Anda di halaman 1dari 11

Bahan Ajar Akhlak Tasawuf

Pertemuan ke 5

Kegiatan Belajar 5
Maqomat dan Ahwal
A. Deskripsi Singkat
Akhlak Tasawuf merupakan mata kuliah yang di dalamnya membahas tentang
maqomat dan ahwal. Dalam kuliah ini juga dijelaskan dan dipraktikkan bersama
mahasiswa terkait dengan macam-macam maqomat seperti; al-taubah, al-zuhd, al-
wara’, al-faqr-, al-shabr, al-tawakkal dan al-ridha.

B. Relevansi
1. Mahasiswa mampu menjelaskan konsep tentang maqamat wa ahwal dalam
tasawuf
2. Mahasiswa mampu mencapai derajat maqomat.

C. Capaian Pembelajaran MK
1. Mahasiswa mampu menjelaskan konsep tentang maqamat wa ahwal dalam
tasawuf
2. Mahasiswa mampu mencapai derajat maqomat.

1. Uraian Materi
a. Pengertian Maqomat dan Ahwal
Dalam Kamus Bahasa Arab Yunus yang dimaksud Maqamat secara harfiah
berasal dari bahasa arab yang berarti "tempat orang berdiri" atau "pangkal mulia".
Istilah ini selanjutnya diartikan oleh Nasution (1983) sebagai "jalan panjang yang harus
ditempuh oleh seorang sufi untuk mendekat kepada Allah". Dalam bahasa Inggris,
maqamat dikenal dengan istilah stages yang berarti "tangga".
Secara etimologi kata maqam jamaknya maqamat yang berarti tempat
berdiri atau tempat keberadaan sesuatu. Dalam dunia tasawuf maqamat berarti
tempat-tempat keberadaan atau tahapan-tahapan atau stasiun-stasiun yang harus
dilalui kaum sufi dalam rangka mencapai tujuan tasawufnya. Apakah tujuannya hanya
sekedar mendekatkan diri kepada Allah, mencapai ma’rifah-mahabbah, ataukah
sampai mencapai ittihad.

1
PJJ-PAI IAIN Syekh Nurjati Cirebon 2022
Bahan Ajar Akhlak Tasawuf
Pertemuan ke 5

Para sufi sepakat memahami maqamat bermakna kedudukan seorang pejalan


spiritual di hadapan Allah yang diperoleh melalui kerja keras beribadah, bersungguh-
sungguh melawan hawa nafsu (mujahadah), dan latihan-latihan keruhanian (riyadlah)
budi-pekerti (adab) yang memampukannya untuk memiliki persyaratan-persyaratan
dan melakukan upaya-upaya untuk menjalankan berbagai kewajiban (dengan sebaik-
baiknya), demi mencapai kesempurnaan.
Mas’ud mengungkapkan Tentang beberapa jumlah tangga atau maqamat yang
harus ditempuh oleh seorang sufi untuk sampai menuju Tuhan, di kalangan para sufi
tidak sama pendapatnya. Muhammad al-Kalabadzi menyebutkan adanya 10 (sepuluh)
maqam yang harus dilalui oleh para pejalan spiritual sebagai berikut: al-taubah (tobat),
al-zuhd (zuhud), al-shabr (sabar), al-faqr (kemiskinan), al-tawadhu' (kerendahan hati),
al-taqwa (takwa), al-tawakkal (tawakal), al-ridha (rela), al-mahabbah (cinta) dan al-
ma’rifah (pengetahuan tentang Tuhan dan hakikat segala sesuatu). Sedangkan Abu Nasr
al-Sarraj al-Tusi dalam kitab al-Luma’ menyebutkan jumlah maqamat hanya tujuh, yaitu:
al-taubah, al-wara', al-zuhud, al-faqr, al-tawakkal, almahabbah, al-ma 'rjfah, dan al-ridha.
Al-Ghazali, dalam kitabnya ihya' Ulumuddin mengatakan bahwa maqamat itu ada
delapan yaitu: al-taubah, al-shabr, al-faqr, al-tawakkal, al-mahabbah, al-ma’rifah dan al-
ridha. Ahli yang lain, terkadang menambahkan yang lain dalam urutan maqamat, seperti
al-warn' (kehati-hatian, untuk tak melanggar perintah Allah), dan sebagainya.

