Anda di halaman 1dari 23

NAHDLATUL ULAMA DAN ASWAJA

MAKALAH

OLEH:
NISA QURROTA AYUNI (2240018007)
HAFIDA DEVIAN F. (2240018008)
IMMA RACHMAWATI (2240018009)

DOSEN PENGAMPU :IBU SITI MUNAWAROH

UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA SURABAYA


FAKULTAS KESEHATAN D4 ANALIS KESEHATAN
DAFTAR ISI

I. Cover ........................................................................................................
II. BAB I PENDAHULUAN........................................................................
A. Latar Belakang.....................................................................................
B. Rumusan Masalah..............................................................................
C. Tujuan Makalah..................................................................................

III. BAB II PEMBAHASAN..........................................................................

A. Pengertian dan Sejarah NU.....................................................................

B. Visi Misi, Tujuan, dan Nilai dasar Perjuangan NU................................

C. Tokoh-tokoh NU ....................................................................................

D. Beragam Peran NU ................................................................................

E. Usaha NU Dalam Mempertahankan dan Mengembangkan Aswaja

BAB III PENUTUP...............................................................................................

A. Kesimpulan.............................................................................................

Daftar Pustaka........................................................................................................
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Nahdatul ‘ulama sebagai organisasi keagamaan (Jam’iyah Islamiyah) besar, malah
mungkin “terbesar” dalam anggotanya di indonesia, sejak berdirinya pada tanggal 31
Januari 1926 M telah menyatakan diri sebagai organisasi Islam berhaluan “Ahlussunnah
wal Jama’ah”, yang dalam aqidah mengikuti aliran Asy’ariyah-Maturidiyah, dalam
syari’ah fiqih mengikuti salah satu madzab empat Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali,
dan dalam Tashawuf mengikuti AL-Junaidi dan Al-Ghazali. Disamping itu, dalam
mukhtamar NU di Situbondo 1994, dirumuskan watak dan karakter NU sebagai
organisasi (Jam’iyah) dan komunitas NU (Jama’ah), mempunyai sikap kemasyarakatan
dan budaya (sosio-kultural) yang Tawassuth (moderat), Tasamuh (toleran),
dan Tawazun (harmoni). Kepemimpinan NU selama ini dipercayakan kepada para Ulama
yang dipandang memiliki dimensi kepemimpinan yang memadai, yakni dimensi
kepemimpinan ilmiah, kepemimpinan sosial, kepemimpinan spiritual dan kepemimpinan
administratif. Organisasi NU ini sejak dulu mempunyai kepedulian terhadap kehidupan
bangsa dan negara (politik), dan partisipasinya dalam masalah berbangsa dan bernegara
tersebut telah diwujudkan dengan berbgai macam manifestasi politik, mulai dari gerakan
kebangsaan, perang merebut kemerdekaan, masuk dalam pemerintahan menjadi partai
politik dan aktifitas politik praktis lainnya. Sampai menjadi kekuatan moral bangsa yang
ikut mempengaruhi warna politik nasional. Semua sikap, prilaku dan kiprah, serta
perannya dalam semua hal tersebut ternyata tidak terlepas dari akar dan nilai-nilai
teologis ysng diyakini dan norma-norma syariah yang dijunjung tinggi, serta kesadaran
sepiritual/rohaniah yang dihayati, yakni keyakinan ahlussunnah wal jama’ah, serta
doktrin-doktrin dan metodologi pemahamannya. Visi kejam’iyahan dan kejama’ahan ini
kiranya tidak di ambil secara kebetulan, tetapi karena kesadaran dan pertimbangan
obyektif, bahwa NU didirikan untuk kemaslahatan bangsa indonesia yang dipluralistik
(majemuk) baik dalam keagamaan, kesukuan, kedaerahan maupun kebudayaannya. NU
merasa membawa missi keislamannya sebagai rahmat bagi kehidupan semesta (rahmatan
li al’alamin).

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengertian dan sejarah NU?
2. Apa visi, misi, tujuan dan nilai dasar perjuangan NU?
3. Siapakah tokoh-tokoh NU?
4. Apa saja ragam peran NU?
5. Bagaimana usaha NU dalam mempertahankan dan mengembangkan aswaja?
C. Tujuan Makalah
1. Untuk mengetahui pengertian dan sejarah NU.
2. Untuk mengetahui visi, misi, tujuan dan nilai dasar perjuangan NU.
3. Untuk mengetahui tokoh-tokoh NU.
4. Untuk mengetahui beragam peran NU.
5. Untuk mengetahui usaha NU dalam mempertahankan dan mengembangkan
aswaja.
BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Dan Sejarah NU

NU ( Nahdatul ‘ulama )  adalah Sebuah organisasi yang didirikan oleh para ulama’


pada tanggal 31 Januari 1926/ 26 Rajab 1344 H di Surabaya..
Organisasi ini berdiri dipicu oleh tindakan penguasa baru Arab Saudi berpaham wahabi
yang telah berlebih-lebihan dalam menerapkan progran pemurnian ajaran islam. Kala itu
pemerintahan, antara lain, menggusur petilasan sejarah islam, seperti makam beberapa
pahlawan islam dengan dalih mencegah kultus individu. Mereka juga melarang sesuatu
yang dianggap bid’ah seperti membaca al-barzanji yang dianggap sebagai kultus individu.
Pemerintah Arab Saudi juga melarang mazhab-mazhab selain mazhab wahabi, selain
pemerintah Arab Saudi ingin menjadi kekholifahan yang diakui eksistensinya secara
internasional oleh negara yang berpenduduknya beragama islam.Keadaan ini adalah salah
satu alasan berdirinya NU. Karena undangan itu sekiranya akan juga dihadiri oleh
beberapa organisasi di Indonesia, namun orang-orang yang “tradisional” ini tidak diberi
kesempatan untuk menyampaikan keberatan atas ide-ide wahabi mencoba untuk membuat
trobosan baru yaitu mendirikan “komite hijaz”. Komte hijaz ini kemudian berangkat
sendiri ke Arab untuk menyampaikan beberapa keberatan dan komite ini tidak ada
kaitannya dengan delegasi lain dari Indonesia. Setelah menyampaikan beberapa pesan
kepemerintah Arab Saudi mereka pulang dan kemudian komite ini dibakukan untuk
menjadi oraganisasi. Organisasi ini bergerak dalam bidang keagamaan dan
kemasyarakatan.Berdirinya organisasi NU ini merupakan salah satu fenomena yang luar
biasa. Sebab, didirikan oleh orang-orang yang dianggap kolot, tradisi tidak mempunyai
kemampuan dan kecerdasan berorganisasi. Organisasi ini sendiri sebenarnya tidak pernah
lepas dari tangan dingin seorang kiai yaitu K.H Hasyim Asy’ari. Jadi, antara kiai Hasyim
Asy’ari dengan NU seperti dua mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Sebab, NU ada
atas prakarsa beliau dan beliau adalah simbol dari NU. Hubungan NU dan K.H.Hasyim
Asy’ari ini digambarkan oleh Mas’ud sebagai Bapak Spiritual NU. Berdirinya NU yang
dibidangi oleh K.H.Hasyim Asy’ari dan K.H.Wahab Hasbullah tidak lepas dari pengaruh
K.H.Khalil dan juga K.H.As’ad Samsul Arifin. K.H.As’ad pada waktu berdirinya NU
masih bersetatus santri K.H.Khalil dan sekaligus mediator antara K.H.Hasyim dengan
gurunya dari Bangkalan. As’ad bercerita; berdirinya NU tidak seperti lazimnya
perkumpulan lain. Berdirinya NU tidak ditentukan olen perizinan dari bupati atau
gubernur, tapi langsung dari Allah Swt. Dan izin dari Allah itu juga ditempuh melalui
perjuangan para wali sembilan. Karena itu, didalam simbol NU terdapat bintang
berjumlah sembilan. Itu menandakan berdirinya NU tidak terlepas dari perjuangan para
wali sembilan.

