Anda di halaman 1dari 30

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Islam merupakan agama yang lengkap, tidak hanya berorientasi

pada aspek akhirat saja, tetapi juga mengatur aspek dunia. Diskursus

Islam juga dikaji secara normatif (teks-ajaran) dan historis. Sejarah

tentang perkembangan pemikiran keislaman memiliki mata rantai yang

cukup panjang dan kajian atas persoalan ini pasti akan melibatkan

kompleksitas, namun sejalan dengan itu upaya penggalian informasi

mengenai perkembangan pemikiran keislaman melalui naskah-naskah

yang dihasilkan oleh para ulama terdahulu menjadi sesuatu yang mutlak

harus terus dilakukan, mengingat tema yang terkandung dalam naskah-

naskah tesebut pun sangat beragam dan diantara tema yang banyak

menarik perhatian para peneliti naskah adalah tentang tasawuf.

Tasawuf atau sufisme adalah istilah yang khusus dipakai untuk

menggambarkan mistisesme dalam Islam. Adapun tujuan tasawuf ialah

memperoleh hubungan langsung dan dekat dengan Tuhan. Dalam islam

kita mengenal beberapa aliran tasawuf, diantaranya aliran tasawuf

Akhlaqi, Tasawuf Irfani dan Tasawuf Falsafi.

Diskursus tasawuf tidak bisa dilepaskan tentang ketuhanan (al-

ma’arif al-Ilahiyah). Biasanya pengetahuan tersebut tidak menggunakan

1
ilmu dan pembuktian ilmiah, tetapi dengan jalan penyaksian esoterik.

Hal ini menunjukkan pentingnya hati manusia agar dapat menyingkap

tirai dan menangkap hakikat. Dengan hati yang suci, seseorang dapat

melihat esensi ketuhanan, asma-asma-Nya, dan sifat-sifat-Nya.

Tinjauan terhadap tasawuf menunjukkan bagaimana para sufi

memiliki suatu konsepsi tentang jalan menuju Allah (thariqat). Jalan ini

dimulai dengn latihan-latihan rohaniah (riyadhah), lalu secara bertahap

menempuh berbagai fase yang dikenal dengan Maqam (tingkatan) dan

hal (keadaan), yang berakhir dengan ma’rifat kepada Allah.

Kerangka sikap dan perilaku sufi diwujudkan melalui amalan

dan metode tetentu yang disebut tariqat. Dalam rangka mencapai

ma’rifat. Wilayah atau lingkup perjalanan menuju ma’rifat ini yang

berlaku dikalangan sufi disebut sebagai kerangka ‘irfani. Dalam

tasawuf, manusia akan mengetahui Allah dengan melakukan perjalanan.

Apabila belum melakukan perjalanan menuju Allah, maka sangat sulit

untuk mencapainya, meskipun manusia tersebut beriman secara aqliyah.

Lingkup ‘irfani dalam rangka mencapai ma’rifat harus melalui

proses yang panjang. Dalam konteks tasawuf, proses ini dinamakan

sebagai Ahwal (jamak dari hal) dan Maqamat (jamak dari Maqam).

Berdasarkan pemaparan di atas, penulis tertarik untuk mengkaji tentang

Ahwal dan Maqamat serta kerangka berfikir atau metode ‘irfani.

2
B. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah:

1. Bagaimana Maqamat dalam tasawuf?

2. Bagaimana Ahwal dalam perjalanan kaum sufi?

3. Bagaimana Kerangka berfikir `irfani?

C. Tujuan

Adapun tujuan makalah ini adalah:

Dalam makalah ini, penulis merumuskan beberapa persoalan, yaitu:

1. Untuk mengetahui Maqamat dalam tasawuf.

2. Untuk mengetahui Ahwal dalam perjalanan kaum sufi.

3. Untuk mengetahui Kerangka berfikir `irfani.

3
BAB 2

PEMBAHASAN

A. Pengertian Maqamat

Maqamat merupakan jamak dari kata Maqam, secara bahasa

berarti tempat berpijak atau pangkat yang mulia. Sedangkan dalam ilmu

tasawuf, Maqamat berarti kedudukan hamba dalam pandangan Allah

berdasarkan apa yang telah diusahakannya, baik melalui riyadhah,

ibadah, maupun mujahadah.Maqam adalah tingkatan, artinya tingkatan

seorang hamba di hadapan-Nya dalam hal ibadah dan latihan-latihan

(riyadhah) jiwa yang dilakukannya.

Maqam dilalui seorang hamba melalui usaha yang sungguh-

sungguh dalam melakukan sejumlah kewajiban yang harus ditempuh

dalam jangka waktu tertentu. Seorang hamba tidak akan mencapai

Maqam berikutnya, sebelum menyempurnakan Maqam sebelumnya.

Dalam kalangan sufi, urutan Maqam ini berbeda-beda. Sebagian mereka

merumuskan Maqam dengan sederhana seperti, tanpa qana'ah, tawakal

tidak akan tercapai; tanpa tawakal , taslim tidak akan tercapai;

4
sebagaimana tanpa tobat, inabah tidak akan ada; tanpa wara’, zuhud

tidak akan ada.

