Anda di halaman 1dari 13

Ma’rifatullah Melalui Musyahadah dan

Mahabbah
Makalah ini dibuat sebagai tugas pada mata kuliah
Pemikiran dalam Islam

Dosen: Dr. Umar Ibrahim, MA.

Oleh:
Dikriyah
Herlin Yulianti

PROGRAM PASCASARJANA
MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM

INSTITUT PTIQ JAKARTA


2015
BAB I

PENDAHULUAN

Banyak hal yang dilakukan oleh seorang hamba untuk mendekatkan diri
pada Kholiqnya. Apabila upaya itu sudah ditempuh, maka dia akan asyik dan
khusyu’ karena merasakan keni’matan, kelezatan dan kemanisan dalam
melakukannya. Mereka merasa begitu dekat dengan Tuhannya (qurb), merasa
tenang jiwanya, merasakan tidak ada sesuatupun bahkan dirinya kecuali Tuhan
(fana), dan memperoleh ilmu pengetahuan yang hakiki (ma’rifat).

Kedekatan seorang hamba terhadap Tuhannya bukanlah berarti kedekatan


tempat dan waktu, tetapi sesungguhnya kedekatan itu semata-mata karena
hadirnya Tuhan dalam dirinya.

Proses atau tingkatan kedekatan kepada Allah Swt yang dilakukan oleh
para sufi dalam mendapatkan maqam ma’rifatullah tentu tidak sedikit, di antara
upayanya ialah dengan bermahabbah, bermusyahadah.

Adapun dengan upaya maksimal pemakalah berusaha mencoba untuk


memaparkan apa yang dimaksud dengan mahabbah, musyahadah sehingga kita
sampai kepada hakikat ma’rifatullah.

Pembahasan ma’rifatullah sangat kompleks tetapi kita akan membahas


melalui sudut pandang mahabbah dan musyahadah

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Mahabbah
1. Pengertian Mahabbah
Mahabbah secara etimologi berasal dari kata ahabba, yuhibbu,
mahabatan, yang berarti mencintai secara mendalam atau kecintaan yang
mendalam.1 Mahabbah juga bisa didefinisikan sebagai al-wadud yakni
yang sangat kasih atau penyayang.2
Adapun dalam arti lain, mahabbah dapat pula berarti
kecenderungan kepada sesuatu yang sedang berjalan, dengan tujuan
untuk memperoleh kebutuhan yang bersifat material maupun spiritual,
seperti cintanya seseorang yang kasmaran terhadap sesuatu yang
dicintainya, cinta orang tua pada anaknya, cinta seseorang pada
sahabatnya, atau seorang pekerja kepada pekerjaannya. Mahabbah pada
tingkat selanjutnya dapat pula berarti suatu usaha sungguh-sungguh dari
seseorang untuk mencapai tingkat rohaniah tertinggi dengan tercapainya
gambaran yang Mutlak, yaitu cinta kepada Allah Swt.
Kata Mahabbah tersebut selanjutnya digunakan untuk
menunjukkan pada suatu paham atau aliran dalam tasawuf. Adapun
dalam hubungan ini mahabbah obyeknya lebih ditunjukan pada Allah
Swt. Dari sekian banyak arti mahabbah yang dikemukakan di atas,
tampaknya ada yang selaras dengan arti mahabbah yang dikehendaki
dalam tasawuf, yaitu mahabbah yang berarti kecintaan yang mendalam
secara ruhaniah pada Allah Swt.3
Pada tinjauan secara terminologi, para ahli berbeda pendapat, yang
mempunyai inti makna yang sama. Al-Ghozali mengatakan, mahabbah
ialah tujuan yang paling jauh dari maqam-maqam dan puncak tertinggi
dari derajat-derajat lain. Tidak ada maqam lagi kecuali hal itu merupakan

1
Lihat Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, hal. 96
2
Jamil Shaliba, al-Mu’jam al-Falsafy, Jilid II, hal. 439
3
Ibid, hal 440

