Anda di halaman 1dari 15

Kerangka Berfikir Irfani

DASAR-DASAR FALSAFI AHWAL DAN MAQAMAT

Pendahuluan
Di samping tasawuf, Islam juga mengenal ajaran ruhani (ilmu) lainnya yang disebut irfan
(Anwar, 2002: 47). Menurut Ruhullah Syams, sebagaimana yang dilihat secara umum istilah
irfan dan tasawuf digunakan secara sinonim di dunia Islam hari ini .

C. Ramli Bihar Anwar (2002: 47) mengatakan, Irfan muncul untuk pertama kalinya sebagai
reaksi atas praktik-praktik tasawuf tertentu dalam dunia Syiah yang dianggap telah
menyimpang dari syariat. Karena itu, di dalam irfan sangat mementingkan syariat sebagai dasar
bertasawuf.

Irfan secara etimologi bermakna pengetahuan, sebab itu irfan dan tasawuf Islam menunjukkan
suatu bentuk pengetahuan, bahwa perjalanan sair suluk (riydh) seorang hamba kepada Allah
Swt. akan meniscayakan suatu bentuk pengetahuan yang lebih hakiki dari pada pengetahuan
konsepsi (tashawwur) dan afrimasi (tashdiq) panca indra dan akal. Sebab itu bentuk
pengetahuan irfani adalah hudhuri (presentif), bahkan bentuk pengetahuan hudhuri yang
memiliki derajat tinggi.

Para sufi adalah urafa (jamak dari arif), yakni mereka yang memperoleh pengetahuan hakiki
ontologis. Pengetahuan yang diawali dengan makrifat nafs yang kemudian menyampaikan
kepada makrifat Rabb (Man arafa nafsahu fa qad arafa rabbahu ).

Menurut Rosihan Anwar dan Mukhtar Solihin (2000: 69), kerangka irfani yaitu lingkup
perjalanan menuju Allah untuk memperoleh pengenalan (marifat) yang berlaku di kalangan
sufi secara rasa (rohaniah). Manusia tidak akan tahu banyak mengenai penciptaan-Nya apabila
belum melakukan perjalanan menuju Allah walaupun ia adalah orang yang beriman secara
aqliyah. Hal ini karena adanya perbedaan yang dalam antara iman secara aqliyah atau logis
teoritis (al- iman al-aqli an-Nazhari) dan iman secara rasa (al-iman asy-syuri ad-dzauqi). Lingkup
irfani ini tidak dapat dicapai dengan mudah atau secara spontanitas, tetapi melalui proses yang
panjang. Proses yang dimaksud yaitu maqam-maqam (tingkatan atau stasiun) dan ahwal (jama
dari hal).

Berdasarkan batasan tema bahasan yang telah ditentukan, Kerangka Berpikir Irfani: Dasar-dasar
Falsafi Ahwal dan Maqamat. Adapun sub telaahan kami adalah :
A. Pengertian dan Perbedaan Maqam dan Ahwal
B. Macam-Macam Maqam dalam Tasawuf
C. Perihal dalam Perjalanan Sufi
D. Metode Irfani
Semoga dalam memahami ilmu tasawuf khususnya kerangka berpikir irfani ini tidak sebatas
teoritis, tapi aplikatif. Sehingga, tujuan penelaahan dapat tercapai, yakni pendalaman ilmu guna
kemaslahatan umat.

A. Pengertian dan Perbedaan Maqam dan Ahwal


Al-Maqamat

Banyak jalan dan cara yang ditempuhi seorang sufi dalam meraih cita-cita dan tujuannya
mereka untuk mendekatkan diri kepada Allah s.w.t seperti memperbanyakkan zikir, beramal
soleh dan sebagainya. Oleh karena itu, dalam perjalanan spiritualnya, seorang sufi pasti
menempuh beberapa tahapan. Tahapan-tahapan itu disebutkan Maqamat/stasiun (jama dari
maqam). Syamsun Ni'am (2001: 51) menambahkan, jalan itu sangat sulit dan untuk berpindah
dari satu maqam ke maqam lain memerlukan usaha yang berat dan waktu yang tidak singkat.
Dengan kata lain, maqam adalah tingkatan salik dalam beribadah melalui latihan bertahap guna
membangun jiwa seorang hamba Allah s.w.t.

A. Rivay Siregar (2002: 113), menjelaskan bahwa di kalangan sufi, orang pertama yang
membahas masalah al-maqamat atau jenjang dan fase perjalanan menuju kedekatan dengan
Tuhan, adalah al Haris ibnu Asad al-Muhasibi (w.243 H). Namun, siapapun yang pertama
menyusun al-maqomat, tidaklah dipermasalahkan, tetapi yang pasti adalah sejak abad tiga
hijriyah setiap orang yang ingin mencapai tujuan tasawuf , ia harus menempuh jalan yang berat
dan panjang, melakukan berbagai latihan amalan, baik amalan lahiriah maupun batiniah .

Al-Ahwal

Menurut sufi, al-ahwal-jamak dari al-hal-dalam bahasa Inggris disebut state, adalah situasi
kejiwaan yang diperoleh seorang sufi sebagai karunia Allah, bukan dari hasil usahanya (Rivay,
2002: 131). Dengan kata lain, seorang salik (penempuh jalan tarekat) yang serius hatinya
dipenuhi dengan bersitan-bersitan hati, sehingga banyak hal dan sifat yang kemudian berubah
dalam dirinya. Sebagian sufi sepakat menyebut gejala ini sebagai ahwal, dan sebagian sufi lain
menyebutnya sebagai maqamat (kedudukan/tingkatan) (Abdul Fattah, 2000: 107).

Namun, penulis lebih sependapat dengan Rosihan Anwar dan Mukhtar Solihin (2000:71) yang
mengatakan bahwa hal sama dengan bakat, sedangkan maqam diperoleh dengan daya dan
upaya. Jelasnya, hal tidak sama dengan maqam, keduanya tidak dapat dipisahkan.

B. Macam-Macam Maqam dalam Tasawuf


Adapun tahapan-tahapan yang harus dilalui dalam al-maqamat tersebut antara lain:

1. Taubat
Secara bahasa, taubat berarti kembali. Kembali kepada kebenaran yang dilegalkan Allah swt.
dan diajarkan Rasulullah s.a.w. Taubat merupakan upaya seorang hamba menyesali dan
meninggalkan perbuatan dosa yang pernah dilakukan selama ini.

