Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.

Latar Belakang
Tasawuf merupakan salah satu fenomena dalam Islam yang memusatkan perhatian pada

pembersihan aspek rohani manusia, yang selanjutnya menimbulkan akhlak mulia. Melalui
tasawuf ini seseorang dapat mengetahui tentang cara-cara melakukan pembersihan diri serta
mengamalkan secara benar. banyak pengertian tasawuf yang dirumuskan oleh ulama tasawuf,
tetapi tidak mencakup pengertian tasawuf secara menyeluruh. defenisi tasawuf yang dirumuskan
oleh ulama tasawuf, tetapi tidak mencakup pengertian tasawuf secara menyeluruh.
Tinjauan analitis terhadap tasawuf menunjukkan bahwa para sufi dengan berbagai aliran
yang dianutnya memiliki suatu konsepsi tentang jalan (thariqat) menuju Allah. Jalan ini dimulai
dengan latihan-latihan rohaniah (riyadah), lalu secara bertahap menempuh berbagai fase, yang
dikenal dengan maqam (tingkatan) dan hal (keadaan), dan berakhir dengan mengenal (marifat)
kepada Allah. Tingkat pengenalan (marifat) menjadi jargon yang umumnya banyak dikejar oleh
para sufi. Kerangka sikap dan perilaku sufi diwujudkan melalui amalan dan metode tertentu yang
disebut thariqat, atau jalan untuk menemukan pengenalan (marifat) Allah. Lingkup perjalanan
menuju Allah untuk memperoleh pengenalan (marifat) yang berlaku di kalangan sufi sering
disebut sebagai sebuah kerangka Irfani.
Perjalanan menuju Allah merupakan metode pengenalan (marifat) secara rasa (rohaniah)
yang benar terhadap Allah. Manusia tidak akan tidak akan tahu banyak mengenai penciptanya
apabila belum melakukan perjalanan menuju Allah walaupun ia adalah orang yang beriman
secara aqliyah. Hal ini karena adanya perbedaan yang dalam antara iman secara aqliyah atau
logis-teoritis (Al-Iman Al-aqli An-nazhari) dan iman secara rasa (al-iman Asy-syuuri Addzauqi).
Lingkup Irfani tidak dapat dicapai dengan mudah atau secara spontanitas, tetapi melalui
proses yang panjang. Proses yang dimaksud adalah maqam-maqam (tingkatan atau stasiun) dan
ahwal (jama dari hal). Dua persoalan ini harus dilewati oleh orang yang berjalan menuju Tuhan.
Namun perlu dicatat, maqam dan hal tidak dapat dipisahkan. Keduanya ibarat dua sisi
dalam satu mata uang. Keterkaitan antar keduanya dapat dilihat dalam kenyataan bahwa maqam
menjadi prasyarat menuju Tuhan dan dalam maqam akan ditemukan kehadiran hal. Hal yang
1 | Page

telah ditemukan dalam maqam akan mengantarkan seseorang untuk mendaki maqam-maqam
selanjutnya. Namun disini, pembahasan penulis hanya terkait ahwal dalam tasawuf.

1.2.

Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah dari makalah ini adalah:
1. Bagaimana pengertian Al-Ahwal?
2. Apa saja tahapan dan jumlah Al-Ahwal menurut:
a. Imam al-Junaid
b. Al-Qusyairi
c. Abu Nashr Sarraj Al-Thusi
3. Apa saja macam-macam Al-Ahwal?

1.3.

Tujuan
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah:
1. Mahasiswa dapat mengetahui pengertian Al-Ahwal
2. Mahasiswa dapat mengetahui tahapan dan jumlah Al-Ahwal menurut beberapa ahli
tasawuf
3. Mahasiswa dapat mengetahui macam-macam Al-Ahwal

BAB II
PEMBAHASAN

2 | Page

2.1 Pengertian Al- Ahwal


Istilah ahwal merupakan bentuk jamak dari hal. Secara etimologi, ahwal berarti sifat dan
keadaan sesuatu. Secara terminologi, yang dimaksud dengan ahwal ialah keadaan atau kondisi
psikologis yang dirasakan seorang sufi ketika mencapai maqam tertentu1.
Menurut al-Qusyairi, hal selalu bergerak naik setahap demi tahap sampai ke tingkat puncak
kesempurnaan rohani. Karena keadaannya terus menerus bergerak dan selalu beralih berganti
itulah disebut hal. Menurut Syeikh Abu Nashr As-Sarraj, hal adalah sesuatu yang terjadi secara
mendadak yang bertempat pada hati dan tidak mampu beertahan lama, sedangkan menurut AlGhazali, hal adalah kedudukan atau situasi kejiwaan yang dinugerahkan Allah kepada seorang
hamba pada suatu waktu, baik sebagai buah dari amal shaleh yang mensucikan jiwa atau sebagai
pemberian semata. Sehubungan dengan ini Harun Nasution mendefinikan hal sebagai keadaan
mental, seperti perasaan senang, perasaan sedih, perasaan takut, dan sebagainya2.
Abu Sulayman al Darani (w. 215 H )3 berpendapat bahwa, jika hubungan seseorang
dengan Allah Taala sudah sedemikian masuk ke dalam hati maka seluruh anggota badan
menjadi ringan. Pernyataan ini, menurut al Sarraj mengandung dua makna. Pertama, anggota
badan terasa ringan ketika menjalankan mujahadah dan susah payahnya dalam menjalankan
ibadah, dengan syarat ia mesti tetap menjaga hatinya, memelihara rahasia-rahasia hati itu dari
bisikan-bisikan hati (khawatir) yang menyibukkan, dan penyakit-penyakit tercela lainnya yang
membuat ia terhalang dari mengingat Allah Taala. Kedua, seseorang yang sudah mantab dalam
mujahadah, ibadah, dan perbuatan- perbuatan baik lainnya maka hatinya akan merasakan nikmat
dan manis, hilang darinya rasa capek dan penyakityang mungkin ada sebelumnya4.