3
buah dari buah-buahnya seperti rindu, kasih sayang, sikap ikhlas (ridha).4
Pendapat Syekh Jalaluddin, bahwa mahabbah termasuk maqom yang
sangat penting dalam tasawuf. Cinta tersebut merupakan suatu dorongan
kesadaran melalui saluran syariat, bukan sejenis cinta yang melahirkan
ucapan-ucapan syahwat yang sering berlawanan dengan pokok-pokok
ajaran syariat. Rasa cinta inilah yang mengalahkan hawa nafsu sehingga
merasa lezat mentaati semua ajaran syariat. Kasih kepada semua yang
dikasihi Allah Swt, serta benci kepada semua yang dibenci Allah Swt.5
Sedangkan menurut Harun Nasution, mahabbah ialah cinta, yang
dimaksudkan adalah cinta kepada Allah Swt. Selanjutnya Harun Nasution
mengatakan, pengertian yang disandarkan kepada mahabbah diantaranya
sebagai berikut:
 Memeluk kepatuhan pada Allah Swt dan membenci segala yang
dibenci-Nya.
 Menyerahkan seluruh diri kepada yang dikasihi.
 Mengosongkan hati dari segala-galanya kecuali dari yang dikasihi,
yaitu Allah Swt.6
2. Tingkatan Mahabbah Hamba Kepada Allah Swt.
a. Hamba yang Awam
Tingkatan mahabbah ini, hanya karena pemberian Allah Swt. kendati
demikian, tingkatan ini ada sedikit syarat yang harus dilakukan oleh
seorang hamba, yaitu dengan mengingat Allah Swt secara istiqamah.
b. Hamba yang Jujur
Pada level ini, hamba yang bermahabbah disebut dengan ash-
Shadiqin. Adapun level ini bisa disandang oleh hamba apabila rasa
cintanya ada karena melihat keagungan, kebesaran, dan kekuasaan
Allah Swt. Reaksi dari kesaksiannya, akan muncul sikap tadabbur,
tafaqqur. Sehingga dengan itu, hamba mampu mengaktualisasikan
sebuah kebenaran yang hakiki.

4
Al-Ghozali, Ihya’ ‘Ulumuddin, Jilid 7, hal 190
5
Asmal May, Corak Tasawuf Syekh Jalaluddin, hal. 160
6
Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme dalam Islam, hal. 70

4
c. Hamba yang ‘Arif
Tingkatan hamba yang arif, adalah perasaan cinta yang muncul
karena hamba melihat dan mengetahui keqadiman cinta kepada
Allah Swt yang tanpa sebab dan alasan apapun.
Adanya surga dan neraka tidak menjadi efek atas rasa cinta dan
penghambaannya, bahkan lebih dalam lagi. Dzun-Nun al-Mishri
mengatakan, bahwa cinta ini ialah cinta yang murni kepada Allah
Swt tanpa setitik noda pun, rasa cinta itu pun hilang dari dalam hati
dan anggota tubuh. Segala sesuatu hanya dengan Allah Swt dan
untuk-Nya.7 Jadi, kualitas dan kwantitas mahabbah itu tidak ada
yang ada hanya hamba yang tenggelam dalam dzat Allah Swt.
Berdasarkan penjelasan tentang maqam mahabbah tersebut
tentunya ada buah yang dapat dipetik dengan kata lain, hikmah-hikmah
yang diserap oleh hamba yang bermahabbah, menurut Said Ramadhan
Al-Buthy, hikmah itu berdasarkan ayat Allah swt.
“Katakanlah (Muhammad), jika kamu mencintai Allah swt.
Ikutilah Aku, niscaya Allah swt. mencintaimu dan mengampuni
dosa-dosamu. Allah swt. maha pengampun, maha penyayang.”
(QS. Ali Imran: 31).

Adapun lebih dalam lagi dijelaskan bahwa hikmah yang dapat


dipetik atas mahabbah Ilallah yaitu seorang hamba tidak akan gentar dan
takut dalam menghadapi kematian. Baginya kematian merupakan
harapan agar dapat bertemu dengan yang dicintainya. Imam Ghozali
Mengatakan, ”Saat waktu subuh di hari senin, saudaraku Abu Hamid
mengambil air wudhu lalu shalat. Kemudian ia berkata, ‘ambilkan aku
kain kafan!’ ia pun mengambil, mencium dan meletakkannya di kedua
matanya. Seraya berkata, ‘Saya siap untuk masuk menemui Raja.’
Kemudian, ia lepaskan kedua alas kakinya, menghadap kiblat, dan
meninggal saat matahari mulai terbit remang-remang.”8