B. Visi, Misi, Tujuan dan Nilai Dasar Perjuangan NU

Visi NU

Visi NU yaitu menjadikan wadah perjuangan ulama’ dan pengikutnya yang bergerak

dalam bidang agama dan sosial kemasyarakatan demi terwujudnya Khoiru Ummah.

Misi NU

Dalam bidang agama mengupayakan terlaksananya ajaran islam yang menganut faham
ahlussunnah wal jama’ah dan menurut salah satu mazhab empat dalam masyarakat dengan
melaksanakan dakwah amar ma’ruf nahi mungkar.

Dalam bidang edukatif, mengupayakan terwujudnya penyelenggaraan pendidikan dan


pengakaran serta pengembangan kebudayaan yang sesuai dengan ajaran islam. Untuk
membina umat muslim agar menjadi muslim yang taqwa, berbudi, luhur, berpengetahuan luas
dan terampil, serta berguna bagi agama bangsa dan negara.

Dalam bidang sosial, mengupayakan terwujudnya kesejahteraan lahir dan batin bagi
rakyat Indonesia.

Dalam bidang ekonomi, mengupayakan terwujudnya pembangunan ekonomi untuk


pemerataan, kesempatan, berusaha dan menikmati hasil-hasil pembangunan dengan
mengutamakan tumbuh berkembangnya ekonomi kerakyatan.

Dalam bidang usaha lain, mengembangkan usaha-usaha lain yang bermanfaat bagi
masyarakat banyak guna terwujudnya Khoiru Ummah.
Tujuan didirikannya NU ini diantaranya adalah : Memelihara, Melestarikan,
Mengembangkan dan Mengamalkan ajaran Islam Ahlu al-Sunnah Wal Jama’ah yang
manganut salah satu pola madzhab empat: Imam Hanafi, Imam Maliki,Imam Syafi’i dan
Imam Hanbali, Mempersatukan langkah para ulama dan pengikut-pengikutnya, dan
Melakukan kegiatan-kegiatan yang bertujuan untuk menciptakan kemaslahatan masyarakat,
kemajuan bangsa dan ketinggian harkat serta martabat manusia. Kendala utama yang
menghambat kemampuan umat melaksanakan amar ma’ruf nahi mungkar dan menegakkan
agama dan karena kemiskinan dan kelemahan dibidang ekonomi.

Di dalam Khittah Nahdlatul Ulama‟yang merupakan landasan berfikir, bersikap dan


bertindak warga NU, disebutkan bahwa khittah NU adalah faham Ahlussunnahwal Jama’ah
yang diterapkan menurut kondisi kemasyarakatan di Indonesia, meliputi dasardasar amal
keagamaan maupun kemasyarakatan, Khittah.

NU juga digali dari intisari perjalanan sejarah khidmahnya dari masa ke masa.16 Dasar-
dasar pendirian faham keagamaan NU tersebut menumbuhkan sikap kemasyarakatan yang
bercirikan pada pokok ajaran aswaja, dalam sikap kemasyarakatan, Khittah NU menjelaskan
4 prinsip nilai Asjawa yaitu terdiri dari:

