Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

PENGERTIAN MUSYAHADAH

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas pada :

Mata Kuliah : Teori Dasar Tasawuf

Semester : 3 (tiga)

Dosen Pengampu : Amilan, S.Ag. S.Pd. M.PdI.

Disusun Oleh :

1. Rofiqoh Dwi Imroatus Syahidah

2. Trynita Yuniarti

3. M. Irfansyah Rohmatus Syuhada’

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

SEKOLAH TINGGI AGAMA AR-ROSYID

SURABAYA

2022

KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan kepada allah SWT, karena atas rahmat dan hidayah-nya
penulis dapat menyusun dan menyelesaikan tugas makalah tentang Psikologi Belajar yang
berjudul “PENGERTIAN MUSYAHADAH” shalawat serta salam semoga tersampaikan kepada
rasulullah SAW. Sang pembawa rahmat bagi seluruh alam, sosok tauladan yang patut kita tiru
sebagai bekal kita menempuh perjalanan di dunia dan akhirat.

Kami ucapkan terima kasih kepada bapak dosen mata kuliah Teori dasar tasawuf dan
semua pihak yang telah membantu dalam menyusun makalah ini dan semoga makalah yang
sederhana ini bisa bermanfaat bagi semua orang khususnya bagi penyusun, mungkin dalam
penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan yang perlu dikoreksi baik dari segi susunan
tata bahasa maupun materi yang dibahas. Oleh Karena itu kritik dan saran yang bersifat
membangun sangat penulis harapkan demi kemajuan di masa yang akan datang.

Surabaya, 27 November
2022

Penyusun
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Secara umum ajaran Islam mengatur kehidupan yang bersifat lahiriah dan batiniah.
Pemahaman terhadap unsur kehidupan yang bersifat batiniah tersebut melahirkan tasawuf.
Tasawuf pada awal pembentukkannya adalah akhlak atau keagamaan yang diatur dalam al-
Qur’an dan as-Sunnah. Banyak tokoh-tokoh yang ada dalam ilmu tasawuf, sehingga banyak
pula perbedaan aliran. Tujuan tasawuf adalah memperoleh hubungan langsung dengan Allah
SWT. Tercapainya tujuan bisa kita raih dengan usaha yang panjang dan penuh rintangan. Hal
itu bisa di mulai secara bertahap. Di dalam perjalanan menuju Allah tersebut, kaum sufi harus
menempuh berbagai tahapan, yang dikenal dengan maqamat dah ahwal. Kedua hal tersebut
tidak dapat dipisahkan. Maqamat dan ahwal adalah dua hal yang biasa dialami oleh orang
yang menjalani tasawuf sebelum sampai pada tujuan.

Dan kami akan membahas tentang musyahadah yang termasuk dalam tahapan ahwal,
dan juga merupakan salah satu tahapan yang penting dalam tasawuf untuk mencapai ma’rifat
kepada Allah. Yang dalam karya kami ini akan membahas apa pngertian musyahadah,
tingkatan-tingkatannya dan bagaimana tahapan untuk mencapai musyahadah itu sendiri.
B. RUMUSAN MASALAH

1. Apa pengertian Musyahadah?

2. Apa saja tingkatan musyahadah?

3. Apa saja tahap-tahap dalam musyahadah?

C. TUJUAN PENULISAN

1. Untuk mengetahui pengertian Musyahadah.

2. Untuk mengetahui tingkatan musyahadah.

3. Untuk mengetahui tahap-tahap dalam musyahadah.


BAB II

PEMBAHASAN

1. Pengertian Musyahadah

Kata musyahadah adalah menyaksikan dengan mata kepala, tetapi dalam terminologi
tasawuf diartikan menyaksikan secara jelas dan sadar apa yang dicarinya itu. Dalam hal ini
apa yang dicari seorang sufi adalah Allah. Jadi ia telah merasa berjumpa dengan Allah.
Muhadharah dan mukasyafah adalah dua kata yang hampir sama maksudnya dengan
musyahadah. Kalau dapat diartikan sebagai adanya perasaan hadirnya atau beradanya Allah
dalam hatinya, maka sebagai kelanjutannya terjadilah mukasyafah, yaitu tersingkapnya tabir
yang menjadi senjangan antara sufi dengan Allah. Dengan demikian tercapailah
musyahadah. Orang yang memperoleh muhadharah disebut hudhur, yaitu apabila seseorang
telah merasakan hadirnya Allah dalam hatinya secara terus-menerus sehingga yang yang
dirasa dan diingatnya hanya Allah Swt.1

Dari segi bahasa musyahadah itu berasal dari rumpun kata Syahida-Shaahada yg
mempunyai arti bersaksi atau menyaksikan, oleh karna itu seseorang belum dpt untuk
dikatakan sebagai seorang Islam jika orang tersebut belum menyatakan akan dua kalimat
syahadat. Didalam bermusyahadah ini juga sangatlah di butuhkan sebab segala peristiwa
atau kejadian itu yg pertama di tanyakan adalah adanya penyaksian atau saksi.

