melatih membersihkannya terlebih dahulu, yaitu melepaskan diri dari sifat-
sifat tercela agar dapat mengisinya dengan sifat-sifat yang terpuji untuk memperoleh
kebahagiaan yang hakiki.

2. Tahalli. Setelah melalui tahap pembersihan diri dari segala sifat dan sikap mental yang tidak

baik dapat dilalui, usaha itu harus berlanjut terus ke tahap kedua yang disebut tahalli. Yakni,

mengisi diri dengan sifat-sifat terpuji, dengan taat lahir dan bathin3. Dalam hal ini Allah

SWT berfirman : Sesungguhnya Allah menyuruh kamu berlaku adil dan berbuat kebajikan,

memberi kepada kaum kerabat dan Allah melarang perbuatan keji, kemungkaran dan

permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.

(QS. 16 : 90 ).

Dengan demikian, tahap tahalli ini merupakan tahap pengisian jiwa yang telah dikosongkan

tadi. Sebab, apabila satu kebiasaan telah dilepaskan tetapi tidak segera ada penggantinya

maka kekosongan itu bisa menimbulkan prustasi. Oleh karena itu, setiap satu kebiasaan lama

ditinggalkan, harus segera diisi dengan satu kebiasaan baru yang baik. Dari satu latihan akan

menjadi kebiasaan dan dari kebiasaan akan menghasilkan kepribadian. Jiwa manusia, kata

Al-Gazali, dapat dilatih, dapat dikuasai, bisa diubah dan dapat di bentuk sesuai dengan

kehendak manusia itu sendiri4.

Sikap mental dan perbuatan luhur yang sangat penting diisikan ke dalam jiwa seseorang

dan dibiasakan dalam kehidupannya adalah taubah, sabar, kefakiran, zuhud, tawakkal, cinta,

3
Asmaran As, MA, Pengantar Studi Tasawuf ( Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1996 ), h. 65
4
Usman Said, dkk, Pengantar Ilmu Tasawuf, h. 102
ma’rifah, dan kerelaan5. Apabila manusia mampu mengisi hatinya dengan sifat-sifat terpuji,

maka ia akan menjadi cerah dan terang.

3. Tajalli. Kata “tajali” (Ar.: tajalli) merupakan istilah tasawuf yang berarti ”penampakan diri

Tuhan yang bersifat absolut dalam bentuk alam yang bersifat terbatas. Istilah ini berasal dari

kata tajalla atau yatajalla, yang artinya “menyatakan diri”. Konsep tajali beranjak dari

pandangan bahwa Allah Swt dalam kesendirian-Nya (sebelum ada alam) ingin melihat diri-

Nya di luar diri-Nya. Karena itu, dijadikan-Nya alam ini. Dengan demikian, alam ini

merupakan cermin bagi Allah Swt. Ketika Ia ingin melihat diri-Nya, Ia melihat pada alam.

Dalam versi lain diterangkan bahwa Tuhan berkehendak untuk diketahui, maka Ia pun

menampakkan Diri-Nya dalam bentuk tajalli6.

Tajalli berarti terungkapnya nur gaib untuk hati. Dalam hal ini kaum sufi mendasarkan
pendapatnya pada firman Allah SWT : Allah adalah nur (cahaya) langit dan bumi (QS.
24:35)7. Tajalli sebagai tahap pemantapan dan pendalaman materi yang telah dilalui pada
fase tahalli, pada tahap ini penyempurnaan pendidikan mental.

B. Jalan Menuju Allah (Maqamat dan Ahwal)

Orang yang ingin berapa pada jalan Allah, maka dia berada pada sesuatu tempat rawan
yang membahayakan dan banyak perkara serta keadaan yang berubah-ubah. Posisi orang seperti
ini diberi nama ahwal dan sebagian lagi maqamat.