1.) Sikap Tasamuh Tasamuh bearsal dari kata yang berarti toleransi.Tasamuh berarti
sikap tenggang rasa, saling menghormati dan saling menghargai sesama manusia
untuk melaksanakan hak-haknya.Pada hakikatnya sikap tasamuh telah dimiliki oleh
manusia sejak masih kanak-kanak, tetapi masih perlu untuk dibimbing.17 Sikap
tasamuh tersebut adalah toleran terhadap perbedaan pandangan baik dalam masalah
keagamaan, terutama hal-hal yang bersifat furu’ dan menjadi masalah khilafiyah,
serta dalam masalah kemasyarakatan dan kebudayaan.
2.) Amar Ma’ruf Nahi Munkar Secara harfiah Amar Ma’ruf Nahi munkar adalah
menyuruh kepada perbuatan yang baik dan melarang kepada perbuatan yang
mungkar. Secara etimologi ma’ruf berarti yang dikenal sedangkan munkar adalah
suatu yang tidak dikenal. Menurut pendapat Muhammad Abduh mendefinisikan
Ma’ruf berarti apa yang di kenal (baik) oleh akal sehat dan hati nurani. Sedangkan
Munkar adalah sesuatu yang tidak di kenal baik oleh akal maupun hati
nurani.22Pendapat dari Imam Al-Ghazali dalam kitabnya Ihya‟ Ulumuddin bahwa
aktivitas “amarma’ruf dan nahi munkar” adalah kutub terbesar dalam urusan agama.
Ia adalah sesuatu yang penting, dank arena misi itulah, maka Allah mengutus para
nabi dan rasul, dan jika “Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar” hilang maka syiar
kenabian hilang, agama menjadi rusak, kesesatan tersebar, kebodohan akan
merajalela, satu negeri akan binasa.Amar ma’ruf adalah ketika seseorang
memerintahkan orang lain untuk bertauhid kepada Allah menaati-Nya, bertaqarrub
kepada-Nya, berbuat baik kepada sesame manusia, sesuai dengan jalan fitrah dan
kemaslahatan. Munkar secara bahasa istilah adalah seluruh perkara yang diingkari,
dilarang, dan di cela, di cela pelakunya oleh syari‟at, maka termasuk ke dalam
bentuk maksiat dan bid‟ah. Dan merupakan perkara yang buruk, dan paling
buruknya adalah sifat syirik kepada Allah SWT, mengingkari keesaannya dalam
peribadahan atau ketuhanan-Nya, atau pada nama dan sifat-sifat-Nya.
3.) Sikap Tawasuth dan I’tidal Tawasuth adalah suatu langkah pengambilan jalan
tengah bagi dua kutub pemikiran yang ekstrem (tatharruf), misalnya antara
Qadariyyah dan Jabariyyah, antara skiptualisme ortodokos dengan rasionalisme
Mu‟tazilah dan antara Sufismesalafi dan Sufisme falsafi. Dalam pengambilan jalan
tengah ini juga disertai dengan sikap al-iqtishad (moderat) yang tetap memberikan
ruang dialog bagi para pemikir yang berbeda-beda.Sifat tengah yang berintikan
kepada prinsip hidup yang menjunjung tinggi keharusan berlaku adil dan lurus
ditengah-tengah kehidupan bersama.Dengan sikap dasar ini akan selalu bersikap
dan bertindak lurus dan selalu bersifat membangun serta menghindari segala bentuk
pendekatan yang bersifat tatharruf(ekstrim).Sikap ini merupakan kelanjutan dari
semangat toleransi dan berperan sebagai mediasi.
4.) Sikap Tawazun Tawazun adalah sikap seimbang dalam berkhidmah. Menyerasikan
khidmah kepada Allah SWT, khidmah kepada sesama manusia serta khidmah
kepada lingkungan hidupnya.Menyelaraskan kepentingan masa lalu, masa kini dan
masa mendatang.Dalam mengambil beragam keputusan, NU selalu mendasarkan
pada syura (musyaarah). Konsep ini mempertimbangkan aspek-aspek
keseimbangan dan kemaslahatan bersama (al-mashalih al-‘ammah).Ketika ada
perselisihan pendapat, yang harus dikedepankan adalah al-mujadalah billatihiya
ahsan (perdebatan rasional yang diorientasikan untuk kebaikan).Kata tawazun
diambil dari al-Waznu atau alMizan yang berarti penimbang.
C. Tokoh- Tokoh NU
1. K.H. Hasyim Asy’ari (1817-1947), Tebu Ireng Jombang,  Pendiri NU & rais
Akbar (1926-1947)
2. K.H. Bisri Syamsuri (1886-1980), Denayar Jombang, Pendiri NU, A’wan pertama
(1926) & Rais Aam (1971-1980).
3. K.H. Abdullah Wahab Chasbullah (1888-1971),Tambak Beras Jombang, Pendiri
NU, Katib pertama (1926) & Rais Aam (1947-1971).
4. K.H. Abdul Chamid Faqih, Sedayu Gresik, Pendidri NU & Pengusul nama NU
“Nuhudlul Ulama”.
5. K.H. Ridwan Abdullah (1884-1962), Surabaya, Pendiri NU & Pencipta lambang
NU
6. K.H. Abdul Halim, Leuwemunding Cirebon, Pendiri NU
7. K.H. Mas Alwi bin Abdul Aziz, Surabaya, Pendiri NU & pencipta nama NU
“Nahdlatul Ulama”.
8. K.H. Ma’shum (1870-1972), Lasem, Pendiri NU.
9. K.H. A Dachlan Achjad, Malang, Pendiri NU & Wakil Rais pertama (1926).
10. K.H. Nachrowi Thahir (1901-1980), Malang, Pendiri NU & A’wan pertama
(1926).
11. K.H. R Asnawi (1861-1959), Kudus, Pendiri NU & Mustasyar pertama (1926).
12. Syekh Ghanaim (tinggal di Surabaya, asal dari Mesir), Pendiri NU & Mustasyar
pertama (1926).
13. K.H. Abdullah Ubaid (1899-1938), Surabaya, Pendiri NU & A’wan pertama.

D. Beragam Peran NU

Peran Nahdlatul Ulama (NU) dalam Memperjuangkan Kemerdekaan Indonesia

1. Peran NU pada Masa Awal Pendirian


Dalam perjalanannya, NU memainkan peranan yang cukup besar bagi bangsa Indonesia.
Pada masa-masa awal setelah didirikan saja, NU sudah melakukan berbagai upaya untuk
memajukan masyarakat Indonesia. Salah satu upaya yang dilakukan adalah memajukan
bidang pendidikan dengan mendirikan banyak madrasah dan pesantren.

Metode pengajaran dan kurikulum yang digunakan sebagian besar merupakan perpaduan dari
pengetahuan agama dan pengetahuan umum. NU juga mendirikan Lembaga Ma’arif pada
tahun 1938 guna mengkoordinasi kerjasama dalam kegiatan pendidikan.
NU juga mulai mengembangkan perekonomian masyarakat dengan mendirikan koperasi pada
tahun 1929 di Surabaya.  Koperasi ini sangat berperan dalam penjualan barang dan
mengorganisis barter dalam masyarakat. Koperasi yang didirikan NU ini semakin
berkembang hingga akhirnya pada tahun 1937 jangkauannya semakin luas dan
dibentuklah Syirkah Mu’awanah.
2. Peran NU Masa Pemerintahan Jepang
Peran NU tidak berhenti sampai di situ, sejak kedatangan jepang, peran NU semakin
diperhitungkan. Jepang yang kala itu sedang membutuhkan basis massa untuk membantu
Jepang dalam Perang Pasifik, akhirnya Jepang melakukan mobilisasi terhadap rakyat
pedesaan di Indonesia. Sementara kaum ulama dan kiai diberikan jabatan resmi agar mau
membantu Jepang. Misalnya saja dengan menjadikan Hasyim Asy’ari sebagai
ketua Shumubu (Kepala Kantor Urusan Agama).
NU juga memainkan perannya dalam organisasi Masyumi bentukan Jepang. Sebagian besar
tokoh NU dijadikan pengurus, seperti Hasyim Asy’ari yang diangkat sebagai ketua pertama
Masyumi, dan juga Wahab Chasbullah yang diangkat sebagai Penasehat Dewan Pelaksana.
Selain itu puluhan ribu anggota NU juga dilatih secara militer dalam PETA (Pembela Tanah
Air).

Tokoh NU juga terlibat sebagai anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) sehingga terlibat
langsung dalam perumusan pernyataan kemerdekaan. Kebijakan Jepang tersebut mau tak
mau menarik sejumlah anggota NU ke ranah politik.

Peran dan Perjuangan Nahdlatul Ulama (NU) Masa Kemerdekaan (1945-1959)


1. Mengeluarkan Resolusi Jihad
Kegiatan politik NU semakin kental pada masa kemerdekaan. Hal ini ditunjukkan pada
Muktamar NU di Surabaya tanggal 22 Oktober 1945. Dalam muktamar tersebut, NU
mengeluarkan “Resolusi Jihad” yang menyatakan bahwa perjuangan untuk merdeka adalah
Perang Suci (jihad).

