Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

ASWAJA AN-NAHDLIYAH

DOKTRIN TASAWUF

Dosen Pengampu: Agus Zainudin M.Pd.I

Oleh :

 Ahmad Sainuril Safi'I 1903402081016

MATA KULIAH UMUM

UNIVERSITAS ISLAM JEMBER

2020/2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur Alhamdulillah penulis haturkan kehadirat Allah SWT yang


telah melimpahkan rahmat, taufiq dan hidayah-nya kepada kami, sehingga kami
dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul Doktrin Tasawuf Sebagai Paham
ASWAJA. Makalah ini disusun dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah
ASWAJA AN-NAHDLIYAH.
Sholawat serta salam senantiasa kami haturkan kepada Nabi Muhammad
SAW, seluruh keluarga, sahabat, serta orang-orang yang mengikuti jejak beliau,
semoga kita mendapat syafaat dari beliau, amin.
Dalam menyusun makalah ini, penulis banyak memperoleh bantuan serta
bimbingan dari berbagi pihak. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terima
kasih kepada:
1- Bapak Agus Zainudin M.Pd.I selaku dosen mata kuliah ASWAJA AN-
NAHDLIYAH.
Penulis menyadari bahwa pada penulisan makalah ini masih banyak
terdapat Kekurangan dan kesalahan serta masih jauh dari kesempurnaan. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun dari berbagai pihak sangat
penulis harapkan.
Penulis berharap semoga makalah yang berjudul Sumber-sumber Ajaran
Islam Sebagai Paham ASWAJA. Ini dapat bermanfaat khususnya bagi diri kami
pribadi dan bagi pembaca pada umumnya.
Jember,27 Oktober
2019

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan Penulisan
BAB II PEMBAHASAN
2.1 At-Taubah
2.2 Az-Zuhud
2.3 Al-Wara’
2.4 At-Tawadu
2.5 Al-Muraqabah
2.6 Ad-Dzikru
2.7 Al-Istiqamah
BAB III. PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

Latar belakang

Faham ahlussunnah wal jamaah meliputi tiga ruang lingkup yaitu : lingkup aqidah
ibadah dan akhlaq. Selanjutnya, untuk membedakan lingkup-limgkup lain, perlu ditegaskan
dengan menyebut masing masingnya menjadi akidah ahlussunnah wal jamaah, ibadah (fiqih)
ahlussunnah wal jamaah dan akhlak (tasawuf) ahlussunnah wal jamaah. Tasawuf merupakan
ungkapan pengalaman keagamaan yang bersifat subjektif dari seseorang dalam menanggapi
mendekatkan diri kepada Allah dengan menitikberatkan pada aspek pemikiran dan perasaan.
Bahkan tasawuf banyak juga menyinggung akan penyatuan diri dengan Tuhan serta
menjalankan konsep zuhud di dunia. Akan tetapi Secara umum dapat dikatakan bahwa
tasawuf itu merupakan usaha akal manusia untuk memahami realitas dan akan merasa senang
manakala dapat sampai kepada Allah SWT.
Untuk mencapai derajat kemuliaan menjadi kekasih Allah (waliyullah), dalam dunia
sufi dikenal istilah taraqi, yaitu jalan yang ditempuh dalam melaksanakan suatu ibadat.
Tazkiyah an-nafs dalam Tasawuf sering dikaitkan dengan penyucian jiwa, pembersihan hati,
penjernihan dan pembenihan hati, serta penyelerasan hubungan antara manusia dan
Tuhannya. Dalam tasawuf, tazkiyah an-nafs merupakan suatu metode untuk bertaqarrub atau
mendekatkan diri kepada Tuhan dengan melalui proses dan latihan-latihan tertentu. Tazkiyah
an-nafs adalah proses beralihnya jiwa yang kotor, ternoda dan tercemar menjadi jiwa yng suci
lagi menyucikan; keadaan beralihnya yang tidak menurut syari’at pada keadaan yang
menempati syari’at, dari hati yang kafir menjadi hati yang mukmin, dari munafik menuju
sifat jujur, amanah dan fatanah, kebakhilan bertukar pada pemurah, sifat dendam berganti
dengan pemaaf, tawadhu’ dan tawakkal. Ajaran-ajaran sufi mengandung proses, cara, dan
aplikasi nilai yang bertujuan membersihkan diri serta zahir maupun batin. Para sufi
menyebutnya sebagai al-maqamat dan ahwal. Untuk itu sangatlah penting mempelajari
berbagai tahapan, dan istilah dalam tasawuf.