1 Moenier nahrowi menjelajah tasawuf


2 ibid
3Azyumardi Azra Dan Asep Usman (Eds),ahwal dalam Ensiklopedi Tasawuf, Jilid I
(Bandung: Angkasa, 2008) Hlm.. 206

4 ibid
3 | Page

Pandangan ini menurut al Sarraj diperkuat oleh Muhammad bin ibn Wasi yang
mengatakan, Aku bersusah payah pada malam hari selama dua puluh tahun, namun aku juga
merasa nikmat dengan itu selama dua puluh tahun pula. Begitu juga Malik bin Dinar (w. 130H )
aku membaca Al-Quran selama dua puluh tahun, dan aku merasa nikmat dengan sebab
membacanya selama dua puluh tahun pula5.
Al-Hujwiri (w.465 H) Berpendapat,bahwa hal ialah sesuatu yang turun dari Tuhan ke
dalam hati manusia tanpa ia mampu menolaknya bila dating, atau memeliharanya bila pergi,
dengan ikhtiarnya sendiri. Maka, istilah hal merujuk pada nikmat dan kemurahan yang
dianugerahkan Tuhan kepada hati hamba-Nya, dan yang tidak berkaitan dengan kezuhudan sang
hamba.6
Ahwal merupakan sebuah batasan teknis dalam disiplin tasawuf untuk suatu keadaan
tertentu yang bersifat tidak permanen dan kebalikan dari maqamat, yaitu kedudukan kejiwaan
yang bersifat permanen. Hal masuk kedalam hati sebagai anugerah dan karunia dan rahmat Allah
subnahahu wa taala yang tidak terbatas pada hamba-Nya. Hal tidak dapat dicapai melalui usaha,
keinginan, atau undangan. Hal dating tanpa diduga-duga. Keadaan spiritual banyak jumlahnya
dan kedudukan spiritual juga banyak7.
Apabila diperhatikan isi dari apa yang disebut hal itu, sebenarnya manifestasi dari
maqamat yang mereka lalui sebelumnya. Artinya, bahwa orang yang pantas menerima karunia
hal hanyalah orang yang berusaha meningkatkan kualitas ibadah melalui latihan dan amalan
yang sufi lakukan8.
Menurut Ath-Thusi, hal (keadaan) sebagai sesuatu yang mengambil tempat dihati atau apa yang
dialami oleh hati, berupa kesucan dzikir. Selanjutnya, ia mengatakan bahwa hal itu tidak
diperoleh melalui usaha, seperti halnya maqamat

5 ibid
6Azyumardi Azra Dan Asep Usman (Eds),ahwal dalam Ensiklopedi Tasawuf, Jilid I
(Bandung: Angkasa, 2008) Hlm. 205
7 ibid
8 ibid
4 | Page

Dapat dikatakan bahwa hal merupakan pemberian yang berasal dari Tuhan kepada
hamba-Nya yang dikehendaki. Pemberian itu ada kalanya tanpa melalui usaha. Tidak semua
orang berusaha itu berhasil, namun ia menjadi dambaan bagi setiap orang yang menjalani
tasawuf. Hubungan antara usaha dan hasil dalam perkara ini tidak bersifat mutlak.9
Dalam pandangan sufi, dikatakan bahwa setiap maqam mempunyai permulaan dan akhir.
Dianta keduanya terdapat aneka hal. Setiap maqam mempunyai symbol dan setiap hal ditunjuk
oleh isyarat. Keterangan ini menunjukkan bahwa maqam berlangsung lebih lama daripada hal.
Maqam bersifat tetap, sedangkan hal silih berganti. Meskipun berbeda, keduanya sama-sama
menunjukkan perkara yang berdimensi spiritual. Keduanya hanya dapat dipahami oleh mereka
yang pernah menjalaninya.10

2.2 Tahapan dan jumlah Al-Ahwal Menurut Beberapa Ahli Sufi


2.2.1 Tahapan dan Jumlah Al-Ahwal Menurut Imam Al-Junaid
Imam Al-Junaid juga menjelaskan kepada kita perilaku-perilaku spiritual (Al-Ahwal) yang
bersama-sama dengan dengan maqamat merupakan inti hakikat tasawuf :
a. Muraaqabah Lillah
Imam Al-Junaid menyebutkan bahwa muraqabah Lillah merupakan langkah pertama
realisasi tauhid. Ia berarti persaan berlimpah bahwa segala sesuatu yang ada mengambil
wujud dan kelangsungan eksistensinya dari Allah Yang Maha Esa lagi Tunggal. Atau ia
adalah sikap ihsan dalam beribadah (yakni menyembah Allah seolah-olah melihat-Nya)
sebab Allah Maha Mengawasi segala sesuatu. Imam Al-Junaid mengatakan: maqam tauhid
pertama adalah sabda Rasulullah: Menyembah Allah seolah-olah kau melihat-Nya.11
Orang yang benar-benar dalam kondisi muraqabah , hatinya focus kepada Allah dan tidak
menengok pada apapun selain Dia. Ia pun tidak sedih atas bagian nafsu diri yang tak
9 M. sholihin, Tasawuf Tematik, (Bandung: Pustaka setia, 2002),bhl. 16.
10 ibid
11 Al-kawaakib, 1/215
5 | Page

diperolehnya sebab seluruh pikirannya hanya terfokus pada pendedikasian diri dalam
muraaqabah lillah. Imam al-Junaid berkata: Barangsiapa yang mencapai hakikat
muraqabah maka ia hanya takut akan kehilangan bagiannya dari Allah, bukan yang lain.12
b. Al-Qurb (Kedekatan Allah)
Kedekatan Allah menurut Al-Junaid adalah kedekatan ke hati yang semarak dengan
keimanan. Semakin banyak intensitas seorang hamba mendekatkan diri kepada Tuhannya
maka semakin bertambah pula kedekatan Allah ke hatinya. Imam Al-Junaid berujar :
ketahuilah, sesungguhnya, Dia mendekati hati hamba-hamba-Nya sesuai dengan kedekatan
hati hamba-hamba-Nya kepada-Nya maka perhatikanlah apa yang dekat di hatimu?13
Perasaan seorang hamba akan kedekatan Allah dengannya jika terus menguat maka ia telah
berada dalam status wajd atau dzauq, dimana berbagai jenis pengetahuan tersingkap
dihadapannya, juga rahasia-rahasia tauhid yang terlalu njlimet untuk digambarkan sebab ia
termasuk kategori isyarat. Inilah yang disebut oleh kaum sufi dengan istilah jam. Adapun
jika si hamba tidak bias mencapai status tersebut, atau pernah sampai ke sana namun
kemudian ke yang lain maka ia tidak akan bias menangkap rahasia-rahasia tersebut kala itu
ia dalam status tafriqah atau farq . Imam Al-Junaid berkata: kedekatan dengan perasaan
adalah jam, dan keabsenan dengan status kemanusiaan adalah tafriqah.14
Perasaan hamba akan kedekatan Allah dengannya, baik dalam kondisi jam maupun farq,
seyogianya tetap berada dalam bingkai pensucian Allah sepenuhnyadari haal-hal yang tidak
layakbagi-Nya. Saat ditanya tentang kedekatan Allah, Imam al-Junaidmenjawab: dekat
namun saling tidak bersua, jauh namun tidak terpisah.15
c. Mahabbah Lillah
Mahabbah lillah (cinta Allah) menurut al-Junaid dalam pengertian yang palint tinggi nerarti
ke fana-an si hamba yang mencintai dari melihatdirinya atau dari keberpalingan pada
bagian-bagiannya karena larut dengan kesibukannya mencintai Tuhannya, terus menerus
berdzikir kepada-Nya, menunaikan hak-hak Allah atasnya dengan melakukan ketaatan
ekstra, dan penengokan hatinya hanya kepada-Nya sehingga ia pun menjadi bersih dan
12 Ar-Risalah, hlm. 407
13 Al- Luma, hlm, 85.
14 As-Sulami, Thabaqaat ash-Shuufiyyah, hlm, 157
15 Thabaqaat asy-Syafiiyyah al-Kubra, 11/267
6 | Page