Resolusi ini berarti bahwa penolakan terhadap kembalinya kekuatan kolonial yang mengakui
kekuasaan suatu pemerintah republik baru sesuai dengan Islam. Resolusi jihad ini juga
terbukti dengan penentangan NU terhadap beberapa perjanjian dan konsesi diplomatic yang
diadakan pemerintah seperti Perjanjian Renville (1946), Perjanjian Linggarjati (1948) dan
juga Konferensi Meja Bundar atau KMB (1949).
2. NU dalam Tubuh Masyumi
Pada tanggal 3 November 1945, pemerintah mengeluarkan Maklumat No. X yang berisi
anjuran tentang berdirinya partai-partai politik. Umat Islam dengan segera menyambut
bahagia adanya keputusan tersebut, sehingga tanggal 7 November dibentuklah Masyumi.
Sementara NU yang telah berdiri sebelumnya sebagai jam’iyah kemudian bergabung dengan
Masyumi pasca mengadakan Muktamar NU XVI di Purwokerto tahun 1946.
Bergabungnya NU dalam Masyumi menjadi pengalaman berharga bagi NU. Ia mulai
mengalami liku-liku politik, sesuatu yang baru bagi NU. Menurut NU, politik dapat dijadikan
media untuk memperluas peran ulama.

Tokoh NU, Hasyim Asy’ari diangkat sebagai Ketua Umum Majelis Syuro (Dewan Penasehat
Keagamaan). Sementara tiga tokoh NU lainnya menduduki jabatan menteri sebagai wakil
Masyumi, yakni Wahid Hasjim, Masjkur, dan K. H. Fathurrahman Kafrawi. Tokoh lainnya
yang juga berkiprah di pemerintahan adalah Wahab Chasbullah sebagai anggota Dewan
Pertimbangan Agung.
Majelis Syuro ini memiliki peran yang sangat penting dalam tubuh Masyumi, antara lain yang
tercantum dalam anggaran rumah tangga di bawah ini:
 Majelis Syuro berhak mengusulkan hal-hal yang bersangkut paut dengan politik
kepada pimpinan partai.
 Dalam soal politik yang bersangkut paut dengan masalah hukum agama, maka
pimpinan partai meminta fatwa dari majelis Syuro.
 Keputusan Majelis Syuro mengenai hukum agama bersifat mengikat pimpinan partai .
 Jika muktamar/ dewan partai berpendapat lain daripada keputusan Majelis Syuro,
maka pimpinan partai dapat mengirimkan utusan untuk berunding dengan
Majelis Syuro dan hasil perundingan itu merupakan keputusan tertinggi.
3. NU sebagai Partai Politik
Hubungan antara Masyumi dengan NU berubah pada 1952, yang mana NU memutuskan
untuk keluar dari Masyumi dan mendirikan partai politik sendiri. Keputusan untuk keluar dari
Masyumi yang diambil oleh NU ini dibarengi dengan penyampaian beberapa amanat kepada
pengurus, yakni:

 Pelaksanaan keputusan tersebut agar jangan sampai menimbulkan kegoncangan di


kalangan umat Islam,
 Pelaksanaan keputusan tersebut dilakukan dengan perundingan terlebih dahulu
dengan Masyumi, dan
 Keputusan ini dijalankan dalam gubungan yang lebih luas yang berkenan adanya
keinginana untuk membentuk dewan pimpinan umat Islam yang nilainya lebih tinggi,
dimana partai-partai dan organisasi-organisasi Islam baik yang sudah maupun belum
tergabung dalam Masyumi dapat berkumpul dan berjuang bersama-sama.
Pasca meninggalkan Masyumi dan menjadi sebuah partai politik, NU dihadapkan pada
kekurangan tenaga terampil. Untuk mengatasi hal ini, maka direktrutlah beberapa tokoh yang
dianggap mumpuni seperti H. Jamaluddin Malik, K.H. Idham Chalid, dan beberapa tokoh
lainnya.

Selain itu NU juga mengambil langkah untuk membentuk sebuah fraksi tersendiri di
parlemen. Parlemen tersebut beranggotakan 8 orang anggota NU, yakni: K.H.A. Wahab
Hasbullah, K.H.M. Ilyas, M. Sholeh Suryaningprojo, M. Ali Prataningkusumo, A.A. Achsin,
K.H. Idham Chalid, As. Bamid, Zainul Arifin (yang kemudian digantikan oleh Saefud din
Zuhri).

Selanjutnya NU memainkan peranannya dalam membentuk kabinet. Sebagai partai politik


yang terbilang baru, NU berusaha memperkuat posisi umat Islam di parlemen dan kabinet.

4. NU Membentuk Liga Muslimin Indonesia


NU menjalin persatuan yang bersifat federatif dengan PSII, Perti dan juga Darud Da’wah
wal-Irsyad (DDI) dalam wadah yang disebut Liga Muslimin Indonesia. Liga ini dibentuk
tanggal 30 Agustus 1952 dengan tujuan “untuk mencapai masyarakat islamiyahyang sesuai
dengan hukum Allah Swt dan sunnah Rasul”.
Untuk mencapai tujuan tersebut, ditetapkan pula usaha yang akan dilakukan Liga Muslimin
Indonesia yakni  rencana bersama dan menghimpun organisasi Islam yang ada, memajukan
dan mengadakan aksi bersama serta akan mengadakan kongres Islam Indonesia. namun
demikian federasi ini tidak terlalu berpengaruh sebab, antara partai yang tergabung di
dalamnya seringkali berbeda pendapat dan menjalankan kepentingannya masing-masing.

5. NU dalam Pemilu 1955
Dalam rangka mempersiapkan pemilu tahun 1955, NU mengadakan Muktamar Alim Ulama
se Indonesia pada tanggal 11-15 April 1953 di Medan. Dalam muktamar tersebut diputuskan
wajib hukumnya bagi umat Islam untuk mengambil bagian dalam pemilu, baik untuk anggota
DPR maupun Konstituante. Pada pemilu 1955, partai NU mendapatkan 6.955.141 suara dan
mendapat bagian 45 kursi di parlemen.

Suara besar yang diperoleh NU dalam pemilu ini tidak lain karena basis pendukung NU yang
sangat kuat, terutama di pedesaaan. Selain itu NU juga mengubah strategi kampanyenya yang
awalnya memiliki slogan yang senada dengan Masyumi, namun pada perkembangannya agak
diubah dengan juga menggandeng PNI. Pasca pemilu, terbentuklah Kabinet Ali
Sastroamidjojo II (Ali – Roem – Idham), yang mana merupakan gabungan dari ketiga partai
yakni Masyumi (Muhammad Roem), PNI (Ali sastroamidjojo), dan NU (Idham Chalid).

Melalui pemilu 1955, NU berhasil mencapai sasaran yang ditetapkan pada 1952 yakni
menggerakkan masyarakat tradisional untuk menyatakan aspirasi sosial dan keagamaannya
sehingga Islam tradisional mampu mendapat tempat di tengah-tengah kehidupan berbangsa.
Partai ini juga berhasil melembagakan peran ulama dalam sebuah negara melalui
keberadaannya dalam parlemen dan keberhasilannya menguasai Departemen Agama.