1. Maqamat

The Arabic world moqam is a gerund meaning “standing”, while maqam denotes the
place where the standing takes place, “station”. As a technical term in Sufism, realization of a
particular station comes through proper observance of the rules pertaining thereunto, and a sort
of conquest of its trials, and the exercise of a certain ascetic endeavour. It is said that no station
can be effectively realized except through Divine confirmation, if one’s efforts are to have a
5
Asmaran As, MA, Pengantar Studi Tasawuf , h. 71
6
http://www.al-shia.org/html/id/service/maqalat/001/12.html diakses pada 2 Juni 2013
7
Asmaran As, MA, Pengantar Studi Tasawuf , h. 71
proper foundation8. Maqam berarti "berdiri", menunjukkan kedudukan tempat di mana berdiri
berlangsung, "stasiun". Sebuah pencapaian didapat melalui ketaatan terhadap aturan-aturan yang
berkaitan dengannya serta pelaksanaanya diraih dengan berusaha. Tidak ada “stasiun” yang
diraih seseorang kecuali melalui kehendak Ilahi.

Imam Al-Ghazali berkata: “tentang hal ini, perumpamaan maqam itu ialah seperti
cemerlangnya cahaya emas yang tetap tidak berubah dan tidak lepas daripadanya. Jika keadaan
itu datang muncul dan hilang, datang kemudian berlalu, maka hal itu disebut hal.

Maqamat, sebagai jalan menuju kepada allah akan dapat menyampaikan kepada-Nya jika
dijalani seseorang dengan bekerja keras dan tabah hati. Ia sanggup berjuang melawan keinginan
hawa nafsu, berjuang melawan bukan setan dan menjauhi godaan-godaannya, berjuang
menundukkan diri agar tetap di dalam batas-batas syara’, mentaati perintah-perintah Allah dan
menjauhi larangan-larangan-Nya. Sesuai dengan firman Allah Surat Thaha ayat 84, “…Dan aku
bersegera menuju kepadaMu wahai tuhanku agar supaya Engkau meridhai aku”.

Pengertian maqam menurut para ahli tasawuf berbeda-beda namun pengertian yang satu
dengan yang lainnya saling melengkapi. Abu Nasher Abdullah bin Ali Al-Sarraj al-Thusi
sebagaimana dikutip Moh. Ardani, maqam itu berarti maqam seorang hamba di hadapan Allah
pada saat ia berdiri menghadap kepadaNya, ia melakukan ibadat dengan mujahadah (memerangi
hawa nafsu), riyadhah (melatih diri dalam hidup kerohanian), dan melepaskan kegiatan duniawi
untuk semata-mata berbakti kepada Allah Azza Wajalla.

Sedangkan Imam Al-Qusyairi mengartikan Maqam ialah apa yang terjadi pada hamba
Allah dari ketinggian adab sopan santunnya yang dapat membawanya kepada jenis usaha dan
jenis tuntutan dari berbagai jenis kewajiban”. Syaratnya seorang hamba tidak akan menaiki dari
satu maqam ke maqam lainnya sebelum terpenuhi hukum-hukum maqam tersebut. Barangsiapa
yang belum sepenuhnya qana’ah, belum bisa mencapai tawakal. Dan siapa yang belum bisa
tawakal tidak sah bertaslim.9

8
Javad Nurbakhsh, Spiritual Poverty in Sufism.., hal. 83
9
Moh. Ardani, Akhlak-Tasawuf, (Jakarta: Karya Mulia, 2005, cet.2, hal. 16-18
2. Ahwal

The literal meaning of the Arabic word hal (pl; ahwal) is “quality”, “condition”, or
“shape”. As a technical term in Sufism, it refers to an influx of inspiration (wared) which
descends upon the heart of an aspirant without volition or effort on his part, as a result of
devotion, invocation, or prayers of the heart. Resultant mystical states (ahwal) include joy and
grief, contraction and expansion. And yearning and disquient10. Arti Hal (jamak; ahwal) adalah
"kualitas", "kondisi", atau "bentuk". Masuknya kondisi kejiwaan tanpa kemauan atau usaha di
pihaknya, sebagai akibat dari ibadah dan doa. Sehingga keadaan jiwa bisa merasakan sukacita
dan kesedihan, kontraksi dan ekspansi, kerinduan dan kemesraan.

