Anda di halaman 1dari 3

Macam-Macam Maqammat:

6. Maqam Ridha dan Tawakkal

Ridha dalam pandangan Ibn ‘Ata’illah adalah penerimaan secara total erhadap ketentuan dan
kepastian Allah SWT. Maqam ridha bukanlah maqam yang diperoleh atas usaha salik sendiri,
melainkan karena anugerah yang diberikan Allah. Jika maqam ridha sudah ada dalam diri salik, maka
sudah pasti maqam tawakkal juga akan terwujud. Dimana orang yang ridha terhadap ketentuan dan
kepastian Allah, dia akan menjadikan Allah sebagai penuntun dalam segala urusannya, dia akan
berpegang teguh kepada-Nya, dan yakin bahwa Allah akan menentukan yang terbaik bagi dirnya.
Sementara maqam tawakkal akan membangkitkan kepercayaan yang sempurna bahwa segala
sesuatu ada dalam kekuasaan Allah.

Sebagaimana maqam-maqam lainnya, maqam ridha dan tawakkal tidak akan benar jika massih
disertai dengan adanya angan-angan atau harapan di dalamnya. Ibn ‘Ata’illah menyatakan bahwa
angan-angan itu bertentangan dengan tawakkal, arena barangsiapa telah berpassrah kepada Allah,
dia akan menjadikan Allah sebagai penuntunnya, dia akan berpegang teguh pada-Nya atas segala
urusannya, dan jika sudah demikian tiadalah bagi dirinya segala bentuk angan-angan.

Perencanaan (tadbir) juga bertentangan dengan maqam tawakkal karena seseorang yang
bertawakkal kepada Allah adalah orang yang menyerahkan kendali dirinya dan berpegang teguh
kepada Allah atas segala urusannya. Hal ini karena seorang yang ridha maka cukup baginya
perencanaan Allah atasnya.

7. Maqam Mahabbah

Imam Al-Ghazali berpendapat bahwa maqam mahabbah adalah maqam tertinggi dari sekian
maqam-maqam dalam tarekat. Al-Ghazali menggambarkan bahwa mahabbah adalah tujuan utama
dari semua maqam, dia adalah gerbang tertinggi untuk mencapai ma’rifat kepada Allah.

Namun, Ibn’Ata’illah memiliki pandangan berbeda bahwa dalam mahabbah seorang salik harus
membuang semua angan-agannya. Dia berpendapat demikian karena ketika salik yang telah sampai
pada tahap mahabbah (cinta) bisa jadi dia masih mengharapkan balasan atas cintanya kepada yang
dicintainya (Allah). Dari sini dapat terlihat bahwa rasa cinta salik didasarkan atas kehendak dirinya
untuk mendapatkan balasan cinta sebagaimana cintanya. Karena pecinta sejati adalah orang yang
rela mengorbankan segala yang ada pada dirinya demi yang dicintainya dan tidak mengharapkan
imbalan apapun dari yang dicintainya, dalam konteks ini adalah Allah SWT.

Mahabbah (cinta) kepada Allah sejatinya adalah tujuan luhur dan utama dari seluruh maqam.
Dimana mahabbah merupakan akibat dari seluruh maqam yang berwujud indu, senang, ridha dan
lain sebagainya. Sementara maqam sebelum mahabbah merupakan permulaan dari seluruh
permulaan maqam, seperti taubat, sabar, zuhud, dan sebagainya.

Untuk mencapai mahabbah, seorang salik disyaratkan terlebih dahulu mengambil baiat (janji) pada
seorang guru tarekat (mursyid). Dimana tugas seorang mursyid adalah membimbing dan
mengarahkan agar seorang salik tidak terjerumus ke dalam kesesatan.

8. Maqam Hakikat

Hakikat berasal dari kata Al-Haqq yang berarti kebenaran. Sementara menurut Asy-Syekh Abu Bakar
Al-Ma’ruf, Hakikat adalah suasana kejiwaan seorang salik (shufi) ketika ia mencapai tujuan, sehingga
ia dapat menyaksikan tanda-tanda ketuhanan dengan mata hatinya. Sedangkan menurut Imam Al-
Qasyairiy, Hakikat adalah menyaksikan sesuatu yang telah ditentukan, ditakdirkan, disembunyikan
(dirahasiakan) dan yang telah dinyatakan oleh Allah kepada hamba-Nya. Hakikat yang didapatkan
oleh shufi setelah menempuh tarekat menjadikan dirinya yakin terhadap apa yang dihadapi. Karena
itu, ulama shufi sering mengalami tiga tingkatan keyakinan:

a. Ainul Yaqiin: tingkatan keyakinan yang timbul karena adanya pengamatan indra terhadap
alam semesta, sehingga menimbulkan keyakinan tentang kebenaran Allah sebagai
penciptanya.
b. Ilmul Yaqin: tingkatan keyakinan yang timbul karena adanya analisis pemikiran ketika
melihat kebesaran Allah pada alam semsta.
c. Haqqul Yaqin: keyakinan yang di dominasi oleh hati nurani shufi tanpa melalui perantara
ciptaan-Nya, sehingga segala ucapan dan tingkah lakunya mengandung nilai ibadah kepada
Allah karena kebenaran akan Allah langsung disaksikan oleh hati.