Rumusan masalah

1. Apa yang dimaksud At-Taubah ?


2. Apa yang dimaksud Az-Zuhud?
3. Apa yang dimaksud Al-Wara’?
4. Apa yang dimaksud At-Tawadu?
5. Apa yang dimaksud Al-Muraqabah?
6. Apa yang dimaksud Ad-Dzikru?
7. Apa yang dimaksud Al-Istiqamah?

Tujuan penulisan
1. Mengetahui tentang At-Taubah
2. Mengetahui tentang Az-Zuhud
3. Mengetahui tentang Al-Wara’
4. Mengetahui tentang At-Tawadu
5. Mengetahui tentang Al-Muraqabah
6. Mengetahui tentang Ad-Dzikru
7. Mengetahui tentang Al-Istiqamah
BAB II

PEMBAHASAN

A. At-Taubah

Secara etimologi taubat adalah kembali, meminta pengampunan. Dalam perspektif


sufistik, taubat dimaknai sebagai kembali dari segala perbuatan tercela menuju perbuatan
terpuji sesuai dengan ketentuan agama. Taubat adalah kembali menuju kebenaran, perubahan
hati, juga berarti penyesalan. Menurut Al-Qusyairi, taubat adalah kembali dari sesuatu yang
dicela oleh syara’menuju hal-hal yang dipuji syara’.
Menurut para ahli sufi, apabila seseorang masuk dalam pintu tasawuf, maka ia harus
berusaha mensucikan dirinya dari segala dosa yang mengotori tubuh dan jiwanya. Jalan yang
ditempuh untuk menghapus dosa tersebut adalah dengan bertaubat. Taubat yang dimaksud
sufi adalah taubat yang sebenar-benarnya, yang tidak akan membawa dosa lagi.
Imam Al-Qusyairi menerangkan bahwa suatu taubat dapat dipandang sah jika memneuhi tiga
syarat, yaitu:
a. Menyesali perbuatan maksiat yang telah dilakukan
b. Meninggalkan perbuatan maksiat itu
c. Bertekad tidak akan mengulangi perbuatan maksiat itu.
Kebanyakan sufi menjadikan taubat sebagai perhatian awal di jalan menuju Allah.
Pada tingkat terendah, taubat menyangkut dosa yang dilakukan jasad atau anggota-anggota
badan. Sementara itu pada tingkat menengah, disamping menyangkut dosa yang dilakukan
jasad, taubat menyangku pula pangkal dosa-dosa, seperti dengki, sombong, dan ria. Pada
tingkat yang lebih tnggi, taubat menyangkut usaha menjauhkan bujukan setan dan
menyadarkan jiwa akan rasa bersalah. Pada tingkat akhir, taubat berarti penyelesaian atas
kelengkapan pikuran dalam mengingat Allah. Taubat dalam tingkat ini adalah penolakan
terhadap segala sesuatuu yang dapat memalingkan dari jalan Allah.
Taubat merupakan dasar bagi setiap maqam yang dicapai oleh seorang hamba hingga
matinya. Maka sebagainya orang yang tidak memiliki tanah, tentu ia tidak memiliki
bangunan ruamh, demikian juga orang yang tidak bertaubat, niscaya dia tidak memiliki
maqam. Taubat hendaknya dilakukan dengan istiqomah, karena apabila taubat bengkok,
maka kebengkokkan itu dapat menarik terhadap setiap maqam sesudahnya, dalam arti maqam
tersebut akan ikut bengkok. Kemudian bangunan-bangunan maqam yang dihasilkannya pun
akan menjadi lemah.
B. Az-Zuhud
Zuhud merupakan maqam yang terpenting bagi setiap calon sufi. Zuhud yaitu keadaan
meninggalkan dunia dan hidup kemateriaan. Sebelum menjadi seorang sufi, seorang calon
harus terlebih dulu menjadi seorang zahid, yang dalam istilah Inggris ascetic. Zuhud atau
asketisme secara etimologi, berasal dari kata zahada, artinya raghiba ‘anhu wa taraka (benci
dan meninggalkan sesuatu).
Secara terminologi, ialah menjauhkan diri dari segala sesuatu yan berkaitan dengan
dunia. Zuhud merupakan pendekatan penting dalam tahap awal perjalanan spiritual, namun
tidak dianjurkan bagi seseorang yang hendak mencapai kesempurnaan. Aebab, asketisme ini
mengabaikan sebab-sebab sekunder, padahal melalui sebab-sebab sekunder inilah manusia
mendapatkan mpengetahuan tentang Allah. Zuhud tidak berarti penolakan secara mutlak
terhadap dunia. Apa yang ditekankan dalam kehidupan zuhud adalah melepaskan diri atau
mengosongkan hati dari pengaruh dunia yang dapat membuat orang lupa kepada Allah.
Menurut Prof. Dr. H. M. Amin Syukur, M.A. bahwa secara terminologi zuhud tidak
dapat dilepaskan dari dua hal. Pertama, zuhud sebagai bagian tidak terpisahkan dari tasawuf.
Kedua,zuhud sebagai moral (akhlak) di luar Islam dan gerakan protes. Apabila tasawuf
diartikan adanya kesadaran dan komunikasi langsung antara manusia dan Tuhan sebagai
perwujudan ihsan maka zuhud merupakan suatu maqam menuju tercapainnya penjumpaan
atau ma’rifat kepada-Nya.
Dilihat dari maksudnya, zuhud terbagi menjadi tiga tingkatan. Pertama (terendah),
menjuhkan dunia ini agar terhindar dari hukuman di akhirat. Kedua, menjauhi dunia dengan
menimbang imbalan di akhirat. Ketiga, mengucilkan dunia bukan karena takut atau karena
berharap, tetapi karena cinta kepada Allah. Orang yang berada pada tingkat tertinggi ini akan
memandang segala sessuatu, kecuali Allah tidak mempunyai arti apa-apa.
Ciri-ciri zahid, diantaranya:
a. Tidak merasa bangga terhadap sesuatu yang ada padanya dan tidak pula merasa sedih
dikala kehilangan nikmat itu ditangannya.
b. Tidak merasa gembira dan bangga mendengar pujian orang dan tidak pula merasa sedih
atau marah jika mendapat celaan orang.
c. Selalu mengutamakan cintanya keapda Allah dan mengurangi cintanya kepada dunia.