Ahwal adalah keadaan rohani seseorang hamba ketika hatinya telah bersih dan suci.
Ahwal berbeda dengan maqam, ahwal tidak menentu datangya, terkadang datang dan pergi
begitu cepat, yang disebut lawaih dan ada pula datang dan perginya dalam waktu yang lama,
yang disebut bawadih, jika maqam diperoleh melalui usaha, sedangkan ahwal diperoleh tidak
melalui usaha, akan tetapi rahmat dan anugrah dari Allah. Maqam sifatnya permanen, sedangkan
hal sifatnya temporer11.

Imam Al Qusyairy membedakan Maqamat dan Ahwal, ia berkata, “maqamat merupakan


hasil usaha. sedangkan Ahwal itu merupakan karunia atau anugerah Allah Swt, Ahwal itu datang
dari hakekat sifat kemurahan Allah, sedangkan maqamat dihasilkan seoerang hamba dengan
kerja keras”. Baik Maqamat maupun Ahwal merupakan sebagai jalan panjang yang harus
ditempuh oleh seorang sufi untuk berada dekat kepada Allah.

10
Sufism: Fear and Hope, (New York, 1982), Chap II dalam Javad Nurbakhsh, Spiritual Poverty in Sufism, London:
Khaniqahi pub. Tth, hal. 65
11
Tim Penyusun MKD Iain Sunan Ampel Surabaya, Akhlak Tasawuf, (Surabaya: IAIN Sunan Ampel Pres. 2011),
hal. 263
C. Tahapan-Tahapan Para Penempuh Jalan Sufi

Para Sufi berbeda pedapat menentukan jumlah tahapan yang harus ditempuh dalam jalan
Allah serta urutan tahapan-tahapannya. Imam al-Qusyairy an-Naisabury dalam Risalahnya
(Risalatul Qusyairiyah) menuliskan tahapan-tahapan (maqamat) para penempuh jalan sufi;
Tobat, Mujahadah, Khalwat dan Uzlah, Taqwa, Wara, Zuhud, Diam, Khauf, Raja’, Sedih, Lapar
dan meninggalkan syahwat, Khusyu’ dan Tawadhu’, Melawan nafsu, Dengki, Pergunjingan,
Qana’ah, Tawakkal, Syukur, Yakin, Sabar, Muraqabah, Ridha, Ubudiyah, Ibadah, Istiqamah,
Ikhlas, Kejujuran, Malu, Kebebasan, Dzikir, Futtuwah, Firasat, Akhlak, Kedermawanan hati,
Ghirah, Kewalian, Doa, Kefakiran, Tasawuf, Adab, Tata aturan bepergian, Persahabatan, Tauhid,
Keluar dari dunia, Ma’rifat, Cinta, Rindu, Menjaga perasaan hati syeikh, dan Sima’12.

Dalam kitab Al Luma’, jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah mesti melalui 7
tingkatan, setelah melalui tingkatan dan penataran tersebut sampailah manusia kepada Allah.
Tingkatan-tingkatan itu harus ditempuh dengan bersusah payah dan disertai dengan perasaan
rohaniah seperti mencintai Allah, harap dan cemas, musyahadah dan yakin, jalan-jalan dimaksud
ialah; Tingkat Pertobatan, Wara’, Zuhud, Kefakiran, Kesabaran, Tawakal dan Tingkat Ridho13

Menurut Syekh Abdul Qodir Jilani, terdapat 40 maqom tasawuf. Sementara Imam
Ghazali berpendapat ada 14 tingkatan14. Dalam tulisan ini disajikan hanya 8 tingkatan yaitu:
Taubat, Sabar dan Syukur, Harapan dan Rasa Takut, Zuhud, Tawakal, Mahabbah, Ridha, dan
Ma’rifat.