Menurut Sayyid Abi Bakar Ibnu Muh. Syatha (2003: 42), taubat adalah kembali dari segala
sesuatu yang dicela oleh Allah menuju ke arah yang dipuji oleh-Nya. Taubat adalah tahap
pertama dalam menempuh tahap-tahap berikutnya. Taubat adalah jalan untuk membersihkan
segala dosa. Setelah manusia dilumuri berbagai dosa. Tanpa adanya taubat seorang salik tidak
akan dapat menempuh jalan menuju Allah s.w.t.

Ada banyak definisi taubat di kalangan sufi, Abul Husain an-Nuri, mengungkapkan definisi
tentang taubat. "Taubat adalah menolak dari semua, kecuali Allah yang Maha Tinggi", dan
pemikiran yang sama dari penyesalan tahap tertinggi adalah berbeda sama sekali dari yang
biasa terjadi, sebagaimana ditemukan dalam suatu pernyataan, "Dosa-dosa bagi mereka yang
dekat dengan Allah s.w.t. adalah suatu perbuatan baik yang pada tempatnya". Sedang al-
Ghazali menyatakan, bahawa hakikat taubat adalah kembali dari maksiat menuju taat, kembali
dari jalan yang jauh menuju jalan yang dekat.

Taubat yang dilakukan adalah taubat yang sungguh-sungguh (taubatan nasuhan)(Abdul Kadir al-
Jilani, 2003: 73). Dalam hal ini, baik hati, lisan dan amal mencerminkan pertobatan. Beliau
menganalogikan seseorang yang bertaubat nasuha seperti menggali akar (dosa) umbi dengan
cangkul berupa didikan ruhaniah dari guru atau syekh yang sebenarnya (guru munsyid).
Sebelum berladang atau berkebun, tanahnya harus dibersihkan terlebih dahulu dari akar-akar
pohon, tunggul-tunggul pohon, dan semak-semak belukar. Rasulullah s.a.w. pernah ditanya
seorang sahabat, Apakah penyesalan itu taubat? Rasulullah s.a.w. menjawab, Ya. (HR. Ibnu
Majah) Amr bin Ala pernah mengatakan, Taubat nasuha adalah apabila kamu membenci
perbuatan dosa sebagaimana kamu mencintainya.

Ibnu Qayyim al-Jauziyyah pernah mengatakan bahwa taubat yang murni itu mengandungi tiga
unsur: Pertama : taubat yang meliputi atas keseluruhan jenis dosa, tidak ada satu dosa pun
melainkan bertaubat karenanya; Kedua : membulatkan tekad dan bersungguh-sungguh dalam
bertaubat, sehingga tiada keraguan dan menunda-nunda kesempatan untuk bertaubat; dan
Ketiga : menyucikan jiwa dari segala kotoran dan hal-hal yang dapat mengurangi rasa
keikhlasan, khauf kepada Allah s.w.t dan menginginkan karunia-Nya.

Salah satu unsur taubat yang harus dipenuhi adalah adanya penyesalan diri atas dosa-dosa yang
dilakukan kepada Allah s.w.t. Sebagaimana yang dikatakan al-Qusyairi dalam Syamsun Niam
(2001: 52), "Menyesali kesalahan adalah cukup untuk memenuhi syarat pertaubatan", demikian
kata mereka yang telah melaksanakannya, karena tindakan tersebut mempunyai akibat berupa
dua syarat yang lain. Artinya, orang tidak mungkin bertaubat dari suatu tindakan yang tetap
dilakukan atau yang ia mungkin bermaksud melakukannya. Inilah makna taubat secara umum.

Taubat dari segala kesalahan tidak membuat seorang manusia terhina di hadapan Tuhannya.
Justru, akan menambah kecintaan dan kedekatan seorang hamba dengan Tuhannya. Karena
Allah sangat mencintai orang-orang yang bertaubat dan mensucikan diri. Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri. (QS. Al-
Baqarah: 222) Karena itu, ingat syarat taubat nasuha. Antara lain, pertama, segera
meninggalkan dosa dan maksiat, kedua, menyesali dengan penuh kesadaran segala dosa dan
maksiat yang telah dilakukan dan ketiga, bertekad untuk tidak akan mengulangi dosa. Abdul
Kadir al-Jilani (2003: 75) menegaskan bahwa tanda taubat yang diterima Allah s.w.t. adalah
seseorang tidak akan mengulangi perbuatan dosa.

2. Zuhud

Secara bahasa Zuhud : Zuhd (Arab) darwis; pertapa dalam Islam; orang yang meninggalkan
kehidupan duniawi, mempunyai sikap tidak terbelenggu oleh hidup kebendaan. Amin Syukur
(1997: 1) menambahkan, zuhud berarti mengasingkan diri dari kesenangan dunia untuk ibadah.
Sedangkan orang yang memiliki sikap zuhud disebut zahid.

Dalam tasawuf zuhud dijadikan maqam dalam upaya melatih diri dan menyucikan hati untuk
melepas ikatan hati dengan dunia (Simuh, 1997: 58). Al-Ghazali mengatakan, zuhud berarti
membenci dunia demi mencintai akhirat (Abdul Fattah, 2000: 117). Sedang menurut, Abu
Sulaiman al-Darani dalam Simuh , zuhud adalah meninggalkan segala yang melalaikan hati dari
Allah. Al-Junaid menyatakan bahwa zuhud adalah,bahwa tangan terbebas dari harta dan hati
terbebas dari angan-angan. Michael A. Sells ( 2004: 266), seorang profesor perbandingan
agama Haverford College berpendapat, zuhud adalah mengendalikan apa yang dihalalkan dan
menjadi sebuah kewajiban melepaskan perkara yang diharamkan dan subhat.

Ragam penafsiran mengenai zuhud ini, tetapi semuanya berkonotasi pada mengurangi dan jika
mungkin mengabaikan kehidupan duniawi dengan segala kenikmatannya (Rivaiy, 2002: 116).
Sehingga secara sederhana zuhud adalah sikap seseorang dalam memandang perkara duniawi
secara tidak berlebihan.