C. Al-Wara’
Secata harfiah, al-wara’ berarti menjauhi dosa, lemah, lunak hati, dan penakut. Dalam
pengertian sufi, al-wara’ adalah meninggalkan segala yang di dalamnya terdapat keragu-
raguan antara halal dan haram. Wara’ adalah meninggalkan segala hal yang syubhat, yakni
menjauhi atau meninggalkan segala hal yang belum jelas halal dan haramnya, yakni laku
mujahadah untuk hidup mencari yang halal, takut terjerumus ke dalam hal yang haram. Oleh
karena itu orang yang wara; akan menjauhi setiap hal yang masih samar-samar atau syubhat.
Dalam tasawuf, wara’ merupakan langkah kedua sesudah taubat, dan disamping
merupakan pembinaan mentalitas (akhlak) juga merupakan tangga awal untuk membersihkan
hati dari ikatan keduniaan. Wara’ dibagi menjadi tiga tingkatan:
1. Menghindari syubhat, lantaran khawatir terperosok dalam lembah yang padat dengan
keharaman dan mempersedikit makan-makanan yang haal lantaran khawatir merisaukan
ibadahnya.
2. Menyisihkan diri dari hal-hal yang merisaukan fikiran dan berupaya mengelak dari fikiran
yang melayang, memikir yang bukan apa-apa.
3. Menghindari diri dari hal-hal yang menghambar zikir kepada Allah baik fikiran yang
melayang atau kenangan duniawi.