1. Taubat
Taubat terdiri dari tiga perkara; ilmu, keadaan dan perbuatan. Tobat ini wajib segera
dilakukan, karena meninggalkan maksiat itu wajib untuk seterusnya. Begitu pula ketaatan
kepada Allah adalah wajib untuk selama-lamanya. Allah berfirman, “Dan bertobatlah kamu
sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung” (QS. An-
Nuur: 31). “Hai orang-orang yang beriman, bertobatlah kepada Allah dengan segala tobat

12
Abul Qasim Al-Qusyairy, Risalatul Qusyairiyah, terj, (Surabaya: Risalah Gusti, 1997), cet. 2, hal.
13
Moh. Ardani, Akhlak-Tasawuf.., hal. 230-232
14
http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,44-id,42206-lang,id-c,nasional-
t,Maqom+maqom+dalam+Tasawuf++3+habis+-.phpx, diakses 2 Juni 2013
yang semurni-murninya”. (QS. At-Tahrim: 8). “Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang
yang bertobat,” (QS. Al Baqarah:222)15.
Imam Al Qusyairy berkata Taubat merupakan tingkat pertama di antara tingkat-tingkat yang
dialami oleh para sufi dan tahapan pertama diantara tahapan-tahapan yang dicapai oleh
penempuh jalan Allah (salik)
Makna tobat dalam bahasa Arab, adalah “kembali”. “ia bertobat” berarti “ia kembali”. Jadi
tobat adalah kembali dari sesuatu yang dicela oleh syara’ menuju sesuatu yang dipuji
olehnya. Rasulullah saw bersabda, “Menyesali kesalahan merupakan suatu tobat” (HR.
Bukhari dan Muslim)16.
2. Sabar dan Syukur
Imam Al Ghazaly berkata Iman itu terdiri dari dua bagian. Setengahnya adalah kesabaran dan
setengahnya lagi adalah syukur, sesuai dengan yang disebukan dalam khabar-khabar dan
atsar-atsar. Allah Ta’ala berfirman memuji sifat sabar ini, “Kami telah menjadikan mereka
itu sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika
mereka bersabar.” (QS. As-Sajdah:24), “Kami akan memberi balasan kepada orang-orang
yang sabar.” (QS. Al-A’raf:137). Dan Nabi bersabda, “Kesabaran itu adalah harta
terpendam di surga”.
Hakikat sabar terdiri dari pengetahuan, keadaan dan amal. Pengetahuan di dalamnya seperti
pohon, keadaan seperti ranting dan amal seperti buah. Maka engkau ketahui bahwa maslahat
keagamaan terdapat dalam kesabaran. Akibatnya, timbul kekuatan dan dorongan untuk
melakukan kesabaran17.
Imam Al Qusyairy berkata sabar dibagi dalam beberapa macam; Sabar terhadap apa yang
diupayakan, ini terbagi menjadi dua lagi; sabar dalam menjalankan perintah Allah dan sabar
dalam menjauhi larangan-Nya. Dan Sabar terhadap apa yang tanpa diupayakan, maka
kesabarannya adalah dalam menjalani ketentuan Allah yang menimbulkan kesukaran
baginya18.
Imam Al Ghazaly mengartikan Syukur adalah penggunaan nikmat di jalan yang diciptakan
baginya. Contohnya, seorang raja mengirim kepada seorang sahayanya seekor kuda dengan

15
Imam Al-Ghozaly, Ringkasan Ihya Ulumuddin, terj, (Jakarta: Pustaka Amani, 2007), cet.1, hal. 350
16
Abul Qasim Al-Qusyairy, Risalatul Qusyairiyah, terj.., hal. 79
17
Imam Al-Ghozaly, Ringkasan Ihya Ulumuddin, terj.., hal. 356
18
Abul Qasim Al-Qusyairy, Risalatul Qusyairiyah, terj.., hal. 209
segala keperluannya untuk dikendarai. Jika ia menaiki dan menggunakannya di jalan yang
telah ditetapkan baginya, maka ia pun menggunakan nikmat itu dengan semestinya. Jika ia
menaikinya dan menjauh dari raja, maka itu adalah kebodohan dan mengingkari nikmat.
3. Harapan dan Rasa Takut

Imam Al Ghozali mendefinisikan harapan adalah kegembiraan hati karena menantikan


sesuatu yang dicintai. Dengan syarat sesuatu yang dicintai itu mempunyai sebab. Bilamana
sebagian besar sebabnya telah terjadi, maka tepatlah dinamakan harapan.

