Anda di halaman 1dari 12

[1]

NAMA: MUHAMMAD RIDLO FANI DZAKIY ILAWAN


NIM : 1860306231009
KELAS : BKI 1A

TAWASUF EKSPANSIF
Struktur Pendakian Spiritual dalam Tasawuf

Sementara itu, para sufi lainnya memujinya.Berbagai cerita tentang keanehan Wali
di berbagai negara Islam merupakan kelanjutan dari persepsi mistik di benak
simpatik.Pengalaman mistik sufi harus dilihat sebagai wujud pengalaman
keagamaan yang sejati, suatu pengalaman yang tidak terlukiskan dan tidak dapat
dikomunikasikan, dan pengalaman mistik para sufi ini berada di luar kemampuan
akal untuk menjelaskannya. Dalam tasawuf, amal merupakan salah satu bentuk
pengamalan dan realisasi ajaran tasawuf, dan rahmat Ilahi adalah hasil yang
diterima seorang tufi setelah mengamalkan tasawuf Sangat ketat dan intensif baik
melalui Mujahada maupun Riyadak. Dengan melakukan hal ini, Dia melengkapi
kesempurnaan manusia. Semakin tinggi tingkatan yang dapat dicapai oleh seorang
calon sufi, maka semakin tinggi pula tingkat spiritual calon sufi tersebut dan
semakin besar kemungkinannya untuk mendekatkan diri dan menjadi kekasih
Allah SWT. Doa Allah sering kali terkabul. Jumlah anak tangga yang harus dinaiki
oleh para penganut sufi untuk mencapai Tahan berbeda-beda seiring dengan
perbedaan persepsi dan standar mereka. Lapidus menunjukkan bahwa kaum mistik
berada pada tahap kenaikan menuju keilahian yang berbeda-beda. Pada akhir abad
ke-9, mereka bersama-sama merumuskan teori kemajuan spiritual yang
menggabungkan inspirasi Al-Qur'an dan Kovakati dengan pengalaman hidup
generasi pencari.

Siradj mengatakan bahwa Daun Nun al-Mishri menyebutkan 4.444 makam,


yang kemudian dikembangkan menjadi tujuh makam (standar Sunni): taubat,
zuhud, wala, farj, sabar, tawakkal, dan riddah. Faktanya, tarekat Qadiriya
menyebutkan 40 Maqam.Salah satu perhitungan makhamat paling awal dan
orisinal dalam tasawuf adalah 40 makhamat (Magamati al-Bain) karya guru sufi
abad ke-11 Abu Sa'id ibn Abi al-Khal.yaitu, (1) niat (niyyat), dan (2) ) penyesalan
(inabat). (3) Pertobatan (taubat).(4) Pengendalian diri (Iradat).(5) Perjuangan
internal (mujahadat).(6) Refleks terus menerus (murakabat).(7) Sabar (Sabr), (8)
Ingatan (Dzikir).(9) Kepuasan (rida').(10) Melawan hawa nafsu jasmani
(Mukarafat al-Nafs). (11) mufakat (muwafakat), (12) ketaatan (huslim), dan (13)
amanah (tawakkul).(14) Penyangkalan (zuhd).(15) bertaqwa kepada Allah
[2]

(ibadah), (16) melarat dan miskin (wara').(17) Kejujuran (integritas).(18) dapat


diandalkan (sidq)) (19) menakutkan (klunef); (20) harapan (raja) (21)
penghancuran diri (fana).(22) Kehidupan kekal (Baqa'). (23) Ilmu tertentu ('ilm al-
yaqin).(24) Kebenaran yang diyakini (haqq al-yagin), (25) Pengetahuan (ma'rifat),
(26) Usaha (jahul).(27) Kesucian (wilayat).(28) Cinta (Mahabbar).(29) ekstasi
(wajd), (30) keintiman (qurb)) (31) tafakkur.(32) kesatuan (wahal), (33)
pengangkatan tirai (kashf).(34) Pelayanan (Kidmat).(35) Kebersihan (tajirid).(36)
Kesendirian (Tafrid). (37) Perhiasan (Invisat).(38) Aturan mengenai apa yang
benar (tahqiq).(39) Tujuan yang mulia (nihayat).Bisa dibayangkan betapa sulitnya
seorang calon sufi menyelesaikan 40 maqam sebagai syarat masuk tasawuf, namun
menyelesaikan satu maqam saja sangatlah sulit.Tentu saja, dia adalah seorang sufi
pendatang baru yang berhasil menyelesaikan 40 maggam setelah melakukan
mujahada dan riyad hingga "berdarah".Oleh karena itu, mereka yang lulus menjadi
sufi sesungguhnya adalah orang-orang terpilih.memiliki kekuatan spiritual,
ketaatan yang tinggi, konsentrasi yang besar kepada Allah, dan kemampuan luar
biasa dalam mengendalikan hawa nafsu.