Al-Ghazali merumuskan Maqam seperti berikut ini: tobat, sabar,

syukur, khauf, raja’, tawakkal, mahabbah, ridla, ikhlas, muhasabah, dan

muraqabah. Al-Kalabadzi seperti dikutip Rosihon Anwar menyebutkan

Maqam yang harus dilewati oleh para pejalan spiritual, yaitu taubat, al

zuhd, al-shabr, al-faqr, al-tawadhu’, al khauf, al-taqwa, al-tawakkal, al-

ridha, yakin, zikir, uns, qarb dan mahabbah, dan al-ma’rifah.

B. Pengertian Ahwal

Secara bahasa, Ahwal merupakan jamak dari hal yang berarti

keadaan sesuatu (keadaan rohani). Menurut Syeikh Abu Nashr al Sarraj,

hal adalah sesuatu yang terjadi secara mendadak yang bertempat pada

hati nurani dan tidak mampu bertahan lama. Sedangkan Harun Nasution

mengartikan bahwa hal sebagai keadaan mental, seperti perasaan

senang, perasaan sedih, perasaan takut dan sebagainya. Dari beberapa

defenisi tersebut, yang dimaksud dengan hal adalah keadaan atau

kondisi psikologis ketika seorang sufi mencapai tingkatan tertentu.

Al-Qusyairi dalam kitabnya Ar-Risalah Al-Qusyairiyah, berkata,

hal adalah makna yang datang pada qalbu tanpa disengaja. Hal diperoleh

tanpa daya dan upaya, baik dengan menari, bersedih hati, bersenang-

senang, rasa tercekam, rasa rindu, rasa gelisah, atau rasa harap. Hal

5
tidak bisa diperoleh lewat cara perjuangan spiritual, ibadah, pelatihan

spiritual sebagaimana yang biasa dilakukan dalam Maqamat. Akan

tetapi hal adalah seperti muraqabah, qurbah, mahabah, khauf, dan lain-

lain. Apabila Maqam diperoleh dengan daya dan upaya, maka hal akan

datang dengan sendirinya. Orang yang meraih Maqam dapat tetap dalam

tingkatannya, sementara orang yang meraih hal justru akan mudah lepas

dari dirinya.

Antara Maqam dan hal tidak dapat dipisahkan. Keterkaitan

antara keduanya dapat dapat dilihat dalam kenyataan bahwa Maqam

menjadi prasyarat menuju Tuhan, bahwa dalam Maqam akan ditemukan

kehadiran hal. Sebaliknya, hal yang telah ditemukan dalam Maqam akan

mengantarkan seseorang untuk mendaki Maqam selanjutnya.

C. Maqam-Maqam Dalam Tasawuf

Seperti disinggung diatas bahwa Maqam (jamaknya Maqamat)

yang dijalani kaum sufi umumnya terdiri dari tobat, zuhud, faqr, sabar,

syukur, rela, tawakal, Mahabbah, dan ma’rifat.

a. Tobat

Abu Ya’qub Yusuf bin Hamdan al Susi berkata kedudukan

spiritual (Maqam) pertama dari beberapa Maqam spiritual adalah

tobat. Hakikat tobat secara bahasa adalah kembali.Tobat adalah

6
kembali dari segala sesuatu yang dicela oleh ilmu (syari’at) untuk

menuju pada apa yang dipuji oleh ilmu.

Tobat adalah rasa penyesalan yang sungguh-sungguh dalam

hati disertai permohonan ampun serta meninggalkan segala

perbuatan yang menimbulkan dosa. Kebanyakan sufi menjadikan

tobat sebagai perhentian awal di jalan menuju Allah.

Pada tingkat terendah , tobat menyangkut dosa yang

dilakukan anggota-anggota badan. Pada tingkat menengah, selain

menyangkut dosa yang dilakukan jasad juga menyangkut pula

pangkal dosa-dosa, seperti iri, dengki, dan riya. Pada tingkat yang

lebih tinggi, tobat menyangkut usaha menjauhkan bujukan setan dan

menyadarkan jiwa akan rasa bersalah. Pada tingkat terakhir, tobat

berarti penyesalan atas kelengahan pikiran dalam mengingat Allah.

Tobat pada tingkat ini adalah penolakan terhadap segala sesuatu

selain yang dapat memalingkan dari jalan Allah.

Menurut al Sarraj, ada dua tipe hamba yang bertobat,

pertama orang yang bertobat dari segala dosa dan kesalahan.

Sedangkan kedua, orang yang bertobat dari kegelinciran dan

kelalaian, dan bertobat dari melihat kebaikan dan ketaatan yang ia

lakukan. Sehingga tobat akan mengharuskan wara’.

b. Zuhud

7
Zuhud dapat diartikan sebagai suatu sikap melepaskan diri

dari rasa ketergantungan terhadap ketergantungan kehidupan

duniawi dengan mengutamakan kehidupan akhirat.