Keutamaan harapan. Amal yang dilandasi harapan lebih tinggi daripada yang berlandaskan
rasa takut, karena hamba yang terdekat kepada Allah Ta’ala adalah yang paling dicintai-Nya,
sedangkan cinta dikalahkan oleh harapan. “Barangsiapa mengharap pertemuan dengan
Allah, maka sesungguhnya waktu (yang dijanjikan) Allah itu pasti datang”. (QS. Al-
Ankabut:5)

Sedangkan menurut Imam Al-Qusyairy, Harapan (Raja’) adalah keterpautan hati kepada
sesuatu yang diinginkannya terjadi di maka yang akan datang, sebagaimana halnya takut
adalah berkaitan dengan apa yang akan terjadi di masa datang.

Sedangkan Takut (al-khauf) adalah masalah yang berkaitan dengan kejadian yang akan
datang, sebab seseorang hanya merasa takut jika apa yang dibenci tiba dan yang dicintai
sirna.

Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq menjelaskan, “Takut memiliki berbagai tahapan, yaitu khauf,
khasyyah dan haibah”. Khauf merupakan salah satu syarat iman dan hukum-hukumnya.
Allah swt. Berfirman, “Takutlah kepada-Ku, jika kamu orang-orang yang beriman” (QS. Ali
Imran:75). Sedangkan khasyyah adalah salah satu syarat pengetahuan, karena Allah swt.
Berfirman, “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba Nya hanyalah
para ulama”. (QS. Fathir:28). Sedangkan haibah adalah salah satu syarat pengetahuan
ma’rifat, sebab Allah swt. berfirman, “Dan Allah memperingatkan kamu terhadap (siksa)-
Nya”. (QS. Ali Imran:28)19.

4. Zuhud

19
Abul Qasim Al-Qusyairy, Risalatul Qusyairiyah, terj.., hal. 124
Hakikat zuhud adalah menolak sesuatu dan mengandalkan yang lain. Maka siapa yang
meninggalkan kelebihan dunia dan menolaknya serta mengharapkan akhirat, maka ia pun
zahid di dunia. Derajat tertinggi zuhud ialah bila ia tidak menginginkan segala sesuatu selain
Allah Ta’ala, bahkan akhirat. Sebagaimana Allah berfirman; “Barangsiapa yang
menghendaki keuntungan di akhirat, akan Kami tambah keuntungan itu baginya, dan
barangsiapa yang menghendaki keuntungan di dunia, Kami berikan kepadanya sebagaian
dari keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu bagian pun di akhirat”. (QS. Asy-
Syura:20)20.
Secara tidak langsung di dalam ayat yang lain, “(Kami jelaskan yang demikian itu) supaya
kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan
terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu.”(QS. Al Hadid: 23). Sebab
sang hamba tidak gembira atas apa yang dimilikinya di dunia, dan tidak pula bersedih atas
apa yang tidak dimilikinya. Al-Junayd berkata, “Zuhud adalah mengosongkan tangan dari
harta dan mengosongkan hati dari kelatahan”21.
5. Tawakal
Keutamaan tawakal diantaranya, “Dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakal,
jika kamu benar-benar orang yang beriman”.(QS. Al-Maidah:23). “Dan barangsiapa yang
berawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkannya”.(QS. Ath-Thalaq:3).
“Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertawakal”, (QS. Ali Imran 159).
Ibnu Atha’ berpendapat hakikat tawakkal adalah bahwa hendaknya hasrat yang menggebu-
gebu terhadap perkara duniawi tidak muncul dalam dirimu, meskipun engkau sangat
membutuhkannya, dan bahwa hendaknya engkau senantiasa bersikap qana’ah dengan Allah,
meskipun engkau tergantung pada kebutuhan-kebutuhan duniawi itu.
6. Mahabbah
Kecintaan kepada Allah adalah tujuan yang terjauh dan termasuk derajat tertinggi, sedangkan
kerinduan, kesenangan, dan keridhaan mengikuti kecintaan.
“Orang-orang yang beriman amat sangat cinta mereka kepada Allah” (QS. Al-Baqarah:165),
“Allah mencintai mereka dan mereka mencintai-Nya” (QS. Al-Maidah:54). Hadis nabi Saw,
“Barangsiapa mencintai pertemuan dengan Allah, maka Allah pun mencintai pertemuan