Zuhud adalah salah satu akhlak utama seorang muslim. zuhud adalah karakteristik dasar yang
membedakan antara seorang mukmin sejati dengan mukmin awam. Apalagi seorang dai. Jika
orang banyak mengatakan dia sama saja, tentu nilai-nilai yang didakwahinya tidak akan
membekas ke dalam hati orang-orang yang didakwahinya. Dakwahnya layu sebelum
berkembang. Karena itu, setiap mukmin, terutama para dai, harus menjadikan zuhud sebagai
perhiasan jati dirinya. Rasulullah saw. bersabda,Zuhudlah terhadap apa yang ada di dunia,
maka Allah akan mencintaimu. Dan zuhudlah terhadap apa yang ada di sisi manusia, maka
manusia pun akan mencintaimu (HR Ibnu Majah, tabrani, Ibnu Hibban dan Al-Hakim)

Makna dan hakikat zuhud banyak diungkap Al-Quran, hadits, dan para ulama. Misalnya surat
Al-Hadid ayat 20-23. Dari ayat itu, kita mendapat pelajaran bahwa akhlak zuhud tidak mungkin
diraih kecuali dengan mengetahui hakikat dunia yang bersifat sementara, cepat berubah,
rendah, hina dan bahayanya ketika manusia mencintainya dan hakikat akhirat yang bersifat
kekal, baik kenikmatannya maupun penderitaannya.
Para ulama memperjelas makna dan hakikat zuhud. Secara syari, zuhud bermakna mengambil
sesuatu yang halal hanya sebatas keperluan. Abu Idris Al-Khaulani berkata, Zuhud terhadap
dunia bukanlah mengharamkan yang halal dan membuang semua harta. Akan tetapi zuhud
terhadap dunia adalah lebih menyakini apa yang ada di sisi Allah ketimbang apa yang ada di
tangan kita. Dan jika kita ditimpa musibah, maka kita sangat berharap untuk mendapatkan
pahala. Bahkan ketika musibah itu masih bersama kita, kita pun berharap bisa menambah dan
menyimpan pahalanya. Ibnu Khafif berkata, Zuhud adalah menghindari dunia tanpa
terpaksa. Ibnu Taimiyah berkata, Zuhud adalah meninggalkan apa yang tidak bermanfaat di
akhirat nanti, sedangkan wara adalah meninggalkan sesuatu yang ditakuti bahayanya di akhirat
nanti.

Imam Ahmad bin Hanbal membagi zuhud ke dalam tiga tingkatan atau derajat. Pertama,
zuhudnya orang awam yaitu meninggalkan sesuatu yang diharamkan. Kedua, zuhudnya orang
khawash (orang khusus, orang istimewa), yaitu meninggalkan barang halal, jika barang halal itu
dipandangnya telah berlebih dari kebutuhan dasarnya. Dan ketiga, zuhudnya orang arif (orang
yang mengetahui hakikat Allah), yaitu meninggalkan segala sesuatu yang membuatnya sibuk
dan lalai dari mengingat Allah . Banyak orang yang berpandangan sempit terhadap zuhud.
Zuhud dianggap harus meninggalkan harta, menolak segala kenikmatan dunia, dan
mengharamkan yang halal. Tidak demikian, karena meninggalkan harta adalah sangat mudah,
apalagi jika mengharapkan pujian dan popularitas dari orang lain. Zuhud yang demikian sangat
dipengaruhi oleh pikiran sufi yang berkembang di dunia Islam. Kerja mereka cuma mengharap
belas kasihan dari orang lain, dengan mengatakan bahwa dirinya ahli ibadah atau keturunan
Rasulullah saw. Padahal Islam mengharuskan umatnya agar memakmurkam bumi, bekerja, dan
menguasai dunia, tetapi pada saat yang sama tidak tertipu oleh dunia.

3. Faqr (Fakir)

Ibrahim ibn Ahmad Al-Khawwash ra. Berkata, Kefakiran adalah jubah dari mereka yang mulia,
pakaian dari mereka yang telah diberikan sebuah misi, perhiasan para budiman, mahkota kaum
bertakwa, hiasan para Mukmin, rampasan paraarifin, peringatan bagi pencari, benteng bagi
para abid, dan penjara bagi para pendosa .

Simuh (1997:62) mengutip, Abu Bakar al-Mishri berkata Fakir yang sesungguhnya adalah tidak
memiliki sesuatu dan hatinya juga tidak menginginkan sesuatu. Sedang Abu Abdullah ibn Al-
Jalla menjelaskan mengenai hakikat fakir, Bahwa engkau tidak memiliki apa pun dan jika
engkau memiliki sesuatu, engkau masih tidak memilikinya, dan sejauh engkau tidak
memilikinya, engkau tidak memilikinya.

Ragam interpretasi yang dijumpai di kalangan sufi mengenai istilah Faqr (al Faqr) ini. Meskipun
demikian, pesan yang tersirat di dalamnya adalah agar manusia bersikap hati-hati terhadap
pengaruh negatif akibat keinginan kepada harta kekayaan (Rivay,2002: 119).

Jelasnya, faqk adalah maqam yang bertujuan untuk menyucikan diri dari segala keinginan selain
Allah. Tidak ada yang lebih penting dalam menghambakan diri kepada sang khalik selain
membebaskan keterikatan batin kepada selain-Nya. Dengan pengertian bahwa melalui faqr,
para salik akan menyadari serba terbatasnya dirinya sebagai hamba. Sehingga, perasaan itu
melahirkan kepasrahan dan ketundukan.

4. Sabr (Sabar)

Firman Allah swt. dalam QS. Az-Zumar [39]: 10


Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah Yang dicukupkan pahala mereka tanpa
batas.

Al-Ghazali mengatakan,Sabar berarti bersemayamnya pembangkit ketaatan sebagai ganti


pembangkit hawa-nafsu. Al Junaid berkata bahwa sabar itu, menanggung beban demi Allah
s.w.t. hingga saat-saat sulit tersebut berlalu. Sedang menurut Sahl At-Tusturi, sabar berarti
menanti kelapangan (jalan keluar, solusi) dari Allah.

Walaupun definisi mengenai sabar dari masing-masing para ulama berbeda, pada hakikatnya
adalah sama. Sebab secara garis besar, sabar dimaksudkan sebagai wujud ibadah hamba Allah
dalam menggapai keridhaan-Nya. Dan orang yang telah berhasil membentuk dirinya sebagai
insan penyabar, ia akan memperoleh keberuntungan yang besar.

