Anda di halaman 1dari 4

A.

Kerangka berpikir Irfani ( dasar-dasar falsafi ahwal dan maqamat )

Tinjauan analisis terhadap tasawuf menunjukkan bagaimana para sufi dengan berbagai aliran
yang dianutnya memiliki suatu konsepsi tentang jalan (thariqat) menuju Allah. Jalan ini yang
dimulai dengan latihan-latihan rohaniah, lalu secara bertahap menempuh berbagai fase, yang
dikenal dengan maqam (tingkatan) dan hal (keadaan), yang berakhir dengan mengenal
(ma’rifat) kepada Allah.
Kerangka sikap dan prilaku sufi diwujudkan melalui amalan-amalan dan metode-metode
tertentu yang disebut thariqat, atau jalan dalam rangka menemukan pengenalan Allah. Lingkup
perjalanan menuju Allah untuk memperoleh ma’rifat yang berlaku dikalangan sufi sering disebut
sebagai sebuah kerangka ”irfani”.1 Lingkup “irfani” tidak dapat dicapai dengan mudah atau
secara spontanitas, tetapi melalui proses yang panjang. Proses yang dimaksud adalah maqam-
maqam ( tingkatan) dan ahwal (keadaan). Yang dimaksud dengan tingkatan maqam oleh para
sufi adalah tingkatan seorang hamba dihadapan Allah, dalam hal ibadah dan latihan-latihan jiwa
yang dilakukan. Disamping istilah maqam, terdapat pula istilah hal yakni keadaan atau kondisi
psikologis ketika seorang sufi mencapai maqam tertentu.

1. Pengertian maqam

Maqamat merupakan jamak dari kata Maqam, secara bahasa berarti tempat berpijak atau
pangkat yang mulia.2 Sedangkan dalam ilmu tasawuf, Maqamat berarti kedudukan hamba dalam
pandangan Allah berdasarkan apa yang telah diusahakannya, baik melalui riyadlah, ibadah,
maupun mujahadah3.

Maqam dilalui seorang hamba melalui usaha yang sungguh-sungguh dalam melakukan sejumlah
kewajiban yang harus ditempuh dalam jangka waktu tertentu. Seorang hamba tidak akan
mencapai Maqam berikutnya, sebelum menyempurnakan Maqam sebelumnya. 4 Al-Ghazali
merumuskan Maqa>m seperti berikut ini: tobat, sabar, syukur, khauf, raja’, tawakkal,
mahabbah, ridla, ikhlas, muhasabah, dan muraqabah. Al-Kalabadzi seperti dikutip Rosihon
Anwar menyebutkan Maqa>m yang harus dilewati oleh para pejalan spiritual, yaitu taubat, al
zuhd, al-shabr, al-faqr, al-tawadhu’, al khauf, al-taqwa, al-tawakkal, al-ridha, yakin, zikir, uns,
qarb dan mahabbah, dan al-ma’rifah.5

1
( M Solihin, dkk, Ilmu Tasawuf, ( Bandung : CV PUSTAKA SETIA, 1998) hal 75. )
2
Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia, (Yogyakarta: PP Krapyak, 1996), h.
1786. Lihat juga Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1990), h. 362.
3
M. Solihin dan Rosihon Anwar, Kamus Tasawuf, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002), h. 126
4
Hamzah Tulaeka dkk., Akhlak Tasawuf, (Surabaya: IAIN SA Press, 2011), h. 243.
5
Ibid
2. Pengertian ahwal

Secara bahasa, Ahwal merupakan jamak dari hal yang berarti keadaan sesuatu (keadaan
rohani).6 yang dimaksud dengan hal adalah keadaan atau kondisi psikologis ketika seorang sufi
mencapai tingkatan tertentu.7 Hal tidak bisa diperoleh lewat cara perjuangan spiritual, ibadah,
pelatihan spiritual sebagaimana yang biasa dilakukan dalam Maqamat. Akan tetapi hal adalah
seperti muraqabah, qurbah, mahabah, khauf, dan lain-lain 8

