Nim : 71153011
IDENTITAS BUKU
Dr. Ja’far, Ma Gerbang Tasawuf : Dimensi Teoritis Dan Praktis Ajaran Kaum Sufi
(Medan: Perdana Publishing:2016)
Sub 1 : Definisi
A. Definisi
Mengenai al-ahwal, para sufi telah meyebutkan beberapa keadaan hati seorang salik
yang dirasakan selama melewati beragam tingkatan spiritual. Menurut al-Thusi, diantara al-
ahwal adalah al-muraqabah, al-qurb, al-mahabbah, al-khauf, al-raja’, al-swawq, al-uns, al-
thuma’ninah, al-musyahadah, dan al-yaqin. Menurut al-Quayairi, diantara yang termasuk al
ahwal adalah thurb, huzn, basth, qabdh, dan syawq. Menurut Abu al-Najib al-Suhrawardi,
diantara yang termasuk dalam al-ahwal adalah al-muraqabah, al-qurb, al-mahabbah, al-raja’,
al-khauf, al-haya’, al-syawq, al-thuma’ninah, al-yaqin, dan al-musyahadah. Sejumlah al-
ahwal tersebut merupakan pemberian Allah Swt. Kepada salik yang sedang menjalani
beragam ibadah untuk menakapi satu persatu maqam dari yang awal sampai yang paling
akhir sebagai puncak tertinggi dari kedudukan spiritual yang mungkin dicapai seorang sufi.
(Ja’far, 2016:51)
B. Pondasi al-Maqamat
Menurut Nashar yang merupakan seorang sufi sekaligus saintis Muslim, riyaddhah
adalah menahan jiwa binatang agar salik tidak mengikuti kecendenungannya terh¬adap nafsu
dan amarah, dan menahan jiwa rasional agar tidak menuruti insting binatang serta watak dan
perbuatan tercela. Riyadhah dimaknai juga sebagai pembiasaan jiwa manusia untuk
melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat mengarahkannya menuju kesempurnaan yang
dapat dicapainya. Tujuan riyadhah adalah menghilangkan semua hambatan yang merintangi
jalan menuju Allah terutama kesenangan lahir dan batin; menundukkan jiwa binatang kepada
akal praktis yang mendorong jiwa dalam mencari kebenaran; dan membiasakan jiwa agar
selalu siap untuk menerima pancaran Allah Swt. Sehingga jiwa tersebut mampu memperoleh
kesempurnaan yang bisa dicapainya. Para salik tidak bisa tidak¬, harus mengamalkan
ibad¬ah, mujahadah, dan riyadah dalam menyucikan jiwa mereka untuk dapat meraih seluruh
tingkatan al-maqamat dan dianugrahi al-ahwal. (Ja’far, 2016:55)
C. Hierarki al-Maqamat
Dalam karya-karya tasawuf karangan sufi dari mazhab Sunni, akan dapat dilihat
ragam rumusan mengenai al-maqamat sebagai tingkatan yang harus diraih seorang Salik
secara mandiri dengan melakukan berbagai al-ibadah, al-mujahadah, dan al-ryadat, mulai dari
maqam pertama sampai kepada maqam paling puncak. Sekadar contoh, Abi Nashr Abd Allah
ibn Ali al-Sarraj al- Thusi (w.988 M). Menyusun al-maqamat dari maqam pertama sampai
maqam paling puncak, yang dimulai dari tobat (al-taubah), warak (wara), zuhud (al-zuhd),
kefakiran (al-faqr), sabar (al-shabr), tawakal (al-tawakkul),¬ sampai rida (al-ridha). Susunan
al-maqamat menurut al-Ghazali adalah tobat (al-taubah), sabar (al-shabr), fakir (al-faqr),
zuhud (al-zuhd), tawakal (al-tawakkul),¬ cinta(al-mahabbah), dan rida (al- ridha). (Ja’far,
2016:56)
Tobat (al-taubah)
lstilah tobat diartikan sebagai berbalik dan kembali kepada Allah dari dosa seseorang
untuk mencari pengampunan-Nya, dan istilah ini telah dijelaskan oleh para sufi dalam karya-
karya mereka. Dzun Nun al-Mishri menegaskan bahwa tobat dibagi menjadi tiga: "tobat
kaum awam (al'amm) yakni tobat dari dosanya (taubah min al-zunubi; tobat orang terpilih
(al- khash) yakni tobat dari kelupaannya (al-ghaflah); dan tobat para nabi yakni tobat dari
kesadaran mereka atas ketidakmampuan untuk mencapai apa yang telah dicapai orang lain”.
Menurut al-Qusyairi, tobat adalah awal pendakian dan maqam pertama bagi sufi pemula.