5. Syukur

Abdul Fattah Sayyid Ahmad (2000: 124) dalam bukunya Tasawuf: antara Al-Ghazali dan Ibnu
Taimiyah, tidak memisahkan antara sabar dan syukur. Bahkan menurut beliau, sabar dan syukur
adalah dua buah kata yang digunakan untuk menyebut satu makna. Menguatnya motivasi
agama dalam melawan motivasi syahwat, jika dilihat dari sudut pandang dorongan syahwat,
disebut sabar. Menguatnya dorongan agama dalam melawan motivasi syahwat, jika dilihat
dari sudut pandang motivasi agama, disebut syukur.

Firman Allah swt. dalam QS. Lukman [31]:31, Tidakkah kamu memperhatikan bahwa
sesungguhnya kapal itu berlayar di laut dengan nikmat Allah, supaya diperlihatkan-Nya
kepadamu sebahagian dari tanda-tanda (kekuasaan)-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian
itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi semua orang yang sangat sabar lagi banyak
bersyukur.

Syukur kepada Allah merupakan bukti atas nikmat dan karunia yang diberikan kepada hamba-
Nya (Syamsun Niam, 2001: 59). Secara global syukur adalah Sharfun nimah fi ma khuliqat
lahu(menggunakan nikmat yang dikaruniakan Allah kepadanya secara proporsional) . Al-Junaid
mengatakan Bersyukur adalah bahwa engkau tidak memandang dirimu layak menerima
nikmat . Dalam dataran aplikatif, syukur tidak hanya diwujudkan dalam lisan semata. Namun
juga dinyatakan dalam gerak dan perasaan hati. Dengan demikian syukur itu merupakan
perpaduan antara perilaku hati, lisan dan raga.

6. Tawakal
Katatawakal diambil dari akar kata wakalah. Dia mewakilkan urusannya kepada si fulan.
Kata mewakilkan di sini berarti menyerahkan atau mempercayakan. Tawakal berarti
menggantungkan hati hanya kepada al wakil (tumpuan perwakilan) .

Beberapa ulama berpendapat mengenai tawakal ini. Abu Bakar Al-Zaqaq berkata, ketika ditanya
tentang tawakal, hidup untuk satu hari menenangkan kepedulian akan hari esok. Ruwaim
mengatakan, tawakal adalah percaya akan janji. Dan Sahl ibn Abdullah berkata bahwa tawakal
itu, Menyerahkan diri kepada Allah dalam urusan apa pun yang Allah kehendaki.

Berbagai sudut pandang dari para ulama dalam membahasakan istilah tawakal. Dan sebenarnya
definisi dari mereka tidak saling berseberangan. Bahkan saling melengkapi. Sederhananya,
tawakal berarti penyerahan penuh diri hamba kepada sang khalik setelah melalui ikhtiar yang
maksimal dari hamba tersebut. Sebab Simuh (1997: 66) menegaskan bahwa tawakal yang
didahului dengan ikhtiar merupakan tuntunan syariat Islam.

7. Ridha (Rela)

Ridha berarti penerimaan, tetapi ia juga berarti kualitas kepuasan dengan sesuatu atau
seseorang. Ridha digambarkan sebagaiketeguhan di hadapan qadha. Allah s.w.t.
menyebutkan ridha dalam kitab-Nya, Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha
terhadap-Nya (QS. Al-Maidah[5]:119); Dan keridhaan Allah adalah lebih besar (QS Al-Taubah
[9]:72). Dengan cara demikian, keridhaan Allah swt atas hamba-Nya jauh lebih besar daripada
ridha atas-Nya dan mendahuluinya. Dzu Al-Nun berkata,Kebahagiaan hati dengan berlalunya
Qadha. Ibn Atha berkata, ridha adalah takzimnya hati untuk pilihan abadi dari Tuhan untuk
sang hamba karena dia tahu bahwa Dia s.w.t. telah memilihkan yang terbaik untuknya dan
menerimanya serta melepaskan ketidakpuasannya. Ibnu Khafif mengatakan, ridha adalah
kerelaan hati menerima ketentuan Tuhan, dan persetujuan hatinya terhadap yang diridhai Allah
untuknya . Sedang menurut Rabiah al-Adawiyah, ridha adalah Jika dia telah gembira
menerima musibah seperti kegembiraannya menerima nikmat Sepertinya pengertian ridha
demikian merupakan perpaduan antara sabar dan tawakal sehingga melahirkan sikap mental
yang merasa tenang dan senang menerima segala situasi dan kondisi (Rivay, 2002: 122). Segala
peristiwa atau perihal yang terjadi dan dialami dihadapi dengan hati yang tenang. Sekalipun
peristiwa itu perkara musibah, kebahagiaan, atau apa saja di matanya sama saja. Ridha
merupakan maqam terakhir dari perjalanan salik. Tidak mudah dalam menggapai kedudukan
pada maqam ini. Para salik harus berjuang dan berkorban (mujahadah) secara bertahap serta
terus-menerus melakukan riadhah. Namun, bukan berarti perjalanan para salik berhenti sampai
di sini. Masih ada perjalanan selanjutnya yang mesti ditempuh dan tentunya masing-masing
mereka akan mengalami pengalaman spiritual yang berbeda.

C. Hal-hal yang dijumpai dalam Perjalanan Sufi


Hal-hal yang dimaksud adalah al ahwal yang dialami para salik dalam menempuh perjalanan
menuju marifatullah. Al ahwal tersebut di antaranya: muhasabah dan muraqabah, qarb, hubb,
raja dan khauf, syauq, uns,thumaninah, musyahadah dan yakin (Rosihan Anwar dan Mukhtar
Solihin, 2000:74). Namun berikut ini adalah penjelasan dari beberapa hal-hal saja:

1. Muhasabah dan Muraqabah

Kedua hal ini dikaji secara bersamaan oleh sebagian sufi. Sebab, keduanya memiliki fungsi yang
sama yakni menundukan perasaan jasmani yang berasal dari nafsu dan amarah. Dengan
pengertian, kedua hal ini dapat dilakukan secara bersamaan.