Apabila Maqam diperoleh dengan daya dan upaya, maka hal akan datang dengan sendirinya.
Orang yang meraih Maqam dapat tetap dalam tingkatannya, sementara orang yang meraih hal
justru akan mudah lepas dari dirinya9. Antara Maqam dan hal tidak dapat dipisahkan.
Keterkaitan antara keduanya dapat dapat dilihat dalam kenyataan bahwa Maqam menjadi
prasyarat menuju Tuhan, bahwa dalam Maqam akan ditemukan kehadiran hal. Sebaliknya, hal
yang telah ditemukan dalam Maqam akan mengantarkan seseorang untuk mendaki Maqam
selanjutnya.

3. Maqam-maqam dalam tasawuf

Maqam yang dijalani kaum sufi umumnya terdiri dari tobat, zuhud, faqr, sabar, syukur, rela,
tawakal, Mahabbah, dan ma’rifat.

a. Tobat
kedudukan spiritual (Maqam) pertama dari beberapa Maqam spiritual adalah tobat. Tobat
adalah kembali dari segala sesuatu yang dicela oleh ilmu (syari’at) untuk menuju pada apa
yang dipuji oleh ilmu. Kebanyakan sufi menjadikan tobat sebagai perhentian awal di jalan
menuju Allah. Pada tingkat terendah , tobat menyangkut dosa yang dilakukan anggota-
anggota badan. Pada tingkat menengah, selain menyangkut dosa yang dilakukan jasad juga
menyangkut pula pangkal dosa-dosa, seperti iri, dengki, dan riya. Pada tingkat yang lebih
tinggi, tobat menyangkut usaha menjauhkan bujukan setan dan menyadarkan jiwa akan rasa
bersalah. Pada tingkat terakhir, tobat berarti penyesalan atas kelengahan pikiran dalam
mengingat Allah.10

b. Zuhud
6
Atabik Ali, Kamus kontemporer, h. 726.
7
Anwar, Akhlak Tasawuf, h. 198
8
Al-Sarraj, al-Luma’, h. 88.
9
Anwar, Akhlak Tasawuf, h. 199
10
Al-Ghazali, Ihya> ‘Ulu>m al-Di>n Jilid IV(Kairo: Dar Tsaqafah Islamiyah, 1961), 10-11
Zuhud dapat diartikan sebagai suatu sikap melepaskan diri dari rasa ketergantungan
terhadap ketergantungan kehidupan duniawi dengan mengutamakan kehidupan akhirat,
zuhud merupakan tapak kaki awal bagi mereka yang hendak menuju Allah. Dilihat dari
maksudnya, zuhud terbagi atas tiga tingkatan. Pertama, menjauhkan dunia ini agar
terhindar dari hukuman akhirat. Kedua, menjauhkan dunia dengan menimbang imbalan di
akhirat. Ketiga, mengucilkan dunia bukan karena takut atau berharap, tetapi karena cinta
kepada Allah. Orang yang berada pada tingkat ketiga ini akan memandang segala sesuatu
tidak ada arti apa-apa kecuali Allah.11

c. Faqr
Al-faqr adalah tidak menuntut lebih banyak dari apa yang telah dipunyai dan merasa puas
dengan apa yang sudah dimiliki, sehingga tidak meminta sesuatu yang lain. Pada prinsipnya,
sikap mental faqr merupakan rentetan sikap zuhud. Hanya saja zuhud lebih keras
menghadapi kehidupan duniawi, sedangkan fakir hanya pendisiplinan diri dalam mencari
dan memanfaatkan fasilitas hidup.