Menurut Pak Hanafi, kaum sufi mengawali perjalanannya menuju Allah


dengan bertaubat, riddah, tawakkal, wala, bertaubat, sabar, bersyukur, dan lain-
lain, serta berusaha naik dari taubat ke fana melalui 7, 9, 11, atau 13 maqam.
dijelaskan bahwa ada Masing-masing maqam lebih tinggi dari maqam yang lain.
Setiap tahapan dapat dicapai oleh seorang sufi dengan bekerja keras dan berjuang
hingga kepentingan dirinya hilang dan ia terjerumus ke dalam takdir fana. ,
Mahabah dan Marifat.Penataan ini hanya mempermudah pembahasan dan tidak
dimaksudkan untuk mengutuk struktur maqam menurut versi lain.Tujuan pertama
adalah pertobatan.Abu Yaqub Yusufbin Hamdan al-Susi menjelaskan: Bagi orang
yang berdosa, permulaan maqamat adalah taubat.Para sufi juga biasanya
menganggap taubat sebagai pintu gerbang menuju Makhamat, titik persimpangan
pertama dalam pendakian panjang menuju Makhamat bagi calon sufi.Taubat
sebagai perintah pertama Makamat nampaknya sangat tepat dalam konteks upaya
penyucian jiwa (tazkiyyat al-nafs) saat melintasi “jembatan” Makamat.M.Bambang
Pranowo menyatakan bahwa dalam pandangan sufi, hidup adalah pertarungan
terus-menerus dengan diri sendiri.Itulah sebabnya keberanian untuk
mengeksplorasi dan mempertanyakan diri sendiri merupakan inti dari agama,
ibarat sebuah tangga yang membawa seseorang dari satu tingkat spiritual ke tingkat
spiritual berikutnya yang lebih tinggi Setiap kali Anda maju ke stasiun berikutnya,
Anda harus menyelesaikan layanan sebagai prasyarat.Jika persyaratan ini tidak
terpenuhi, seorang calon Sufi tidak dapat melanjutkan ke maqam sebagai “kelas
[3]

spiritual”.Menurut al-Ghazali, “Hakikat taubat adalah kembalinya jalan jauh ke


jalan dekat, yang merupakan tiang, prinsip, dan kesempurnaan.

Simuh mengatakan, ``Konsep cinta kepada Allah menimbulkan rasa


keikhlasan dalam beribadah tanpa ada harapan pahala atau takut neraka.'' 104
Keberhasilan mencapai keadaan mahabba (cinta kepada Allah) Harapan bagi kaum
sufi hanyalah represi .Itu atas izin Allah SWT.Terserah Allah mau masuk surga
atau neraka.Namun keridhaan Allah lebih mulia dari pada bagian surga yang
lain.Al-Ghazali mengatakan, cinta hanya dapat dicapai melalui zikir terus-menerus,
ilmu hanya dapat dicapai melalui bertanya dan merenung terus-menerus, dan hanya
orang-orang yang mengetahui pekerjaan duniawi yang mengabdikan diri padanya,
jelasnya.Bagi seorang sufi seperti Rabia, perbuatan melakukan sesuatu yang
diridhai dan dicintai Allah merupakan suatu kegembiraan dan kebahagiaan
tersendiri.Kebahagiaan karena dicintai adalah kebahagiaan karena diinginkan, dan
motivasinya bukanlah rasa takut akan imbalan atau hukuman.Bagi mereka,
mencapai Marifat syukur kepada Allah merupakan nilai tertinggi yang mereka
impikan sepanjang hidup.Bahkan, Rabia pernah berkata kepada Tuhan bahwa jika
ibadah mereka dimotivasi oleh rasa takut akan neraka atau harapan akan surga,
mereka harus membakar diri mereka sendiri di dalam api neraka dan
membuangnya dari surga.``wajib''. Demikian penjelasan Rabia yang menekankan
bahwa satu-satunya motif ibadah mereka adalah cinta kepada Allah.Menurut al-
Tusi, praktik cinta terjadi dalam tiga situasi.Salah satunya adalah kecintaan
terhadap masyarakat.Rasa cinta ini muncul dari kebaikan Tuhan Yang Maha Esa
terhadap mereka dan dari kebaikan Tuhan terhadap mereka. Kedua, kondisi yang
dihasilkan dari pandangan pikiran terhadap kekayaan,keagungan, keagungan, ilmu,
dan kebesaran Tuhan. Keadaan cinta ini adalah cinta manusia.