Zuhud merupakan tapak kaki awal bagi mereka yang hendak

menuju Allah, yang mencurahkan segala-galanya hanya untuk Allah,

yang ridla dengan segala ketentuan dan mereka yang bergantung

(tawakal) kepada Allah. Al-Ghazali mengartikan zuhud sebagai

sikap mengurangi keterikatan pada dunia untuk kemudian

menjauhinya dengan penuh kesadaran. Sekarang kami

mempersingkat pada keutamaan dunia, karena membenci dunia itu

termasuk yang dapat menyelamatkan dari siksaan.

Al-Qusyairi mengartikan zuhud sebagai suatu sikap

menerima rezeki yang diterimanya. Hasan al-Bashri mengatakan

zuhud adalah meninggalkan kehidupan dunia, karena dunia ini tidak

ubahnya seperti ular , licin apabila dipegang, tetapi racunnya dapat

membunuh.

Dilihat dari maksudnya, zuhud terbagi atas tiga tingkatan.

Pertama, menjauhkan dunia ini agar terhindar dari hukuman akhirat.

Kedua, menjauhkan dunia dengan menimbang imbalan di akhirat.

Ketiga, mengucilkan dunia bukan karena takut atau berharap, tetapi

karena cinta kepada Allah. Orang yang berada pada tingkat ketiga

8
ini akan memandang segala sesuatu tidak ada arti apa-apa kecuali

Allah.

c. Faqr (Fakir)

Al-faqr adalah tidak menuntut lebih banyak dari apa yang

telah dipunyai dan merasa puas dengan apa yang sudah dimiliki,

sehingga tidak meminta sesuatu yang lain. Pada prinsipnya, sikap

mental faqr merupakan rentetan sikap zuhud. Hanya saja zuhud lebih

keras menghadapi kehidupan duniawi, sedangkan fakir hanya

pendisiplinan diri dalam mencari dan memanfaatkan fasilitas hidup.

Ibrahim bin Ahmad al-Khawwash berkata, “kefakiran itu

selendang kemuliaan, pakaian para rasul, jubah orang-orang saleh,

mahkota orang-orang yang bertakwa, perhiasan orang-orang

mukmin, harta jarahan perang orang-orang arif, harapan para murid,

benteng orang-orang yang taat, penjara orang-orang yang berdosa,

penghapus kejelekan, pelipatganda kebaikan, pengangkat derajat,

penyampai pada tujuan, ridla-Nya, kemuliaan bagi orang-orang baik

yang menjadi wali-Nya.

Sikap fakir selanjutnya akan memunculkan sikap wara’.

Menurut para sufi, wara’ adalah sikap berhati-hati ddalam

menghadapi sesuatu yang kurang jelas masalahnya. Apabila bertemu

9
dengan satu persoalan yang tidak jelas hukumnya atau tidak jelas

asal-usulnya lebih baik untuk meninggalkannya.

Orang-orang fakir memiliki tiga tingkatan: pertama, orang

yang tidak memiliki apa-apa dan tidak meminta apapun kepada

seseorang, baik secara lahir maupun batin. Kedua,orang yang tidak

memiliki apapu , namun ia tidak meminta siapapun, tidak mencari,

dan juga tidak memberi isyarat atas kefakirannya. Ketiga, orang

yang tidak memiliki apa-apa. Jika ia membutuhkan sesuatu ia akan

mengungkapkannya kepada sebagian temannya yang ia kenal, dan ia

merasa senang mengungkapkannya. Maka penebus permintaannya

adalah sedekah.

d. Sabar

Sabar secara bahasa berarti tabah hati, Sedangkan secara

istilah adalah suatu keadaan jiwa yang kokoh, stabil dan konsekuen

dalam pendirian. Sabar ialah tahan menderita, berhati-hati atau

selektif dalam bertindak. Sabar jika dipandang sebagai pengekangan

tuntutan nafsu dan amarah, dinamakan Al-Ghazali sebagai kesabaran

jiwa (ash-shabr an-nafs), sedangkan menahan terhadap penyakit fisik

disebut sebagai sabar badani (ash-shabr al-badani). Kesabaran sangat

dibutuhkan dalam berbagai aspek. Misalnya untuk menahan nafsu

makan dan seks yang berlebihan.

