Anda di halaman 1dari 8

EPISTEMOLOGI TASAWUF

Nama : Pranita Harahap

NIM : 0705162003

Prodi/Sem : Fisika / II

Fakultas : Sains dan Teknologi (SAINTEK)

Perguruan Tinggi : Universitas Islam Negeri Sumatera Utara

Dosen Pengampu : Dr. Ja’far MA

Mata Kuliah : Akhlak Tasawuf

Tema : Peran Hati dalam Tasawuf , Metode Tazkiyah Al-Nafs

Buku : Gerbang Tasawuf

Identitas Buku : Ja’far, Gerba g Tasawuf, Di e si Teoritis da Praktis Ajara Kau


Sufi

( Medan : Perdana Publishing, 2016 )

Sub I : Peran Hati dalam Tasawuf

Sub II : Metode Tazakiyah al-Nafs

1
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam rangka meraih derajat kesempurnaan, seorang sufi dituntut untuk


melampaui tahapan-tahapan spiritual, memiliki suatu konsepsi tentang jalan
(thariqat) menuju Allah SWT, jalan ini dimulai dengan latihan-latihan rohaniah
(riyadhah) lalu secara bertahap menempuh berbagai fase yang dalam tradisi
tasawuf dikenal dengan maqam (tingkatan).

Ahwal berlainan dengan maqam, bukan diperoleh atas usaha manusia, tetapi
diperdapat sebagai anugerah dan rahmat dari Allah SWT. Dan berlainan pula
dengan maqam, hal bersifat sementara, datang dan pergi, datang dan pergi bagi
seorang sufi dalam perjalanannnya mendekati Allah SWT.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Al-Maqamat ?
2. Apa yang dimaksud dengan Al-Ahwal ?

C. Tujuan Makalah

Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui:

1. Pengertian Al-Maqamat dan Al-Ahwal.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Al-Maqamat

Secara harfiah maqamat berasal dari bahasa Arab yang berarti tempat orang
berdiri atau pangkal mulia. Istilah ini selanjutnya digunakan untuk arti sebagai
jalan panjang yang harus ditempuh oleh seorang sufi untuk berada dekat dengan
Allah. Dalam bahasa Inggris maqamat dikenal dengan istilah stages yang berarti
tangga.

Karya-karya para sufi telah menunjukkan bahwa tasawuf sebagai disiplin ilmu
dirancang sebagai media informasi bagi manusia untuk mendekatan diri kepada
Allah SWT sehingga para penempuh jalan tasawuf (al-murid/al-salik) akan dapat
meraih kemantapan tauhid dan makrifat. Sebab itu, para sufi menyusun teori
mengenai usaha-usaha untuk menempuh perjalan spiritual (thariqah) berupa
tangga-tangga pendakian spiritual yang disebut al-maqamat. Dalam kitab al-
Luma’, al-Thusi menjelaskan bahwa maqamat adalah tingkatan antara seorang
hamba dengan Allah SWT yang dibangun atas dasar pelaksanaan ibadah,
mujahadah, riyadahah, dan kebersamaan dengan-Nya.

Dalam Adab al-Muridin, Abu al-Najib al-Suhrawadi, al-maqamat adalah


tingkatan spiritual seorang hamba dalam ibadah dihadapan Allah SWT. Dalam
Risalah al-Qusyairiyyah, al-Qusyairi menjelaskan bahwa al-maqamat adalah
tingkatan spiritual yang akan diraih salik dengan jalan mujahadah dan
mengamalkan adab-adab, perilaku, dan sikap tertentu, serta riyadhah.

Dengan demikian, al-maqamat adalah tingkatan-tingkatan spiritual seorang


sufi, dari tingkatan paling mendasar sampai tingkatan tertinggi, yaitu dekat

1
Prof. Dr. H. Abuddin Nata, M.A, Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia Edisi Revisi, (Jakarta: PT
Raja Grafindo Persan,2014), hlm.167.
Dr. Ja’far, MA, Gerbang Tasawuf, (Medan: Perdana Publishing,2016), hlm.48-50.

3
dengan Allah SWT, yang diperoleh salik secara mandiri melalui pelaksanaan
ibadah, mujahadah, dan riyadhah secara terus menerus. Seseorang tidak dapat
beranjak dari satu maqam lain sebelum ia memenuhi semua persyaratan yang ada
pada maqam tersebut.