20
Imam Al-Ghozaly, Ringkasan Ihya Ulumuddin, terj.., hal. 381
21
Abul Qasim Al-Qusyairy, Risalatul Qusyairiyah, terj.., hal. 111
dengannya, dan barangsiapa tidak mencintai pertemuan dengan Allah, maka Allah pun tidak
mencintai pertemuan dengannya”. (HR. Bukhari).
Imam Al-Qusyairy berpendapat Cinta adalah kondisi yang mulia yang telah disaksikan Allah
Swt. Melalui cinta itu bagi hamba, dan Dia telah mempermaklumkan cinta-Nya kepada si
hamba pula. Dan karenanya Allah swt. Disifati sebagai Yang Mencintai hamba, dan si hamba
disifati sebagai yang mencintai Allah swt.
Al-Junayd cinta berarti merasuknya sifat-sifat Sang Kekasih mengambil alih sifat-sifat
pecinta”. Menunjukkan betapa hati si pecinta direnggut oleh ingatan kepada Sang Kekasih,
hingga tak satu pun yang tertinggal selain ingatan akan sifat-sifat Sang Kekasih, hingga si
pecinta lupa dan tidak sadar akan sifat-sifatnya sendiri.
7. Ridha
Allah Ta’ala berfirman, “Allah ridha kepada mereka dan mereka ridha kepada-Nya” (QS.
Ali Imran:31, Al-Maidah:119, Al-Bayyinah:8). Imam Al Ghozaly mengatakan bahwa ridha
adalah pintu Allah Ta’ala terbesar, barangsiapa menemukan jalan ke situ, maka itu adalah
derajat dan pangkat tertinggi.
Disini letak kelegaan jiwa, keamanan dan ketentraman rohani, hati merasakan berada di
bawah naungan Hukum Ilahy, merasa terhibur dan berpegang kepada-Nya. Karena perasaan
jiwa seperti itu membawa ketenangan, ketenangan membawa musyahadah yang menjadi
penghubung antara penglihatan hati dan penglihatan mata, musyahadah membawa kepada
yakin, sedangkan yakin berarti menghilangkan keraguan, membenarkan syara’ yang tidak
dapat dibatalkan dan ditukar dengan dan dari jalan apa saja dari depan maupun dari
belakang22.
8. Ma’rifat
Allah berfirman, “Dan mereka tidak menghormati Allah dengan penghormatan yang
semestinya”. (QS. Al-An’am:91). Dalam sebuah tafsir, “Mereka tidak mengenal Allah
(ma’rifat) sebagaimana seharusnya Dia dikenal”.
Dari segi bahasa ma’rifah berasal dari kata arafa, ya’rifu, irfan, ma’rifah yang artinya
pengetahuan dan pengalaman23. Dan dapat pula berarti pengetahuan tentang rahasia hakikat
agama, yaitu ilmu yang lebih tinggi daripada ilmu yang biasa didapati oleh orang-orang pada

22
Moh. Ardani, Akhlak-Tasawuf.., hal. 232
23
IAIN Sumatera Utara, Pengantar Ilmu Tasawuf, (Sumatera Utara, 1983/1984), hlm. 122
umumnya. Ma’rifah adalah pengetahuan yang objeknya bukan pada hal-hal yang bersifat
zahir, tetapi lebih mendalam terhadap batinnya dengan mengetahui rahasianya. Hal ini
didasarkan pada pandangan bahwa akal manusia sanggup mengetahui hakikat ketuhanan, dan
hakikat itu satu, dan segala yang maujud berasal dari yang satu24. Sebagaimana Harun
Nasution mengatakan bahwa ma’rifah menggambarkan hubungan rapat dalam bentuk gnosis,
pengetahuan dengan hati sanubari25.
Secara definitif, makrifat menurut al-Gazali ialah:

‫العلم بترتب اأمور اإل ي المحيط بكل الموجودا‬ ‫اإطاع على أسرار الربوبي‬

“Terbukanya rahasia-rahasia Ketuhanan dan tersingkapnya hukum-hukum Tuhan yang


meliputi segala yang ada”.