Muhasabah (Introspeksi)
Dari Syadad bin Aus r.a., dari Rasulullah saw., bahwa beliau berkata, Orang yang pandai adalah
yang menghisab (mengevaluasi) dirinya sendiri serta beramal untuk kehidupan sesudah
kematian. Sedangkan orang yang lemah adalah yang dirinya mengikuti hawa nafsunya serta
berangan-angan terhadap Allah swt. (HR. Imam Turmudzi, ia berkata, Hadits ini adalah hadits
hasan) Hadits di atas menggambarkan urgensi muhasabah (evaluasi diri) dalam menjalani
kehidupan di dunia ini. Karena hidup di dunia merupakan rangkaian dari sebuah planing dan
misi besar seorang hamba, yaitu menggapai keridhaan Rab-nya. Dan dalam menjalankan misi
tersebut, seseorang tentunya harus memiliki visi (ghayah), perencanaan (ahdaf), strategi
(takhtith), pelaksanaan (tatbiq) dan evaluasi (muhasabah). Hal terakhir merupakan
pembahasan utama yang dijelaskan oleh Rasulullah saw. dalam hadits ini. Bahkan dengan jelas,
Rasulullah mengaitkan evaluasi dengan kesuksesan, sedangkan kegagalan dengan mengikuti
hawa nafsu dan banyak angan. Muhasabah dapat diartikan pemeriksaan diri secara terus-
menerus, yakni seorang mukmin meninjau kembali ucapan dan perbuatan setiap hari, setiap
jam apakah baik atau buruk (Fathullah Gulen, 2001: 28). Dalam hal ini kritik dirilah yang
dijadikan metode dalam pencarian kedalaman batin. Dan ini perlu usaha-usaha spiritual dan
intelektual guna memotivasi serta mengembangkan potensi kebaikan pada diri. Mochamad
Bugi menjelaskan, dalam Al-Quran, Allah swt. seringkali mengingatkan hamba-hamba-Nya
mengenai visi besar ini, di antaranya adalah dalam QS. Al-Hasyr (59): 1819. Urgensi lain dari
muhasabah adalah karena setiap orang kelak pada hari akhir akan datang menghadap Allah
s.w.t. dengan kondisi sendiri-sendiri untuk mempertanggung jawabkan segala amal
perbuatannya. Allah s.w.t. menjelaskan dalam Al-Quran: Dan tiap-tiap mereka akan datang
kepada Allah pada hari kiamat dengan sendiri-sendiri. (lihat QS. Maryam (19): 95, Al-Anbiya
(21): 1)

Menurut Ibnu Rajab Al-Hambali dkk.(2004: 93-94), muhasabah sesudah beramal itu ada tiga: 1.
Introspeksi diri atas berbagai ketaatan yang telah dilalaikan, yang itu adalah hal Allah swt.
Bahwa ia telah melaksanakannya dengan serampangan, tidak semestinya. 2. Introspeksi diri
atas setiap amalan yang lebih baik ditinggalka daripada dikerjakan. 3. Introspeksi diri atas
perkara yang mubah, atas dasar apa ia melakukannya. Apakah dalam rangka mengharap Allah
swt dan akhirat, sehingga ia beruntung? Ataukah untuk mengharap dunia dan kefanaannya,
sehingga ia merugi?

Muraqabah (Keterjagaan)
Praktik sufi yang sangat penting ialah keterjagaan. Kata Arabnya muraqabah. Ini dipraktikkan
agar dapat menyaksikan dan menghaluskan keadaan diri sendiri. Dengan praktik muraqabah
timbul kepekaan yang kian lama kian besar yang menghasilkan kemampuan untuk menyaksikan
"pembukaan " di dalam. Muraqabah yang terkonsentrasi dan maju terjadi dalam pengasingan
diri (khalwat) .Selama pengasingan, dan ketika "pembukaan " yang sesungguhnya terjadi, si
pencari akan menerima kekosongan dan ketidakterbatasan waktu yang luas dalam dirinya. Ini
merupakan kulminasi, boleh dikatakan, dari kesadaran diri dan keterjagaan diri, dan awal dari
apa yang dipandang sebagai proses kebangunan gnostik (makrifat) atau pencerahan. Maksud
dari semua ini ialah bahwa orang itu sadar setiap waktu tentang keadaan di dalam batin yang
tak terlukiskan, yang tak ada batasnya.

2. Hubb (Cinta)

Cinta dalam bahasa Arab disebut al-hubb atau mahabbah yang berasal dari kalimat habba-
hubban-hibban yang berarti waddahu, punya makna kasih atau mengasihi (Louis Maluf dalam
Syamsun Niam, 2001: 111). Dalam Al-Quran banyak dijumpai kata-kata al-hubb atau mahabbah
yang bermakna cinta. Diantaranya QS. Al-Baqarah [2]: 165. Al-Ghazali berkata, cinta adalah
kecenderungan naluriah kepada sesuatu yang menyenangkan. Al Junaid berkomentar tentang
cinta, cinta berarti merasuknya sifat-sifat sang kekasih mengambil alih dari sifat-sifat pecinta.
Ketika Rabiah al Adhawiyah ditanya tentang cinta, dia menjawab, antara orang yang
mencintai (muhibb) dan orang yang dicintai (mahbub) tidak ada jarak (Syamsun Niam, 2001:
117). Definisi dari beberapa sufi irfan tersebut cukup beragam. Sebenarnya untuk memahami
mahabbah ini, tidak bisa disamakan dengan istilah cinta yang biasa digunakan. Jelasnya, cinta di
sini sangat berbeda dengan pengertian cinta sesama makhluk Tuhan. Cinta yang dimaksud
adalah cinta hakiki dari hamba kepada khaliknya. Dengan kata lain, cinta itu perwujudan rasa
kedekatan jiwa dan raga seorang hamba dihadapan Tuhannya. Walau cinta merupakan masalah
asli dalam irfan (tasawuf), akan tetapi para arif mengaku bahwa mereka tidak mampu
memaknai dan mendefinisikan cinta. Ibnu Arabi yang mengaku bahwa cinta adalah agama serta
imannya, akan tetapi tentang cinta ia berkata: Orang yang mendefinisikan cinta, berarti ia
belum tahu arti cinta. Orang yang belum meminum anggur dari cawan, maka ia belum
mengetahuinya rasanya. Orang yang berkata; aku telah telah merasakan isi cawan, dimana
cinta adalah anggur, maka ia belum mengetahuinya jika belum meneguknya. Artinya jika
seseorang belum mencinta maka ia tidak akan pernah tahu rasanya cinta. Cinta tidak bisa
didefinisikan dengan definisi mantiqi, dan dengan satu kali merasakan cinta belum cukup
baginya untuk bisa memahami rasa cinta, perjalanan yang tidak ada akhirnya dan manusia tidak
akan sampai kepada akhir dan rasa hausnya terhadap cinta tidak akan pernah hilang. Ibnu Rajab
Al-Hambali dkk (2004: 127) mengatakan, cinta yang paling bermanfaat, yang paling wajib, yang
paling tinggi, dan yang paling mulia adalah cinta kepada Dzat yang telah menjadikan hati cinta
kepada-Nya dan menjadikan seluruh makhluk memiliki fitrah untuk mengesakan-Nya. Artinya,
hakikat cinta hanya diperuntukan kepada Allah swt., rab yang Maha Mencintai dan pantas
dicintai.