Perjalanan menuju Allah SWT merupakan metode pengenalan (makrifat)


secara (rohaniah) yang benar terhadap Allah SWT. Manusia tidak akan
mengetahui banyak penciptanya selama belum melakukan perjalanan menuju
Allah SWT. Walaupun ia adalah orang yang beriman secara aqliyah. Sebab, ada
perbedaan yang dalam antara iman secara aqliyah atau logis-teoretis (al-iman al-
aqli an-nazhari) dan iman secara rasa (al-iman asy-syu’ri adz-dzauqi).

Tingkatan (maqamat) adalah tingkatan seorang hamba di hadapannya tidak


lain merupakan kualiats kejiwaan yang bersifat tetap, inilah yang membedakannya
dengan keadaan spiritual (hal) yang bersifat sementara. Dikalangan kaum sufi,
urutan maqamat berbeda-beda, sebagian mereka merumuskan dengan sederhana,
seperti rangkaian berikut ini: (1) tanpa qanaah, tawakkal tidak akan tercapai; (2)
tanpa tawakal, taslim tidak akan ada sebagaimana; (3) tanpa obat, inabah tidak
akan ada; (4) tanpa wara’, zuhud tidak akan ada.

Dasar pikiran al-maqamat dapat dilihat dari pendapat kaum sufi mengenai
gerak menurun wujud dan gerak menaik wujud. Menurut Sayyid Yahya Yatsribi,
hakikat wujud melewati ameka ragam tingkatan gerak menurun sampai kepada
manusia, lalu gerakan terebut akan kembali menaik dari manusia menuju kepada
titik permulaan (hakikat wujud). Apabila hendak kembali menuju kepada titik
permulaan tersebut, maka manusia harus mengarungi pejalanan panjang (thariq)
dari alam keberbilangan menuju alam kemanunggalan dengan cara menerapkan
sejumlah adab dan tata karma (thariqah), baik suluk maupun mujahadah.

2
Drs. H. Ahmad Bangun Nasution, MA dan Dra. Hj. Rayani Hanum Siregar, M.H., Akhlak Tasawuf:
Pengenalan, Pemahaman, dan Pengaplikasiaanya, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,2015),
hlm.47.
Dr. Ja’far, MA, Gerbang Tasawuf, (Medan: Perdana Publishing,2016), hlm.50-52.

4
Inilah makna dari pernyataan agama bahwa manusia berasal dari Allah (gerak
menurun jiwa dari alam tertinggi [Tuhan] menuju alam terendah [jasad]), dan
akan kembali kepada-Nya (gerak menaik jiwa dari alam terendah [jasad] menuju
kehadirat Allah SWT sebagai realitas tertinggi dan sumber alasannya.

B. Pengertian Al-Ahwal

Al-Ahwal adalah keadaan hati (qalb) seorang sufi sebagai akibat dari
kemurnian zikirnya. Al-Ahwal merupakan keadaan hati seorang salik yang bukan
merupakan hasil usahanya secara mandiri, melainkan pemberian dari Allah SWT.

Datangnya kondisi mental itu tidak menentu, terkadang datang dan pergi
berlangsung sangat cepat. Keadaan seperti itu disebut “lawaih”. Adapula yang
datang dan perginya kondisi mental itu dalam tempo yang panjang dan lama, ini
disebut “bawaidh”. Dan apabila kondisi mental itu secara terus-menerus dan
menjadi kepribadian, itulah yang disebut “al-hal”. Menurut al-Qusyairi, al-hal itu
selalu bergerak naik setingkat demi setingkat sampai ke titik kulminasi, yaitu
puncak kesempurnaan rohani.

Ahwal adalah bentuk jamak dari “hal”. Hal merupakan keadaan mental,
seperti perasaan senang, perasaan sedih, perasaan takut dan sebagainya yang
dialami para sufi di sela-sela perjalana spiritualnya. Hal ini merupakan anugerah
dan rahmat dari Allah SWT.

Al-Sarraj, sebagai sufi yang hidup lebih dahulu dari para sufi diatas,
memandang bahwa ahwal adalah “Apa-apa yang bersemayam didalam kalbu
dengan sebab zikir yang tulus”. Ada yang mengatakan bahwa hal adalah zikir

3
M. Iqbal Irham, M.Ag, Membangun Moral Bangsa Melalui Akhlak Tasawuf, (Ciputat: Pustaka Al-
Ihsan,2013), hlm.142-143.
Drs. H. Ahmad Bangun Nasution, MA dan Dra. Hj. Rayani Hanum Siregar, M.H., Akhlak Tasawuf:
Pengenalan, Pemahaman, dan Pengaplikasiaanya, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,2015),
hlm.53.
Dr. Ja’far, MA, Gerbang Tasawuf, (Medan: Perdana Publishing,2016), hlm.48 dan 52.