Sikap fakir selanjutnya akan memunculkan sikap wara’. Menurut para sufi, wara’ adalah
sikap berhati-hati ddalam menghadapi sesuatu yang kurang jelas masalahnya. Apabila
bertemu dengan satu persoalan yang tidak jelas hukumnya atau tidak jelas asal-usulnya
lebih baik untuk meninggalkannya.12

d. Sabar
Sabar ialah tahan menderita, berhati-hati atau selektif dalam bertindak. Sabar jika
dipandang sebagai pengekangan tuntutan nafsu dan amarah, dinamakan Al-Ghazali sebagai
kesabaran jiwa (ash-shabr an-nafs), sedangkan menahan terhadap penyakit fisik disebut
sebagai sabar badani (ash-shabr al-badani).13

e. Syukur
Syukur adalah menerima nikmat dengan membesarkan Allah SWT. Syukur diperlukkan
karena semua yang kita lakukan dan miliki di dunia adalah berkat karunia Allah. Menurut
Syeikh ‘Abdul Qadir Al-Jailani, hakikat syukur adalah mengakui nikmat Allah karena Dialah
Pemilik karunia dan pemberian sehingga hati mengakui bahwa segala nikmat berasal dari
Allah, juga patuh kepada syariat-Nya.

f. Rela

11
Al-Sarraj, al-Luma’, h. 96.
12
M. Solihin, Ilmu Tasawuf, h. 80
13
Al-Ghazali, Ihya ‘Ulum al-Din, h. 59.
Rida berarti menerima dengan rasa puas terhadap apa yang dianugerahkan Allah SWT.
Orang yang rela mampu melihat hikmah dan kebaikan di balik cobaan yang diberikan Allah
dan tidak berburuk sangka terhadap ketentuan-Nya.

g. Tawakal
Hakikat tawakal adalah menyerahkan segala urusan kepada Allah SWT, Tawakal merupakan
gambaran keteguhan hati dalam menggantungkan diri hanya kepada Allah.

Abu Ali Daqaq mengatakan bahwa tawakkal terdiri dari tiga tingkatan yaitu:
a. Tawakkal, yaitu hati merasa tenteram dengan apa yang telah dijanjikan Allah. Tawakkal
ini merupakan Maqam bidayah, yakni sifat bagi orang mukmin yang awam.
b. Taslim, merasa cukup menyerahkan urusan kepada Allah, karena Allah telah mengetahui
tentang keadaan dirinya. Sikap seperti ini merupakan Maqam mutawasit, yang menjadi sifat
orang khawas.
c. Tafwit, yaitu orang yang telah rida menerima ketentuan/takdir Allah. Sikap seperti ini
adalah sikap orang yang sudah mencapai Maqam nihayah yakni orang-orang muwahhidin,
seperti Nabi Muhammad SAW.14

h. Mahabbah
Pengertian yang diberikan kepada mahabbah antara lain:
a. Mencintai kepatuhan kepada Tuhan dan membenci sikap melawan-Nya;
b. Menyerahkan seluruh diri kepada yang dikasihi (Tuhan);
c. Mengosongkan hati dari segala-galanya, kecuali dari diri yang dikasihi.
Ath-Thusi membagi mahabbah menjadi 3 tingkatan, yaitu:
a. Mahabbah Biasa, munculnya karena kebaikan Allah kepada seorang hamba.
b. Mahabbah Sadiqin, yaitu membersit karena pengenalan yang mendalam atas
kebesaran, ilmu, dan kekuasan Allah.
c. Mahabbah ’An, yaitu cinta hamba-hamba Allah yang mengenal-Nya dengan baik.

i. Ma’rifat
Makrifat dalam pengertian sufisme adalah gnosis dari teosufi hellenistik, yaitu pengetauan
langsung dari Tuhan berdasarkan ilham atau petunjuk-Nya. Menurut Dzun Nun Al-Mishri,
ada tiga macam ma’rifat, yaitu:
a. Ma’rifat orang awam, yakni mengenali keesaan Tuhan dengan perantaraan ucapan
syahadat dan taqlid.
b. Ma’rifat para mutakallimin dan filosof, yakni mengenali keesaan Tuhan dengan melalui
logika dan penalaran.
c. Ma’rifat para awliya’ dan muqarrabin, yakni mengenali keesaan Tuhan dengan
perantaraan sanubari atau kalbu.

14
Asmaran AS.,Pengantar Studi Tasawuf (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1996), h. 122.

Anda mungkin juga menyukai