Pokoknya orang yang ingin mencapai musyahadah kepada Allah hanya akan bisa
dicapai dengan mujahadah dan senantiasa taqarrub dengan billah dan melanggengkan
dzikrullah, disertai kebersihan hatinya. Pada hakikatnya musyahadah itu adalah merasakan
berhadapan dengan Allah dan bersama Allah atau yang dinamakan “hudlurul qalbi”.
Mengingat Allah dengan sepenuh hati, artinya dengan hati yang khusyu’ saat melakukan
dzikrullah dan bertaqarrub kepada Allah.

1
 H.A. Rivay Siregar, Tasawuf : dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme, 1999, Jakarta : Raja Grafindo Persada, hlm. 138.
Dalam konteks hubungan dengan “Menyaksikan Allah” dan “Seakan-akan
menyaksikan Allah”, maka ada sejumlah ayat, misalnya ketika Nabi Musa as, berhasrat
ingin menyaksikan dan melihat Allah. “Musa as berkata: Ya Tuhan, tampakkan diriMu
padaKu, aku ingin memandangMu.” Allah menjawab, “Kamu tidak bisa melihatKu” (al-
A’raf 143). Ayat lain menyebutkan, “Kemana pun engkau menghadap, disanalah Wajah
Allah.”(Al-Baqarah 115). “Sesungguhnya aku hadapkan wajahku kepada Dzat yang
menciptakan langit dan bumi dengan penuh kepatuhan (Al-An’aam 79)”.

Setelah mencapai musyahadah ini, kemudian menanjak lagi ke tingkat al-


Mukasyafah atau terbukanya segala rahasia artinya tiada tertutup lagi sifat-sifat ghoib.
Maksudnya terbukalah rahasia alam ghoib yaitu tiada tertutup dari sifat-sifat ghoib. Setelah
itu barulah seseorang dapat mencapai tingkat al-musyahadah. Menurut al Junaidi al
Baghdadi “Al Musyahadah adalah nampaknya Al-Haqqu Ta’ala dimana alam perasaan
sudah tiada.2

2. Tingkatan Musyahadah

Menurut Al Sarraj, musyahadah adalah hal yang tinggi, ia merupakan gambaran-


gambaran yang menambah hakikat keyakiinan. Tingginya hal Musyahadah ini ditunjukkan
oleh firman Allah, “Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan
bagi orang-orang yang mempunyai akal atau yang menggunakan pendengarannya, sedang
dia menyaksikannya”. (QS. Qaf :37). Menyaksikan dalam ayat ini berarti menghadirkan hati
atau kesaksian hati bukan dengan mata.

2
Moh Saifulloh Senali, Risalah Memahami Ilmu Tasawuf, 1998, Surabaya : Terbit Terang, hlm. 57.
Hal Musyahadah ini dapat dikatakan merupakan tujuan akhir dari tasawuf, yakni
menemukan puncak pengalaman rohani kedekatan seorang hamba dengan Allah.  Menurut
Al sarraj ahli Musyahadah terbagi atas tiga tingkatan:

1. Tingkat pertama, adalah kelompok Al Ashagir (pemula), yakni mereka yang


berkehendak.

2. Tingkat kedua, kelompok pertengahan (Al-Awsath). Dalam pandangan kelompok ini


Musyahadah berarti bahwa ciptaan ada pada genggaman Yang Haq dan pada kerajaan-
Nya.

3. Tingkat ketiga seperti yang diterangkan Al Makki, hati kaum arifin ketika menyaksikan
Allah sesungguhnya menyaksikan dengan kesaksian yang kokoh

Musyahadah adalah nampaknya Allah pada hambanya dimana seorang hamba tidak
melihat sesuatu apapun dalam beribadah, kecuali hanyalah menyaksikan dan meyakini
dalam hatinya, bahwa ia hanyalah berhadapan dan dilihat oleh Allah SWT. Dalam beribadah
ia tidakmenghiraukan lagi terhadap sesuatu yang disekelilingnya, termasuk dirinya sendiri
karena asyiknya berhubungan dengan Allah seakan-akan Allah benar-benar nampak
dihadapannya.