10
e. Syukur

Syukur adalah menerima nikmat dengan membesarkan Allah

SWT. Syukur diperlukkan karena semua yang kita lakukan dan

miliki di dunia adalah berkat karunia Allah. Menurut Syeikh ‘Abdul

Qadir Al-Jailani, hakikat syukur adalah mengakui nikmat Allah

karena Dialah Pemilik karunia dan pemberian sehingga hati

mengakui bahwa segala nikmat berasal dari Allah, juga patuh

kepada syariat-Nya. Syeikh ‘Abdul Qadir Al-Jailani membagi

syukur menjadi tiga macam, pertama dengan lisan, yaitu dengan

mengakui adanya nikmat dan merasa tenang. Kedua, syukur dengan

badan dan anggota badan, yaitu dengan cara melaksanakan ibadah

sesuai dengan perintah-Nya. Ketiga,syukur dengan hati.

f. Rela (Ridha)

Ridha berarti menerima dengan rasa puas terhadap apa yang

dianugerahkan Allah SWT. Orang yang rela mampu melihat hikmah

dan kebaikan di balik cobaan yang diberikan Allah dan tidak

berburuk sangka terhadap ketentuan-Nya. Hanyalah para ahli

ma’rifat dan mahabbah yang mampu bersikap seperti ini. Mereka

bahkan merasakan musibah dan ujian sebagai suatu nikmat, lantaran

jiwanya bertemu dengan yang dicintainya.

11
Menurut Abdul Halim Mahmud, ridha mendorong manusia

untuk berusaha sekuat tenaga mencapai apa yang dicintai Allah dan

Rasul-Nya. Namun, sebelum mencapainya, ia harus menerima dan

merelakan akibatnya dengan cara apa pun yang disukai Allah.

g. Tawakal

Hakikat tawakal adalah menyerahkan segala urusan kepada

Allah SWT, membersihkannya dari ikhtiar yang keliru, dan tetap

menapaki kawasan-kawasan hukum dan ketentuan. Tawakal

merupakan gambaran keteguhan hati dalam menggantungkan diri

hanya kepada Allah. Dalam hal ini, Al-Ghazali mengaitkan tawakal

dengan tauhid, dengan penekanan bahwa tauhid sangat berfungsi

sebagai landasan tawakal.

Abu Ali Daqaq mengatakan bahwa tawakkal terdiri dari tiga

tingkatan yaitu:

1. Tawakkal, yaitu hati merasa tenteram dengan apa

yang telah dijanjikan Allah. Tawakkal ini merupakan

Maqam bidayah, yakni sifat bagi orang mukmin yang

awam.

2. Taslim, merasa cukup menyerahkan urusan kepada

Allah, karena Allah telah mengetahui tentang keadaan

12
dirinya. Sikap seperti ini merupakan Maqam mutawasith

yang menjadi sifat orang khawas.

3. Tafwidh , yaitu orang yang telah ridha menerima

ketentuan/takdir Allah. Sikap seperti ini adalah sikap

orang yang sudah mencapai Maqaam nihayah yakni

orang-orang muwahhidin, seperti Nabi Muhammad

SAW.

Tanda-tanda tawakal ada tiga: 1. Menyingkirkan sikap

ketergantungan; 2. Menghilangkan bujukan yang berkaitan dengan

tabiat; 3. Berpedoman pada kebenaran dalam mengikuti tabiat.

h. Mahabbah

Pengertian yang diberikan kepada mahabbah antara lain:

 Mencintai kepatuhan kepada Tuhan dan membenci sikap

melawan-Nya;

 Menyerahkan seluruh diri kepada yang dikasihi (Tuhan);

 Mengosongkan hati dari segala-galanya, kecuali dari diri yang

dikasihi.

Ath-Thusi membagi mahabbah menjadi 3 tingkatan, yaitu:

a. Mahabbah Biasa, munculnya karena kebaikan Allah

kepada seorang hamba. Mahabbah (cinta) ini diperoleh

13
seorang hamba karena ketulusannya dalam merindukan

sang kekasih seiring dengan mengingat asma-Nya secara

terus-menerus. Sebab siapa yang mencintai sesuatu, ia

sering menyebutnya.

b. Mahabbah Shadiqin, yaitu membersit karena pengenalan

yang mendalam atas kebesaran, ilmu, dan kekuasan

Allah.

c. Mahabbah ’An, yaitu cinta hamba-hamba Allah yang

mengenal-Nya dengan baik. Dalam cinta seperti ini, yang

dilihat bukan lagi cinta, melainkan diri yang dicintai.

I. Ma’rifat

Makrifat dalam pengertian sufisme adalah gnosis dari teosufi

hellenistik, yaitu pengetauan langsung dari Tuhan berdasarkan ilham

atau petunjuk-Nya. Menurut Dzun Nun Al-Mishri, ada tiga macam

ma’rifat, yaitu:

a. Ma’rifat orang awam, yakni mengenali keesaan Tuhan

dengan perantaraan ucapan syahadat dan taqlid.

b. Ma’rifat para mutakallimin dan filosof, yakni mengenali

keesaan Tuhan dengan melalui logika dan penalaran.

c. Ma’rifat para awliya’ dan muqarrabin, yakni mengenali

keesaan Tuhan dengan perantaraan sanubari atau kalbu.

