Anda di halaman 1dari 12

MATERI TENTANG DAKWAH PADA MASA DAULAH ISLAMIYAH

Makalah ini dibuat untuk memenuhi mata kuliah Sejarah Dakwah

Imam Abu Hanifa / 2041010336

Zesida Panata Ghama / 2041010339

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN INTAN LAMPUNG

FAKULTAS DAKWAH

JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM

1
TUGAS MAKALAH
MAHABBAH DAN MAKRIFAH

A. MAHABBAH

1. DEFINISI DAN MAKNA

Secara etimologi, mahabbah adalah bentuk masdar dari kata: ‫ حب‬yang mempunyai
arti: a) membiasakan dan tetap, b) menyukai sesuatu karena punya rasa cinta.
Dalam bahasa Indonesia kata cinta, berarti: a) suka sekali, sayang sekali, b) kasih
sekali, c) ingin sekali, berharap sekali, rindu, makin ditindas makin terasa betapa
rindunya, dan d) susah hati (khawatir) tiada terperikan lagi.

Berdasarkan pengertian di atas, dapat dipahami bahwa mahabbah (cinta)


merupakan keinginan yang sangat kuat terhadap sesuatu melebihi kepada yang lain
atau ada perhatian khusus, sehingga menimbulkan usaha untuk memiliki dan
bersatu dengannya, sekalipun dengan pengorbanan .

2. NASH YANG ADA HUBUNGANNYA

a. Al-Qur’an

1. Surat Ali Imran ayat 159 :

‫اورْ هُ ْم‬ ِ ‫ب اَل ْنفَضُّ وا ِم ْن َحوْ لِكَ ۖ فَاعْفُ َع ْنهُ ْم َوا ْستَ ْغفِرْ لَهُ ْم َو َش‬ ِ ‫فَبِ َما َرحْ َم ٍة ِمنَ هَّللا ِ لِ ْنتَ لَهُ ْم ۖ َولَوْ ُك ْنتَ فَظًّا َغلِيظَ ْالقَ ْل‬
َ‫فِي اأْل َ ْم ِر ۖ فَإ ِ َذا َع َز ْمتَ فَتَ َو َّكلْ َعلَى هَّللا ِ ۚ إِ َّن هَّللا َ يُ ِحبُّ ْال ُمت ََو ِّكلِين‬

Artinya : Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut
terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah
mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka,
mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam
urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah
kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal
kepada-Nya (Ali Imran : 159).
2
2. Surat Ali Imran ayat 31 :

) 31 : ‫( ال عمران‬.‫قل ان كنتم تحبّون هّللا فاتّبعونى يحببكم هّللا و يغفر لكم ذنوبكم و هّللا غفور رحيم‬

Artinya : Katakanlah : “ jika kamu ( benar-benar ) mencintai Allah, ikutilah aku,


niscaya Allah mengasihi dan menggampuni dosa-dosamu“. Allah Maha pengasih
lagi Maha penyayang”.

b. Hadits

1. Hadits Riwayat Abu Hurairah r. A :

) ‫ ومن لم يحبلقاءهّللا تعا لى لقاءه ( رواه البخارى‬،‫من احبّ لقاء هّللا أحبّ هّللا لقاءه‬

Artinya : “ Barangsiapa yang senang bertemu kepada Allah, maka Allah senang
bertemu dengannya. Barangsiapa yang tidak senang bertemu Allah, maka Allah
pun juga tidak senang bertemu dengannya”. ( HR. Bukhori ).

2. Hadits Riwayat Anas bin Malik :

3
‫ وما تر ّددت فى شئ كتر ّددى في قبش نفس عبدى المؤمن يكره‬،‫من أهان لى وليا فقد بارزني بالمحاربة‬
‫ وال يزال عبدي تقرّب إل ّي با‬,‫ وما تقرّب إل ّي من أداء ما افترضت عليه‬,‫ مالب ّد له منه‬,‫ وأكره مساءته‬,‫الموت‬
”‫ و من أحببته كنت له سمعا وبصراويداومؤيّدا‬,‫النوافل حتّى أ حبّه‬.