7
Abu Nashr as-Sarraj, Al-Luma’, hal. 121
8
Said Ramadhan Al-Buthy , Al-Quran Kitab Cinta, hal 57

5
B. Musyahadah
1. Pengertian Musyahadah
Musyhadah berarti penyaksian, sedangkan yang dimaksud dengan
penyaksian adalah penyaksian dengan penglihatan hati. Pada tingkatan
ini, sufi mempunyai kesadaran melihat dengan penglihatan hati bahwa
pada setiap ciptaan atau makhluk ada tanda-tanda yang menunjukan
kehadiran sang Pencipta.
Amr bin Utsman al-Makki mendefinisikan musyahadah adalah
kehadiran yang berarti kedekatan yang diimbangi dengan ilmu yakin dan
hakikat-hakikatnya. Sedangkan menurut Al-Ghazali, musyahadah adalah
anugerah rohani yang sebesar-besarnya yang dirasakan oleh manusia di
dunia. Orang yang mendapatkan karunia itu di dunia akan merasakan
kelezatan penyaksian yang lebih besar lagi kelak di akhirat.9
Berdasarkan definisi di atas, musyahadah merupakan
ketersingkapan nyata, yang tidak lagi butuh bukti dan penjelasan, tidak
ada imajinasi maupun keraguan. Adapun dalam istilah lain dikatakan
syuhud, dari penyaksian yang disaksikan dan tersingkapnya Wujud.
Berpijak dari uraian di atas bahwa sesungguhnya musyahadah
merupakan tindak lanjut dari ajaran ihsan yang telah mengajarkan konsep
ibadah yang sesungguhnya dengan satu ukuran, seakan-akan seorang
hamba itu benar-benar melihat Allah Swt. atau Allah Swt telah melihat
hambanya.10
Adapun dalam konteks hubungan dengan menyaksikan Allah swt.,
maka ada ayat yang menyebutkan,
"Kemana pun engkau menghadap, disanalah Wajah Allah."
(QS. Al-Baqarah: 115)
"Sesungguhnya aku hadapkan wajahku kepada Dzat yang
menciptakan langit dan bumi dengan penuh kepatuhan." (QS. Al-
An'aam: 79)

9
Abu Nashr as-Sarraj, Al-Luma’, hal.143
10
Muhammad al-Ghozali, Selalu Melibatkan Allah, hal. 66

6
Mata yang digunakan dalam tingkatan musyahadah ini, tentunya
bukan mata dengan kelopak yang menutupinya. Hal itu dijelaskan oleh
Sayyidina Abu Bakr ash-Shiddiq ra berkata,
"Aku melihat Tuhanku dengan mata Tuhanku." yang berarti
bahwa hanya dengan mata Ilahi saja kita bisa melihat-Nya”.

Adapun yang dimaksud dengan mata Ilahi adalah Mata Hati kita
yang diberi hidayah dan 'inayah oleh Allah Swt untuk terbuka dan
senantiasa di sana hanya wajah11 Allah Swt yang tampak, sebagaimana
dalam Al-Qur'an. Ibnu Athaillah menggambarkan secara bijak: "Alam
semesta ini gelap, dan sebenarnya menjadi terang karena dicahayai
Allah swt. di dalamnya. Karena itu siapa yang melihat semesta, namun
tidak menyaksikan Allah swt. di dalamnya, atau di sisinya, atau sebelum
dan sesudahnya, benar-benar ia telah dikaburkan dari wujud cahaya,
dan tertutup dari matahari ma'rifah oleh mendung-mendung duniawi
semesta."12
Dengan demikian, sangatlah erat hubungan antara menyaksikan
Allah swt. (musyahadah) dengan tersingkapnya tirai hijab (mukasyafah),
yang menghalangi diri hamba dengan Allah Swt., walaupun Allah Swt.
sesungguhnya tidak bisa dihijab oleh apa pun. Karena jika ada hijab yang
bisa menutupi Allah Swt., berarti hijab itu lebih besar dan lebih hebat
dibanding Allah Swt.
Kesadaran menyaksikan dan memandang Allah Swt., kemudian
mengekspresikan sebuah pengalaman demi pengalaman yang berbeda-
beda antar para sufi, sesuai dengan tingkat haliyah ruhaniyah (kondisi
ruhani) masing-masing. Sebagian ada yang menyadari dalam pandangan
tingkat asma Allah Swt., ada pula sampai ke sifat Allah Swt., bahkan ada
yang sampai ke dzat Allah Swt. kemudian turun kembali melihat sifat-
sifat-Nya, kemudian asma'-asma-Nya, serta melihat semesta makhluk-
Nya.13
11
Wajah yang dimaksud adalah bukan wajah secara fisik tetapi ini hanya kiasan sebagai ungkapan
untuk seseorang yang mencapai makom tertinggi sehingga tirai hijabnya terbuka oleh Allah Swt.
12
Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya dalam Islam, hal. 46
13
Abu Nashr as-Sarraj, Al-Luma’, hal. 142