murni, tergila-gila cinta Allah. Jika diam, ia diam karena Allah, bergerak dengan Allah dan
diam bersama Allah. Dengan bahasa lain, seluruh hidupnya dipenuhi persaan yang kuat akan
Allah dan kecintaan kepada-Nya16.
Imam al-Junaid memberi batas cinta hamba kepada Allahyang tidak boleh dilanggar atau
dilewati, yaitu pensucian mutlak dari si pencinta kepada Tuhannya. Ia mengakatakan:
mahabbah ifraath al-mail bilaa nail17 (cinta adalah kecenderungan yang meluap-luap
tanpa mengusik(kesucian Allah)18.
Pencinta Allah menurut al-Junaid tidak boleh mengeluarkan kata-kata yang mengesankan
pantheisme (huluul) sebagaimana dipahami dari ungkapannya bilaa nail. Isyarat-isyarat
mengenai mahabbah yang dilontarkannya saat mabuk atau ekstase dinilai kurang sopan
(suul adab) bersama Allah, namun tidak sampai menyeretnya pada vonis kafir atau muniq.
Ia mengtakan: jika cinta benar-benar sejati maka gugurlah syarat-syarat tata karma.19
d. Khauf min Allah (Takut Kepada Allah)
Perasaan takut pada Allah menurut al-junaid seyogianya memenuhi segenap diri seorang
hamba sehingga ia selalu mawas diri mengantisipasi kemungkinan jatuhnya siksa Allah
setiap saat. Saat ditanya tentang takut, Imam al-Junaid menjawab, (Takut) adalah
mengantisipasi turunyya siksa saat napas mengalir.20
Takut kepada Allah memacu seseorang untuk tidak cepat puas dengan amal-amal
shalehnya, atau dngan bahasa lain ia bias membebaskan dirinya dari rasa ujub
(membangga-banggakan diri). Oleh karena itu, ketika ditanya tentang jalan menuju Allah,
salah satu jawabannya adalah takut yang menghapus ghuruur.21
e. Raja fillaah (Berharap Penuh Terhadap Allah)
Sikap berharap penuh terhadap Allah menurut al-Junaid seyogianya membangkitkan gairah
seorang hamba untuk mencari lebih banyak amal keshalehan, bukan malah sebaliknya,
16 ibid
17 Ar-Risalah, hlm, 617.
18 ibid
19 Ibid, hlm, 161
20 Ar-Risalah, hlm, 310.
21 Thabaqaat asy-Syafiiyyah, 11/264
7 | Page

meremehkan kewajiban-kewajiban atau melanggar keharaman karena tamak dengan rahmatNya atau optimis mendapat ampunan-Nya22.
Karena itu, ketika ditanya tentang jalan menuju Allah juga, dalam salah satu jawabannya.
Imam al-Junaid menjawab, Harap yang memotivasi ke jalan kebajikan.23
f. Syauq ilallaah (Rindu Allah)
Kerinduan pada Allah menurut al-Junaid adalah kondisi emosional yang memacu si perindu
pada hasrat yang menggebu-gebu untuk mencapai kebersamaan (al-wishaal), meski apa pun
rintangan yang menghadang perjalanannya menuju Allah24.
g. Al-Uns billaah
Menurut al-Junaid, ia merupakan kondisi emosional yang mengkombinasikan antara
perasaan bahagia secara spiritual dan perasaan segan (haibah) dengan Allah. Ketika ditanya
tentang hal ini, al-junaid berkata, (Uns berarti) hilangnya rasa malu disertai perasaan
segan. Selama rasa segan kepada Allah masih ada ketika seseorang mengalami keadaan uns
maka menurut kaum sufi penghormatan tetap ada, tanzih (pensucian Allah dari hal-hal yang
tidak selayaknya) diniscayakan, dan huluul (kesatuan hamba dan Tuhan) ditolak25.
h. Musyahadah
Musyahadah menurut al-Junaid adalah jenis pengetahuan tentang alam ghaib dengan media
mata bathin (al-asraar). Dengan bahasa lain, ia adalah penjangkaun alam ghaib dengan
medium kebeningan cahaya yang masuk kedalam hati sebagai buah kebersihan hati dari
segala sesuatu selain Allah (al-aghyaar) dan konsentrasi himmah pada Allah. Ia ada dari
tiada, ada karena dan dengan Allah, dan tiada dalam wadah hamba yang memfokuskan
seluruh hati nuraninya kepada Tuhannya dan fana dari memperhatikan selain-Nya26.
i. Yaqin
Yaqin menurut al-Junaid berarti pembenaran dan determinasi dalam akidah. Hanya saja,
dalam konteks sufisme, hal itu diperoleh dengan meniti jalan tashfiyyah (purifikasi hati)
22 Syihabuddin Umar Suhrawardi, awarif Al-marif, (Bandung: Pustaka Hidayah,
1998), hlm. 185
23 ibid
24 Barmawari Umari, sistematika tasawuf, (Solo: Penerbit Siti Syamsiyah, 1966),
hlm. 85
25 ibid
26 ibid
8 | Page

yang mengantarkan pelakunya pada kasyf dan ilham, bukan dengan deretan bukti bukti
demonstrative (burhan) atas masalah-masalah teologis yang disampaikan Rasulullah karena
metode tersebut mengandaikan pemosisian masalah-masalah teologis tersebut dalam bingkai
penelitian dan pengamatan, sementara pemosisiannya didepan akal manusia dilevel tertentu
mengisyaratkan bahwa persoalan teologis tersebut tidak bias diterima kebenarannya secara
aksiomatik (apa adanya). Atau dengan bahasa lain upaya tersebut berarti mengisyaratkan
bahwa pelakunya masih menyimpan selilit keraguan atau belum yaqin seratus persen27.
2.2.2 Tahapan dan Jumlah Al-Ahwal Menurut Al-Qusyairi
a. Al-Yaqin
Mengandung tiga macam unsur yaqin, yaitu ilm al yaqin, ain al-yaqin. ilm al-yaqin
adalah sesuatu yang dianggap ada setelah ada pembuktian. ainal-yaqin adalah sesuatu yng
ada dengan sifat-sifat yang sudah sesuai dengan kenyataannya.Secara umumal-yaqin dapat
dijelaskan sebagai keyakinan yang kuat terhadap suatu kebenaan, berdasarkan kesaksian
dari realitas seluruh aspek yang ada.28
Yaqin menurut al-Junaid berarti pembenaran dan determinasi dalam akidah. Hanya saja,
dalam konteks sufisme, hal itu diperoleh dengan meniti jalan tashfiyyah (purifikasi hati)
yang mengantarkan pelakunya pada kasyf dan ilham, bukan dengan deretan bukti-bukti
demonstrative (burhan) atas masalah-masalah teologis yang disampaikan Rasulullah
Shallallahu allaihi wa sallam karena metode tersebut mengandaikan pemosisian masalahmasalah teologis tersebut dalam bingkai penelitian dan pengamatan, sementara
pemosisiannya di depan akal manusia pada level tertentu mengisyaratkan bahwa persoalan
teologis tersebut tidak bisa diterima kebenarannya secara aksiomatik (apa adanya). Atau
dengan bahasa lain upaya tersebut berarti mengisyaratkan bahwa pelakunya masih
menyimpan selilit keraguan atau belum yakin seratus persen.29
Al-Junaid mangatakan: Yakin bearti ketiadaan ragu sama sekali. Suatu kali, ia pernah
menjumpai beberapa orang yang sibuk mencari dan membahas dalil-dalil tentang
27 ibid
28Tohir, Menjelajahi Eksistensi Tsawuf ,Hlm. 101-105
29Hajjaj, Tasawuf Islam Dan Akhlak, Hlm. 87
9 | Page