6. Menumpas Gerakan PRRI


NU juga mengungkapkan bahwa gerakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia
(PPRI) yang didukung oleh tokoh senior Masyumi harus segera ditumpas. Menurut NU,
gerakan PPRI dianggap telah menyalahi perintah Alquran untuk mematuhi perintah Allah
Swt, Nabi Muhammad saw, dan pemimpin mereka (Q.S. An-Nisaa’: 59).

7. Menerima UUD 1945 sebagai konstitusi


Majelis konstituante yang berhasil dibentuk dari pemilu tahun 1955 nyatanya belum mampu
menghasilkan konstitusi baru untuk Indonesia. Oleh sebab itu terjadilah ketegangan antar
fraksi di pemerintah. Melihat kondisi demikian, NU kemudian mengadakan sidang Dewan
Partai di Cipanas, Bogor tanggal 26-28 Maret 1958. Pada pertemuan tersebut NU bersepakat
untuk menerima UUD 1945 RI sebagai konstitusi dengan pengertian bahwa Piagam Jakarta
menjiwai UUD tersebut.

Keputusan NU ini disampaikan kepada pemerintah, kemudian pemerintah menyampaikannya


kepada Majelis Konstituante pada tanggal 22 April 1959. Namun sayangnya sebagian besar
anggota konstituante tidak hadir dalam sidang sehingga tidak bisa menghasilkan keputusan.
Akhirnya dalam situasi yang dianggap gawat inilah lahir Dekrit 5 Juli 1959 yang mana salah
satu isinya berbunyi, “Kami berkeyakinan bahwa Piagam Jakarta 22 Juni 1945 menjiwai
UUD 1945 adalah merupakan suatu rangkaian dengan konstitusi tersebut”.

Peran dan Perjuangan Nahdlatul Ulama (NU) Masa Orde Lama (1959-1966)


1. NU menerima Konsep Demokrasi Terpimpin
NU menerima konsep Demokrasi Terpimpin yang diusung oleh Soekarno tidak lain
didasarkan pada pertimbangan fiqhiyah  yang artinya “Jika terjadi benturan antara dua hal
yang sama buruk dipertimbangkan yang lebih besar bahayanya dan melaksanakan yang
paling kecil akibat buruknya” selain itu NU juga berpegang pada dalil yang menyebutkan
bahwa jika kemampuan hanya dapat menghasilkan sebagian, maka yang sebagian itu tidak
boleh ditinggalkan, harus tetap dilaksanakan.
2. NU menuntut pembubaran PKI
Pada tanggal 30 September 1965, keadaan Jakarta sedang genting dengan adanya gerakan
atau pemberontakan terhadap pemerintah RI oleh Partai Komunis Indonesia (PKI). Di tengah
situasi yang genting ini, NU pada tanggal 2 Oktober 1965 menyatakan kontra terhadap
gerakan revolusi yang dilakukan oleh PKI. Tanggal 5 Oktober, NU beserta ormas-ormas
lainnya menuntut adanya pembubaran PKI dan menyerukan agar umat Islam membantu
ABRI dalam menumpas Gerakan 30 September 1965. Hingga akhirnya pemerintah
menyetujui pelarangan terhadap keberadaan partai komunis di Indonesia.

Peran dan Perjuangan Nahdlatul Ulama Masa Orde Baru (1966-1998)


1. Kebijakan Penyederhanaan Partai
Pada tahun 1973, partai-partai politik bergabung dalam dua wadah fusi. Partai Islam
disatukan dalam wadah Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dengan anggotanya yaitu NU,
Parmusi, PSII, dan Perti. Wadah lainnya berisi PNI, IPKI (Ikatan Pendukung Kemerdekaan
Indonesia), Parkindo, Partai Katolik, dan Partai Murba, wadah kedua ini dinamakan Partai
Demokrasi Indonesia.

Ketika berada dalam PPP, NU mendapat kehormatan layaknya di Masyumi. Semangat


persaudaraan dalam tubuh PPP awalnya sangat kuat, namun pada hal itu tidak berlangsung
lama, sebab ketika adanya pengajuan RUU Perkawinan, K.H. Bishri Sansuri sebagai wakil
NU menolak adanya RUU tersebut. Menurut Bishri, RUU tersebut berisi pasal-pasal yang
bertentangan dengan hukum perkawinan dalam Islam.
K.H. Bishri Sansuri memiliki wibawa yang sangat besar dan sifatnya cenderung keras,
sehingga ketika terjadi pertikaian di tubuh PPP, ia dapat dengan segera mengendalikan para
pimpinan PPP. Sepeninggal K.H. Bishri Sansuri, anggota-anggota NU seringkali mengalami
pertikaian dengan anggota dari partai lainnya.