14
Menurut Dzun Nun Al-Mishri dan beberapa sufi-sufi yang

lain, ma’rifah dalam arti yang pertama dan kedua belum merupakan

pengenalan yang hakiki tentang Tuhan. Keduanya disebut ’ilm,

bukan ma’rifat. Ma’rifat dalam arti ketigalah yang merupakan

pengenalan hakiki tentang Tuhan, dan inilah yang disebut ma’rifat,

yakni pengenalan yang tertinggi dan meyakinkan. Ma’rifat ini

diperoleh bukan melalui belajar, usaha dan pembuktian, tetapi

karena ilham yang dilimpahkan Allah ke dalam hati yang paling

rahasia pada hambaNya, sehingga ia mengenali Tuhannya dengan

Tuhannya.

Dengan demikian, ma’rifat hanya terdapat pada para awliya’

dan muqarrabin atau para sufi, yang sanggup melihat Tuhan dengan

sanubari mereka. Pengenalan seperti ini hanya diberikan Tuhan

kepada kaum sufi. Dengan kata lain, ma’rifat dimasukkan Tuhan ke

dalam hati seorang sufi, sehingga hatinya penuh dengan cahaya.

Ketika Dzun Nun ditanya bagaimana ia memperoleh ma’rifat

tentang Tuhan, ia menjawab: ”Aku mengetahui Tuhan dengan

Tuhan; dan sekiranya tidak karena Tuhan, aku tidak akan mengenal

Tuhan.”Ungkapan Dzun Nun ini menggambarkan bahwa ma’rifah

tidak diperoleh sebagai hasil usaha, tetapi adalah pemberian Tuhan.

Ma’rifat bukan hasil pemikiran manusia, tetapi tergantung

pada kehendak dan rahmat Tuhan. Ma’rifat adalah pemberian dari

15
Tuhan kepada sufi yang siap dan sanggup menerimanya. Ali abd.

Al-’Azim mengatakan: ”Kaum sufi sependapat bahwa ma’rifat yang

hakiki hanya di dapat melalui hati sanubari yang mendapat ilham

(al-basirah al-mulhamah), bukan melalui akal dan juga bukan

melalui indera.

D. Ahwal Yang Dijumpai dalam Perjalanan Sufi

Sebagaimana telah disinggung bahwa hal-hal (Ahwal) sering

dijumpai dalam perjalanan kaum sufi. Dibawah ini adalah hal-hal yang

sering dijumpai dalam perjalanan sufi:

1. Waspada dan Mawas Diri (Muhasabah dan Muraqabah)

Waspada (muhasabah) dapat diartikan meyakini bahwa Allah

mengetahui segala pikiran, perbuatan dan rahasia dalam hati, yang

membuat seseorang menjadi hormat, takut dan tunduk kepada Allah.

Adapun mawas diri (muraqabah) adalah meneliti dengan cermat

apakah perbuatan sehari-hari telah sesuai atau malah menyimpang

dari yang dikehendaki-Nya.

Waspada dan mawas diri merupakan dua hal yang saling

berkaitan erat. Oleh karena itu, ada sufi yang mengupasnya secara

bersamaan. Waspada dan mawas diri merupakan dua sisi dari tugas

yang sama dalam menundukkan perasaan jasmani yang berupa

kombinasi dari pembawaan nafsu dan amarah.

16
2. Cinta (al hubb)

Dalam pandangan tasawuf, mahabbah (cinta) merupakan

pijakan bagi segenap kemuliaan hal, sama seperti tobat yang

merupakan dasar bagi kemuliaan Maqam. Karena mahabbah pada

dasarnya adalah anugerah yang menjadi dasar pijakan bagi segenap

hal. Kaum sufi menyebutnya sebagai anugerah-anugerah (mawahib).

Mahabbah adalah kecenderungan hati untuk memperhatikan

keindahan atau kecantikan.

Kondisi spiritual (hal) hubb bagi seorang hamba adalah

melihat dengan kedua matanya terhadap nikmat yang Allah

karuniakan kepadanya dan dengan hati nuraninya. Ia melihat

kedekatan Allah dengannya, segala perlindungan, penjagaan, dan

perhatian yang dilimpahkan kepadanya. Dengan keimanan dan

hakikat keyakinannya, ia melihat perlindungan (inayah), petunjuk

(hidayah), dan cinta-Nya yang tercurahkan kepadanya, yang

seluruhnya sudah ditetapkan sejak zaman azali. Oleh karena itu, ia

mencintai Allah.

3. Berharap dan Takut (Raja’ dan Khauf)

Bagi kalangan kaum sufi, raja’ dan khauf berjalan seimbang

dan saling mempengaruhi. Raja’ berarti berharap atau optimisme,

17
yakni perasaan senang hati karena menanti sesuatu yang diinginkan

dan disenangi. Raja’ menuntut tiga perkara, yaitu:

a. Cinta kepada apa yang diharapkannya.

b. Takut harapannya itu akan hilang

c. Berusaha untuk mencapainya

Raja’ yang tidak dibarengi oleh 3 perkara itu hanyalah ilusi

atau khayalan. Khauf menurut ahli sufi adalah suatu sikap mental

merasa takut kepada Allah karena khawatir kurang sempurna

pengabdiannya.