b. Macam macam Maqomat


Para sufi sepakat memahami maqamat bermakna kedudukan seorang pejalan
spiritual di hadapan Allah yang diperoleh melalui kerja keras beribadah, bersungguh-
sungguh melawan hawa nafsu (mujahadah), dan latihan-latihan keruhanian (riyadlah)
budi-pekerti (adab) yang memampukannya untuk memiliki persyaratan-persyaratan
dan melakukan upaya-upaya untuk menjalankan berbagai kewajiban (dengan sebaik-
baiknya), demi mencapai kesempurnaan.
Meskipun berbeda-beda pendapat dalam mencantumkan maqamat, namun telah
disepakati oleh para sufi jumlah maqamat yang digunakan ada tujuh yaitu: al-taubah, al-
zuhd, al-wara’, al-faqr-, al-shabr, al-tawakkal dan al-ridha. Adapun penjabaran dari
masing-masing istilah maqamat tersebut adalah sebagai berikut:

2
PJJ-PAI IAIN Syekh Nurjati Cirebon 2022
Bahan Ajar Akhlak Tasawuf
Pertemuan ke 5

1. Taubat
Yaitu kembali kepada Allah. Menurut al-Harawi, taubat itu tidak sah kecuali
setelah menyadari berbagai kesalahan atau dosa yang pernah dilakukan. Sedang
menurut Abdul Razzaq al- Kasysyani, taubat itu ialah kembali dari menentang hukum
Allah menjadi menerimanya.
Sedangkan taubat yang dimaksud oleh kalangan sufi adalah memohon ampun
atas segala dosa dan kesalahan disertai janji yang sungguh-sungguh tidak akan
mengulangi perbuatan dosa tersebut, yang disertai dengan melakukan amal kebajikan.
Harun Nasution, mengatakan taubat yang dimaksud sufi ialah taubat yang
sebenarnya, taubat yang tidak akan membawa dosa lagi.

2. Zuhud
Secara harfiah dalam kamus (Yunus) al-Zuhud berarti tidak ingin kepada sesuatu
yang bersifat keduniawian. Sedangkan menurut Harun Nasution dalam Mas’ud, zuhud
adalah keadaan meninggalkan dunia dan hidup kematerialan. Jadi zuhud itu tidak
sekedar meninggalkan harta dan mengeluarkannya dengan suka rela, ketika badan kuat
dan kecenderungan hati kepadanya, tapi zuhud itu ialah meninggalkan dunia karena di
dasarkan pengetahuan tentang kehinaan dunia itu jika dibandingkan nilai akhirat.
Dilihat dari maksudnya, Anwar dalam Mas’ud mengungkapkan zuhud terbagi
menjadi tiga tingkatan, Pertama (tingkatan terendah), ialah menjauhkan diri dari dunia
agar terhindar dari hukuman akhirat. Kedua, menjauhi dunia dengan menimbang
imbalan di akhirat. Dan Ketiga (tertinggi), mengucilkan dunia semata-mata bukan
karena takut atau karena berharap, tetapi karena cinta kepada Allah belaka. Orang yang
berada pada tingkat tertinggi ini akan memandang segala sesuatu, kecuali Allah, tidak
mempunyai arti apa-apa.

3. Wara
Pengertian dasar dari kata wara’ adalah menghindari apa saja yang tidak baik,
tetapi Siregar dalam Hasby menyatakan orang sufi memiliki penafsiran sendiri, di mana
mereka mengartikan wara’ meninggalkan segala sesuatu yang tidak jelas hukumnya,
baik yang menyangkut makanan, pakaian maupun persoalan.

3
PJJ-PAI IAIN Syekh Nurjati Cirebon 2022
Bahan Ajar Akhlak Tasawuf
Pertemuan ke 5

Secara harfiah al-wara, artinya saleh, menjauhkan diri dari perbuatan dosa. Kata ini
selanjutnya mengandung arti menjauhi hal-hal yang tidak baik. Dan dalam pengertian
sufi, wara’ adalah meninggalkan segala yang di dalamnya terdapat keraguan- keraguan
antara halal dan haram (syubhat).
Seorang sufi yang wara' akan senantiasa menjaga kesucian, baik jasmani maupun
rohaninya dengan mengendalikan segala perilakunya dan aktifitas kesehariannya. la
hanya akan melakukan sesuatu yang bermanfaat dan tidak akan menggunakan sesuatu
yang belum jelas statusnya. Dengan demikian, maka raga dan jiwanya senantiasa terjaga
dari hal-hal yang tidak diridloi Allah Swt.