Artinya : “ Barangsiapa yang menghina wali-Ku ( kekasih-Ku ), sesungguhnya ia


telah terang-terangan memerangi-Ku. Tidaklah Aku ragu-ragu melakukan seperti
Keraguan-Ku ketika mencabut nyawa hamba-Ku yang beriman. Dia benci
kematian dan saya tidak mau menyakitinya, sedangkan kematian itu pasti ada.
Tidak ada sesuatu yang paling Aku sukai yang bisa mendekatkan hamba-Ku
dengan-Ku lebih dari melakukan kewajiban yang Aku perintahkan kepadanya. Dan
senantiasa mendekati-Ku dengan melaksanakan ibadah-ibadah sunat sampai Aku
mencintainya. Dan barangsiapa yang telah Aku cintai, maka Aku mendengar,
melihat, menolong, dan mendukung-nya.”

3. HAKIKAT

Konsep mahabbah (cinta kepada Allah) adalah salah satu ajaran pokok yang
memungkinkan Islam membawa rahmat bagi seluruh isi alam. Cinta pada
hakikatnya bukanlah sebutan untuk emosi semata-mata yang hanya dipupuk di
dalam batin saja, akan tetapi ia adalah cinta yang memiliki kecenderungan pada
kegiatan nyata sekaligus menjadi sumber keutamaan moral .

4. TUJUAN

Al-mahabbah dapat berarti kecenderungan pada sesuatu yang sedang berjalan,


dengan tujuan untuk memperoleh kebutuhan yang bersifat material maupun
spiritual, seperti cintanya seseorang yang kasmaran pada sesuatu yang dicintainya.
Mahabbah pada tingkat selanjutnya berarti suatu usaha sungguh-sungguh dari
seseorang untuk mencapai tingkat rohaniah tertinggi dengan tercapainya gambaran
Yang Mutlak, yaitu cinta kepada Tuhan. Kata mahabbah selanjutnya digunakan
untuk menunjukkan suatu paham atau aliran dalam tasawuf. Mahabbah obyeknya
lebih ditujukan pada Tuhan. Jadi, Mahabbah artinya kecintaan yang mendalam
secara ruhiah pada Tuhan.

4
5. KEUTAMAAN

Keutamaan mahabbah dijelaskan Rasul dalam haditsnya: “Diriwayatkan dari Anas


bin Malik r.a: Seorang lelaki yang berasal dari pedalaman bertanya kepada
Rasulullah s.a.w: Bilakah berlakunya Kiamat? Rasulullah s.a.w bersabda: Apakah
persediaan kamu untuk menghadapinya? Ia menjawab: Cinta kepada Allah dan
Rasul-Nya. Rasulullah s.a.w bersabda: Kamu akan tetap bersama orang yang kamu
cintai”.Selain itu Mahabbah dapat mengantarkan hamba yang memiliki kecintaan
tersebut di antara penghuni langit. Sebab para malaikat akan selalu mencintai
orang-orang yang dicintai oleh Allah atas kedekatannya dengan-Nya, juga karena
mereka selalu memenuhi perintah Allah”.

6. PENDAPAT PARA AHLI SUFI

Imam al-Gazāli mengatakan bahwa mahabbah adalah kecenderungan hati kepada


sesuatu. Kecenderungan yang dimaksud oleh al-Gazali adalah kecenderungan
kepada Tuhan karena bagi kaum sufi mahabbah yang sebenarnya bagi mereka
hanya mahabbah kepada Tuhan. Hal ini dapat dilihat dari ucapannya, “Barangsiapa
yang mencintai sesuatu tanpa ada kaitannya dengan mahabbah kepada Tuhan
adalah suatu kebodohan dan kesalahan karena hanya Allah yang berhak dicintai.”

7. HUBUNGAN DENGAN KETENTRAMAN JIWA

Mahabbah adalah untuk memperoleh kebutuhan yang bersifat material maupun


spiritual, seperti cintanya seseorang yang kasmaran pada sesuatu yang dicintainya.