Dalam hubungan ini Al-Ghazali membagi khauf membagi

menjadi dua macam, yaitu: pertama, khauf karena khawatir

kehilangan nikmat. Inilah yang mendorong orang untuk selalu

memelihara dan menempatkan nikmat itu pada tempatnya, dan

kedua, khauf karena siksaan sebagai akibat perbuatan kemaksiatan.

Khauf yang seperti inilah yang mendorong orang untuk menjauh

dari apa yang dilarang dan melaksanakan apa yang diperintah.

4. Rindu (Syauq)

Selama masih ada cinta, syauq tetap diperlukan. Dalam lubuk

jiwa, rasa rindu hidup dengan subur, yakni rasa rindu ingin segera

bertemu dengan Tuhan. Ada orang yang mengatakan bahwa maut

18
merupakan bukti cinta yang benar. Lupa kepada Allah lebih

berbahaya dari pada maut. Bagi sufi yang rindu kepada Tuhan, mati

dapat berarti bertemu dengan Tuhan, sedangkan hidup merintangi

pertemuan ’abid dengan ma’budnya.

5. Intim (Uns)

Menurut pandangan kaum sufi, uns adalah sifat merasa selalu

berteman, tak pernah merasa sepi. Ungkapan berikut ini melukiskan

sifat uns, ”Ada orang yang merasa sepi dalam keramaian. Ia adalah

orang yang selalu memikirkan kekasihnya sebab sedang dimabuk

cinta, seperti h}alnya sepasang pemuda-pemudi. Ada pula orang

yang merasa bising dalam kesepian. Ia adalah orang yang selalu

memikirkan atau merencanakan tugas pekerjaannya semata-mata.

Adapun engkau, selalu merasa berteman di manapun berada.

Alangkah mulianya engkau berteman dengan Allah, srtinya engkau

selalu berada dalam pemeliharaan Allah.” Ungkapan di atas

melukiskan keakraban atau keintiman seorang sufi dengan

Tuhannya. Sikap keintiman tersebut banyak dialami oleh kaum sufi.

6. Thuma’ninah

Thuma’ninah adalah kondisi spiritual yang tinggi. Dimana ia

merupakan kondisi spiritual seorang hamba yang akalnya kokoh,

19
imannya kuat, ilmunya mendalam, dzikirnya jernih dan hakikatnya

tentancap kokoh.

7. Musyahadah

Musyahadah adalah kehadiran yang berarti kedekatan yang

dibarengi ilmu yakin dan hakikat-hakikatnya. Amr bin Usman al

Maliki, seperti yang dikutip al Sarraj menyatakan bahwa

musyahadah adalah kegaiban yang ditemukan oleh hati dengan

kegaiban yang tidak dijadikan sebagai sesuatu yang terlihat dan tidak

pula penghayatan hati nurani (wajd). Beliau juga mengatakan

bahwa musyahadah adalah kesinambungan antara penglihatan hati

dengan penglihatan mata, karena penglihatan hati adalah

tersingkapnya keyakinan dalam bertambahnya dugaan.

8. Yaqin (Keyakinan Sejati)

Yaqin ialah mantapnya pengetahuan sehingga tidak berpaling

dan tidak berubah. Keyakinan sejati ini tidak lain adalah mukasyafah

(tersingkapnya apa yang ghaib). Mukanyakah dibedakan menjadi

tiga macam, yaitu:

a. Mukasyafah 'ayan (tersingkapnya tutup mata) sehingga di hari

kiamat nanti, ia melihat dengan mata kepala.

b. Mukasyafatul qulub (tersingkapnya tutup hati) untuk memahami

hakikat-hakikat keimanan secara langsung dengan yakin yang

20
tidak bisa dibayangkan cara memperolehnya dan tidak bisa

ditentukan.

c. Mukasyafatul ayat (tersingkapnya tanda-tanda kebesaran-Nya)

dengan ditampakkannya kekuasaan Allah kepada para nabi

dengan mukjizat dan untuk selain para Nabi, dengan karamah

(kemuliaan) dan dikabulnya do’a.

Keyakinan sejati merupakan kondisi spiritual yang tinggi. Para

pelakunya dibedakan menjadi tiga kondisi:

a. Kelas pemula, yakni para murid dan orang awam

b. Kelas menengah, yakni orang-orang khusus yang

keyakinannya kontinuitas sepanjang waktu dalam

menghadapi rintangan.

c. Kelompok para pakar (para elit sufi). Mereka adalah

kelompok yang paling khusus. Sifat-sifatnya sebagaimana

yang dikatakan Amr bin Utsman Al-Makki, ”keyakinan sejati

secara global adalah menetapkan keyakinan kepada Allah

dengan segala sifatnya.”

C. Metode Irfani

Potensi untuk memperoleh ma’rifat sesungguhnya telah ada pada

manusia. Untuk memperoleh kearifan dan makrifat, hati (qalb)

21
mempunyai fungsi esensial. Qalb merupakan tempat pengetahuan

tentang tentang hakikat-hakikat, termasuk di dalamnya hakikat ma’rifat.