4. Al-Faqir (kemiskinan)
Secara harfiah Yunus memberikan makna faqir diartikan sebagai orang yang
berhajat, butuh atau orang miskin. Sedangkan dalam pandangan sufi, fakir adalah tidak
meminta lebih dari apa yang telah ada pada diri kita. Tidak meminta rezeki kecuali
hanya untuk dapat menjalankan kewajiban-kewajiban. Tidak meminta sungguhpun tak
ada pada diri kita, kalau diberi diterima. Tidak meminta tetapi tidak menolak. Seperti
halnya dalam istilah-istilah yang lain, al-faqir juga mempunyai interpretasi yang berbeda
antara satu sufi dengan sufi yang lain. Tetapi pada umumnya berfokus kepada sikap
hidup yang tidak rakus atau memaksa diri untuk mendapatkan sesuatu. Tidak menuntut
lebih dari apa yang telah dimiliki atau melebihi dari kebutuhan primer.
Secara konklusif dapat ditarik kesimpulan bahwa, faqr merupakan sikap hidup
yang tidak terlalu berlebihan, atau memaksakan diri untuk mendapatkan sesuatu. Tidak
menuntut lebih dari apa yang telah diterimakan kepadanya. Karena pada dasarnya
segala sesuatu yang ada di alam semesta ini adalah menjadi milik Allah Swt.
Nilai kefakiran pada esensinya tidak terletak pada ketiadaan harta benda, namun
ada pada kesadaran atau perasaan seseorang (state of mind). Di mana seorang yang faqr
meskipun kaya harta, namun hatinya tidak bergantung pada kekayaan yang dimiliki.
Harta benda tidak lebih merupakan materi yang diujikan oleh Allah yang harus
dipertanggungjawabkan keberadaannya di hadapan Allah

4
PJJ-PAI IAIN Syekh Nurjati Cirebon 2022
Bahan Ajar Akhlak Tasawuf
Pertemuan ke 5

5. Sabar
Secara harfiah, sabar berarti tabah hati. Menurut Zun Nun al-Mishry dalam
mas’ud, sabar artinya menjauhkan diri dari hal-hal yang bertentangan dengan kehendak
Allah, tetapi tenang ketika mendapatkan cobaan, dan menampakkan sikap cukup
walaupun sebenarnya berada dalam kefakiran dalam bidang ekonomi.
Menurut al-Ghozali, sabar adalah suatu tegaknya dorongan agama (hidayah
Allah) yang telah berhadapan dengan dorongan hawa nafsu (syahwat). Selanjutnya Ibn
Atma mengatakan sabar artinya tetap tabah dalam menghadapi cobaan dengan sikap
yang baik. Ibn Usman al-Hariri mengatakan, sabar adalah orang yang mampu memasung
dirinya atas segala sesuatu yang kurang menyenangkan. Pendapat lain mengatakan
sabar adalah menghilangkan rasa mendapatkan cobaan tanpa menunjukkan rasa kesal.
Dalam tasawuf sabar dijadikan satu maqam sesudah fakir yang merupakan syarat
untuk bisa berkonsentrasi dalam berzikir mengingat Allah. Dalam keadaan fakir,
seseorang dalam hidupnya tentu akan dilanda berbagai macam penderitaan dan
kepincangan. Oleh sebab itu ia harus segera melangkah ke maqam sabar. Jadi dengan
maqam sabar, para sufi memang telah menyengaja dan menyiapkan diri bergelimang
dengan seribu satu kesulitan dan derita dalam hidupnya dengan sikap sabar, tanpa ada
keluhan sedikitpun. Itulah laku maqam sabar dalam tasawuf.