5
yang lirih (khafiy), sebagaimana Hadis Nabi yang menyatakan bahwa sebaik-baik
zikir adalah lirih yang (khayr al-dzikir al-khafy). Menurtu Al-Sarra, Al-Junaid
juga melihat bahwa hal bertempat didalam kalbu dan tidak kekal. Dalam
pandangan al-Sarraj, hal tidak diperoleh melalui ibadah, riyadhah, dan mujahadah
sebagaimana maqamat, melainkan anugerah Allah.

Mengenai al-Ahwal, para sufi telah menyebutkan beberapa keadaan hati


seorang salik yang dirasakan selama melewati beragam tingkatan spiritual.
Menurut al-Thusi, diantara al-ahwal adalah al-muraqabah, al-qurb, al-mahabbah,
al-khauf, al-raja, al-syawq, al-uns, al-thuma’ninah, al-musyahadah, dan al-yaqin.
Menurut al-Quraisyi diantara yang termasuk al-ahwal adalah thurb, hurzn, basth,
qabdh, dan syawq. Menurut Abu al-Najib al-Suhrawardi, diantara yang termasuk
dalam al-ahwal adalah al-muraqabah, al-qurb, al-mahabbah, al-raja’, al-khauf, al-
haya’, al-syawq. Menurut Abu al-Najib al-Suhrawardi, diantara yang termasuk
dalam al-ahwal adalah al-muraqabah, al-qurb, al-mahabbah, al-raja’, al-khauf, al-
haya’, al-syawq, al-thuma’ninah, al-yaqin, dan al-musyahadah.

Sejumlah al-ahwal tersebut merupakan pemberian Allah SWT kepada salik


yang sedang menjalani beragam ibadah untuk menapaki satu persatu maqam dari
yang awal sampai yang paling akhir sebagai puncak tertinggi dari kedudukan
spiritual yang mungkin dicapai seorang sufi.

Para sufi telah merumuskan susunan al-maqamat dan al-ahwal secara berbeda,
sebagi dampak dari perbedaan pengalaman spiritual mereka, bahkan sebagian sufi
menerangkannya secara simbolis melalui novel-novel mistis yang sebenarnya
menjelaskan perjalanan spiritual seorang salik menuju Allah SWT.

4
Dr. Ja’far, MA, Gerbang Tasawuf, (Medan: Perdana Publishing,2016), hlm.50-51.
Drs. H. Ahmad Bangun Nasution, MA dan Dra. Hj. Rayani Hanum Siregar, M.H., Akhlak Tasawuf:
Pengenalan, Pemahaman, dan Pengaplikasiaanya, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,2015),
hlm.53.

6
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa jalan yang harus


ditempuh oleh seorang sufi untuk mencapai tujuan memperoleh hubungan batin
dan bersatu secara rohaniah dengan Tuhan bukanlah jalan yang mudah, jalan itu
sulit, dan untuk pindah dari stasiun ke stasiun lain menghendaki usaha yang berat
dan waktu yang bukan singkat.

Meski para sufi berbeda pendapat mengenai pengertian ahwal secara luas,
perlu dipertegas disini bahwa menurut Al-Sarraj, hal adalah hasil dari usaha dan
perjuangannya didalam menempuh maqamat. Maqam diusahakan, sementara hal
tidak. Maqam sifatnya tetap dan permanen, sedankan hal tidak tetap, datang dan
pergi.

B. Saran

Penulis berharap para pembaca bisa memberikan kritik dan saran yang
membangun kepada penulis demi sempurnanya makalah ini dan penulisan
makalah dikesempatan berikutnya. Semoga makalah ini berguna bagi penulis pada
khususnya juga para pembaca pada umumnya.

7
DAFTAR PUSTAKA

Bangun, Ahmad Nasution dan Rayani Hanum Siregar, 2015. Akhlak Tasawuf:
Pengenalan, Pemahaman, dan Pengaplikasiaanya. Jakarta: PT Grafindo
Persada.

Irham, Iqbal. 2013. Membangun Moral Bangsa Melalui Akhlak Tasawuf. Ciputat:
Pustaka Al-Ihsan.

Ja’far. 2016. Gerbang Tasawuf. Medan: Perdana Publishing.

Nata, Abuddin. 2014. Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia Edisi Revisi. Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada.

Anda mungkin juga menyukai