Amr bin Usman Al Maqi menjelaskan bahwa al-Mushahada


menghubungkan penglihatan hati dengan penglihatan mata, karena penglihatan hati
dalam mengungkapkan keyakinan memperkuat ilusi. Penglihatan mata merupakan
sensasi eksternal, namun penglihatan pikiran merupakan sensasi internal.Keduanya
merupakan media untuk memperoleh kebenaran.Perolehan penglihatan merupakan
kebenaran empiris sebagai bagian dari kebenaran ilmiah, walaupun seringkali
kurang tepat, penglihatan batin merupakan kebenaran mistik dengan sensasi
(zaugi).Apabila hasil penglihatan mata dan penglihatan jantung disinkronkan maka
hasilnya lebih baik dibandingkan hasil kontras.Wahyu kebenaran nampaknya
dilaksanakan oleh Tuhan melalui berbagai cara dan metode.Ibnu Arabi
menggambarkan“metodenya” sebagai perjalanan menuju wahyu cahaya Tuhan
melalui kepasrahan (halwa) dari kesibukan. Melalui halwa, seorang pendaki
[4]

spiritual bisa fokus dan bersyukur kepada Allah, dibandingkan berada di tengah
keramaian untuk menerima wahyu cahaya Ilahi. Hal ini mungkin mengacu pada
tindakan Muhammad ketika ia mengasingkan diri ke Gua Hira dan akhirnya
menerima wahyu dari Tuhan melalui malaikat Jibril yang mengangkat Muhammad
sebagai nabi. Al-Ghazali tidak melarang tasawuf pada tingkat Fana, Baqa, dan
Ittihad, namun memperbolehkan tasawuf pada tingkat Marifat.Dia percaya pada al-
Farabi dan Ibnu Sina, bukan Abu Yazid dan al-Khalaj.Liberalisasi pemikiran para
filosof nampaknya lebih sensitif bagi al-Ghazali dibandingkan liberalisasi
pemikiran tasawuf.Abu Walaupun tasawuf Yazid dan al-Kharaji sangat liberal dan
berbatasan dengan ketentuan hukum Islam, serta dampak negatifnya lebih
berbahaya dibandingkan pemikiran filosofis al-Farabi dan Ibnu Sina, kedua
tasawuf ini - pemikir tidak dikutuk sebagai orang yang tidak beriman.

Tangga Spiritual yang Rawan Kesalahpahaman

Pengalaman mistik tertinggi menghasilkan keadaan spiritual yang ekstasi. Di


kalangan Sufi, ekstasi sering digambarkan sebagai keadaan tergila-gila,
sebagaimana minuman kebenaran (al-haqq) digambarkan sebagai alkohol atau
kamal. Bahkan bagi sebagian dari mereka, minuman yang memabukkan itu disebut
Damir al-Shaan yang artinya syahadat pertama, “Ashaduan la illaha illallah” (Saya
bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah). Ada sebagian orang yang demikian.
Gambaran ini menunjukkan betapa mereka sangat menghargai tauhid dan tidak
memiliki kesadaran terhadap apapun selain Tuhan Yang Maha Esa. Menurut
Nasution, untuk mencapai tahap Ittihad, seorang sufi harus menjalani al-Fana'an al-
Naf yang artinya kehancuran jiwa. Artinya bukan jiwa sufi yang hancur,
melainkan kehancurannya yang melahirkan kesadaran diri pada diri sufi. Hal ini
biasa disebut di kalangan sufi dengan sebutan 'alfanaan al-nafs wa al-baqabila'
yang berarti hancurnya kesadaran diri dan munculnya kesadaran diri ketuhanan.
Peristiwa ini disebut Ittihad, atau penyatuan atau penyatuan dengan Tuhan. Ittihad
merupakan upaya sufi menuju kesatuan dengan Tuhan.Dalam Ittihad ini, sufi
merasa pikirannya menyatu dengan pikiran Tuhan dan diri sufi sudah tidak ada
lagi. Sesaat sebelum dan saat pertunjukan Ittihad, biasanya muncul ekspresi-
ekspresi aneh yang melanggar syariat. Ekspresi aneh ini dikenal sebagai
shattahat.Banyak kasus Shatahat di kalangan sufi yang mengalami Ittihad dan
Hurul.Misalnya Abu Yazid berkata: subhaniy-subhaniy ma'a'dama sya'niy (Maha
Suci aku, Maha Suci aku, betapa hebatnya aku), laisa fi al-baitillallah (rumah ini
tidak ada yang lain selain Allah) sementara Abu Yazid ada di rumah. Sebenarnya
jubah ini dipakai oleh Abu Yazid, laisa fi al-jubbahilallah (Tidak ada Abu Yazid
yang mengenakan jubah ini kecuali Allah).Demikian pula al-Hallaj yang pernah
mengalami Hurul (Tuhan memilih bersemayam dalam tubuh manusia tertentu
[5]

setelah manusia mampu menghilangkan sifat buruknya) dikenal dengan Ana al-
Haqq, ungkapan al-Hallaj,Ana al-Haqq(saya adalah sang kebenaran), padahal sang
kebenaran itu adalah tuhan.