D. At-Tawadu
Pengertian Tawadhu’ adalah rendah hati, tidak sombong. Pengertian yang lebih dalam
adalah kalau kita tidak melihat diri kita memiliki nilai lebih dibandingkan hamba Allah yang
lainnya. Orang yang tawadhu’ adalah orang menyadari bahwa semua kenikmatan yang
didapatnya bersumber dari Allah SWT. Yang dengan pemahamannya tersebut maka tidak
pernah terbersitsedikitpun dalam hatinya kesombongan dan merasa lebih baik dari orang lain,
tidak merasa bangga dengan potrensi dan prestasi yang sudah dicapainya. Ia tetap rendah diri
dan selalu menjaga hati dan niat segala amal shalehnya dari segala sesuatu selain Allah.
Tetap menjaga keikhlasan amal ibadahnya hanya karena Allah.
Ibnu Quddamah rahimahullah mengatakan dalam pembahasannya tentang tawadhu':
'Ketahuilah, sesungguhnya makhluk ini sama seperti makhluk lainnya, mempunyai dua sisi
dan pertengahan: maka sisinya yang cenderung berlebihan dinamakan sombong, dan sisi
lainnya yang cenderung kepada kekurangan dan kerendahan disebut kehinaan, dan
pertengahan dinamakan tawadhu' dan itulah yang terpuji yaitu merendahkan diri tanpa
menghinakan diri. Ibnu al-Atsir rahimahullah berkata: maksud beliau adalah tawadhu' dan
merendahkan diri, dan agar beliau tidak termasuk orang-orang sombong yang congkak.
Khalifah Umar r.a mendidik para penjabatnya agar bersifat rendah hati terhadap rakyat dan
melarang mereka menghinakan manusia, sebagaimana dia r.a mengajarkan kepada manusia
tentang hak mereka agar mereka hidup secara mulia.
Fudhail bin ‘Iyadh rahimahulawlah mendefinisikan tawadhu’ dengan katanya: yaitu
merendahkan diri terhadap kebenaran, tunduk kepadanya, dan menerimanya dari orang yang
mengatakannya.’ Tunduk terhadap kebenaran adalah kemuliaan yang sebenarnya, karena ia
adalah taat kepada Allah SWT, kembali kepada kebenaran, dan membiasakan diri agar tidak
terus-menerus di atas kebatilan Termasuk sifat tawadhu adalah mengakui kesalahan dan
menerima permohonan maaf dari orang lain. Merendahkan diri termasuk sifat orang yang
maju untuk memimpin manusia. Termasuk tawadhu adalah tunduk terhadap kebenaran dan
mematuhinya. Termasuk yang membantu sifat tawadhu adalah mengingat asal kejadian
manusia. Sifat tawadhu yang paling agung adalah saat berada di puncak kekuatan dan
kemenangan. Termasuk yang membantu bersifat tawadhu adalah mengingat pahala tawadhu
dan ancaman dosa terhadap orang-orang yang sombong. Cukuplah sebagai kemuliaan orang
yang tawadhu adalah kecintaan hamba-hamba Allah SWT kepadanya dan Allah SWT
meninggikan derajatnya.
E. Al-Muraqabah
Arti dari "muraqabah" adalah: meletakkan sesuatu di bawah perhatian, penantian,
pengawasan, dan hidup di bawah perasaan sedang diawasi. Bagi para sufi, muraqabah adalah:
Bertawajuh kepada Allah dengan sepenuh hati, melalui pemutusan hubungan dengan segala
yang selain Allah s.w.t.; menjalani hidup dengan mengekang nafsu dari hal-hal terlarang; dan
mengatur kehidupan di bawah cahaya perintah Allah dengan penuh keimanan bahwa
pengetahuan Allah selalu meliputi segala sesuatu. Dengan penjelasannya yang gamblang, al-
Qur`an mengingatkan kita mengenai realitas ini seperti yang termaktub dalam ayat: "Kamu
tidak berada dalam suatu keadaan dan tidak membaca suatu ayat dari Al Qur'an dan kamu
tidak mengerjakan suatu pekerjaan, melainkan Kami menjadi saksi atasmu di waktu kamu
melakukannya." (QS. Yunus [10]: 61).
Sesungguhnya awal dan tahapan pertama dari muraqabah adalah: tercapainya
keyakinan bahwa Allah selalu hadir, memandang, dan melihat semua keadaan kita, dengan
penyerahan hati kepada kehendak dan keinginan-Nya, mengutamakan keinginan-Nya di atas
keinginan kita, dan dengan mengembara di dalam cakrawala ayat: "Dan adalah Allah Maha
Mengawasi segala sesuatu." (QS. al-Ahzâb [33]: 52). Tahapan kedua dari muraqabah adalah:
sang salik bertawajuh kepada Allah dengan hati yang "hadir", sembari menunggu limpahan
anugerah Ilahi ke dalam hatinya dengan penuh kesabaran, keteguhan, dan mawas diri. Dalam
kondisi tawajuh seperti itu, tidak diperlukan mursyid, zikir, dan hubungan. Ketika semua ini
dapat bersijalin dengan adab-adab syariat, maka itu merupakan sesuatu yang sangat baik.
Adalah sama saja apakah di tahapan pertama atau kedua, ketika seorang salik mampu
bersikap teguh di jalan kebenaran dalam bentuk keselarasan antara dirinya dengan sifatnya
yang mampu merepresentasikan semangat ihsan yang dijelaskan oleh hadits Rasulullah
sebagai "Kau menyembah Allah seakan-akan kau melihat-Nya, kalau kau tidak melihat-Nya,
maka sesungguhnya Dia melihatmu."
Sesungguhnya elemen muraqabah yang terpenting adalah muhasabah -yang sudah
kami bahas di bagian khusus- yang berarti: upaya manusia untuk meneliti seluruh bagian jiwa
dan kesadarannya untuk mencari kesalahan dan dosa yang mungkin ada, serta mengerahkan
seluruh panca-indera demi memperoleh keteguhan hati. Melalui jalan muhasabah inilah
seorang individu dapat menemukan kebenaran di dalam hatinya untuk kemudian ia
impelementasikan ke dalam perilakunya. Sehingga kemudian ia akan dapat melihat dengan
sangat jelas rahasia dari ungkapan: "Mahasuci Dzat yang melihatku, mengetahui tempatku,
dan mendengar ucapanku." Individu semacam ini akan selalu merasakan dengan segenap
keadaan dirinya bahwa dirinya diawasi oleh ilmu dan kehendak Allah s.w.t., sehingga dia
akan senantiasa bersikap mawas diri. Di setiap saat ia akan selalu mencari segala yang
diinginkan dan diridhai Allah s.w.t.
F. Ad-Dzikru
Ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi menyebut kata dzikr dalam beragam
makna. Kadang dzikr (dzikir) diartikan sebagai al-Qur’an, sebagaimana terekam dalam al-
Qur’an: “Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan adz-Dzikr, dan sesungguhnya Kami
benar-benar menjaganya.” (al-Hijr: 9). Kadang yang dimaksudkan adalah shalat Jumat,
sebagaimana tertera dalam al-Qur’an:“Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk
menunaikan sembahyang pada hari Jumat, maka bersegeralah kalian menuju dzikr kepada
Allah.” (al-Jumu‘ah: 9). Kadang dzikr diartikan sebagai ilmu, sebagaimana terekam dalam al-
Qur’an: “Maka bertanyalah kepada ahli dzikr (orang-orang yang berilmu), jika kalian tiada
mengerti.” (al-Anbiya’: 7).
Dan dalam mayoritas teks, kata dzikr dimaksudkan sebagai tasbih, tahlil, takbir dan
shalawat kepada Nabi. Allah berfirman: “Apabila kalian telah menyelesaikan shalat, maka
berdzikirlah kalian kepada Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring.”
(an-Nisa’: 103). Dia juga berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kalian
memerangi pasukan (musuh), maka berteguh hatilah kalian dan sebutlah (yakni: berdzikirlah
dengan menyebut) (nama) Allah sebanyak-banyaknya.” (al-Anfal: 45). Sebutlah (yakni:
berdzikirlah dengan menyebut) nama Tuhanmu, dan beribadahlah kepada-Nya dengan penuh
ketekunan.” (al-Muzzammil: 8).
Diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda: “Allah telah berfirman:
(‫ي َﻣ َﻊ أَنَا‬
ْ ‫َﺖ َو ذَك ََرنِ ْي ه َُو ِإذَا َع ْب ِد‬
ْ ‫شفَتَاهُ ِﺑ ْي ﺗ َ َﺤ ﱠرك‬
َ ) “Aku bersama hamba-Ku selama dia berdzikir kepada-
Ku dan kedua bibirnya bergerak menyebut-Ku.” (H.R. Ibnu Majah, Ibnu Hibban, Ahmad, dan
al-Hakim). Diriwayatkan dari ‘Abdullah ibn Bisr bahwa seorang laki-laki berkata:
‫اﻹس َْﻼ ِم ش ََرائِ َﻊ‬ ‫ﱠث ﺑِ َﺸ ْيءٍ ﻓَﺄ َ ْﺧبِ ْرنِي َعﻠَ ﱠ‬
ْ ‫ي َكث ُ َر‬
ِ ْ ْ‫ت ﻗَد‬ ُ ‫ﺸب‬ ْ ‫إِ ﱠن ﷲِ ِذ ْك ِر ِﻣ ْﻦ َر‬
َ َ ‫طبًا ِﻟ َﺴانُﻚَ يَزَ ا ُل َﻻ ﻗَا َل ﺑِ ِه أَﺗ‬
“Ya Rasulullah, sesungguhnya syariat-syariat Islam itu terlalu banyak bagiku. Maka
beritahukanlah kepadaku sesuatu yang aku dapat berpegang teguh dengannya.” Beliau
menjawab: “Selama lisanmu masih basah menyebut Allah.” (H.R. Tirmidzi, 3297, Hadits
Ḥasan Gharīb; namun Syaikh al-Albani men-shaḥīh-kannya).
Sebagian ahli tafsir berkata: “Yang dimaksud dari dzikir adalah ilmu tentang yang
halal dan yang haram.” Jawaban dari pernyataan ini adalah bahwa lafal dzikr adalah lafal
musytarak (memiliki lebih dari satu makna), mencakup ilmu, shalat, al-Qur’an dan dzikir
kepada Allah. Tetapi yang dijadikan sebagai patokan dalam lafal musytarak adalah makna
yang paling banyak digunakan berdasarkan kebiasaan. Sedangkan makna selain itu harus
disertai dengan petunjuk keadaan atau lafal. Lafal dzikr paling banyak digunakan dalam arti
dzikir kepada Allah. Jarang sekali lafal ini dimaksudkan sebagai ilmu sebagaimana dalam
firman Allah: “Maka bertanyalah kalian kepada ahli dzikr (orang-orang yang berilmu).”
Maksud dari dzikir di sini adalah ilmu, karena adanya petunjuk, yaitu pertanyaan.