2. NU kembali ke Khittah 1926


Pada Muktamar NU ke-26 di Semarang tanggal 6-11 Juni 1979, NU menyatakan akan
kembali menjadi jam’iyah seperti tahun 1926. Keputusan ini diambil NU tidak lain karena
menganggap bahwa pada saat itu NU sudah memiliki wadah dalam berpolitik yakni PPP,
sehingga NU dapat kembali menjadi organisasi keagamaan lagi. Selain itu perjalanan politik
NU yang seringkali mengalami kekecewaan membuat organisasi ini semakin terdorong untuk
kembali ke Khittah 1926. Meski memutuskan untuk kembali menjadi organisasi keagamaan,
tetapi anggota-anggota NU dapat ikut serta dalam politik secara perseorangan.
3. Asas Pancasila dan NKRI sebagai bentuk final bagi bangsa Indonesia
Dengan pemberlakuan Asas Tunggal Pancasila oleh pemerintah orde baru, NU memberikan
dukungan penuh. Buktinya pada Muktamar ke-27 di Situbondo (1984), NU membuat
keputusan bahwa “Nahdlatul Ulama berasaskan Pancasila. Nahdlatul
Ulama sebagai Jam’iyah Diniyah Islamiyah beraqidah Ahlus sunnah wal jama’ah mengikuti
salah satu dari empat mahzab yaitu: Hanafi, Syafi’i, Maliki, dan Hambali.”
E. Usaha NU Dalam Mempertahankan dan Mengembangkan Aswaja
Secara tradisi orang Islam penganut paham Ahlussunah wal Jamaah (Aswaja) di
Indonesia mewarisi ajaran Islam yang dibawa oleh para wali. Ajaran tersebut dibawa dan
disebarkan oleh para wali melalui berbagai media. Kebanyakan dari mereka menggunakan
media yang sudah tumbuh dan berkembang di masyarakat. Selanjutnya media tersebut
menjadi sesuatu yang tidak terpisahkan dengan Islam yang berkembang di
Indonesia.<>Media yang digunakan oleh para wali dalam memperkenalkan ajaran tauhid
dalam Islam adalah media kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat setempat. Mereka para
wali tidak membuat hal yang baru di dalam masyarakat, kecuali mengubah nilai-nilai lama
menjadi nilai-nilai Islam. Salah satu contoh adalah media pertunjukan wayang kulit, yang
diubah nilainya menjadi nilai yang mengajarkan syariat dan tauhid Islam. Bahkan sistem
pendidikan pesantren yang merupakan sistem yang diwarisi dari tradisi pra-Islam juga
digunakan sebagai sistem untuk mengajarkan nilai-nilai Islam. Sistem pendidikan model
asrama ini menjadi sistem untuk menggembleng calon ahli agama jauh sebelum para wali
datang ke Indonesia, terutama di tanah Jawa. Kemudian, pada masa selanjutnya sistem ini
diubah isinya dengan tetap mempertahankan sistemnya.Disamping mewarisi tradisi Islam
yang dikembangkan oleh para wali, Islam Aswaja di Indonesia, pada masa selanjutnya juga
dikembangkan oleh para kiai pesantren yang mengenyam pendidikan di tanah suci. Mereka
belajar langsung kepada para guru yang memegang genealogi (sanad) keilmuan yang sampai
kepada pendiri mazhab dan Rasulullah SAW. Misalnya Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari,
yang belajar di tanah suci kepada para guru (masyayikh) yang memiliki sanad kepada para
Imam pendiri mazhab baik dalam bidang tauhid, tasawuf, maupun dalam bidang fikih.Islam
tradisi yang diajarkan oleh para kiai ini berjalan dengan baik di tengah-tengah masyarakat
dari satu generasi ke generasi berikutnya. Sampai suatu saat, di awal abad ke-20, ketika
beberapa tokoh agama yang pernah menjadi santri di tanah suci mulai kenal dengan gerakan
pembaharuan Islam, dan selanjutnya membawa dan mendakwahkan ajaran-ajaran
pembaharuan tersebut di tengah-tengah masyarakat Indonesia. Sejak saat itulah Islam tradisi
yang mengajarkan paham Aswaja mulai mendapat gugatan. Berbagai ritual dan ajaran yang
selama ini dijalankan oleh masyarakat Islam digugat.
Muncul istilah pemberantasan TBC (tahayul, bid’ah dan churafat), dimana banyak
sekali ritual yang selama ini dijalankan oleh orang Islam dianggap sebagai bid’ah atau tidak
pernah diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW. Banyak sekali pertentangan di masyarakat,
baik berupa debat pendapat bahkan sampai pertentangan fisik, misalnya yang terjadi di
Minangkabau. Puncaknya ketika dilaksanakannya Kongres Islam di Yogyakarta sebagai
persiapan pengiriman delegasi ke Kongres Islam Internasional di Arab. Kalangan Kiai dan
Ulama yang berpegang teguh kepada ajaran Islam tradisi ditinggalkan oleh kongres yang
akan mengirim delegasi ke Kongres Internasional, karena memiliki pendapat yang berbeda.
Hal ini terjadi ketika usulan mereka agar Kerajaan Saudi tidak memberangus mazhab dan
menghancurkan peninggalan Islam maupun pra-Islam, yang dianggap bisa memicu
kemusyrikan, tidak mendapatkan tempat.Dari sinilah kemudian para kiai dan ulama yang
memegang teguh ajaran Islam Aswaja bersepakat membangun gerakan mempertahankan
ajaran Islam Aswaja. Agar gerakan tersebut bisa berjalan efektif, maka para kiai mendirikan
sebuah organisasi yang dinamakan Nahdlatul Ulama. Organisasi ini merupakan hasil akhir
dari proses pembangunan organisasi yang didahului dengan pembentukan Taswirul Afkar
(gerakan pemikiran), kemudian dilanjutkan pendirian Nahdlatut Tujjar (gerakan para
saudagar).Disamping sebagai respon dari mulai digugatnya ajaran Islam tradisi, pendirian
organisasi ini juga sebagai respon gerakan kebangkitan nasional yang saat itu mulai marak
terjadi. Hampir semua kelompok masyarakat yang memiliki kesamaan ideologi mendirikan
organisasi.
Dalam konteks kebangkitan nasional, pendirian organisasi ini adalah sebagai alat
untuk melakukan perlawanan terhadap kolonialisme.Karena itu dapat dikatakan jika
pendirian organisasi Nahdlatul Ulama, satu sisi adalah sebagai wadah gerakan penganut
Islam ala Ahlusunnah wal Jamaah dalam merespon gerakan kaum puritan yang mulai
menggugat keberadaan Islam tradisi yang dijalankan oleh penganut Aswaja. Sedangkan di
sisi lain sebagai wadah gerakan dalam melakukan perlawanan terhadap kolonialisme
Belanda.
Sayap Gerakan Aswaja Sebagai sebuah gerakan, sebagaimana yang disampaikan di
atas, gerakan Aswaja membutuhkan organisasi untuk membangun solidaritas dan persatuan.
Organisasi tersebut adalah Nahdlatul Ulama. Dalam konstitusi dasarnya, organisasi ini
bergerak dalam bidang keagamaan dan sosial-kemasyarakatan, dengan mengupayakan
pendidikan dan pengembangan ekonomiDari sini bisa dipahami jika Nahdlatul Ulama
merupakan sayap gerakan Aswaja dalam bidang sosial-budaya. Sebagai sebuah sayap