3. Ar Raja dan Khauf


Menurut kaum sufi, raja dan khauf berjalan seimbang dan saling mempengaruhi (Anwar dan
Solihin, 2000: 75). Dengan alasan itu, kedua hal tersebut dipadankan dalam pembahasannya. Ar
Raja(Berpengharapan kepada Allah) Raja diartikan berharap atau optimisme , yaitu tenang
dan senangnya hati karena menunggu sesuatu yang dicintai . Karena keterbatasan bahasa
Indonesia, tidak ada padanan kata yang sesuai untuk Ar Raja, yang paling mendekati artinya
adalah harapan, meskipun sebetulnya artinya bukan harapan (Nasarudin Umar, 2007.) Sang
hamba menebar benih iman, menyiraminya dengan air ketaatan, membersihkan hatinya dari
onak akhlak tercela, lalu menunggu anugerah dari Allah s.w.t., yaitu Dia menetapkannya sampai
ajal tiba dan husnul khatimah pembuka maghfirah. Dengan itu, raja sang hamba adalah raja
yang benar. Firman Allah swt. Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang
berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang (QS.Al-Baqarah [2]: 218) Ada tiga hal yang dipenuhi oleh
orang yang raja terhadap sesuatu. Yaitu: Mencintai yang diharapkannya. Takut akan
kehilangannya Usaha untuk mendapatkannya Raja yang tidak disertai dengan tiga perkara
di atas, hanyalah angan-angan semata. Setiap orang yang ber-raja pastilah ia orang yang ber-
khauf (takut). Khauf (Takut kepada Allah) Abu Hafsh berkata, khauf /takut adalah cambuk Allah
s.w.t. yang digunakan-Nya untuk menghukum manusia yang berontak keluar dari ambang
pintu-Nya (Mulyad dalam Syamsun Niam, 2001: 65). Khauf dikatakan pula sebagai ungkapan
derita hati dan kegundahannya terhadap apa yang akan dihadapi. Sehingga mampu mencegah
diri dari bermaksiat dan mengikatnya dengan bentuk-bentuk ketaatan (Ibnu Rajab dkk, 2005:
147).Allah swt meridhai hamba-Nya yang khauf kepada-Nya. Allah ridha terhadap mereka dan
merekapun ridha kepadaNya. Yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada
Tuhannya (QS.Al-Bayyinah [98]:8). Banyak ayat lain yang mengisyaratkan keutamaan khauf ini,
diantaranya QS. Al-Araf [7]: 156, QS. Fatir [35]:28, QS. Ali Imran [3]: 175, dan lainnya.

4. Syauq (Rindu)

Suhrawardi dalam Solihin (2003: 29) berujar, selama masih ada cinta, syauq tetap diperlukan.
Kerinduan yang terdalam ingin berjumpa dengan Tuhan, sehingga matinya jasad malah bukan
sesuatu yang ditakuti. Bahkan diinginkan para sufi, karena dengan begitu impiannya ingin
berjumpa dengan sang maha kasih, Allah s.w.t. dapat terkabul.

5. Uns (Intim)

Uns adalah sifat merasa selalu berteman, tidak pernah merasa kesepian (Anwar dan Solihin,
2000: 76). Untuk mendeskripsikan uns ini, simak petikan syair sufistik berikut: Ada orang yang
merasa sepi dalam keramaian. Ia adalah orang yang selalu memikirkan kekasihnya sebab
sedang dimabuk cinta. Seperti halnya sepasang pemuda dan pemudi. Ada pula orang yang
merasa bising dalam kesepian. Ia adalah orang yang selalu memikirkan atau merencanakan
tugas pekerjaannya semata-mata. Adapun engkau, selalu merasa berteman di manapun
berada. Alangkah mulianya engkau berteman dengan Allah, artinya engkau selalu berada dalam
pemeliharaan Allah Syair tersebut menggambarkan sekilas perasaan keintiman para sufi
dengan Tuhan. Istilah intim di sini, jelas bukan merujuk pada pengertian hubungan sesama
makhluk. Intim hanya digunakan sebagai simbol bahasa dalam memahami kedalaman hubb
(cinta) hamba kepada Allah swt. yang disimbolkan sebagai sang kekasih.

D. Metode Irfani
Di samping melalui tahapan maqamat dan ahwal, untuk sampai pada tingkat marifat, para salik
harus bersedia menempuh ikhtiar-ikhtiar tertentu, seperti riyadhah, tafakur, tazkiat an-nafs,
dan dzikrullah. Berikut penjelasan masing-masing bagian dari metode irfani tersebut. 1.
Riyadhah Riyadhah adalah latihan kejiwaan melalui upaya membiasakan diri agar tidak
melakukan perihal yang mengotori jiwanya (Solihin, 2003: 54). Suatu pembiasaan biasanya
dilakukan terus-menerus secara rutin sehingga seseorang benar-benar terlatih, khususnya
dalam menahan diri agar jauh dari berbuat maksiat atau dosa. Riadhah bukanlah perkara
mudah, sehingga Dalam pelaksanaannya diperlukan mujahadah, yaitu kesungguhan dalam
berusaha meninggalkan sifat-sifat buruk (Anwar dan Solihin, 2000: 79). Dengan kata lain,
riyadhah dapat diartikan sebagai salah satu metode sufistik dengan latihan amal-amal positif
(salih) secara istiqamah dan mujahadah guna melenyapkan pengaruh negatif (maksiat) dari jiwa
yang terkontaminasi dosa. Menurut Anwar dan Solihin, setelah riyadhah berhasil dilakukan,
maka salik akan memperoleh ilmu marifat. Sehingga salik mampu menerima komunikasi dari
alam gaib (malakut). Perkara ini hanya bisa dialami oleh para sufi secara pribadi, belum bisa
dibuktikan secara ilmiah (melalui fakta dan data).