Dikalangan sufi, ma’rifat adalah sifat dari orang yang mengal Allah swt, melalui Nama-nama
serta Sifat-sifat-Nya dan berlaku tulus kepada Allah swt. Dengan muamalatnya, kemudian
menyucikan dirinya dari sifat-sifat yang rendah dan cacat, yang terpaku lama di pintu
(ruhani), dan yang senantiasa i’tikaf dalam hatinya. Kemudian dia menikmati keindahan
dekat hadirat-Nya, yang mengukuhkan ketulusannya dalam semua keadaannya26.

24
Jamil Saliba, Mu’jam al-Falsafi, Jilid II, (Beirut: Dar al-Kitab, 1979), hlm 72.
25
Harun Nasution, Falsafah Dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1983), cet III, hlm. 75.
Abul Qasim Al-Qusyairy, Risalatul Qusyairiyah, terj.., hal. 390
26
Kesimpulan

Tasawuf sebagai jalan menuju Allah, yakni bagaimana cara menyucikan jiwa,
menjernihan akhlaq, membangun dhahir dan batin, untuk memporoleh kebahagian yang abadi.
Untuk sampai kepada Allah, sang penempuh di jalan Allah akan melalui tahapan dan keadaan-
keadaan yang akan dilalui, mulai dari Taubat, Sabar dan Syukur, Harapan dan Rasa Takut,
Zuhud, Tawakal, Mahabbah, Ridha, dan Ma’rifat.

Pendidikan spiritual diraihnya dengan cara melepaskan sifat-sifat tercela (takhalli),


mengisinya dengan sifat-sifat yang baik (tahalli) terus menerus sampai kemudian tersingkaplah
tabir Ilahi yang berdampak pada keharmonisan dengan Allah serta amal salehnya, bukan karena
lita’abud (ibadah), bukan litaqorub (ingin dekat dengan Allah), melainkan litahaquq (mencari
hakikat).
Daftar Pustaka

Al-Ghozaly, Ringkasan Ihya Ulumuddin, terj, (Jakarta: Pustaka Amani, 2007), cet.1.

Al-Qusyairy, Abul Qasim, Risalatul Qusyairiyah, terj, (Surabaya: Risalah Gusti, 1997), cet. 2.

Ardani, Moh, Akhlak-Tasawuf, (Jakarta: Karya Mulia, 2005, cet.2

Asmaran As, MA, Pengantar Studi Tasawuf ( Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1996 ).

Hamka, Renungan Tasawuf, (Jakarta:Pustaka Panjimas, 1985), cet. 1

Usman Said, dkk. Pengantar Ilmu Tasawuf, (Medan : Naspar Djaja,1981), cet. 2

Nurbakhsh, Javad, Spiritual Poverty in Sufism, London: Khaniqahi pub. Tth

Nasution, Harun, Falsafah Dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1983), cet III

Saliba, Jamil, Mu’jam al-Falsafi, Jilid II, (Beirut: Dar al-Kitab, 1979)

Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel Surabaya, Akhlak Tasawuf, (Surabaya: IAIN Sunan

Ampel Pres. 2011)

Tim IAIN Sumatera Utara, Pengantar Ilmu Tasawuf, (Sumatera Utara, 1983/1984)

http://www.al-shia.org/html/id/service/maqalat/001/12.html, diakses pada 2 Juni 2013

http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,44-id,42206-lang,id-c,nasional-
t,Maqom+maqom+dalam+Tasawuf++3+habis+-.phpx, diakses 2 Juni 2013

Anda mungkin juga menyukai