Pengalaman mistik tertinggi menghasilkan keadaan ekstase spiritual. Di


kalangan sufi, ekstasi sering kali digambarkan sebagai keadaan tergila-gila, seperti
halnya minuman kebenaran (al-haqq) digambarkan sebagai alkohol atau kamal.
Ada di antara mereka yang menyebut minuman memabukkan ini Damir al-Shaan.
Ini berarti keyakinan pertama. “Ashaduan la ilaha ilala” (Saya bersaksi bahwa
tidak ada Tuhan selain Allah). Ada orang seperti itu. Gambar ini menunjukkan
betapa monotheisnya mereka dan tidak mempunyai kesadaran terhadap apapun
selain Tuhan Yang Maha Esa. Menurut Nasution, untuk mencapai tahap Ittihad,
seorang sufi harus menjalani al-Fanaan al-Naf yang artinya kehancuran jiwa.
Artinya bukan jiwa sufi yang hancur, melainkan kehancurannya yang melahirkan
kesadaran diri sufi. Hal ini biasa disebut di kalangan sufi dengan sebutan ``Al-
Farnan al-Nafs wa al-Baqabila'' yang berarti hancurnya kesadaran diri dan
munculnya kesadaran diri ketuhanan. Peristiwa ini disebut Ittihad, atau penyatuan
atau persekutuan dengan Tuhan. Ittihad adalah upaya sufi menuju persatuan
dengan Tuhan. Dalam Ittihad ini sang sufi merasa pikirannya menyatu dengan
pikiran Tuhan dan diri sufi sudah tidak ada lagi. Menjelang dan saat pertunjukan
Ittihad, biasanya muncul ekspresi-ekspresi aneh yang melanggar syariat. Ungkapan
aneh ini dikenal sebagai shatterhat. Banyak kasus Shatahat di kalangan sufi yang
mengalami Ittihad dan Hurr. Misalnya Abu Yazid berkata: subhaniy-subhaniy
ma'a'dama sya'niy (Maha Suci Aku, Maha Suci Aku, Betapa Hebatnya Aku), laisa
fi al-baitillalah (Tidak ada seorang pun di rumah ini kecuali Allah ) ), ketika Abu
Yazid berada di dalam rumah. Sebenarnya jubah ini dipakai oleh Abu Yazid, Raisa
fi al-Jubahirallah (tidak ada Abu Yazid lain selain Allah yang mengenakan jubah
ini). Demikian pula al-Khalaj yang mengalami Hurul (Tuhan memilih berdiam di
tubuh manusia tertentu setelah manusia itu mampu menghilangkan sifat-sifat
buruknya) mengatakan bahwa ungkapan Al-Khalaj Ana Ia dikenal dengan nama
Al-Haqq.

Puncak pencapaian peradaban sufi filosofis terletak pada konsep Wahdat al-
Ujud karya Ibnu Arabi. Ini bisa menjadi solusi lain untuk memahami masalah
hubungan Tuhan dan alam semesta. Dari zaman kuno hingga saat ini, filsafat
berupaya memahami misteri kehidupan: hubungan antara Tuhan dan alam semesta.
Namun masih belum ada jawaban yang memuaskan. Salah satu jawabannya
tersembunyi dalam perkataan Ibnu Arabi. Ide-ide filosofis tasawuf membantu
menciptakan pemahaman Islam yang universal dan substantif dengan
mengupayakan tingkat keragaman agama yang lebih dalam dan menarik. Di sinilah
[6]

letak kontribusi tasawuf, khususnya tasawuf filosofis. Melalui wawasan filosofis


tasawuf, Islam, dan tauhid ini, kita mencapai pemahaman tertinggi. Sebab, proses
marifat dari jalur Tahari, Tahari, Tajali hingga Belwadat al-Wujud mengedepankan
pemahaman hakiki bahwa segala realitas hanyalah fatamorgana dan akan segera
hilang. Kita semua akan kembali pada hakikat Yang Maha Esa: Allah SWT. Satu-
satunya realitas yang nyata adalah Tuhan yang selalu ada dan tidak pernah hilang
atau lenyap. Allah berfirman: Segala sesuatu selain Allah akan binasa (QS. Al-
Qashash: 88). Apabila musibah menimpa manusia, maka hikmah yang Allah
ajarkan kepada mereka adalah: Inna lillahi wainna ilaihi rajiun (Sesungguhnya kita
adalah milik Allah dan kepada-Nya kita benar-benar kembali) (Q.S. al-Baqarah :
156)