B. MAKRIFAH

1. DEFINISI DAN MAKNA

Al-Ma’rifah artinya ilmu pengetahuan. Setiap ilmu adalah al-ma’rifah. Maka setiap
‘alim yaiitu orang yang berilmu dengan Allah disebut juga arif bi Allah, maka
setiap orang ‘arif adalah ‘alim .

5
Menurut penempuh jalan spiritual, ma’rifat adalah derajat di mana pengetahuan
disatukan dengan orang yang mengetahui dan menjadi sifat sekunder baginya dan
setiap keadaan dari dirinya mengungkapkan apa dan siapa yang diketahuinya .

Jadi, dapat disimpulkan bahwa ma’rifah tidak dapat dipeoleh begitu saja, tetapi
ma’rifah itu pemberian dari Tuhan. Tuhan Yang Maha Suci, Maha Mulia, dan
Maha Agung itu tidak akan diketahuinya, tidak akan dapat dirasakannya sekiranya
tidak dengan_nya, kalau dengan lainnya tidak akan diketahui dan tidak akan
dirasakan.

2. NASH YANG ADA HUBUNGANNYA

a. Al-Qur’an

Di dalam Al-Qur’an, di jumpai tidak kurang dari 43 kali kata nur diulang dan
sebagian besar dihubungakan dengan Tuhan. Misalnya ayat yang berbunyi:

ُ‫ْض إِ َذا أَ ْخ َر َج يَ َده‬ َ ْ‫ضهَا فَو‬


ٍ ‫ق بَع‬ ُ ‫ات بَ ْع‬ ٍ ‫أَوْ َكظُلُ َما‬
ٌ ‫ت فِي بَحْ ٍر لُ ِّج ٍّي يَ ْغ َشاهُ َموْ ٌج ِم ْن فَوْ قِ ِه َموْ ٌج ِم ْن فَوْ قِ ِه َس َحابٌ ۚ ظُلُ َم‬
ٍ ُ‫لَ ْم يَ َك ْد يَ َراهَا ۗ َو َم ْن لَ ْم يَجْ َع ِل هَّللا ُ لَهُ نُورًا فَ َما لَهُ ِم ْن ن‬
‫ور‬

Artinya: (dan) barangsiapa yang tiada diberi cahaya (petunjuk) oleh Allah tiadalah
dia mempunyai cahaya sedikitpun. (QS. Al-Nur, 24:40)

6

Artinya: Maka apakah orang-orang yang dibukakan Allah hatinya untuk


(menerima) agama Islam lalu ia mendapat cahaya dari Tuhannya (sama dengan
orang yang membatu hatinya)? (QS. Al-Zumar, 39:22)

b. Hadits

Di dalam hadis kita jumpai sabda Rasulullah yang berbunyi:

‫””كنت خزينة خا فية احببت ان اعرف فخلقت الخلق فتعر فت اليهم فعرفونى‬

“Aku (Allah) adalah pembendaharaan yang tersembunyi (ghaib), Aku ingin


memperkenalkan siapa Aku, maka Aku ciptakanlah makhluk. Oleh karena itu Aku
memperkenalkan diri-Ku kepada mereka. Maka mereka itu mengenal Aku. (Hadis
Qudsi).

Hadis tersebut memberikan petunjuk bahwa Allah dapat dikenal oleh manusia.
Caranya dengan mengenal atau meneliti ciptaan-Nya. Ini menunjukkan bahwa
ma’rifah dapat terjadi, dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam .

3. HAKIKAT

Hakikat Makrifah adalah penghayatan atau pengalaman kejiwaan, alat untuk


menghayati Dzat Allah dengan hati atau kalbu, karna dengan hati-lah seseorang
7
bisa menghayati segala rahasia yang ada dalam alam gaib .