2. Tafakur (Refleksi)

Secara harfiah Tafakur berarti memikirkan sesuatu secara mendalam, sistematis dan terperinci
(Gulen, 2001: 34). Menurut Imam Al-Ghazali (dalam Badri,1989), jika ilmu sudah sampai pada
hati, keadaan hati akan berubah, jika hati sudah berubah, perilaku anggota badan juga akan
berubah. Perbuatan mengikuti keadaan, keadaan akan mengikuti ilmu dan ilmu mengikuti
pikiran, oleh karena itu pikiran adalah awal dari kunci segala kebaikan dan caranya adalah
dengan bertafakur. Bertafakur tentang ciptaan Allah s.w.t. merupakan ibadah mulia yang
diserukan Islam. Oleh karena itu, tidaklah heran jika dalam Al-Quran, dalam beberapa ayatnya,
kita menemukan perintah untuk bertafakur dan merenungkan segala ciptaan Allah s.w.t. di
langit dan di bumi. Al-Quran dalam beberapa ayatnya menggerakan hati manusia dengan
mengingat keagungan-Nya. Dalam surat Ali Imran [3] ayat 190-191, Allah SWT
berfirman:Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan
siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal (yaitu) orang-orang yang mengingat
Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkannya
tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): ya Tuhan kami, tiadalah engkau
menciptakan ini dengan sia-sia. Maha suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.
Mentafakuri penciptaan langit dan bumi serta segala peristiwa yang terjadi di dalamnya
merupakan suatu hal yang tidak dibatasi oleh faktor ruang dan waktu. Sehingga, pencarian
misteri ilahi di dalam kitab semesta itu menjadi perihal menarik yang melahirkan kegembiraan
spiritual menyerap cahaya pancaran marifat Allah (Gulen, 2001: 35). Artinya, penelusuran di
alam pikiran dan hati tersebut bisa memperkokoh keimanan serta taqarrub hamba kepada
Allah s.w.t. Dalam proses tafakur, persepsi yang didapati dari tafakur itu dihubungkan dengan
gambaran masa silam, sekaligus sebagai bahan untuk mendapatkan kemungkinan positif untuk
hidup di masa depan. Semua ini berproses dengan penuh cinta, rasa takut, dan tanggungjawab
kepada Allah swt. Oleh karena itu Imam Al-Ghazali menegaskan bahwa tafakur adalah
menghadirkan dua macam pengetahuan di dalam hati untuk merangsang timbulnya
pengetahuan yang ketiga. Kekeliruan pengetahuan atau tingkat keilmuannya kurang memadai
pada seseorang dapat menyesatkannya atau tafakurnya adalah suatu kesia-siaan. Seseorang
yang tidak memiliki pengetahuan tentang sifat-sifat Allah akan kesulitan dalam menafsirkan
beberapa kejadian alam semesta. Tafakur dasarnya adalah ilmu sehingga Islam menganjurkan
untuk terus menerus mencari ilmu sebagai bahan tafakurnya.

Fase-fase dalam bertafakur


Menurut Badri (1989) perwujudan tafakur melalui 4 fase yang saling berkait yaitu: 1.
Pengetahuan awal yang didapat dari persepsi empiris langsung yaitu melalui alat pendengaran,
alat raba, atau alat indera lanilla. 2. Tadhawuk artinya pengungkapan rasa kekaguman terhadap
ciptaan atau susunan alam yang indah dari apa yang dilihat atau didengar. 3. Penghubung
antara perasaan kekaguman akan keindahan dengan pencipta yang Maha Agung. 4. Syuhud
artinya seseorang yang bertafakur, hatinya terbuka untuk menyaksikan keagungan Allah dan
dia bersaksi bahwa Dialah yang memberi segala kebaikan. Pada fase ini setiapkali pandangan
tertuju pada makhluk Allah, yang dilihatnya adalah pencipta-Nya dan segala sifat keagungan-
Nya.

3. Tazkiyat An-Nafs

dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu
(jalan) kefasikan dan ketakwaannya. sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa
itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya (QS. Asy-Syams [91]: 7-10).

Secara harfiyah (etimologi) Tazkiyat An-Nafs terdiri atas dua kata, yaitu tazkiyat dan an-nafs.
Kata tazkiat, berasal dari bahasa Arab, yakni isim mashdar dari kata zakka yang berarti
penyucian (Maaluf dalam Solihin, 2003: 130). Kata an-nafs berarti jiwa dalam arti psikis.
Dengan begitu dapat diketahui Tazkiyat An-Nafs bermakna penyucian jiwa . Tazkiyat An-Nafs
(membersihkan jiwa) merupakan salah satu tugas yang diemban Rasulullah saw . Perihal
tersebut dapat dilihat dalam QS Al-Jumuah [62]: 2. Muhammad Ath-Thakhisi berpendapat,
Tazkiyat An-Nafs adalah mengeluarkan jiwa dari ikatan-ikatan hawa nafsu, riya, dan nifaq,
sehingga jiwa menjadi bersih, penuh cahaya, dan petunjuk menuju keridhaan Allah (Ath-
Thakhisi dalam Solihin, 2003: 131). Sedang menurut Al-Ghazali dalam Solihin, (2003: 133),
Tazkiyat An-Nafs pada intinya diorientasikan pada arti takhliyat an-nafs (pengosongan jiwa dari
sifat tercela) dan tahliyat an-nafs (penghiasan jiwa dengan sifat terpuji) Achmad Mubarok
(2002: 200) memaparkan, para mufasir berbeda pandangan tentang makna tazkiyat an-nafs,
antara lain sebagai berikut: o Tazkiyah dalam arti para Rasul mengajarkan kepada manusia,
sesuatu yang jika dipatuhi, akan menyebabkan jiwa mereka tersucikan dengannya. o Tazkiyah
dalam arti menyucikan manusia dari syirik dan sifat rendah lainnya.