gerakan dalam sosial-budaya, Nahdlatul Ulama menjalankan kegiatan-kegiatan yang
berhubungan dengan pembangunan masyarakat terutama dalam menjalin relasi antar individu
dan kelompok masyarakat yang lain. Dalam menjalankan kegiatannya, Nahdlatul Ulama
mendirikan berbagai sub-sayap mulai dari pemuda, perempuan dan kelompok profesi.Dalam
perjalanannya, di awal masa pergerakan kemerdekaan, hampir semua gerakan masyarakat
yang memiliki latar belakang ideologi yang beragam membangun sayap organisasi politik
untuk menyuarakan aspirasi politik dan sebagai persiapan pemilihan umum pertama. Hal ini
menekan gerakan Aswaja untuk turut membangun organisasi politik. Karena itu,  gerakan
Aswaja juga turut membuat organisasi sayap politik, dan sayap politik yang digunakan adalah
sama, yaitu Nahdlatul Ulama. Sehingga organisasi Nahdlatul Ulama menjadi sayap sosial-
budaya, sekaligus sebagai sayap politik gerakan Aswaja yang terlibat dalam Pemilu tahun
1955.Kondisi ini terjadi sampai pada Pemilu pertama di masa Orde Baru tahun 1971, karena
pada pemilu selanjutnya di masa Orde Baru, partai Nahdlatul Ulama di-fusi-kan ke dalam
Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Setelah kebijakan fusi yang diterapkan Orde Baru
tersebut, Gerakan Aswaja tidak secara khusus memiliki sayap politik tersendiri, karena PPP
menjadi sayap politik bagi berbagai aliran dalam Islam. Kebijakan fusi tersebut
mengakibatkan Nahdaltul Ulama masuk dalam korporatisme negara yang menerapkan azas
tunggal.Dalam kurun waktu pemerintahan Orde Baru, dan ketika menjadi bagian dari PPP,
Nahdlatul Ulama selalu mendapatkan tekanan. Sampai pada tahun 1984, Nahdlatul Ulama
secara tegas menyatakan kembali ke Khittah 1926, dengan konsekuensi harus keluar dari
gerakan politik. Ini berarti Nahdlatul Ulama tidak lagi menjadi salah satu bagian dari partai
politik manapun.Setelah mengumandangkan gerakan kembali ke Khittah 1926, Nahdlatul
Ulama menjadi bagian penting dari gerakan masyarakat sipil (civil society) yang sangat kritis
terhadap pemerintahan Orde Baru. Masa dimana Nahdlatul Ulama dipimpin oleh KH
Abdurrahman Wahid (Gus Dur) ini menjadi masa emas bagi Nahdlatul Ulama dalam
memimpin bangsa Indonesia untuk bangkit melawan tirani Orde Baru.Lima tahun setelah
Nahdlatul Ulama menyatakan kembali ke Khittah, Gus Dur berupaya membangun sayap
ekonomi gerakan Aswaja. Dalam hal ini, Nahdlatul Ulama berhasil menggandeng grup bisnis
besar milik William Soerjadjaja. Grup bisnis ini memiliki Bank Summa. Hasil dari kerjasama
ini adalah didirikannya Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Nusumma. Direncanakan BPR akan
didirikan sampai 2000 buah di seluruh Indonesia. Namun sayap ekonomi ini tidak bisa
berkembang dengan baik. Hal ini karena Bank Summa yang diajak kerjasama mengalami
kalah kliring dan dilikuidasi oleh pemerintah.Setelah Suharto tumbang dan Indonesia masuk
dalam masa reformasi, euforia politik terjadi di mana-mana. Pada masa ini gerakan Aswaja
kembali mendirikan organisasi sayap politik. Hal ini setelah banyaknya desakan yang kuat
kepada PBNU dari daerah untuk mendirikan partai politik. Desakan tersebut disambut oleh
PBNU dengan penuh kehati-hatian, karena dikhawatirkan melanggar Khittah 1926. Namun
karena desakan yang cukup kuat, akhirnya PBNU membentuk panitia persiapan pendirian
sayap politik, dan selanjutnya mendeklarasikan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) sebagai
sayap politik resmi gerakan Aswaja. Meskipun pada masa-masa selanjutnya ternyata sayap
politik ini mengalami berbagai persoalan internal, yang berimplikasi salah satunya adalah
pada pola hubungan diantar sayap gerakan Aswaja yang lain (NU). Disamping itu, juga mulai
menguatnya kembali unsur-unsur politik lama yang pernah bersinggungan dengan orang-
orang NU.   
Usaha NU dalam mengembangkan Ahlussunah waljamaah:
Menciptakan Saling Penghargaan
Pemecahan persoalannya bukanlah dengan cara mempersatukan semua wasail yang
berbeda-beda itu, melainkan menciptakan saling penghargaan di antara kelompok yang
berlainan pandangan itu. Kesamaan sikap hidup dan pandangan umum tentang kehidupan
adalah alat utama untuk menghilangkan perbedaan pendapat, atau setidak-tidaknya usaha
menghindarkan perbedaan yang tajam. Sikap hidup dan pandangan umum tentang kehidupan
yang bersamaan secara nisbi, dapat dikembangkan melalui penyusunan dasar-dasar umum
penerapan aqidah masing-masing guna maslahah bersama. Kalau kita perbincangkan
pengembangan ajaran Ahlussunnah wal Jamaah, maka caranya bukanlah dengan
mengembangkan (perumusan kembali) aqidah yang sudah muttafaq ‘alaih semenjak berabad-
abad, melainkan dengan mengembangkan dasar-dasar umum penerapan aqidah yang sudah
diterima secara umum di lingkungan Nahdlatul Ulama itu. Biarkanlah al-usus al-
tsalatsah yang sudah menjadi konsesus itu tetap pada keasliannya, sesuai dengan kaidah “al-
ashlu baqau ma kana ala makana”. Yang terpenting adalah bagaimana merumuskan dasar-
dasar umum penerapan ketiga usus itu dalam kehidupan nyata sekarang.
Dua Bentuk Kerja Utama
Pengembangan dasar-dasar umum penerapan aqidah yang sudah ada, tanpa mengubah
aqidah itu sendiri, dapatlah dirumuskan sebagai upaya pengembangan ajaran (ta’lim)
Ahlussunnah wal Jamaah. Pengembangan ajaran itu mengambil bentuk dua kerja utama
berikut.
Pertama, pengenalan pertumbuhan kesejarahan ajaran Ahlussunnah wal Jamaah yang
meliputi pengkajian kembali sejarah pertumbuhan Ahlussunnah wal Jamaah dan dasar-dasar
umum penerapannya di brbagai negara dan bangsa, semenjak masa lalu dan sekarang. Ini
meliputi pengkajian wilayah (dirasat al-aqalim al-muslimah/area studies of Islamic people),
dari Afrika Barat hingga ke Oceania dan Suriname. Kekhususan dasar umum masing-masing
wilayah harus dipelajari secara teliti, untuk memungkinkan pengenalan mendalam dan
terperinci atas praktik-praktik ke-ahlussunnah-an.
Kedua, perumusan dasar-dasar umum kehidupan bermasyarakat di kalangan Ahlussunnah
wal Jamaah, meliputi bidang-bidang berikut;
1.  Pandangan tentang tempat manusia dalam kehidupan alam
2.  Pandangan tentang ilmu, teknologi, dan pengetahuan
3.  Pandangan ekonomis tentang pengaturan kehidupan masyarakat
4.  Pandangan tentang hubungan individu (syakhs) dan masyarakat (mujtama’)