9. Maqam Ma’rifat

Ma’rifat berasal dari kata Al-Ma’rifah yang berarti mengetahui atau mengenal sesuatu. Apabila
dihubungkan dengan tasawuf, maka istilah ma’rifat berarti mengenal Allah ketika shufi mencapai
maqam dalam tasawuf. Dalam istilah, tasawuf bermakna pengetahuan yang sangat jelas dan pasti
tentang Tuhan yang diperoleh melalui hati, karena kejelasan pengetahuan ini lah yang menyebabkan
seorang shufi merasa terharu. Sedangkan menurut Dr. Mustafa Zahri, Ma’rifat adalah ketetapan hati
(dalam mempercayai hadirnya) wujud yang wajib adanya (Allah) yang menggambarkan
kesempurnaannya. Sementara menurut Imam Al-Qusyairy, barangsiapa yang meningkat ma’rifatnya,
maka akan meningkat pula ketenngan hatinya.

Tidak mudah untuk mengetahui sapa shufi pertama yang mengartikan ma’rifat secara khas. Akan
tetapi, dalam catatan sejarah diketahui bahwa Al-Misri adalah orang yang pertama menganalisis
ma’rifat secara konsepsional dan mengklasifikasikannya ke dalam tiga kelas, yaitu:

a. Ma’rifat tauhid sebagai ma’rifatnya orang awwam


b. Ma’rifat al-burhan wa al-istidhal yang merupakan ma’rifatnya mutakallin dan filosof, yaitu
pengetahuan tentang Tuhan melalui pemikiran dan pembuktian akal.
c. Ma’rifat para wali yaitu pengetahuan dan pengenalan tentang Tuhan melalui sifat sifat dan
ke-Esa-an Tuhan

Shufi yang sudah mendapatkan ma’rifat memiliki tanda-tanda tertentu sebagaimana keterangan
Dzuun Nuun Al-Mishriy:

a. Selalu memancar cahaya ma’rifat padanya dalam segala sikap dan perilakunya.
b. Tidak menjadikan keputusan pada sesuatu yang berdasaran fakta yang bersifat nyata, karena
hal-hal yang nyata menurut ajaran tasawuf belum tentu benar.
c. Tidak menginginkan nikmat Allah yang banyak untuk dirinya karena hal itu dapat membawa
dalam perbuatan yang haram.

Dari sini dapat terliat bahwa, seorang shufi tidak membutuhkan kehidupan yang mewah, kecuali
tingkatan kehidupan yang hanya sekedar dapat menunjang kegiatan ibadahnya kepada Allah dan
yang cukup memberikan kebahagiaan batin karena merasa selalu bersama dengan Tuhan-Nya.
Untuk mencapai fase a’rifat, maka seorang shufi harus melalui beberapa tahapan. Dan tahapan
tersebu harus dilalui secara berurutan, mulai dari syariat, tarekat, hakikat dan ma’rifat. Karena tidak
mungkin tahapan tersebut ditempuh secara terbalik dan tidak pula secara teputus0putus. Dengan
menempuh tahapan tasawuf yang berurutan seorang hamba tidak akan mengalami kegagalan dan
kesesatan.
Tingkatan Ahwal

Mengenai jumlah tingkatan ahwal tidak disepakati oleh ulama tasawuf. Abu Nashr As-Sarraaj
mengatakan bahwa tingkatan ahwal ada sepuluh yang dikemukakan sebagai berikut:

1. Tingkatan pengawasan diri (Al-Muraaqabah)


2. Tingkatan kedekatan diri (Al-Qurbu)
3. Tingkatan cinta (Al-Mahabbah)
4. Tingkatan takut (Al-Khauf)
5. Tingkatan harapan (Ar-Rajaa)
6. Tingkatan kerinduan (Asy-Syauuq)
7. Tingkatan kejinakan atau senang mendekat kepada perintah Allah (Al-Unsu)
8. Tingkatan ketenangan jiwa (Al-Itmi’naan)
9. Tingkatan perenungan (Al-Musyaahaah)
10. Tingkatan kepastian (Al-Yaqiin)

Daftar Pustaka

Zulkifli dan Jamaluddin, M. 2018. Akhlak Tasawuf Jalan Lurus Mensucikan Diri.
Yogyakarta: KALIMEDIA

Anda mungkin juga menyukai