7
2. Tingkatan Hamba Yang Bermusyahadah
a. Tingkatan hamba pemula, menurut Abu Bakar al-Wasithi, yaitu
mereka yang masih berguru (murid). Tingkatan ini sudah
menyaksikan segala sesuatu dengan mata penuh ibrah dan mata
pikir.
b. Tingkatan hamba menengah, yaitu “hamba yang menyaksikan bahwa
semua makhluk ada dalam genggaman Al-Haq. dan menjadi milik-
Nya. Sehingga, ketika terjadi proses musyahadah antara Allah Swt.
dengan hamba-Nya, maka tidak ada lagi yang tersisa dalam rahasia
hati dan imajinasinya kecuali Allah Swt.” itu pendapat atau isyarat
yang diberikan oleh Abu Said al-Kharraz.
c. Tingkatan hamba tertinggi, pada tingkatan ini, Amr bin Utsman al-
Makki mengatakan, “Sesungguhnya, hati orang-orang arif
menyaksikan Allah swt. dengan kesaksian yang menetapkan.
Sehingga mereka menyaksikannya dengan segala sesuatu, dan
menyaksikan segala yang wujud (alam) dengan-Nya. Mereka orang-
orang yang ghaib tapi hadir, dan orang –orang yang hadir tapi
ghaib. Mereka menyaksikan Allah swt. secara lahir dan batin,
secara batin dan lahir, awal dan akhir, akhir dan awal.”14

C. Ma’rifah
1. Pengertian Ma’rifah
Kata ma`rifah secara etimologi berasal dari bahasa Arab yaitu arafa
ya’rifu, arafah, irfan dan ma’rifah yang berarti pengetahuan yang sangat
jelas. Lantas, apakah sama makna al-ilm (pengetahuan) dengan ma`rifat
itu sendiri?, tentunya berbeda antara al-ilm dengan ma’rifah. Al-ilm
berarti pengetahuan yang menggunakan perantara maka ma`rifat berarti
pengetahuan yang melalui pengalaman langsung tanpa perantara.
Sedang ma`rifat dalam istilah tasawuf adalah pengetahuan yang
pasti mengenai Allah Swt. melalui pengalaman langsung. Pengalaman
14
Ibid, hal 143

8
langsung di sini adalah pengetahuan yang langsung dirasakan oleh
seorang sufi melalui hati dalam bentuk Kasyf atau Ilham. Apabila orang
awam mengetahui Allah Swt melalui informasi dan para filosof melalui
akalnya, maka para sufi mengetaui Allah Swt melalui hatinya.
Pengetahuan orang awam bersifat pengakuan, pengetahuan para filosof
bersifat diskursif (bahtsiyah) dan pengetahuan para shufi bersifat
pengalaman langsung (tajribiyyah).
2. Sarana Ma’rifah
Menurut Al-Ghozali, qalbu merupakan sarana untuk menempuh
ma’rifah Ilallah. Qalbu yang dimaksud bukanlah qalbu yang terletak
pada dada kiri seorang hamba. Tetapi yang dimaksud ialah percikan
ruhaniah ketuhanan yang merupakan hakikat realitas manusia.
Qalbu merupakan cermin, dan ilmu adalah pantulan gambar realitas
yang terdapat didalamnya. Jadi, apabila qalbu tidak bening, maka tidak
akan memantulkan realitas-realitas ilmu. Kotornya cermin itu disebabkan
oleh hawa nafsu tubuh dan untuk membersihkan cermin itu, haruslah
adanya ketaatan kepada Allah Swt yang hal itu akan menjadi penghalang
atas tuntutan hawa nafsu.
Penghalang itu adalah pertama, kurang sempurnanya hati sehingga
tidak bisa menampakkan gambar pengetahuan. kurang sempurnanya hati
ini misalnya hati anak - anak. Kedua, kotoran maksiat yang menumpuk di
atas permukaan hati. Ketiga, hati tidak lurus ke arah yang dituju. Hati
seorang yang taat dan salih misalnya, tidak akan muncul gambar
kebenaran karena tidak diarahkan pada kebenaran itu sendiri. Keempat,
keyakinan yang dibawa sejak kecil melalui taqlid yang terlanjur
menempel di hati sehingga menghalangi kebenaran muncul ke dalam
hati. Hal seperti ini banyak dialami oleh mereka yang fanatik terhadap
golongan atau mazdhabnya. Kelima, tidak tahu arah terhadap gambar
kebenaran yang dicari.15