Pengalaman Pengalaman Sufistik Yng Luar biasa

Ernst melaporkan: ``Para ahli teori sufi sering mengingatkan kita bahwa karamah
adalah godaan dari Allah yang menguji hamba-hamba-Nya.'' Misalnya, kalamah
wali bisa terbang meski tanpa sayap, bisa berjalan di atas air tanpa perahu, dan
bisa berlari lebih cepat dari manusia. kecepatan cahaya. Karama ini besarnya satu
tingkat lebih rendah dari Keajaiban, jadi kekuatannya luar biasa. Namun
sebenarnya ini adalah ujian dari Allah dan Anda harus menyadarinya dan berhati-
hati. Jangan memaafkan seseorang yang mengaku Tuhan hanya karena dia bisa
melakukan hal-hal yang tidak pernah bisa dilakukan oleh orang biasa. Namun
istiqama itu 2.000 kali lebih baik dari karamah (sabda Nabi: al-istiqamatu khairun
min alfay karamah). Menurut Qiai Jamal, karamah adalah keinginan seorang
hamba kepada Allah, sedangkan istikamah adalah apa yang diwajibkan Allah
kepada hambanya, artinya siapa yang mencapai karamah maka akan mencapai
puncak ibadah. Menurut al-Ghazali, ``Dalam zikir, para sufi bisa mengalami proses
terbukanya tabir alam gaib, sehingga mereka menjadi lupa akan alam
disekitarnya.'' Dengan membukanya, mereka mampu melihat penemuan dunia
supranatural yang selama ini tidak diketahui dan sebelumnya tidak diketahui oleh
kebanyakan orang. Kemudian mereka akan dapat berbicara dengan makhluk-
makhluk di dunia supranatural. Nasr mengatakan tasawuf ibarat pusat tubuh Islam,
tidak terlihat dari luar tetapi memberi nutrisi pada seluruh organisme. Roh batinlah
yang hidup di dalam bentuk lahiriah agama dan memungkinkan perjalanan dari
dunia luar menuju surga batin yang kita bawa di dalam hati kita sebagai pusat
keberadaan kita. Namun, sebagian besar masih tidak disadari karena pengerasan.
Sesuatu dari pikiran yang menghubungkan Islam dengan dosa lupa. (Al-Ghafra).
Dosa melupakan Tuhan ini mungkin adalah dosa paling umum yang dilakukan
manusia. itu sangat sering terjadi.
[7]

Kehebatan para sufi juga terlihat pada tingkatan bawah seperti Salikh. Salik
adalah orang yang melakukan perjalanan spiritual menuju Allah. Kedudukannya
dibawah kaum sufi. Pak Alatas mengatakan, para wali, baik Salik maupun Jadav
murni, dianggap sebagai lapisan transparan dengan pancaran cahaya Ilahi, dan
sampai batas tertentu dapat dipahami oleh orang lain, sehingga ketika gerakan dan
pengucapannya menjadi ambigu, Disebutkan. Inilah sebabnya tingkah laku Sarik
dan Jadhav terkadang terkesan aneh di mata orang awam dan masyarakat. Karena
mereka belum memahami ciri-ciri Sarik dan Jadhav. Ahmed menjelaskan: Kami
menggunakan konsep ramalan filsuf untuk menggambarkan situasi abnormal yang
muncul karena adanya tingkat perkembangan kemampuan (akal) manusia yang
tidak normal yang tidak ditemukan pada manusia biasa.Inilah yang saya fokuskan
sebagai salah satu jenis pengetahuan. Menemukannya. Hal ini sesuai dengan
pemikiran sufi definitif. Melalui praktik-praktik yang secara ketat mengembangkan
kemampuan holistik untuk mengetahui yang umum bagi semua manusia (daripada
hanya mengutamakan kapasitas rasional), setiap individu mempunyai potensi
untuk mengembangkan kapasitasnya sendiri. Kemampuan mengembangkan
kemampuan untuk mencapai pengalaman wahyu langsung (kashaf) pribadi yang
didasarkan pada tingkat kebenaran yang lebih tinggi dari Tuhan (walaupun orang
tersebut belum mencapai kemampuan pengungkapan tertinggi Nabi), yang bagi
para sufi secara substantif bersifat non-sufi.), dalam beberapa kasus). Saat Anda
melihat orang suci, kemungkinan besar Anda akan berkata: `` di sana, tapi atas
karunia Allah pergilah Nabi. Teori yang diajukan oleh para sufi menawarkan
perspektif teologis yang jauh lebih menarik bagi mayoritas umat Islam
dibandingkan Kalam. Hal ini karena penelitian ini merupakan penelitian akademis
dengan dampak praktis yang kecil bagi kebanyakan orang. Artinya teori tasawuf
mempunyai dampak positif yang sangat besar dapat di rasakan para masyarakat.