Seorang akan dapat mencapai musyahadh billah, jikalau ia melakukan mujahadah


fil amal dan sebelumnya telah mencapai maqam fana’ atau memunafikkan tujuan lain selain
daripada Allah. Ibadahnya hanya semata-mata ditujukan dan dihadapkan kepada Allah dan
sama sekali bebas dari unsur riya’.
3. Tahap-tahap dalam Musyahadah

Adapun terjadinya musyahadah adalah dengan adanya nur musyahadah yang terpancar
dalam hati seseorang. Dan terjadinya musyahadah ini melalui tiga tahap yaitu :

1. Nur musyahadah pertama, adalah yang membukakan jalan dekat kepada Allah. Tanda-
tandanya ialah seorang merasa muraqabah/ berintaian dengan Allah.

2. Nur musyahadah kedua, adalah tampaknya keadaan “adamiah”  yakni hilangnya segala


maujud, lebur kedalam wujud Allah dan baginyalah wujud yang hakiki.

3. Nur musyahadah ketiga yakni tampaknya Dzatullah yang maha suci. Dalm hal ini bila
seorang telah fana’ sempurna, yaitu diantaranya telah lebur dan yang baqa’ hanyalah
wujud Allah.

Musyahadah ini masuk pada hati seorang hamba Allah yang telah melakukan mujahadah fil
ibadah dengan cara memfana’kan diri terlebih dahulu, mengikhlaskan dirinya dalam
beribadah dan menghilangkan sifat-sifat yang menjadi penghalangnya musyahadatur
rabbaniyah. Karena itu ada pula yang mengatakan bahwa musyahadah bisa dicapai melewati
pintu mati.

Selanjutnya jalan yang ditempuh untuk sampai pada musyahadah dengan Allah melalui
pintu mati (dalam pengertian matinya nafsu untuk hidupnya hati)dapat ditempuh pada 4
tingkat yaitu :

1. Mati tabi’i

Menurut sebagian ahli thariqat, bahwa mati thabi’i terjadi dengan karunia Allah pada
saat dzikir qalbi didalam dzikir lathaif. Dan mati tabi’i ini merupakan pintu
musyahadah pertama dengan Allah.

2. Mati ma’nawi

Menurut sebagian ahli thariqat bahwa mati ma’nawi ini terjadi dengan karunia Allah
pada seseorang salik saat melakukan dzikir Lathifatur Ruh. Dalam dzikir lathifatur
Ruh itu sebagai ilham yang tiba-tiba nur Ilahi terbit dalam hati. Ketika itu
penglihatan secara lahir menjadi hilang lenyap dan mata batin menguasai
penglihatan.

3. Mati suri

Mati suri ini terjadi dengan karunia Allah pada saat seseorang salik melakukan dzikir
lathifatus sirri dalam dzikir lathaif. Pada tingkat ketiga ini, seorang salik telah
memasuki pintu musyahadah dengan Allah. Ketika itu segala keinsanan lenyap/fana’
alam wujud yang gelap telah ditelan oleh alam ghaib/alam malakut yang penuh
dengan nur cahaya. Dalm pada ini yang baqa’ adalah nurullah, nur shifatullah, nur
asmaullah, nur dzatullah dan nurun ala nurin.

Untuk mencapai keadaan musyahadah seperti tersebut diatas adalah dengan


mujahadah, niscaya Allah akan memperbaiki sirnya/hatinya dengan musyahadah.
Apabila seseorang telah mendapatkan karunia Allah dengan musyahadah, maka
dengan sendirinya akan lenyaplah segala hijab dari sifat-sifat basyariah, nampaknya
Allah atau tajalli.3

3
Lutfiana Dwi Mayasari, Ajaran Pokok Tasawuf : Maqaamat dan Ahwal, diakses dari http://lutfianamayasari.blogspot.co.id/2015/05/ajaran-
pokok-tasawuf-maqaamat-dan-ahwal.html tanggal 22 November 16 pukul 18.32 WIB.
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Musyahadah yaitu dapat diartikan dengan menyaksikan allah. Sebenarnya dalam


mukasyafah, yaitu tiada yang menghalangi diri hamba dengan allah. Namun yang menghalangi
adalah prasangka hamba itu sendiri karena dia berprasangka adanya sesuatu selain allah. Allah
sesungguhnya tidak bisa dihijabi oleh apapun.
DAFTAR PUSTAKA

Mayasari, Lutfiana Dwi, Ajaran Pokok Tasawuf : Maqaamat dan Ahwal, diakses dari
http://lutfianamayasari.blogspot.co.id/2015/05/ajaran-pokok-tasawuf-maqaamat-dan-
ahwal.html tanggal 22 November 16 pukul 18.32 WIB.

Senali, Moh Saifulloh, Risalah Memahami Ilmu Tasawuf, Surabaya : Terbit Terang, 1998.

Siregar, H.A. Rivay, Tasawuf : dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme, Jakarta : Raja Grafindo
Persada, 1999.

Anda mungkin juga menyukai