5.  Pandangan tentang tradisi dan penyegarannya melalui kelembagaan hukum, pendidikan,
politik dan budaya
6.  Pandangan tentang cara-cara pengembangan masyarakat, dan
7.  Asas-asa penerapan ajaran agama dalam kehidupan.
Secara terpadu, perumusan akan dasar-dasar umum kehidupan bermasyarakat itu akan
membentuk perilaku kelompok dan perorangan yang terdiri dari sikap hidup, pandangan
hiup, dan sistem nilai (manhaj al-qiyam al-mutsuliyyah) yang secara khusus akan
memberikan kebulatan gambaran watak hidup Ahlussunnah wal Jamaah (syakhsyiyatu ma
tamassaka bi aqidati Ahlissunnah wal Jamaah).
Kehidupan Masa Kini
Perumusan dasar-dasar umum kehidupan bermasyarakat yang dibagi dalam tujuh bidang di
atas, akan dapat dilakukan dalam sebuah dialog terbuka di kalangan warga Nahdlatul Ulama,
tidak hanya terbatas di lingkungan tertentu saja. Untuk memungkinkan pembicaraan terbuka
yang eifisien, diperlukan sebuah kerangka umum pandangan Nahdlatul Ulama atas masalah-
masalah kehidupan masa kini. Kerangka umum itu, menurut hemat penulis, haruslah
memasukan unsur-unsur berikut.
Pertama, pandangan bahwa keseluruhan hidup ini adalah peribadatan (al-hayatu ‘ibadatun
kulluha). Pandangan ini akan membuat manusia menyadari pentingnya arti kehidupan,
kemuliaan kehidupan, karena itu hanya kepadanya lah diserahkan tugas kemakhlukan (al-
wadhifat al-khalqiyyat) untuk mengabdi dan beribadat kepada Allah SWT. Demikian
berharganya kehidupan, sehingga menjadi tugas umat manusia lah untuk memelihara
kehidupan ini dengan sebaik-baiknya, termasuk memelihara kelestarian sumber-sumber alam,
memelihara sesama manusia dari pemerasan oleh segolongan kecil yang berkuasa melalui
cara-cara bertentangan dengan perikemanusiaan, meningkatkan kecerdasan bangsa guna
memanfaatkan kehidupan secara lebih baik, dan seterusnya.
Kedua, kejujuran sikap hidup merupakan sendi kehidupan bermasyarakat sejahtera.
Kejujuran sikap ini meliputi kemampuan melakukan pilihan antara berbagai hal yang sulit,
guna kebahagiaan hidup masa depan; kemampuan memperlakukan orang lain seperti kita
memperlakukan diri sendiri (sehingga tidak terjadi aturan permainan hidup bernegara yang
hanya mampu menyalahkan orang lain dan menutup mata terhadap kesalahan sendiri); dan
kemampuan mengakui hak mayoritas bangsa dan umat manusia untuk menentukan arah
kehidupan bersama. Kejujuran sikap ini akan membuat manusia mampu memahami betapa
terbatasnya kemampuan diri sendiri, dan betapa perlunya ia kepada orang lain, bahkan
kepada orang yang berbeda pendirian sekalipun. Ini akan membawa kepada keadilan dalam
perlakuan di muka hukum, penegakan demokrasi dalam arti yang sebenarnya, dan pemberian
kesempatan yang sama untuk mengembangkan pendapat masing-masing dalam kehidupan
bernegara.
Ketiga, moralitas (akhlaq) yang utuh dan bulat. Akhlaq yang seperti ini, yang sudah
dikembangkan begitu lama oleh para ulama kita, tidak rela kalau kita hanya berbicara tentang
pemberantasan korupsi sambil terus-menberus mengerjakannya; tidak dapat menerima ajakan
hidup sederhana oleh mereka yang bergelimang dalam kemewahan tidak terbatas yang
umumnya diperoleh dari usaha yang tidak halal; dan menolak penguasaan seluruh wilayah
kehidupan ekonomi oleh hanya sekelompok kecil orang belaka.
Secara keseluruhan, kerangka umum di atas akan membawa Nahdlatul Ulama kepada
penyusunan sebuah strategi perjuangan baru yang akan mampu memberikan jawaban kepada
tantangan-tantangan yang dihadapi Nahdlatul Ulama sendiri dewasa ini dan di masa
mendatang, strategi perjuangan itu, yang unsur-unsurnya sudah banyak dibicarakan dan
dirumuskan dalam berbagai kesempatan oleh banyak kalangan Nahdlatul Ulama sendiri,
perlu dirumuskan dan disusun, jika kita ingin melakukan perjuangan yang lebih terarah
dengan cara yang lebih tepat.
Dua Sendi
Untuk keperluan penyusunan strategi perjuangan itu, di bawah ini akan dikemukakan
kedua sendi yang tidak boleh tidak harus dimiliki.
Pertama, pendekatan yang akan diambil oleh strategi itu sendiri, yang seharusnya ditekankan
pada penanganan masalah-masalah kongkret yang dihadapi oleh masyarakat melalui kerja-
kerja nyata dalam sebuah proyek rintisan, baik di bidang pertanian, perburuhan, industri
kecil, kesehatan masyarakat, pendidikan keterampilan, dan seterusnya.
Kedua, organisasi atau arah yang akan ditempuh oleh strategi itu sendiri, yang seyogianya
dipusatkan pada pelayanan kepada kebutuhan pokok mayoritas bangsa, yaitu kaum miskin
dan yang berpenghasilan rendah.
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
-Dari materi-materi yang sudah disampaikan di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa
Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama) Didirikan pada 16 Rajab 1344 H (31 Januari 1926).
Organisasi ini dipimpin oleh KH. Hasyim Asy'ari sebagi Rais Akbar,
-Nahdlatul Ulama menganut paham Ahlussunah Wal Jama'ah, sebuah pola pikir yang
mengambil jalan tengah antara ekstrim aqli (rasionalis) dengan kaum ekstrim naqli
(skripturalis), Jumlah warga Nahdlatul Ulama atau basis pendukungnya diperkirakan
mencapai lebih dari 40 juta orang, dari beragam profesi.
-Mereka memiliki kohesifitas yang tinggi karena secara sosial-ekonomi memiliki masalah
yang sama, selain itu mereka juga sangat menjiwai ajaran Ahlusunnah Wal-Jamaah dan pada
umumnya mereka memiliki ikatan cukup kuat dengan dunia pesantren yang merupakan pusat
pendidikan rakyat dan cagar budaya NU
-Untuk dapat memahami tentang isi makalah kami, kami petik dari inti sari  pemakalah yaitu:
a. Pengertian dan sejarah NU
b. Visi, misi, tujuan dan nilai dasar perjuangan NU
c. Tokoh-tokoh NU
d. Beragam peran NU
e. Usaha NU dalam mempertahankan dan mengembangkan aswaja
Daftar pustaka
Ensiklopedia Islam, Departemen Pendidikan Nasional. (PT. Ichtiar Baru Van Hoeve :
Jakarta. 2003).
KH. Husin Muhammad, Memahami Sejarah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah Yang toleran
dan Anti Ekstrim (ed), dalam Imam Baehaqi (ed) , Kontroversi ASWAJA, LkiS, Yogyakarta,
1999,
Muzadi, Hasyim Nahdlatul Ulama di Tengah Agenda Persoalan Bangsa, ( Logos, Jakarta
: 1999, )
Ma’arif, Samsul Mutiara-mutiara Dakwah K.H. Hasyim Asy’ari, ( Jakarta : Kanza 
2011 )

Anda mungkin juga menyukai