Ketika seseorang memasuki tarikat, ia mengalami perubahan batin yang


mengarah pada kesempurnaan spiritual melalui kenaikan. Dia memanjat tebing
terjal dan naik ke langit, bahkan melampaui langit. Munculnya Tarikat akan
mengubah tembaga menjadi emas murni bahkan mutiara. Istilah emas dan mutiara
mirip dengan metafora. Artinya, seseorang yang berhasil masuk tarekat mampu
melakukan transformasi yang luas dalam dirinya, sehingga terjadi perbaikan luar
biasa dalam dirinya. Ulama sufi pernah berselisih paham dengan ulama syariat.
Konflik ini menunjukkan konflik antara Ahl al-Dawahir dan Ahl al-Bawatin.
Namun pada akhirnya mereka mampu menyelaraskan kedua kelompok ulama
tersebut sekaligus mengintegrasikan konsep mereka (tasawuf dan syariah).

Pertentangan dan Intregasi Syariat dengan Tasawuf


[8]

Sufi yang lain mengatakan, ``Jalan hidup sufi adalah menyibukkan tangan
mengurus dunia dan pikiran sibuk mengingat Allah SWT.''Sangat disayangkan
sosok sufi Tipologi patung sekarang menjadi semakin encer. Hal ini mungkin
disebabkan karena pemahaman tasawuf telah berkembang sejak abad ke-5 dan ke-
6. Abad M memberi jalan kepada ritual (murni). Tasawuf hanya menitikberatkan
pada aspek formal saja, seperti penggunaan simbol-simbol sufi tanpa banyak wirid
dahiri dan inti hudur, bahkan terkadang menghabiskan waktu hanya pada wirid,
mujahada, dan lain-lain. Praktek tasawuf seperti ini tidak seimbang dan tidak ideal.
Dalam praktik tasawuf, fokusnya hanya pada simbol-simbol dan kurang
memperhatikan esensinya.
Imam Malik menjelaskan: “Siapa yang mengamalkan tasawuf tanpa
mengamalkan fiqih adalah jindiq, dan siapa yang mengamalkan fiqih tanpa
mengamalkan tasawuf adalah fasikh (maksiat).” Bagian lain Imam Malik
menyimpulkan sebagai berikut: adalah seorang jindik, dan siapa pun yang
melakukan hal-hal pengecut tanpa tasawuf adalah seorang fasik. Dengan
menggabungkan keduanya, siapa pun dapat sampai pada kebenaran. Dalam al-
Risala al-Kushairiya disebutkan: “Syariah yang tidak diperkuat oleh kebenaran
tidak diterima dan tidak menghasilkan fakta apapun yang tidak berhubungan
dengan Syariah. Para sufi mengutip sabda Nabi”: “Syariah adalah kata-kataku,
tarekat adalah milikku Amalan Hakiqat adalah pidatoku.'' Ketahuilah bahwa ciri-
ciri seorang hamba meliputi perilaku, akhlak, dan keadaan. Perilaku adalah
perilaku yang dipilih oleh orang itu sendiri, yang mana orang tersebut tetap, tetapi
perilaku itu berubah karena diperlakukan menurut kebiasaan terus-menerus dari
orang tersebut. Adapun keadaannya, awalnya hambanya yang memegang kendali,
tetapi adapun kesuciannya setelah zakat, yang melakukan amal. Secara sosial zakat
membantu meringankan beban fakir miskin dan orang lain, namun secara pribadi
zakat membantu mensucikan diri dari dosa-dosa kecil yang dilakukan oleh
pemberinya. Meskipun Syari'at adalah perintah untuk tunduk untuk penghabaan,
Haqiqa adalah saksi keTuhanan (melihat dengan hati), dan Syari'at apa pun yang
tidak ditegakkan oleh Haqiqa tidak akan dipenuhi oleh perintah tidak dapat
diterima.

Untuk mencapai rekonsiliasi tasawuf dengan syariah, perdebatan


panjang antara para pendukung gagasan sufisme dengan ulama Sunni yang
memegang syariah yang lebih ketat kembali menemukan momentumnya sejak
awal abad ke-11/17. Diskusi ini sebelumnya pernah diangkat menjadi salah satu
topik utama oleh al-Ghazali pada abad ke-6/12. Selama periode ini, banyak ulama
yang berusaha menafsirkan kembali doktrin Ibn Arabi dengan cara yang tidak lagi
pantheistik di banyak wilayah Islam. Selain itu, banyak penafsir karya Ibn Arabi
yang terkenal sekarang menekankan transendensi Tuhan. Mereka mencoba
[9]

mengubah tujuan sufisme dengan menyesuaikannya dengan ajaran Nabi. Daripada


mencapai absorbsi diri dengan wujud Tuhan. Al-Ghazali mengobati penyakit
foralisme dengan tasawuf, sufisme sekarang dianggap sebagai cara untuk mencapai
kesempurnaan akhlak dan pribadi.