HR. Fadjar Noegraha Syamhoedie, Tasawuf Kehidupan Al-Ghozali, hal. 163


15
Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya dalam Islam, hal. 12-13

9
Analogi yang diberikan oleh al-Ghozali dalam mengilustrasikan
sarana ma’rifah ini, merupakan analogi yang sering digunakan oleh para
ahli tasawuf. Kemudian penghalang-penghalang dari bersihnya cermin
adalah konsep besar yang harus dihadapi terlebih dahulu, kemudian
dipecahkan untuk menjadi solusi menuju sarana ma’rifah yang baik.
3. Metode Ma’rifah
Cara atau metode dalam mencapai maqam ma’rifah adalah
menjadikan hati sebagai sentral pengetahuan dan fokus. Ada beberapa
cara untuk memperoleh makrifat pertama, mujahadah yakni
kesungguhan niat dan kesungguhan usaha menuju pencapaian makrifat.
Kedua, menghapus sifat-sifat tercela, dan ketiga, mengkonsentrasikan
diri pada Allah Swt dengan sepenuh hati.
Sebagai contoh, berikut jawaban seorang Ulama yang ditanya akan
metode dalam mencapai ma’rifah. Ulama tersebut menjawab:
“Aku mendapatkan itu (ma’rifah) dengan perut lapar dan
badan telanjang.”
Jawaban tersebut menunjukkan bahwa ma'rifah dapat diperoleh
melalui riyadlah (latihan) dan mujahadah (usaha dengan sepenuhnya).16
Sedangkan Al-Ghozali meyatakan bahwa metode untuk hal itu,
adalah dengan iluminasi (kasyf).
Iluminasi menurut Al-Thusi, adalah uraian yang tertutup bagi
pemahaman, yang tersingkap bagi seseorang, seakan dia melihat dengan
mata telanjang.17
Tandas Al-Ghozali, metode iluminasi ini merupakan metode
tertinggi dibandingkan dengan metode yang lain.
“Metode orang yang awam, seorang teolog, kemudian
dibandingkan dengan seorang sufi memiliki perbedaan. Misalnya,
seorang awam, seandainya ia mendapat pemberitahuan yang
dipercayainya bahwa dalam sebuah rumah ada seseorang, dia akan
membenarkan dengan tidak sedikitpun terbesit dalam benaknya untuk

16
Ibid, hal. 14
17
HR. Fadjar Noegraha Syamhoedie, Tasawuf Kehidupan Al-Ghozali, hal. 164

10
menyelidikinya. Kemudian, seorang teolog, dalam hal ini, bagaikan
seseorang yang mendengar omongan seseorang di dalam rumah tersebut,
lalu dijadikannya hujjah bahwa ada orang di dalam rumah itu. Sedangkan
seorang sufi, dalam hal ini, seperti halnya orang yang masuk ke dalam
rumah tersebut dan melihat orang yang di dalamnya. Penyaksian seperti
inilah pengetahuan yang hakiki.18
Antara hamba awam yang memiliki tingkat kepercayan tinggi,
dengan teolog yang sedikit kritis nampaknya belum mendapatkan
pengetahuan yang hakiki. Jadi metode sufi itulah yang menjadi contoh
tepat dalam berma’rifah menurut Al-Ghozali.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
18
Ibid, hal. 166