4. Dzikrullah
Istilah zikr berasaldari bahasa Arab, yang berarti mengisyaratkan, mengagungkan, menyebut
atau mengingat-ingat (Munawir dalam Solihin, 2004: 85). Berzikir kepada Allah berarti zikrullah,
atau mengingatkan diri kepada Allah sebagai Tuhan yang disembah dengan sebaik-baiknya,
Tuhan Maha Agung dan Maha suci (Al-Jilani, 2003: 97). Dzikrullah, adalah tuntunan masalah
ruhiyah atau yang berhubungan dengan masalah pengalaman ruhiyah (batin) Al-Quran
mengisyaratkan tentang dzikrullah, Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat
(pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku
(QS. Al-Baqarah [2]: 152. Menurut Yunasril Ali (2002: 145), ingat kepada Allah (dzikrullah)
setidaknya melibatkan tiga unsur, yakni yang ingat (subyek), yang diingat (obyek) dan aktivitas
pengingat. Berikut penjelasannya:
1. Dzakir (orang yang ingat), yakni pelaku zikir. Segenap orang yang beriman dituntut oleh Allah
untuk ingat sebanyak-banyaknya kepada-Nya (lihat QS. Al-Ahzab [33:41). Sebaliknya jika ia lupa,
maka ia akan lupa pada dirinya sendiri. (lihat QS. Thaha [20]:124 dan QS. Al-Hasyr [59]: 19).
2. Madzkur (Tuhan yang diingat). Kerinduan dan ingatan pada level tertinggi yang biasa disebut
mahabbah Allah swt. Ingat kepada Allah swt setiap saat didasarkan atas pandangan kalbu
(marifah atau musyahadah). Hal ini berdasarkan QS Al-Baqarah [2]: 115.
3. Dzikr (aktivitas zikir) itu sendiri. Meliputi berbagai bentuk. Ada yang berbentuk lisan dalam
menyebut asma Allah (dzikir lisan atau dzir jahri atau dzikr jali) ada pula yang berbentuk
aktivitas kalbu dalam mengingat Allah (dzikr qalbi atau dzikir sirri atau dzikir khafi)

Penutup
Dari penjabaran di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa kerangka berpikir irfani merupakan
salah satu jalan sufistik yang ditempuh para sufi dalam mencapai pengenalan kepada Allah swt
secara total (marifatullah) sebagai hamba-Nya. Di dalam pengembaraan para salik (penempuh
tasawuf) tersebut, mereka mesti melalui tahapan-tahapan maqam (maqamat) seperti taubat,
zuhud, faqr, sabar, syukur, tawakal, dan ridha.

Setelah para salik berhasil menempuh tingkatan maqam, mereka berada pada kondisi al hal
(ahwal). Pada kondisi ini mereka akan dengan mudah mengalami hal-hal secara bertahap sesuai
dengan kemampuan dan mujahadah mereka masing-masing. Adapun hal-hal tersebut adalah
muhasabah, muraqabah, hubb, raja, khauf, syauq, dan uns.

Segala penempuhan di dalam maqamat dan ahwal untuk mencapai derajat hamba yang hakiki
di sisi Allah swt. tersebut tidak akan diperoleh secara sempurna jika dilakukan tanpa pedoman
dan bimbingan tertentu. Pedoman tersebut digunakan sebagai metode penempuhan para sufi
yakni metode irfani. Metode irfani merupakan salah satu metode sufistik yang telah digali oleh
para arifin (ulama tasawuf) dari sumber ajaran Islam, yakni Al-Quran dan Sunnah Rasul saw.

Dengan begitu, jelaslah sudah bahwa kerangka berpikir irfani melalui falsafi maqamat dan
ahwalnya menjadi dasar amalan para salik di dalam memahami esensi (hakikat) nilai-nilai
penghambaan diri kepada sang Maha dahsyat. Selain itu, kerangka berpikir irfani ini, tidak
semata dikhususkan bagi para salik atau sufi, melainkan pula kepada kaum muslimin yang
menginginkan ketenangan secara lahir dan batin, dan tentunya disertai dengan pedoman dan
bimbingan guru munsyid.

REFERENSI

Abdul Fattah Sayyid Ahmad, DR., Tasawuf: antara Al-Ghazali dan Ibnu Taimiyah, Jakarta:
Khalifa, 2000.

Abdul Qadir al-Jilani, Syekh, Rahasia Sufi, Yogyakarta: Pustaka Sufi, 2003.

Achmad Mubarok, Sunatullah dalam Jiwa Manusia: Sebuah Pendekatan Psikologi Islam,
Jakarta: The International Institute of Islamic Thought (IIIT) Indonesia, 2003.

Amin Syukur, Zuhud di Abad Modern, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997.

C.Ramli Bihar Anwar, Bertasawuf Tanpa Tarekat: Aura Tasawuf Positif, Jakarta: Penerbit IIMAN
bekerjasama dengan Penerbit HIKMAH, 2002

Fathullah Gulen, Kunci-Kunci Rahasia Sufi, Jakarta: Srigunting, 2001.

http://www.cybermq.com

http://www.dakwatuna.com/

http://www.dzikrullah.com/

Ibnu Rajab Al-Hambali, Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Imam Al-Ghazali, Tazkiyatun Nafs: Konsep
Penyucian Jiwa Menurut Ulama Salafusshalih, Solo: Pustaka Arafah, 2005.

Michael A. Sells, Prof., Terbakar Cinta Tuhan: Kajian Eksklusif Spiritualitas Islam Awal, Bandung:
Mizan, 2004.

Mukhtar Solihin, Tasawuf Tematik: Membedah Tema-tema Penting Tasawuf, Bandung: CV


Pustaka Setia, 2003.

Mukhtar Solihin, Terapi Sufistik: Penyembuhan Penyakit Kejiwaan Perspektif Tasawuf, Bandung:
CV Pustaka Setia, 2004.
Rivay Siregar, Prof. H. A., Tasawuf: Dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme, Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2002

Rosihan Anwar dan Mukhtar Solihin, Ilmu Tasawuf, Bandung: CV.Pustaka Setia, 2000.

Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya dalam Islam, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1997.

Syamsun Niam, Cinta Ilahi: Perspektif Rabiah al-Adawiyah dan Jalaluddin Rumi, Surabaya:
Risalah Gusti, 2001.

Syayid Abi Bakar Ibnu Muh. Syatha, Missi Suci Para Sufi, Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2003

www.bicarasufi.com

Yunasril Ali, Jalan Kearifan Sufi: Tasawuf sebagai Terapi Derita Manusia, Jakarta: PT Serambi
Ilmu Semesta, 2002.

Sumber:
http://www.sisyat86inspiriete.blogspot.com/2008/04/kerangka-berpikir-irfani-dasar-
dasar.html

Anda mungkin juga menyukai