Qalb yang dapat memperoleh ma’rifat adalah hati yang telah

tersucikan dari berbagai noda atau akhlak buruk yang sering dilakukan

manusia. Karena qalb merupakan bagian dari jiwa, kesucian jiwa sangat

mempengaruhi kecemerlangan qalb dalam menerima ilmu. Ma’rifat

tidak dimiliki sembarang orang, melainkan hanya dimiliki orang-orang

yang telah melakukan upaya-upaya untuk memperolehnya. Untuk itu

disamping melalui tahapan-tahapan Maqamat dan ahwal, untuk

memperoleh ma’rifat, seseorang harus melakukan upaya-upaya tertentu,

yaitu:

1. Riyadhah

Riyadhah adalah latihan kejiwaan melalui upaya membiasakan

diri agar tidak melakukan hal-hal yang mengotori jiwanya. Riyadhah

dapat pula berarti internalisasi kejiwaan dengan sifat-sifat terpuji dan

melatih membiasakan meninggalkan sifat-sifat jelek. Riyadhah harus

disertai dengan mujahadah, yaitu kesungguhan dalam usaha untuk

meninggalkan sifat-sifat buruk. Riyadhah perlu dilakukan untuk

memperoleh ilmu ma’rifat yang dapat diperoleh melalui upaya

melakukan perbuatan kesalehan atau kebaikan yang terus-menerus. Hal

terpenting dalam riyadhah adalah melatih jiwa melepaskan

22
ketergantungan terhadap kelezatan duniawi yang fatamorgana, lalu

menghubungkan diri dengan realitas rohani dan ilahi.

2. Tafakur

Tafakur penting dilakukan untuk menuju ma’rifat, karena ketika

jiwa belajar dan mengolah ilmu, lalu memikirkan (bertafakur) dan

menganalisisnya, pintu kegaiban akan dibukakan untuknya. Tafakur

dilakukan dengan memotensikan nafs kulli (jiwa universal). Validitas

yang diperoleh melalui metode tafakur sangat tinggi kualitasnya sebab

memotensikan nafs kulli, seperti yang di ungkapkan al-Ghazali, ”Nafs

Kulli (jiwa universal) lebih besar dan lebih kuat hasilnya dan lebih besar

kemampuan perolehannya dalam proses pembelajaran.” Nafs kulli

mempunyai fungsi yang sangat penting untuk menghasilkan ilmu,

terutama ilmu ma’rifat. Alasannya, ilmu yang dihasilkan melalui

penggunaan nafs kulli lebih bersifat universal, tidak parsial. Untuk

memfungsikan nafs kulli, kegiatan tafakur mempunyai peranan yang

sangat penting.

3. Tazkiyat An-Nafs

Tazkiyat An-Nafs adalah proses penyucian jiwa manusia. Proses

penyucian jiwa dalam kerangka tasawuf ini dapat dilakukan melalui

tahapan takhalli dan tahalli. Para sufi adalah orang yang senantiasa

menyucikan hati dan jiwanya. Perwujudannya adalah rasa butuh

23
terhadap Tuhannya. Ada lima hal yang menjadi penghalang jiwa dalam

menangkap hakikat yaitu: jiwa yang belum sempurna, jiwa yang

dikotori perbuatan maksiat, menuruti keinginan badan, penutup yang

menghalangi masuknya hakikat dalam jiwa (taqlid), dan tidak dapat

berpikir logis.

Tazkiyat an-nafs dalam konsepsi tasawuf berdasar asumsi bahwa

jiwa manusia ibarat cermin, sedangkan ilmu ibarat gambar-gambar

objek materil. Kegiatan mengetahui ibarat cermin yang menangkap

gambar-gambar. Banyaknya gambar yang tertangkap dan jelasnya

tangkapan bergantung pada kadar kebersian cermin yang bersangkutan.

4. Dzikrullah

Dzikrullah adalah membasahi lidah dengan ucapan-ucapan

pujian kepada Allah. Pentingnya dzikir untuk mendapatkan ilmu

ma’rifat didasarkan atas argumentasi tentang peranan dzikir itu

sendiri bagi hati. Dalam Al-Munqid}, Al-Ghazali menjelaskan

bahwa dzikir kepada Allah merupakan hiasan bagi kaum sufi. Syarat

utama bagi orang yang menempuh jalan Allah adalah membersihkan

hati secara menyeluruh dari selain Allah, sedangkan kuncinya adalah

menenggelamkan hati secara keseluruhan dengan dzikir kepada

Allah. Dalam pandangan sufi, dzikir akan membuka tabir alam

malakut, kunci pembuka alam gaib, penarik kebaikan, penjinak was-

24
was, dan pembuka kewalian. Dzikir juga berfungsi untuk

mendatangkan ilham, menghalangi ruang gerak setan sehingga setan

pergi menjauh dari hati manusia. Di saat itulah, malaikat

memberikan ilham kepada hati.