keberadaan Allah Taala dengan metode dialektika. Ia langsung marah dan berkata,
Menafikan aib dari objek yang tiada aib adalah aib.30
Yaqin juga berarti kepasrahan menerima kebenaran jalan kasyf sufistik sebab tidak
diperolehnya hal itu oleh sebagian kalangan tidak bisa dijadikan alas an untuk mengingkari
diperolehnya hal tersebut oleh kalangan lain yang diberi karunia ini oleh Allah Taala. AlJunaid mengatakan: Yaqin berarti meninggalkan apa yang kau lihat pada apa yang tak kau
lihat.31
2. adz dzikr
3. al uns
4. al qurb
Secara bahasa qurb berarti dekat.Namun, dekat yang dimaksud di sini tidak berkonotasi
tempat, tetapi dekat dalam hati, seperti kata pepatah jauh di mata dekat di hati.Secara
istilah qurb, berarti kedekatan seorang hamba dengan Tuhannya.Kedekatan itu diperoleh
melalui upaya sungguh-sungguh dengan melakukan ketaatan kepada Tuhan dan disiplin
waktu dalam menjaga dan melakukan ibadah. Lawan dari qurb adalah al bud (menjauh)
yaitu mejauh dari Allah Taala dengan cara menentang perintah-Nya dan tidak mau menaati
perintah-Nya.32
Menurut para sufi, seorang dapat mendekatkan diri kepada Allah Taala dengan
senantiasa menaati perintah-Nya, dan menggunakan waktu hidupnya untuk berbakti kepadaNya. Upaya untuk senantiasa dekat dengan Tuhan ini tidak lepasdari factor iman sebagai
sumber kekuatan, yang kemudian melahirkan amal shalih dan perilaku yang terkontrol dari
hal-hal yang bisa merusak kedekatan dengan Allah Taala. Setiap orang yang berusaha
mendekatkan diri kepada Allah Taala akan bertambah kedekatannya kepada-Nya, karena
Allah Taala akan menyambut hamba-Nya yang mau mendekatkan diri kepada-Nya.33

30Hajjaj, Tasawuf Islam Dan Akhlak, Hlm. 87


31Hajjaj, Tasawuf Islam Dan Akhlak, Hlm. 87
32 Azyumardi Azra Dan Asep Usman (Eds),qurb dalam Ensiklopedi Tasawuf, Jilid II
(Bandung: Angkasa, 2008) Hlm. 986-987

33ibid
10 | P a g e

Menurut imam al Ghazali, manusia dapat mendekatkan diri kepada Tuhannya di dunia ini
dengan cara mengenalnya. Dengan Marifah yang tinggi akan bertambah ingatannya secara
terus menerus kepada Allah Taala dan pada hari akhirat nanti manusia yang dekat dengan
Allah Taala, akan bertemu dengan zat Allah Taala dengan mata kepalanya. Sebagai syarat
agar manusia dapat mendekatkan dirinya kepada Allah Taala ia harus menjauhkan diri dari
keburukan-keburukan makhluk-Nya.34
Menurut Imam Qusyairy, kedekatan Allah Taala kepada hambanyatermanifestasi melalui
ilmu dan qudrat-Nya yang bersifat universal. Sedangkan melalui kelembutan dan
pertolongan-Nya, hanya diberikan anugrah kesukacitaan rohani, dan kedekatan tertentu,
sebagimana firman-Nya:

-
-
Artinya: dan Kami lebih dekat kepadanya daripada kamu, tetapi kamu tidak melihat,

(QS. Al- mujadalah : 7).


Pada ayat lain Allah Taala berfirman:






- -
Artinya: Tidakkah engkau perhatikan, bahwa Allah Mengetahui apa yang ada di langit

dan apa yang ada di bumi? Tidak ada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan
Dia-lah yang keempatnya. Dan tidak ada lima orang, melainkan Dia-lah yang keenamnya.
Dan tidak ada yang kurang dari itu atau lebih banyak, melainkan Dia pasti ada bersama
mereka di mana pun mereka berada. Kemudian Dia akan Memberitakan kepada mereka
pada hari Kiamat apa yang telah mereka kerjakan. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui
segala sesuatu.
Berkaitan dengan ayat-ayat di atas, al-Qusyairy menjelaskan, bahwa siapa pun yang
secara hakiki ingin dekat dengan Allah Taala sekurang-kurangnya ia harus selalu berusaha
muraqabah kepada-Nya. Karena dengan jalan muraqabah ini akan timbul keikhlasan dalam
menjalankan perintah dan larangan-Nya. Pada tahap berikutnya, seorang hamba akan selalu
mendekatkan dirinya kepada Allah Taala, akan melahirkan rasa malu bila melakukan
maksiat atau melanggar katentuan syara yang telah ditetapkan oleh Allah Taala.
5. ittishal

34 ibid
11 | P a g e

Istilah ittishal, secara bahasa berarti ketersambungan antara yang satu dengan yang
lainnya. Kata kemudian itu dipakai sebagai istilah tasawuf dalam pengertian
ketersambungan atau keterhubungan seorang sufi dengan Tuhannya.35
Istilah ittishal sederajat dan sepadan dengan istilah-istilah: wasul dan ittihad. Namun,
secara teknis terdapat beberapa perbedaan kecil: wusul bermakna sampai atau tiba di tempat
pencarian; ittihad bermakna penyatuan; dan ittisal bermakna ketersambungan.36
Dalam kamus Bahasa Arab lisan al Arab, kata ittisal berada dalam rumpun kata wasala
yang kemudian mengalami beberapa derivasi, antara lain: pertama,wasal, yang berarti
bersambung, bersambut atau susul menyusul dalam jeda waktu yang singkat. Kata ini lebih
banyak digunakan dalam istilah salat berjamaah. Misalnya, ketika seorang imam mengakhiri