G. Al-Istiqamah
Istiqomah sebuah kata yang mudah diucapkan namun sulit untuk dibuktikan dan
dilaksanakan. Istiqomah adalah sebuah kata yang sering kita dengar namun sering juga kita
lupakan. Istiqomah adalah sebuah kata yang sering digunakan sebagai jastifikasi
(pembenaran) namun jarang untuk membuktikan kebenaran. Istiqomah adalah sebuah kata
yang sering meluncur tanpa sadar dari mulut-mulut/lisan-lisan insan yang terdesak beban
himpitan kehidupan. Dan masih banyak lagi yang tak dapat dituliskan di sini, penggunaan
kata istiqomah dalam kehidupan sehari-hari.
Dari uraian beberapa penggal ayat suci Al Qur'an dan Hadits di atas, menunjukkan
bahwa kata istiqomah (keteguhan pendirian) nampaknya serumpun dengan kata mustaqiim
(lurus/benar). Kata Istiqomah dalam khazanah istilah tasawuf (sufi) mengandung makna
keteguhan. Istiqomah adalah keteguhan spiritual (pencerahan ruhani) di hadapan seluruh
peristiwa, baik manifestasi Keindahan Ilahi (Jamal) atau Keagungan Ilahi (Jalal). Keindahan
(al-jamal) terdiri atas sifat rahmat dan kemurahan (althaf; ingat ayat "walyatalaththaf"=esensi
lembut dan halus (pusat) dalam (tubuh) ruhani; Q.S.Al Kahfi, 18 : 19) dari kehadiran Ilahi.
Keindahan (Jamal) adalah lawan dari Keagungan (Jalal).Sedangkan Kesempurnaan (Kamal)
mencakup semua hal yang berlawanan. Ketika hati diliputi oleh Jamal, maka keakraban
(Uns)pun dialami.Adapun Keagungan Ilahi (Jalal) menunjukkan Ketakterbandingan Allah
SWT (Tanzih).Sifat-sifat Keagungan-Nya meliputi transendensi, ketakterjangkauan,
Keagungan, dan Kebesaran-Nya.Kehebatan (haybah)terjadi manakala hati diliputi oleh Jalal.
Dari definisi di atas, menyiratkan bahwa seseorang dapat dikatakan bersikap
istiqomah di dalam berjalan di jalan Allah SWT, manakala memiliki keteguhan (pendirian)
spiritual (kebenaran pencerahan ruhani) di hadapan Allah SWT ; artinya (Jamal x Jalal =
Kamal). Dalam bahasa lain seseorang yang berpegang teguh pada Cahaya (lurus/benar) Allah
SWT (atau yang senatiasa merawat nyala Cahaya diri ruhani-Nya), sehingga terjaga dari
keadaan bercerai berai (tetap dalam Kesempurnaan/Penyatuan/Tauhid Syuhuudi), dan berada
dalam jama'ah-Nya. Ia pun terjaga dalam beriman pada Allah SWT secara kontinyu. Karena
hakikatnya "Istiqomah itu lebih baik dari seribu karomah (karoma=kemuliaan); (Al
istiqoomatu khoirun min alfin karoomatin) (AL Hadits).
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Ahlussunnah wal jamaah mengikuti wacana akhlak (tasawuf), di dalam tasawuf