Usaha Mencapai Ihsan

Iman, Islam, dan ihsan digunakan. Akidah, syariah, dan tasawuf semuanya
terhubung dengan istilah ini. Oleh karena itu, ihsan adalah tasawuf, dan tasawuf
adalah ihsan. Ihsan adalah proses memperbaiki, meningkatkan, dan
menyempurnakan ibadah kepada Allah. Ihsannya adalah bahwa salat dapat
membuat seseorang berkonsentrasi pada Allah dan melupakan yang lain. Ihsannya
juga adalah puasa, yang menurut Imam al-Ghazali disebut sebagai puasa khusus bi
al-khusus, yaitu puasa yang dilakukan dengan menahan diri dari makan, minum,
dan menyebutkan kejelekan orang lain, bahkan menahan keinginan nafsu untuk
melakukannya. Ihsannya adalah sedekah, yang diibaratkan oleh Nabi dengan
tangan kanan memberikan sesuatu sedangkan tangan kiri tidak. Amalan tasawuf
adalah penyempurnaan amalan ini. Tasawuf berusaha karena itu. menampilkan
amalan dalam peringkat ihsan, seperti suluk.

Suluk adalah menjalankan berbagai bentuk ibadah dengan cara yang ihsan
untuk mendekatkan diri kepada Allah. Ini dicapai melalui riyadhah, yang
merupakan praktik menjalani ibadah mahdhah yang wajib dan sunah, termasuk
mewajibkan zikir, wirid, dan hizib. Muhahadah dan riyadhah tersebut
menunjukkan ibadah yang tulus dan sempurna kepada Allah.

Secara general, tahapan seorang mukmin untuk meningkatkan kualitas


jiwanya terdiri dari tiga maqam: pertama, zikir atau ta'alluq pada Tuhan, yaitu
berusaha mengingat dan mengikatkan hati dan pikiran kita kepada Allah; maqam
kedua adalah takhalluq, yakni secara sadar meniru sifat-sifat Tuhan sehingga
seorang mukmin memiliki sifat-sifat mulia sebagaimana sifat-Nya; sedang maqam
ketiga adalah tahaqquq, yakni suatu kemampuan mengaktualisasikan kesadaran
dan kapasitas dirinya sebagai seorang mukmin yang telah didominasi sifat-sifat
Tuhan yang tercermin dalam perilakunya yang serba suci dan mulia. Karena itu,
tahaqqiq merupakan kondisi yang ingin diwujudkan bagi seseorang yang
menempuh perjalanan spiritual.
[10]

Sebenarnya, esoterisme sufi menggambarkan sabda Nabi tentang ihsan,


yaitu ketika seseorang menyembah Allah seolah-olah mereka melihat-Nya, bahkan
jika mereka tidak melihat-Nya. Karena sangat sulit, umat Islam jarang melakukan
salat seperti yang digambarkan oleh Nabi ini. Ini wajar karena salat yang
digambarkan oleh Nabi itu merupakan salat yang telah diperbaiki atau setidaknya
telah diperbaiki.

Karena tasawuf mengutamakan ilmu kasyfi, yang bukan ihsan, melainkan


ilmu gaib atau ma'rifatullah, yang menyimpang dari nash ihsan, Simuh
menjelaskan bahwa tasawuf yang berfokus pada pähäm mistik tidak termasuk
pengembangan konsep ihsan. Tidak mungkin tasawuf seperti ini digunakan sebagai
dasar moral bagi kehidupan kontemporer. Diharapkan bahwa tasawuf yang
didasarkan pada Al-Qur'an dan Sunah, atau tasawuf positif, akan berfungsi sebagai
dasar moral bagi kehidupan modern. Pernyataan Simuh ini agak tidak jelas.
Bagaimana ma'rifatullah menyimpang dari nash ihsan Kita harus kembali ke nash
ihsan, yang dikatakan Nabi, yaitu a ta'budallaha kaannaka tarahu fain lam takun
tarahu fainnahu yaraka. Artinya, jika Anda tidak dapat melihat Allah, maka Anda
yakin bahwa Allah melihat Anda. Untuk saat ini, metode Dzun Nun al-Mishri
(bapak) untuk mencapai ma'rifatullah.