, kemudian disambut oleh makmum
bacaan surat al Fatiah dengan lafaz
aamiin37
Kedua wasl, yang berarti ketersambungan (dalam hubungan penerimaan atau hubungan
transformasi).Dalam penggunaannya, termasuk wasal ini, terutama diterapkan untuk
maksud menegaskan ketersambungan alur transformasi para periwayat hadits dari periwayar
satu ke riwayat selanjutnya.Kata wasl ini juga dimaksudkan untuk menunjuk
ketersambungan akhir malam dari bulan yang satu ke bulan selanjutnya.38
Katiga,wisal, yang berarti bersambung, berlanjut, atau tidak berhenti.Penggunaan kata ini
diterapkan dalam istilah puasa, yakni puasa yang tanpa berbuka dari hari yang satu ke hari
yang selanjutnya.Puasa semacam ini disebut dengan puasa wisal.39
Keempat.ittisal, yang berartitidak terputus atau bernasab dalam hubungan keturunan
secara langsung antara anak dengam bapak. Misalnya adalah ungkapan:Fulan ibn Fulan.

35 Azyumardi Azra Dan Asep Usman (Eds),ittishal dalam Ensiklopedi Tasawuf, Jilid
II (Bandung: Angkasa, 2008) Hlm.. 617-618
36 ibid
37 ibid
38 ibid
39 ibid
12 | P a g e

Sementara sufi sering mengklaim telah mencapai persatuan. Menurut al Ghazali dalam
pengertian inspirasi, atau oleh Jalal al Din Rumi dalam pengertian menyingkap hijab.40
Selain itu, banyak sufi yang menyamakan makna ittisal dengan makna wusul, wasl, dan
ittisal, yang berarti menggambarkan suatu kondisi ketersambungan secara spiritual dengan
Tuhan.41
6. al mahabbah
Mahabbah atau cinta adalah suatu perasaan agung di mana orang yang mencinta
memberikan seluruh keluhuran jiwanya kepada yang dicinta.mahabbah mengandung makna
keteguhan dan kemantapan sikap untuk konsisten kepada apa yang dicintainya, dan selalu
memikirkan yang dicinta. bahkan, rela mengorbankan apapun yang ia miliki demi yang
dicinta.42
Dalam tradisi sufi, mahabbah dianggap demikian tingginilainya dalam pencapaian sufi.
sehingga menempatkan mahabbah sebagai bagian dari maqamat. al-Junaid menyatakan
bahwa seorang yang dilanda cinta akan dipenuhi oleh ingatan pada sang kekasih, sehingga
tak satu pun yang tertinggal, kecuali ingatan pada sang kekasih, bhkan ia meluakan sifatnya
sendiri. semua itu dilakukan dengan tidak sedikit pun perasaan berat atau tertekan,
melainkan semata-mta hanya kesenangan. kesadaran cinta juga berimplikasi pada rasa
penerimaan yang mantap terhadap apapun yag terjadi di alam maupun kejahatan, selalu
diterima dengan lapang dada.43
Mahabbah Lillah (cinta Allah) menurut al-Junaid dalam pengertian yang paling tinggi
bearti ke-fana-an si hamba yang mencintai dari melihat dirinya atau dari keberpalingan
pada bagian-bagiannya karena larut dengan kesibukannya mencintai Tuhannya, terusmenerus berdzikir kepada-Nya, menunaikan hak-hak Allah atasnya dengan melakukan
ketaatan ekstra, dan penengokan hatinya hanya kepada-Nya sehingga ia pun menjadi bersih
dan murni, tergila-gila oleh cinta Allah, dan terbakar hatinya di dalamnya. Jika bicara, ia
bicara tentang Allah. Jika diam, ia diam karena Allah. Bergerak dengan Allah dan diam
40 ibid
41 ibid
42Tohir, Menjelajahi Eksistensi Tsawuf,Hlm. 101
43Tohir, Menjelajahi Eksistensi Tsawuf,Hlm. 101
13 | P a g e

bersama Allah. Dengan bahasa lain, seluruh hidupnya dipenuhi perasaan ang kuat akan
Allah dan kecintaan kepada-Nya.44
Kondisi mahabbah lillah di mana seorang hamba pecinta Allah merasakan fana dari
melihat dirinya dan selain Allah- ini sesekali bisa membawa sebagian mereka pada kondisi
seperti mabuk, lalu berbicara dengan ucapan musykil yang susah dipahami akibat mabuk
asmara atau terlalu cinta sehingga ditentang oleh kalangan kontra-taawuf. Padahal ia tidak
mengucapkan hal tersebut kecuali karena kesejatian cintanya kepada Tuhannya, tanpa
unsure pantheisme (hulul) sama sekali.45
Cinta pada Allah, secara umum melahirkan perasaan riang atau intim dengan Allah
sehingga si pelaku merasa menyesal jika sampai kehilangan keintiman tersebut.Al-Junaid
pernah ditanya, Apa yang disesali seorang pecinta Allah dari waktu-waktunya?Ia jawab,
Atas zaman riang yang berganti kemuraman, atau zaman intim yang berganti keasingan.
(Thaqat asy syafiiyyah dalam)46
7. at tajrid
8. al wasl
2.2.3 Tahapan dan Jumlah Al-Ahwal Menurut Abu Nashr As-Sarraj
Menurut tingkatan hal (Al-Ahwal) menurut Abu Nash As-Sarraj, dapat dikemukakan
sebagai berikut:
a. Tahapan pengawasan diri (al muraqabah)
b. Tahapan kedekatan/kehampiran diri (al-qurbu)
c. Tahapan cinta (al-mahabbah)
d. Tahapan takut (al-khauf)
e. Tahapan harapan (ar-rajaa)
f. Tahapan kerinduan (asy-syauuq)
44Hajjaj, Tasawuf Islam Dan Akhlak, Hlm. 87
45Hajjaj, Tasawuf Islam Dan Akhlak, Hlm. 88
46Hajjaj, Tasawuf Islam Dan Akhlak, Hlm. 89
14 | P a g e

g. Tahapan kejinakan atau senang mendekat kepada perintah Allah (al-unsu)


i. Tahapan perenungan (al-musyahah)
j. Tahapan kepastian (al-yaqiin)
2.3 Macam-Macam Al-Ahwal
a. Qurb
Secara literal, qurb berarti dekat darinnya dan kepadanya. Menurut sari al-saqathi,
qurb(mendekatkan diri kepada Allah) adalah taat kepada-Nya. Sementara ruwaym ibn Ahmad
ketika ditanya tentang qurb, menjawab, menghilangkan setiap hal yang merintangi dirimu untuk
bersama-Nya.47
Dalam pandangan al-sarraj, qurb adalah penyaksian sang hamba dengan hatinya akan
kedekatan Allah kepada-Nya, maka ia mendekat kepada Allah dengan ketaatanya, dan
mengerahkan segala keinginannya kepada Allah semata dengan cara mengingatnya secara
kontinu baik pada keramaian maupun dikala sendiri. Kedekatan allah kepada hambanya banyak
disebut dalam firmanNya seperti: Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang
Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang
yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala
perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam
kebenaran. (QS.Al-Baqarah:186)48
Menurut Al-Sarraj Qurb ada tiga tingkatan yaitu:
1. Tingkatan pertama dari tiga tingkatan orang-orang mendekaat kepada Allah adalah orangorang yang berjuang mendekati Allah dengan berbagai macam ketaatan karena mereka
memiliki pengetahuan yang diberikan oleh Allah, mengetahui kedekatan dan kekuasaan Allah
kepada mereka.
2. Tingkatan kedua adalah orang yang sudah sempurna dengan keadaan tingakat pertama.
Artinnya dengan ketaatan dan ilmunya tentang Allah ia yakin merasa melihat dan dekat
kepada Allah.