terdapat beberapa istilah, maqam, dan tingkatan. Yaitu seperti at-taubah, az-zuhud, al-wara,
at-tawadu, al-muraqabah, ad-dzikru dan al-istiqamah. Taubat adalah kembali menuju
kebenaran, perubahan hati, juga berarti penyesalan. Menurut Al-Qusyairi, taubat adalah
kembali dari sesuatu yang dicela oleh syara’menuju hal-hal yang dipuji syara’. Zuhud yaitu
keadaan meninggalkan dunia dan hidup kemateriaan. Al-wara’ adalah meninggalkan segala
yang di dalamnya terdapat keragu-raguan antara halal dan haram. Tawadhu’ adalah rendah
hati, tidak sombong. Bagi para sufi, muraqabah adalah: Bertawajuh kepada Allah dengan
sepenuh hati, melalui pemutusan hubungan dengan segala yang selain Allah s.w.t.; menjalani
hidup dengan mengekang nafsu dari hal-hal terlarang; dan mengatur kehidupan di bawah
cahaya perintah Allah dengan penuh keimanan bahwa pengetahuan Allah selalu meliputi
segala sesuatu. dzikr adalah lafal musytarak (memiliki lebih dari satu makna), mencakup
ilmu, shalat, al-Qur’an dan dzikir kepada Allah. Istiqomah adalah keteguhan spiritual
(pencerahan ruhani) di hadapan seluruh peristiwa, baik manifestasi Keindahan Ilahi (Jamal)
atau Keagungan Ilahi (Jalal).