6. Tawakal
Secara umum pengertian tawakkal adalah pasrah dan mempercayakan secara
bulat kepada Allah telah melaksanakan suatu rencana yang telah disusun a
posteriori terhadap suatu rencana yang telah disusun, tetapi harus bersikap
menyerahkan kepada Allah. Manusia hanya merencanakan dan mengusahakan, tetapi
Tuhan yang menentukan hasilnya.
Secara bahasa kata tawakal berarti menyerahkan diri, tawakkal pada dasarnya
adalah merupakan konsekuensi logis dari maqam shabr. Oleh karenanya, maka
seseorang yang mencapai derajat shabr dengan sendirinya adalah seorang yang
mencapai derajat tawakkal. Menurut prof Dr. Hamka, tawakal adalah menyerahkan
segala keputusan dan segala perkara setelah berikhtiar hanya kepada Allah Swt, karena
Dia yang Maha Kuasa sedangkan kita hanyalah sebagai manusia (hamba) yang dha’if

5
PJJ-PAI IAIN Syekh Nurjati Cirebon 2022
Bahan Ajar Akhlak Tasawuf
Pertemuan ke 5

Menurut Imam al- Ghozali, hakikat tawakal adalah merupakan keadaan jiwa yang telah
lahir dari tauhid dan terdapat pengaruh tauhid dalam perbuatanya.
Mas’ud mengungkapkan seseorang yang berada pada Maqam tawakkal akan
merasakan ketenangan dan ketentraman la senantiasa merasa mantap dan optimis
dalam bertindak. Di samping itu juga akan mendapatkan kekuatan spiritual, serta
keperkasaan luar biasa yang dapat mengalahkan segala kekuatan yang bersifat material.
Konsep tawakal yang dikembangkan oleh kalangan sufi condong kepada tawakal
fitham jaburiah, ialah menggantungkan segalanya kepada Allah Swt. Hal ini karena
penghayatan akhir yang dicitakan oleh seorang sufi adalah, penghayatan yang di luar
kemampuan dan ikhtiyar manusia, akan tetapi karena kehendak Allah semata seperti
penghayatan fana dan mukasyafah, suatu pengalaman ruhaniah yang amat tergantung
sepenuhnya pada kekuatan dari luar manusia.

7. Al-Ridha (Kerelaan)
Kata ridha secara terminologi berarti rela, suka dan senang. Harun Nasution
dalam mas’ud mengatakan ridha berarti tidak menentang qadha ' dan qadar Allah Swt,
dan sebaliknya ia akan menerima qadha dan qadar Allah itu dengan senang hati. Dia
mampu menghilangkan kebencian hati, sehingga yang ada dalam hatinya hanyalah
kesenangan dan kegembiraan saja. Menerima nikmat dan cobaan dengan senang tanpa
merasa terbebani.
Ridla adalah ajaran untuk menanggapi dan mengubah segala bentuk keadaan
jiwa baik itu kebahagiaan, kesenangan, penderitaan, kesengsaraan dan kekusahan
menjadi kegembiraan dan kenikmatan karena kebahagiaan menikmati segala pemberian
Allah SWT, Yakni sebagaimana dikatakan oleh Imam al- Ghazali, rela menerima apa saja,
segala yang telah dan sedang dialaminya itulah yang terbaik baginya, tak ada yang lebih
baik selain apa yang telah dan sedang dialaminya.
Ridha adalah puncak dari kecintaan yang di peroleh sufi setelah menjalani proses
ubudiyyah yang panjang kepada Allah swt. Ridha merupakan anugerah kebaikan yang
diberikan Allah atas hamba-Nya; dari usahanya yang maksimal dalam pengabdian
dan munajat. Ridha juga merupakan manifestasi amal shaleh sehingga memperoleh
pahala dari kebaikan tersebut.

6
PJJ-PAI IAIN Syekh Nurjati Cirebon 2022
Bahan Ajar Akhlak Tasawuf
Pertemuan ke 5

Ridha pada prinsipnya adalah kehormatan tertinggi bagi seorang individu


sehingga dengan sengaja membuka dirinya pada kebahagiaan di dalam menjalani
kehidupan di dunia yang fana ini. Ketenangan hati seorang sufi yang berada dalam
ridha adalah tidak mengharapkan surga dan tidak pula berlindung kepada Allah dari
siksa neraka. Seorang sufi yang membangun dirinya dengan ke-ridha-an kepada
Tuhannya akan merasakan bahwa Tuhan senantiasa memberikan makna berarti dalam
berperilaku dan beramal.

c. Al-Ahwal dalam perjalanan Sufi

Hal adalah bentuk jama' dari kata ahwal yang berarti suasana atau keadaan jiwa.
Secara terminologis ahwal berarti keadaan spiritual yang menguasai hati. Menurut
Harun Nasution, hal merupakan keadaan mental seperti perasaan senang, perasaan
sedih, perasaan takut dan sebagainya. Hal masuk dalam hati seseorang sebagai anugerah
yang diberikan oleh Allah. Hal datang dan pergi dari diri seseorang tanpa usaha atau
perjalanan tertentu. Karena ia datang dan pergi secara tiba-tiba dan tidak disengaja.