47 Mohammad fauqi hajjaj. Tasawuf Islam dan Akhlak


48 ibid
15 | P a g e

3. Tingkatan ketiga adalah kelompok kaum agung dan kaum akhir (hal al-Kubara wa ahl alNihayah). Kondisi qurb mereka seperti yang dicewritakan oleh Husyan al-Nuri. Ia
menjelaskan dalam pandangan kaum sufi, teman sejati adalah Allah dan bukan yang lain.
Kedekatan kepada Allah jauh lebih baik daripada kedekatan sepasang sahabat. Dan
kedekatan sepasang sahabat boleh jadi itu artinnya semakin jauhnya hamaba dari Allah.49
b. Mahabbah
Mahabah secara literal mengandung beberapa pengertian sesuai dengan beberapa
pengertian sesuai dengan asal pengambilan katannya. Mahabbah berasal dari kata hibbah, yang
berarti benih yang jatuh ke bumi, karena cinta adalah sumber kehidupan sebagaimana benih
menjadi sumber tanaman.50
Dalam prespektif tasawuf, mahabbah bisa di telusuri maknanya menurut pandangan para
sufi. Menurut al-Junaid, cinta adalah kecenderungan hati. Yakni hati cenderung kepada tuhan dan
apa-apa yang berhubungan dengan-Nya tanpa usaha. Cinta, menurut pemuka sufi lain, adalah
mengabdikan diri kepada yang dicintainnya. Ali al-Kattani juga memandang cinta sebagai
menyukai kepada apa yang disenanginya dan apa-apa yang datang dari yang dikasihinnya.51
Mahabbah ini, disebut Allah dalam beberapa ayatnya: Hai orang-orang yang beriman,
barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan
suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya, yang bersikap lemah
lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang
berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah
karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas
(pemberian-Nya), lagi Maha Mengetahui. (Qs. al-Maidah:54)

Katakanlah: Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi
dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Qs. alAliImran:31)

49 ibid
50 Bahri Media Zainul, Tasawuf Mendamaikan Dunia
51 ibid
16 | P a g e

Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah;
mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman
amat sangat cintanya kepada Allah. Dan jika seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu [106]
mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan
Allah semuanya, dan bahwa Allah amat berat siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal). (Qs. alBaqarah:165)
Mahabbbah mempunyai tiga tingkatan
a. Tingkatan pertama ini pada intinnya mengandung 3 hal yakni:

Mengerahkan ketaatan pada Allah dan membenci sikap melawan kepada-Nya


Menyerahkan diri kepada sang kekasih secara total
Mengosongkan hati dari segala sesuatu yang dikasihi.

b. Tingkatan kedua
Adalah pandangan hati, keagungan, pengetahuan, dan kekuasaan-Nya. Itulah cinta orang yang
jujur kepada Allah dan orang yang telah menemukan kebenaran dan pengetahuan sejati tentang
tuhan.
c.Tingkatan ketiga
Adalah cintannya orang yang bersikap benar kepada Allah (shiddiqun) dan orang yang mengenal
Allah dengan mata hatinnya (arifin).
c.Uns
Dalam tasawuf Uns berarti keakraban atau keintiman menurut Abu Said Al Kharraj
Uns adalah perbincangn roh dengan Sang Kekasih pada kondisi yangs sangat dekat. Dzunun
memandang Uns sebagai perasaan lega yang melekat pada sang pencinta terhadap Kekasihnya.
Salah seorang pemuka thabiin menulis surat kepada khalifah Umar bin Abdul Aziz,Hendaknya
keakrabanmu hanya dengan Allah semata dan putuskan hubungan selain dengan-Nya.. Menurut
Al-Sarraj, Uns bersama Allah bagi seorang hamba adalah ketika sempurna kesuciannya dan
benar-benar bening zikirnya serta terbebas dari segala sesuatu yang menjauhkannya dari Allah.52
Orang-orang yang intim itu terbagi atas tiga tingkatan.
52 Thabaqat asy-Syafiiyah, 11/272
17 | P a g e

a. Pertama, mereka yang merasa intim dengan sebab zikir dan jauh dari kelalaian, merasa
intim dengan sebab ketaatan dan jauh dari dosa.
b. Kedua, Ketika sang hamba sudah sedemikian intim bersama Allah dan jauh dari apapun
selain-Nya,

yakni

pengingkaran-pengingkaran

dan

bisikan-bisikan

yang

menyibukkannya.

c. Ketiga adalah hilangnya pandangan tentang Uns karena ada rasa segan, kedekatan dan
keagungan bersama Uns itu sendiri. Maksudnya sang hamba sudah tidak melihat uns itu
sendiri.53
d.Yaqin
Perpaduan antara pengetahuan yang luas dan mendalam dengan rasa cinta dan rindu yang
bergelora bertaut lagi dengan perjumpaan secara langsung, tertanamlah dalam jiwanya dan
tumbuh bersemi perasaan yang mantap, Dialah yang dicari itu. Perasaan mantapnya pengetahuan
yang diperoleh dari pertemuan secara langsung, itulah yang disebut dengan Al Yaqin. Yaqin
adalah kepercayaan yang kokoh tak tergoyahkan tentang kebenaran pengetahuan yang ia miliki,
karena ia sendiri menyaksikannya dengan segenap jiwanya.54
Keyakinan menurut Al Sarraj merupakan hal yang tinggi. Ia adalah pondasi dan sekaligus
bagian akhir serta pangkalan terakhir dari seluruh ahwal. Dengan kata lain seluruh ahwal terletak
pada keyakinan yang nampak (Zahir) Puncak dari keyakinan ini diisyaratkan Allah dalam
firman-Nya: Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda
(kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang memperhatikan tanda-tanda. (QS. Al Hijr : 75).
Dan di bumi itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi orang-orang yang yakin. (QS. AlDzariyat :20)
53 ibid
54 Thabaqat asy-Syafiiyah, 1/270
18 | P a g e