Saran

Mengingat tasawuf merupakan salah satu dari podasi ahlussunnah wal jamaah maka
mengetahui berbagai istilah, tingkat, dan tahapan dalam ilmu tasawuf sangat diperlukan agar
menjadi insan kamil yang dikehendaki oleh paham ahlussunnah wal jamaah. Istiqomah
adalah keteguhan spiritual (pencerahan ruhani) di hadapan seluruh peristiwa, baik manifestasi
Keindahan Ilahi (Jamal) atau Keagungan Ilahi (Jalal)
DAFTAR PUSTAKA
Amin, Samsul Munir. 2012. Ilmu Tasawuf. Jakarta: Amzah.
Hadi, Mukhtar. 2009. Memahami Ilmu Tasawuf. Yogyakarta, Aura Media.
Fahrudin. 2016. Tasawuf Sebagai Upaya Membersihkan Hati Guna Mencapai Kedekatan
Dengan Allah. Jurnal Pendidikaan Agama Islam-Ta’lim. Vol. 14 No. 1.
Alfan M. 2011. Psikologi Pendidikan. Bandung: Pustaka Setia.
http://hukumzone.blogspot.com/2014/02/maqamat-at-tawadhu-dalam-tasawuf.html?m=1
https://fgulen.com/id/karya-karya/tasawuf/49402-muraqabah
https://hatisenang-com.cdn.ampproject.org/v/s/hatisenang.com/arti-kata-
dzikir/amp/?amp_js_v=a3&amp_gsa=1&usqp=mq331AQFKAGwASA%3D#aoh=15873017
088500&referrer=https%3A%2F%2Fwww.google.com&amp_tf=Dari%20%251%24s&amps
hare=https%3A%2F%2Fhatisenang.com%2Farti-kata-dzikir%2F
http://tasawuftuntas.blogspot.com/2008/12/arti-sebuah-istiqomah.html?m=1

Anda mungkin juga menyukai