BAB 3

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Maqamat adalah kedudukan seorang hamba dalam perjalanannya

menuju Allah melalui ibadah, kesungguhan melawan rintangan (al-

Mujahadat), dan latihan-latihan rohaniah (ar-riyadhah). Maqam

25
(jamaknya Maqamat) yang dijalani kaum sufi umumnya terdiri dari

tobat, zuhud, faqr, sabar, syukur, rela, tawakal, Mahabbah, dan

ma’rifat.

2. Sedangkan hal adalah keadaan atau kondisi psikologis ketika

seorang sufi mencapai Maqam tertentu. Maqam dengan hal adalah

dua hal yang tidak dapat dipisahkan ibarat dua sisi dalam mata uang.

Keterkaitannya dapat dilihat dalam kenyataan bahwa Maqam

menjadi prasyarat menuju Tuhan, dan dalam Maqam akan

ditemukan kehadiran hal. Hal yang telah ditemukan dalam Maqa>m

akan mengantarkan seseorang untuk mendaki Maqa>m-Maqa>m

selanjutnya. Secara garis besar, hal yang dijumpai oleh para sufi

seperti Muhasabah dan Muraqabah, Raja’ dan Khauf, shauq, uns,

tuma’ninah, musyahadah dan yaqin.

3. Untuk memperoleh kearifan dan makrifat, hati (qalb) mempunyai

fungsi esensial. Kesucian qalb sebagai prasyarat berdialog secara

batini dengan Tuhan. Untuk itu, disamping melalui tahapan-tahapan

Maqamat dan hal, untuk memperoleh ma’rifat harus melalui upaya-

upaya tertentu, yaitu,: riyadhah, tafakur, tazkiyat an-nafs, dan

Dzikrullah.

26
DAFTAR PUSTAKA

 Ali, Atabik dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab-

Indonesia. Yogyakarta: PP Krapyak, 1996.

 Anwar, Rosihon. Akhlak Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia, 2010`

27
 S., Asmaran. Pengantar Studi Tasawuf. Jakarta: Raja Grafindo

Persada, 1996.

 Al-’Azim, Ali Abd. Falsafah al-Ma’rifah fi al-Qur’an al-Karim.

Cairo: Al-Hai’ah al-’Ammah li al-Syu’un wa al-Matabi’ al-

Amiriyah, 1973.

 Faridh, Ahmad. Tazkiyat an-Nufus, Terj. Nabhani Idris. Bandung:

Pustaka, 1989.

 Al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad. Ihya> ‘Ulu>m

al-Di>n Jilid IV. Kairo: Dar Tsaqafah Islamiyah, 1961.

 _______. Muh}tas}ar Ihya> ‘Ulu>m al-Di>n , Terj. Irwan

Kurniawan. Bandung: Mizan, 1997.

 _______. Risalah Al-Laduniyah Dalam Qushur Al-‘Awali Jilid I.

Mesir: Maktabah Al-Jundi, 1970.

 _______. Al-Munqidh Min Ad}-D{h}alal . Kairo: Silsilah Ath-

Thaqafah Al-Islamiyah, 1961.

 Al-Qusyairy, Abi al-Qasim . al-Risalah al-Qusyairiyah fi ‘ilmi al

tasawwuf. Mesir: Dar al Khair, 1959

 Nasution, Harun. Falsafah dan Mistisisme Dalam Islam. Jakarta:

Bulan Bintang, 1973.

 Al Sarraj, Abu Nashr. Al-Luma’, terj. Samson Rahman (Surabaya:

Risalah Gusti, 2002.

28
 At Taftazani, Abu al Wafa` al-Ghanimi. Madkh}al Ila al-Tashawwuf

al-Islam. Terj. Ahmad Rofi’ Utsmani. Bandung: Pustaka, 1985.

 Ath-Thusi, Abi Nashr As-Siraj. Al-Luma’. Ditahqiq oleh Abdul

H}alim Mahmud dan Thaha Abd. Baqi Surur. Mesir: Dar al-Kutub

al-Hadithah, 1960.

 Nasr, Sayyid Hosein. Tasawuf Dulu dan Sekarang. Terj. Abdul Hadi

W. M. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1985.

 Solihin, M. Dan Rosihon Anwar. Ilmu tasawuf. Bandung: Pustaka

Setia, 2007.

 Suhrawardi, Syihabuddin Umar. Awa>rif al-Ma’a>rif, Terj. Ilma

Nugrahani Isma’il. Bandung: Pustaka Hidayah, 1998.

 Tulaeka, Hamzah dkk. Akhlak Tasawuf. Surabaya: IAIN SA Press,

2011

 Ya’qub, Hamzah. Tingkat Ketenangan dan Kebahagiaan Mukmin.

Jakarta: Atisa, 1992.

 Yunus, Mahmud, Kamus Arab-Indonesia, Jakarta: Hidakarya

Agung, 1990.

 http://elzuhriyah.blogspot.co.id/2012/05/maqamat-dan-ahwal-dalam-

kerangka.html

29
30

Anda mungkin juga menyukai