Menurutnya, "tobat adalah kembali dari sesuatu yang dicela syariat menuju kepada sesuatu
yang dipuji syariat... tobat diharuskan memenuhi tiga syarat yaitu menyesali atas pelanggaran
yang telah dibuat, meninggalkan jalan licin (kesesatan) pada saat melakukan tobat, dan
berketetapan hati untuk tidak mengulangi pelanggaran-pelangga¬ran serupa. Junaid al-
Baghdadi mengatakan bahwa "tobat memiliki tiga makna, yakni penyesalan, tekat
meninggalkan segala larangan Allah swt. Dan berusaha memenuhi hak-hak semua orang
yang pernah dizalimi. (Ja’far,2016:60)
Warak (wara’)
Zuhud (al-zuhd)
Kata zuhud berasal dari bahasa Arab, zahada, yazhudu, zuhdan yang artinya
menjauhkan diri, tidak menjadi berkeinginan, dan tidak tertarik. Dalam bahasa Indonesia,
zuhud berarti “perihal meninggalkan keduniawian; pertapaan.” Dalam Al-Quran, kata zuhud
memang tidak digunakan, melainkan kata al-zahidin sebanyak 1 kali yang disebut dalam Q.S
Yusuf/12:20. Meskipun istilah ini kurang banyak digunakan dalam Al-Quran mengenai
keutamaan akhirat ketimbang dunia. (Ja’far, 2016:63-64)
Kefakiran (al-faqr)
Menurut al-Ghazali, fakir dapat bermakna tidak memiliki harta. Menurutnya, ada lima
tingkat fakir, dua diantaranya yang paling tinggi derajatnya, yakni seorang hamba yang tidak
suka diberi harta, merasa tersiksa dengan harta, dan menjaga diri dari kejahatan dan
kesibukan untuk mencari harta; dan seorang hamba tidak merasa senang bila mendapatkan
harta, dan tidak merasa benci bila tidak mendapatkan harta. (Ja’far, 2016:71)
Sabar (al-shabr)
Kata sabar berasal dari bahasa Arab, shabara, yashbiru, shabran, maknanya adalah
mengikat, bersabar, menahan dari larangan hukum, dan menahan diri dari kesedihan. Kata ini
disebut di dalam Al-Quran sebanyak 103 kali. Dalam bahasa Indonesia, sabar bermakna
“tahan menghadapi cobaan (tidak lekas marah, tidak lekas putus asa, tidak lekas patah hati),
dan tabah, tenang, tidak tergesa-gesa, dan tidak terburu nafsu. (Ja’far, 2016:71)
Tawakal (al-tawakkul)
Berasal dari bahasa Arab, wakila, yakilu, wakilan yang berarti “mempercayakan,
memberi, membuang urusan, bersandar, dan bergantung. Istilah tawakal disebut didalam Al-
Quran dalam berbagai bentuk sebanyak 70 kali. Dalam bahasa Indonesia, tawakal adalah
“pasrah diri kepada kehendak Allah; percaya dengan sepenuh hati kepada Allah (dalam
penderitaan dan sebagainya), atau sudah berikhtiar baru berserah kepada Allah. (Ja’far,
2016:74-75)
Cinta (al-mahabbah)
Rida (al-ridha)
Kara rida berasal dari kata radhiya, yardha, rihwanan yang artinya “senang, puas,
memilih, persetujuan, menyenagkan, dan menerima”. Dalam kamus bahasa Indonesia, rida
adalah “rela, suka, senang hati, perkenan, dan rahmat”. (Ja’far, 2016:80-81)
D. Al-Maqam Lainnya
Sebagian sufi menilai bahwa setelah mencapai maqam rida, seorang salik masih dapat
mencapai maqam seperti makrifat (al-ma’rifah), dan menegaskan bahwa al-ridha bukan
maqam tertinggi.
Sebagian sufi lain menghadirkan ajaran lain mengenai al-maqam tertinggi. Al-Hallaj
mengenalkan paham al-hulul, Abu Yazid al-Bistamimemiliki ajaran tentang al-ittihad, dan
Ibn ‘Arabi mengajarkan paham wahdah al-wujud yang dielaborasi lebih lanjut oleh Mulla
Shadra. (Ja’far, 2016:84-85)
E. Mengenal al-Ahwal
Al-Muraqabah
Ajaran muraqabah merupakan salah satu bentuk dari al-ahwal. Kata al-muraqabah
memang tidak digunakan Al-Quran, meskipun kata yang seakar dengannya dapat ditemukan
antara lain raqiba, dan semua kata yang seakar dengan al-Muraqabah disebut sebanyak 24
kali. (Ja’far, 2016:85-86)
Takut (al-Khauf)
Para sufi telah membicarakan masalah takut (al-khauf) dalam karya-karya mereka.
Menurut al-Qusyairi, makna takut kepada Allah Swt adalah takut kepada siksaan-Nya, baik di
dunia maupun akhirat. (Ja’far, 2016:88)
Harap (al-raja’)
Menurut al-Qusyairi, raja’ adalah “ketergantungan hati pada sesuatu yang dicintai,
yang akan terjadi dimasa yang akan datang. (Ja’far, 2016:89)
Rindu (al-syawq)
Para sufi telah menjelaskan makna al-syawq dalam karya-karya mereka. Al-Qusyairi
misalnya, mengatakan bahwa rindu adalah keguncangan hati untuk menemui yang dicintai
(Allah Swt). (Ja’far, 2016:90)
KESIMPULAN:
Maqamat berarti kedudukan hamba dalam pandangan Allah berdasarkan apa yang
telah diusahakan. Sedangkan ahwal yaitu kedudukan atau situasi kejiwaan yang di
anugerahkan Allah kepada seorang hamba-Nya, baik sebagai buah dari amal saleh yang
mensucikan jiwa atau sebagai pemberian semata.