11
Kesimpulan yang ditarik dari ketiga kondisi atau kedudukan spiritual
mahabbah, musyahadah dan ma’rifah, Jelas jalan tempuhnya tidaklah
mudah. Pemakalah pun tidak bisa menjelaskan hal ini secara eksplisit,
karena pemakalah belum mendapatkan maqam spiritual tersebut. Kendati
demikian, berikut tulisan Prof. Dr. Nasarudin Umar, MA yang menarik
untuk menjadi pembahasan akhir makalah ini, tulisan ini dimuat dalam
harian republika.
“Puncak Pencapaian Spiritual yang dapat dicapai seseorang. Ibarat
tangga yang mempunyai beberapa anak tangga, harus didaki para pencari
Tuhan (salik) melalui berbagai usaha.
Dari anak tangga pertama hingga puncak memerlukan perjuangan
dan upaya spiritual, mujahadah dan riyadhah. Anak-anak tangga
(maqamat) tidak sama pada setiap orang atau setiap tarekat. 
Namun, secara umum maqam-maqam mahabbah, musyahadah dan
ma’rifah. Tiga maqam terakhir sering dianggap sebagai maqam puncak.
Mujahadah dari akar kata jahada berarti berjuang dan bersungguh-
sungguh. Seakar kata dengan kata jihad berarti berjuang secara fisik,
ijtihad berjuang secara nalar, dan mujahadah berarti berjuang dengan olah
batin.
Sedangkan, riyadhah berasal dari kata radhyiya berarti senang, rela.
Ini seakar kata dengan ridhwan berarti kepuasan dan kesenangan.
Mujahadah dan riyadhah merupakan dua hal tak terpisahkan di dalam diri
seorang sufi atau salik.
Mujahadah dan riyadhah bisa mengambil bentuk berupa
penghindaran diri dari dosa-dosa kecil  (muru’ah), melakukan amalan
rutin, seperti puasa senin-kamis dan puasa-puasa sunah lainnya.”19
Oleh karenanya, mari kita optimis dan lakukanlah dua proses tersebut
yaitu mujahadah dan riyadhah, sebagai jembatan kita mengetahui hakikat
sesungguhnya bermahabbah, bermusyahadah dan berma’rifah kepada Allah
Swt.

19
Nasarudin Umar, Republika Online, Judul tulisan: Belajar dari Suasana Batin: Ketika Mencapai
Maqam Puncak.

12
B. Kritik dan Saran
Pemakalah sadar sepenuhnya, bahwa apa yang terkandung dalam
tulisan ini, tentunya jauh dari kesempurnaan. Oleh karenanya saling
mengingatkan itulah hal yang sangat pemakalah harapkan.
Kritikan yang konstruktif, akan membuat penulis terus berfikir untuk
terus maju kedepan guna menyongsong keilmuan yang lebih dalam dan
komprehensif.
Bersemangatlah dalam memperoleh maqam spiritual yang lebih
tinggi, karena dengan itu dapat memberikan pencerahan-pencerahan yang
sangat bermanfaat khususnya untuk kaum awam.

DAFTAR PUSTAKA

 Al-Buthy, Said Ramadhan. 2010. Al-Quran Kitab Cinta. Jakarta: Hikmah.


 Al-Ghozali, Abu Hamid. 2013. Ihya’ ‘Ulumuddin. Terjemahan, Jilid 7.
Jakarta: Republika.
 Al-Ghozali, Muhammad. 2003 Selalu Melibatkan Allah, Jakarta: Serambi.
 As-Sarraj, Abu Nashr. 2009. Al-Luma’. Terjemahan. Surabaya: Risalah
Gusti.
 May, Asmal. 2001. Corak Tasawuf Syekh Jalaluddin. Pekanbaru: Susqa
Press.
 Nasution, Harun. 1983. Falsafah dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta:
Bulan Bintang.
 Shaliba, Jamil. 1978. al-Mu’jam al-Falsafy. Jilid II. Mesir: Dar al-Kitab.
 Simuh. 1996. Tasawuf dan Perkembangannya dalam Islam. Jakarta: Raja
Grafindo Persada.
 Syamhoedie, Fadjar Noegraha. 2009. Tasawuf Kehidupan Al-Ghozali.
Ciputat: Putra Harapan.
 Umar, Nasarudin. Republika Online, Judul tulisan: Belajar dari Suasana
Batin: Ketika Mencapai Maqam Puncak. Kamis 29 Mei 2014, 06:29 wib.
 ______________ Republika Online, Judul tulisan: Relasi Tuhan dan
Hamba. Senin, 09 April 2012, 14:22 wib.
 Yunus, Mahmud. 1990. Kamus Arab Indonesia. Jakarta: Hidakarya.

13

Anda mungkin juga menyukai