Lebih lanjut menurut Al sarraj seluruh ayat-ayat Allah yang berbicara mengenai yaqin
sesungguhnya terdiri atas tiga hal : Ilm Al-yaqin, ain Al yaqin, dan haq Al yaqin. Al Junaid
berpandangan bahwa keyakinan adalah tetapnya ilmu di dalam hati, ia tidak berbalik, tidak
berpindah, dan tidak berubah. Karena tetapnya keyakinan ini, nabi pernah bersabda,Sekalian
makhluk nanti akan dibangkitkan sesuai dengan keadaan mereka ketika mati. Maksudnya sesuai
dengan keyakinan mereka ketika mati.55

e.Adz-Dzikir
Imam al-Qusyairi mengatakan, dzikir adalah lembaran kekuasaan, cahaya, penghubung,
pencapaian kehendak, tanda awal perjalanan yang benar dan bukti akhir perjalanan manuju
Allah. Tidak ada sesuatu selain dzikir. Semua perangai yang terpuji merujuk pada dzikir dan
bersumber darinya.
Dia juga berkata, Dzikir adalah unsure penting dalam perjalanan menuju al-Haq.
Bahkan dia adalah pemimpin dalam perjalanan tersebut. Seseorang tidak akan sampai kepada
Allah kecuali dia tekun dalam dzikir.
f.Al-Wajd
Al-Wajd ialah suatu keadaan yang datang (al-Warid) kepada hati
seseorang tanpa diduga-duga dan tanpa dibuat-buat. Sebahagian ulama' sufi
mengatakan bahawa al-Wajd ialah Musadafah; artinya keadaan yang datang
kepada hati seseorang tanpa dibuat-buat.56 Keadaan-keadaan al-wajd seperti
ini ialah buah atau hasil daripada pengamalan-pengamalan yang konsisten
(al-Awrad) terhadap perkara-perkara sunnah. Oleh sebab itu, sesiapa yang
konsisten dalam menambah dan melakukan perkara-perkara sunnah (alAwrad) maka akan bertambah pula rahsiah-rahsiah (al-Mawajid) yang
dikurniakan Allah kepadanya.
Imam Abu al-Daqqaq berkata :
55 ibid
56al-Sarraj, al-Luma'..., h. 375-389.
19 | P a g e

"Pelbagai keadaan yang datang kepada hati seseorang (al-Waridat) itu


bergantung kepada sejauh mana orang tersebut memiliki istiqamah dalam
melakukan amalan-amalannya (al-Awrad). Seorang yang tidak memiliki
amalan yang tetap (al-Warid) pada wilayah zahirnya maka ia tidak akan
memiliki al-Warid pada wilayah batinnya. Setiap al-Wajd yang datang kepada
seseorang yang tidak memiliki al-Wird maka hakikatnya hal itu bukan alWajd. Sepeti halnya apabila seseorang dalam memiliki istiqamah maka ia
dapat merasakan manisnya ketaatan ibadah yang ia lakukan itu, demikian
juga apabila seseorang istiqamah dalam membina wilayah batinnya (dengan
amalan-amalan Sunnah; al-Awrad) maka ia akan mendapat al-Mawajid".57
Kemudian al-Wajd datang kepada seseorang ada kalanya sangat
kuat. Al-Wajd yang sangat kuat seperti ini memiliki pengaruh besar terhadap
moraliti seseorang. Ada kalanya kerana kedatangan al-Wajd maka seseorang
itu berada dalam keadaan di mana ia tidak sedarkan diri dengan segala
sesuatu yang ada di sekelilingya. Ia hanya bertumpu dalam wilayah batin
yang sedang merasakan al-Mawajid. Keadaan inilah yang disebut al-fana.
Imam al-Qusyairi menggambarkan fana seperti ini dengan mengatakan
bahawa dalam keadaan ini seseorang menjadi lupa tentang dirinya dan
orang atau keadaan di sekelilingnya. Sebenarnya dirinya da, demikian juga
setiap makhluk yang ada di sekelilingnya, mereka ada. Cuma ia tidak sedar
terhadap kewujudan dirinya. Ia seakan-akan tidak memiliki rasa dan indera. 58
Akal

dan

kesedaran

orang ini menjadi

hilang. Inilah seorang yang

disebut majdhub; seorang yang tercerabut akal dan kesedarannya.


g.Al-ittishal
Ittishal atinya bersambung. Mengenai ittishal ini, Abu Ismail Al-Harawi,
pengarang kitab Manazil As-Sairin, menafsirkan firman Allah, Kemudian dia
mendekat dan bertambah dekat maka jadilah dekat (pada Muhammad
sejarak) dua ujung anak panah atau lebih dekat lagi. (Q.S An-Najm: 8-9).
57al-Qusyairi, al-Risalah..., h. 62
58 Ibid, hlm 68
20 | P a g e

Bahwa yang seakan-akan dekat dan bertambah dekat hingga jaraknya


seperti dua ujung busur anak panah atau lebih dekat lagi adalah Allah SWT.
Sekalipun ada segolongan mufassirin yang berpendapat seperti itu, tetapi
pendapat yang benar adalah malaikat Jibril.59
Ittishal berarti pemisahan segala sesuatu yang selain Allah, dalam hati
tidak melihat dalam arti memuja- apapun kecuali Allah dan tidak
mendengar apapun kecuali Allah. Makna kesatuan (ittishal) adalah bahwa
kalbu yang hendaknya terpisah dari semua kecuali Tuhan dan hendaknya
tidak mengagungkan siapapun kecuali Dia. Ini artinya kelekatan kalbu
dengan keadaan dimana ia terpenjara oleh Keagungan Yang Maha Esa
sampai akhirnya melepaskan semua yang lain. An-Nuri berkata, Ittishal
adalah pengungkapan hati dan perenungan kesadaran. Yang dimaksudkan
pengungkapan hati itu seperti perkataan Haritsah, Seolah-olah saya melihat
singgasana Tuhan saya tampil. Sedangkan perenungan itu dilukiskan oleh
hadits Nabi tentang ihsan.60

h.At-tajrid
Tajrid

adalah

sebuah

kondisi

dimana

seseorang

tidak

memiliki

kesibukan duniawi. Sebaliknya, Isytighal adalah sebuah kondisi dimana


seseorang memiliki kesibukan duniawi. Dan yang dimaksud kesibukan
duniawi

adalah

kesibukan-kesibukan

yang

tujuan

akhirnya

bersifat

keduniaan, seperti bekerja atau berdagang.61


59 M. Abdul Mujieb,Syafi'ah,H. Ahmad Ismail M, Ensiklopedia Tasawuf, (Bandung:
Mizan media Utama, 2009), hlm 214
60 Syaikh Abu Bakar Muhammad BinIshaq Al-Kalabadzi, At-Taarruf Li Madzhab
AhliAt-Tashawwuf, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 1993), hlm 183
61 http://belajar-al-hikam.blogspot.co.id/2015/08/sikap-orang-arif-ketikadianugerahi.html
21 | P a g e

Keinginanmu untuk menjauhi semua sarana penghidupan duniawi dan


tidak mau berpayah-payah dalam menjalaninya, padahal Allah telah
menyediakan semua sarana itu untuk kaujalani, bahkan saat menjalaninya
pun agamamu tetap terjaga, sifat tamak tetap jauh darimu, ibadah lahir dan
keadaan batinmu juga tidak terganggu, maka keinginan semacam itu
termasuk syahwat yang tersamar.62
Dianggap "syahwat" karena kau tidak mau menjalani kehendak
Tuhanmu dan lebih memilih kehendakmu sendiri.