Kata maqam bentuk jamaknya adalah maqamat, sebagaimana juga al-ahwal,


yang dipahami berbeda menurut para sufi. Namun semuanya sepakat dalam memahami
maqamat yang berarti kedudukan seorang pada perjalanan spiritual atau sufi di
hadapan Allah yang diperoleh melalui kerja keras dalam beribadah kepada-Nya,
bersungguh-sungguh melawan hawa nafsu (mujahadah), serta latihan-latihan
keruhanian budi-pekerti (adab) yang dapat membuatnya memiliki syarat-syarat dalam
melakukan usaha-usaha untuk menjalankan berbagai kewajiban dengan baik dan
mendekati sempurna.

Sedangkan kata al-hal bentuk jamaknya adalah al-ahwal adalah suasana atau
keadaan yang menyelimuti kalbu, yang diciptakan sebagai hak preogratif pada Allah
dalam hati setiap hambah-Nya, tidak ada sufi yang mampu merubah keadaan
tersebut apabila datang saatnya, atau memperhatikannya apabila pergi.

Meskipun pengertian dari Maqamat dan al-ahwal ini pada dasarnya merupakan
suatu kesepakatan atau persetujuan para kaum sufi. Mereka tentu saja adalah hasil

7
PJJ-PAI IAIN Syekh Nurjati Cirebon 2022
Bahan Ajar Akhlak Tasawuf
Pertemuan ke 5

ijtihad dan juga bukan dari bagian kepastian-kepastian dalam aturan Islam qath’iyyat.
Karena al-hal itu, bukan hanya merupakan pengertian yang tidak dijumpai di kalangan
di luar materi tasawuf, bahkan para sufi masing-masing berbeda-beda dalam
perinciannya.

Intinya adalah, macam-macam pengertian ini diperkenalkan dengan maksud


sebagai bagian dari pentingnya disiplin dalam tasawuf, yang tujuan
perjalanan spiritual, baik itu pemahaman tentang Allah, keridhaan-Nya, Cinta-Nya
dapat dicapai dengan demikian, kesimpulan yang ditarik oleh para sufi berdasarkan
pemahaman mereka tentang konsep-konsep yang menyusun urut-urutan dan macam-
macam maqamat dan ahwal dan atau berdasarkan pengalaman yang mereka jalani
sendiri ketika menempuh jalan spiritual. Dengan demikian, tidak semua pejalan
spiritual harus mengikuti, menjalani, atau mengalami maqamat dan ahwal
persis sebagaimana disebutkan oleh para sufi itu untuk dapat mencapai tujuan
perjalanan spiritual. Yang pasti, dibutuhkan kualifikasi-kualifikasi spiritual yang terkait
dengan keadaan hati dan ketinggian akhlak untuk meraih hal itu. Dan semuanya itu
diyakini dibutuhkan upaya keras dan bersungguh-sungguh dalam melawan
hawa nafsu mujahadah serta latihan-latihan keruhanian riyadhah dan Ahwal yang
ditemui dalam perjalanan sufi adalah sebagai berikut:

1. Muhasabah dan Muraqabah


Kedua hal ini dikaji secara bersamaan oleh sebagian sufi. Sebab, keduanya
memiliki fungsi yang sama yakni menundukan perasaan jasmani yang berasal
dari nafsu dan amarah. Dengan pengertian, kedua hal ini dapat dilakukan secara
bersamaan. Muhasabah dapat diartikan pemeriksaan diri secara terus-
menerus, yakni seorang mukmin meninjau kembali ucapan dan perbuatan setiap
hari, setiap jam apakah baik atau buruk. Dalam hal ini kritik dirilah yang
dijadikan metode dalam pencarian kedalaman batin. Dan ini perlu usaha-usaha
spiritual dan intelektual guna memotivasi serta mengembangkan potensi
kebaikan pada diri.
2. Khauf dan Raja’