4. TUJUAN

Ma’rifah adalah pengetahuan yang obyeknya bukan pada hal-hal yang bersifat
zahir, tetapi lebih mendalam terhadap batinnya dengan mengetahui rahasianya. Hal
ini didasarkan pada pandangan bahwa akal manusia sanggup mengetahui hakikat
ketuhanan yang satu, dan segala yang maujud berasal dari yang satu. Selanjutnya
ma’rifah digunakan untuk menunjukan salah satu tingkatan dalam tasawuf. Al-
Ghazali menjelaskan bahwa orang yang mempunyai ma’rifah tentang Tuhan, yaitu
arif, tidak akan mengatakan ya Allah atau ya rabb karena memanggil Tuhan dengan
kata-kata serupa ini menyatakan bahwa Tuhan ada di bekalang tabir. Tujuan
ma’rifat adalah berhubungan dengan Allah, dengan kendali jiwa kepada
eksistensinya yang intern, wasilahnya adalah spiritual.

5. KEUTAMAAN

Keutamaan keutamaan ma‘rifat :

a.Terhindar dari kerusakan.

Berdasarkan dawuh Sayyidina Ali Karromalloohu Wajhah : Tidak mengalami


kerusakan orang yang menyadari akan kedudukan dirinya “.

b. Ketika mati akan diberi kebaikan oleh Allah menurut bilangan makhluk.

“Wahai hamba-KU ketika kamu bertemu dengan Aku dan kamu ma’rifat kepada
KU, maka KU berikan kebaikan menurut bilangan Makhluk”

6. PENDAPAT PARA AHLI SUFI

Al-Ma’rifah salah satu istilah yang dilahirkan oleh tokoh sufi seperti Dzun Nun
al_Misri. Lahir di Akhmin (kawasan Mesir Hulu) tahun 155 H dan meninggal
8
tahun 245 H. Menurut biografi para sufi, Dzunun Nun seorang yang terkenal
karena keluasan ilmunya, ke-tawadhu’-annya (rendah hati, tidak takabur), budi
pekertinya baik. Dzunun Nun cenderung mengaitkan Ma’rifah dengan syariah,
sebagaimana katanya : Tanda seorang arif itu ada tiga, yakni (1) cahaya
ma’rifahnya tidak memudarkan cahaya wara’nya, (2) secara bathiniyah, tidak
menyangkal hukum lahiriyah. (3) banyaknya karunia Allah tidak menjadikannya
melanggar tirai – tirai larangan-Nya .

Konsep ma’rifah bagi Imam Al-Gazali dijadikannya sebagai salah satu maqamat
(stasion) yang harus disinggahi oleh seorang salik (seorang yang berjalan) kepada
Allah swt. Makin tajam ma’rifah seseorang makin dalam rasa keTuhanan pada
dirinya dan makin banyak rahasia KeTuhanan yang dapat diketahuinya.

Dalam istilah sufi juga dikatakakan bahwa ma’rifat dapat diartikan cahaya yang
disorot pada hati siapa saja yang dikehendakinya. Inilah pengetahuan hakiki yang
datang melalui kasyf (penyingkapan), musyahadah (penyaksian), dan dzauq (cita
rasa). Pengetahuan ini berasal dari Allah, akan tetapi pengetahuan ini bukanlah
Allah sendiri karena dia tidak bisa diketahui dalam esensinya .

7. HUBUNGAN DENGAN KETENTRAMAN JIWA

Ma’rifatullah Bagi Seorang Muslim yakni Sebagai ilmu yang paling tinggi dan
mulia derajatnya dibandingkan dengan pengetahuan-pengetahuan yang ada di dunia
ini, maka ma’rifatullah ini kiranya dapat menjadi pondasi dan komitmen pokok
yang harus dihayati dan diperhatikan oleh setiap orang muslim, yang hasilnya nanti
akan mengantarkan manusia kepada kebahagiaan, keselamatan, ketentraman dan
ketenangan jiwa raga, serta kelezatan dan kenikmatan beribadah kepada Allah Azza
Wajalla.