Disebut " tersamar"

karena sekalipun pada lahirnya keinginanmu ialah menjauhi dunia dan


mendekatkan diri kepada Allah, namun keinginan batinmu yang sebenarnya
ialah agar mendapatkan popularitas dengan ibadah dan kewalianmu supaya
orang-orang mendatangimu dan menjadikanmu panutan. Untuk itulah,
kaupun rela meninggalkan apa yang telah menjadi kebiasanmu, yaitu
mencari kehidupan duniawi.63
Orang-orang 'Arif menyatakan bahwa kedekatan manusia dengan
seorang murid yang belum mencapai kesempurnaan bisa menjadi racun
pembunuh bagi diri murid itu. Karena bisa jadi, murid itu akan terdorong
untuk menjauhi kewajiban-kewajiban ibadah dan zikirnya karena ia lebih
suka mengharap apa yang akan diberikan oleh manusia.64
Sebaliknya, keinginanmu untuk bekerja dan berusaha keras mencari
penghidupan duniawi, padahal Allah telah menyediakannya untukmu dengan
mudah tanpa harus bersusah payah, misalnya dengan dipenuhinya semua
sandang dan panganmu, dan kau pun tetap merasa tenang dan damai meski
kekurangan, bahkan kau tetap bisa saja terus beribadah dengan tekun, maka
62 http://belajar-al-hikam.blogspot.co.id/2015/08/sikap-orang-arif-ketikadianugerahi.html
63 http://belajar-al-hikam.blogspot.co.id/2015/08/sikap-orang-arif-ketikadianugerahi.html
64 http://belajar-al-hikam.blogspot.co.id/2015/08/sikap-orang-arif-ketikadianugerahi.html
22 | P a g e

sikap seperti itu sama saja dengan mundur dari tekad luhur. Karena kau
sekarang cenderung bergantung kepada makhluk, padahal sebelumnya kau
bergantung kepada sang Khalik.65
Sebenarnya, berbaur dengan orang-orang yang sibuk mengurusi dunia
saja sudah cukup membuat tekad luhurmu ternodai. Oleh karena itu, yang
wajib bagi para salik (peniti jalan menuju Allah) ialah tetap diam di tempat
yang telah ditetapkan dan diridhai oleh Allah untuknya, sampai Allah sendiri
yang akan mengeluarkannya dari tempat itu.66

65 http://belajar-al-hikam.blogspot.co.id/2015/08/sikap-orang-arif-ketikadianugerahi.html
66http://belajar-al-hikam.blogspot.co.id/2015/08/sikap-orang-arif-ketikadianugerahi.html
23 | P a g e

BAB III
PENUTUP

3.1 Simpulan
Dari penjelasan diatas maka dapat ditarik simpulan sebagai berikut :
1. Al-ahwal menurut imam Al-Ghazali adalah kedudukan atau situasi kejiwaan yang
dinugerahkan Allah kepada seorang hamba pada suatu waktu, baik sebagai buah dari
2.

amal shaleh yang mensucikan jiwa atau sebagai pemberian semata.


Tahapan al-Ahwal menurut para ahli :
A. Imam al-Junaid
a. Muraqabah lillah
b. Qurb
c. Mahabbah lillah
d. Khauf min Allah
e. Raja fillah
f. Syauq ila Allah
g. Al uns billah
h. Musyahadah
i. Yaqin
B. al-Qusyairi
a. Al-Dzikr
b. Al-Uns
c. Al-Qurb
d. Ittishal
e. Al-Mahabbah
f. At-Tajrid
g. Al-Wasl

24 | P a g e

C. Imam Hanafi
a. Tahapan pengawasan diri (al muraqabah)
b. Tahapan kedekatan/kehampiran diri (al-qurbu)
c. Tahapan cinta (al-mahabbah)
d. Tahapan takut (al-khauf)
e. Tahapan harapan (ar-rajaa)
f. Tahapan kerinduan (asy-syauuq)
g. Tahapan kejinakan atau senang mendekat kepada perintah Allah (al-unsu)
h. Tahapan perenungan (al-musyahah)
i. Tahapan kepastian (al-yaqiin)
3. Macam-macam al-ahwal
a. qurb
b. mahabbah
c. uns
d. yaqin
e. dzikir
f. al wajd
g. al ittishal
h. al tajrid
3.2 Saran
Mahasiswa tidak hanya sekedar mengetahui al-ahwal dan macam-macamnya tapi
juga dapat memahaminya. Dan juga agar mahasiswa lebih meng eksplor kajian
pustaka terkait perbedaan pendapat para ahli tasawuf mengenai tahapan dan jumlah
al-ahwal.

DAFTAR PUSTAKA

Al- Munawi, ath-Thabaqat al-Kubra, 1938 M


Al-Ghazali, Abu Hamid. Ihya ulum ad-Din, Taqdim Dr. Badri Thabbanah. Mesir: Al-Halabi
Al-Qusyairi, Abu al-Qasim. Ar-Risalah al-Qusyairiyah, tahqiq Dr. Abdul Halim Mahmud dan
Thaha Abdul Baqi. Mesir: 196
25 | P a g e

Amin, Samsul Munir. 2012. Ilmu Tasawuf. Jakarta: Amzah


As-Sulami, Abu Abdurrahman. Thabaqat ash-Shufiyyah, tahqiq Nuruddin Syaribah. 1960 M
Asy-Syarani. Thabaqat al-Kubra. Shubaih
Ath-Thusi, Abu Nashr. Al-Luma, tahqiq Dr. Abdul Halim Mahmud dan Thaha Abdul Baqi.
Mesir: Dar al-Kutub al-Haditsah, 1960
Hajaj, Muhammad Fauqi. 2011. Tasawuf Islam dan Akhlak. Jakarta: Bumi Aksara
Nahrowi, Moenir. 2012. Menjelajahi tasawuf. Jakarta: As-Salam Pustaka
Sholihin, Muhammad. 2003. Tasawuf tematik. Bandung: Pustaka Setia
Zainul, Bahri Media. 2010. Tasawuf Mendamaikan dunia. Pamulang: Erlangga

26 | P a g e

Anda mungkin juga menyukai