8
PJJ-PAI IAIN Syekh Nurjati Cirebon 2022
Bahan Ajar Akhlak Tasawuf
Pertemuan ke 5

Menurut kaum sufi, khauf dan raja' berjalan seimbang dan saling
mempengaruhi. Dengan alasan itu, kedua hal tersebut dipadamkan dalam
pembahasannya. Raja’ (berpengharapan kepada Allah) raja’ diartikan berharap
atau optimisme, yaitu tenang dan senangnya hati karena menunggu sesuatu
yang dicintai. Karena keterbatasan bahasa Indonesia, tidak ada padanan kata
yang sesuai untuk raja’,yang paling mendekati artinya adalah harapan,
meskipun sebetulnya artinya bukan harapan. Sang hamba menebar benih iman,
menyiraminya dengan air ketaatan, membersihkan hatinya dari akhlak tercela,
lalu menunggu anugerah dari Allah yaitu Dia menetapkannya sampai ajal tiba
dan husnul khatimah pembuka maghfirah. Dengan itu, raja’ sang hamba adalah
raja’ yang benar.

Setiap orang yang ber-raja’ pastilah ia orang yang ber-khauf (takut). Khauf
adalah suatu sikap mental yang merasa takut kepada Allah karena kurang
sempurna pengabdiannya. Takut dan kawatir kalau Allah tidak senang
kepadanya. Khauf adalah rasa sakit dalam hati karena khawatir akan
terjadi sesuatu yang tidak disenangi di masa sekarang.

Khauf terdiri dari tiga tingkatan atau tiga derajat, di antaranya adalah:
a) Tingkatan qashir (pendek), yaitu khauf seperti kelembutan perasaan
yang dimiliki wanita, perasaan ini seringkali dirasakan tatkala
mendengarkan ayat-ayat Allah dibaca.
b) Tingkatan mu’tadil (sedang), yaitu tingkatan yang sangat terpuji, ia berada
pada khauf qashir dan mufrith.
c) Tingkatan mufrith (yang berlebihan), yaitu khauf yang sangat kuat dan
melewati batas kewajaran dan menyebabkan kelemahan dan putus asa,
khauf tingkat ini menyebabkan hilangnya kendali akal dan bahkan
kematian, khauf ini dicela karena membuat manusia tidak bisa beramal.

9
PJJ-PAI IAIN Syekh Nurjati Cirebon 2022
Bahan Ajar Akhlak Tasawuf
Pertemuan ke 5

3. Rangkuman
1. Pengertian maqamat: secara harfiah berasal dari bahasa arab yang berarti "tempat
orang berdiri" atau "pangkal mulia". Istilah ini selanjutnya diartikan sebagai "jalan
panjang yang hams ditempuh oleh seorang sufi untuk mendekat kepada Allah SWT.
2. Tingkatan maqamat: al-taubah, al-zuhd, al-wara, al-faqr, al-shabr, al-tawakkal dan
al- ridha.
3. Pengertian al-hal: bentuk jama' dari kata ahwal yang berarti suasana atau keadaan
jiwa. Secara terminologis ahwal berarti keadaan spiritual yang menguasai hati.
4. Tingkatan al-hal: al-muraqabah (perasaan selalu diawasi oleh Allah), al-qurb
(perasaan kedekatan kepada Tuhan), al-mahabbah (perasaan cinta kepada Tuhan),
al-khawf wa al-raja’ (perasaan harap-harap cemas terhadap Allah), al-syauq
(perasaan rindu), al-uns(perasaan bersahabat dengan Allah), al-thuma'ninah
(perasaan tentram), al-musyahadah (perasaan menyaksikan Tuhan dengan mata
hati), dan al-yaqin (perasaan yakin kepada-Nya).

5. Pustaka
a. Suteja, 2016. Teori Dasar Tasawuf Islam. CV. Elsi Pro. Cirebon.
b. Suteja, 2016. Tasawuf Lokal ‘Mencari Akar tradisi Tasawuf Indonesia’. Pangger
Publishing. Cirebon.
c. Suteja, 2016. Kepribadian Sang Wali Allah. CV. Cirebon Publishing. Cirebon.
d. Hasbi, Muhammad, 2020. Akhlak Tasawuf. Trust Media Publishing. Yogyakarta.
e. Mas’ud Ali. Akhlak Tasawuf. Government of Indonesia and Islamic Development
Bank. UIN Sunan Ampel Surabaya.
f. Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia (Jakarta: Hidakarya Agung, tt), 362.
g. Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang,
1983), 62.

10
PJJ-PAI IAIN Syekh Nurjati Cirebon 2022

Anda mungkin juga menyukai