MAHABBAH DAN MA’RIFAH

Mahabbah senantiasa didampingi oleh ma’rifah. Mababbah dan mari’fah


merupakan kembar dua yang selalu disebut bersama. Keduanya menggambarkan
hubungan rapat antara sufi dan Tuhan. Sebagaimana halnya dengan mababbah,
mari’fah juga terkadang dipandang sebagai maqam terkadang sebagai hal. Dalam
hubungannya dengan maqamat, tentang urutan antara mahabbah dan ma’rifah
9
terjadi perbedaan. Ada yang mendahulukan mahabbah,

Ada pula yang mengatakan ma’rifah datang lebih dulu. Sufi yang mendahulukan
mahabbah menganggap bahwa mari’fah adalah maqam yang tertinggi, yang bisa
dicapai oleh orang yang telah cinta kepada Allah. Allah tidak akan membukakan
hijab-Nya jika seorang sufi belum benar-benar cinta kepada-Nya.

Sedangkan sufi yang mengatakan bahwa ma’rifah itu datangnya lebih dulu dari
mahabbah, karena berpandangan bahwa seorang sufi harus mengenal Tuhan
sebelum mencintai-Nya. Orang yang tidak mengenal-Nya tidak mungkin
mencintai-Nya.

Menurut Titus Burckhardt, sebenarnya tidak ada pemisahan sepenuhnya antara


kedua modus rohani ini. Pengetahuan tentang Tuhan melahirkan cinta, sementara
cinta mensyaratkan adanya pengetahuan mengenai objek cinta. Objek cinta rohani
adalah keindahan Tuhan. Dan objek pengetahuan hati sanubari adalah kebenaran
yang sebenarnya tentang Tuhan. Kebenaran dan keindahan itu menjadi ukuran satu
sama lain.

Harun Nasution menyebutkan bahwa Rabi’ah, dengan pembagian dua cintanya,


telah menggambarkan peralihan dari mahabbah ke ma’rifah. Rasa cinta yang tulus
kepada Tuhan dibalas Tuhan, yaitu terbukanya tabir antara manusia dengan Tuhan,
dan sufi pun melihat Tuhan dengan mata hati.

10
Tentang mari’fah, Rabi’ah sendiri pemah berkata: “Buah ilmu rohani adalah agar
engkau palingkan mukamu dari makhiuk agar engkau dapat memusatkan
perhatianmu hanya kepada Allah saja, karena mcl’rifahitu adalah mengenal Allah
sebaik-baiknya.”

Ketika Rabi’ah ditanya: “Apakah kau melihat Tuhan yang kausembah?” Maka ia
menjawab: “Jika aku tidak melihat-Nya, maka aku tidak akan menyembah-Nya.
Dari dua pernyataan Rabi’ah di atas dan dua cinta Rabi’ah, dalam sudut pandang
sebagai maqamat, maka mahabbah

Berdampingan dengan ma’rifah. Kebersamaan dua maqam ini barangkali akan


lebih mudah dipahami jika kita kaitkan dengan pembagian ma’rifah oleh Dzu
alNun al-Mishri dan

Mahabbah oleh al-Sarraj. Pada keduanya ada pembagian dalam tiga tingkat.

Dzu al-Nun mengkiasifikasikan ma’nfah kepada tiga tingkatan:

1. Mari’fah awam : mengetahui Tuhan dengan perantaraan ucapan syahadat

2. Ma’rifah ulama : mengetahui Tuhan dengan logika akal

3. Ma’rifah sufi : mengetahui Tuhan dengan perantaraan hati

11
DAFTAR KEPUSTAKAAN

Al – Qur’an dan Tafsirnya.

Bahri Syamsul, “TASAWUF ABD AL-RAUF SINGKEL”, Padang, Imam Bonjol


Press, 2011

Simuh, TASAWUF DAN PERKEMBANGANNYA DALAM ISLAM, Jakarta :


PT. Raja Grafindo Persada, 1996.

Fathullah Gulen, KUNCI – KUNCI RAHASIA SUFI, Jakarta : PT. Raja Grafindo
Persada, 2001

Asmaran As, “PENGANTAR STUDI TASAWUF”, Jakarta : PT. Raja Grafindo


Persada, 1994.

Nata Abudin, AKHLAK TASAWUF, Jakarta : PT. Rajagrafindo Persada, 2012


cet. XI.

http://yudisetiana.blogspot.com/2009/09/makalah-lain.html diakses pada tanggal 20


April 2014, Pukul 14.02

12

Anda mungkin juga menyukai