Sketsa Figur Seorang Sufi

Ada seseorang yang ingin mengenal dan mengetahui gambaran sekilas tentang
orang yang ahli tasawuf yang dikenal dengan istilah sufi. Gambaran sekilas ini
penting karena sering mendengar istilah sufi, namun belum mengetahui gambaran
konkretnya. Shah menuturkan, ketika ditanya, 'bagaimanakah menjadi sufi itu?
Bayazid menjawab, "melepaskan kenyamanan dan mencoba berusaha. Itulah
praktik sufi." Jawaban Bayazid ini realistis, terasa berat dilakukan tetapi sangat
mungkin diwujudkan. Jawaban ini lebih realistis daripada jawaban misalnya sufi
adalah meninggalkan dunia dan mengejar akhirat karena tidak ada orang yang
mampu meninggalkan dunia.\

Smith berpendapat bahwa menjadi seorang sufi adalah tujuan yang


bertempat
hidup damai dengan orang lain dan selalu tinggal di rumah Tuhan: siapa pun yang
berhubungan baik dengan Tuhan dan bersemayam dalam Dia sesama manusia,
memperlakukan mereka dengan penuh kasih saying henti, adalah seorang sufi
adalah bersemayam dalam Tuhan, tetapi diterjemahkan dengan menggunakan
makna majazi. Selain itu, jika yang dimaksudkan dengan menggunakan arti asli
[11]

Sufi tidak menginginkan otoritas spiritualnya dipertanyakan atau menjadi


subjek penyelidikan yang mengganggu sebagai bagian dari demokrasi. Mereka
percaya bahwa pertanyaan tentang otoritas spiritual itu dapat mengganggu
keikhlasan mereka dalam menjalani kehidupan yang sangat sulit mereka. Oleh
karena itu, pertanyaan-pertanyaan tersebut justru membebani sufi sendiri dalam
perjalanan spiritualnya.

Siroj menyatakan bahwa sang sufi adalah orang-orang yang kaya hatinya,
tetapi mereka tidak menutup mata terhadap kenyataan hidup. Kehidupan di dunia
ini jelas bagi mereka. Mereka menghadapinya dengan cara yang masuk akal.
Pandangan Siroj ini menunjukkan bahwa dia tidak setuju dengan pandangan
tasawuf ekstrim seperti meninggalkan dunia. Sebenarnya, para sufi juga rajin, dan
banyak dari mereka menjadi kaya.

Tidak seperti mutakallim dan fuqaha, para sufi menggunakan metode yang
berbeda. Sebagaimana dinyatakan oleh Esposito, kalam dan fiqh bergantung pada
akal untuk menetapkan kategori-kategori dan distingsi-distingsi, sedangkan
otoritas sufi bergantung pada kemampuan jiwa untuk menyatukan dan
menjembatani perbedaan. Baik mutakallim maupun fuqaha' menggunakan metode
aqli (rasional), tetapi para sufi biasanya menggunakan metode dzaugi. Metode
dzauqi lebih efektif daripada metode "aqli" untuk memasuki area "abu-abu".

Dalam tasawuf, banyak sufi perempuan yang dikenal, tetapi figur sufi
biasanya dikaitkan dengan laki-laki. Ernst mengatakan bahwa di masa lalu,
mursyid atau wali perempuan tidak sering ditemukan, meskipun mereka terkenal.
Namun, wanita secara alami dapat menduduki posisi pemimpin di beberapa
kelompok sufi. Namun, sufi perempuan kurang dikenal di masyarakat umum,
meskipun sering disebutkan dalam literatur ilmiah. Misalnya, manakib Rabi'ah al-
Adawiyah tidak ditemukan, meskipun popularitas Syaikh Abd al-Qadir al-Jilani
sangat tinggi.

Smith menyatakan bahwa kita telah menemukan bahwa perempuan sufi


memiliki status yang tinggi di antara umat Islam, dan bahwa banyak penulis agama
menggambarkan perempuan sufi sebagai contoh baik untuk wanita maupun pria.
Wanita sufi yang muncul di dunia Islam termasuk Rabi'ah al-Adawiyah, Ummu
Haram, Rabi'ah binti Ismail dari Syiria, Mu'adzah al-Adawiyah, Sya wanah,
Nafisah, buyutnya Hasan bin Ali, Isyi Nili, Syuhda, Zaenab, Fatimah, Ummu
Abdillah Aisyah binti M. bin Abdullah, dan Zarrin Taj. Ternyata banyak sufi
[12]

perempuan juga, tetapi hanya Rabi'ah al-Adawiyah yang lebih terkenal dan
dikenal.

-TERIMAKASIH-

Anda mungkin juga menyukai