Tasawuf
Hatiku telah mampu menerima aneka bentuk dan rupa;
ia merupakan padang rumput bagi menjangan,
biara bagi para rahib, kuil anjungan berhala,
ka`bah tempat orang bertawaf,
batu tulis untuk Taurat,
dan mushaf bagi al-Qur’an.
Agamaku adalah agama cinta,
A. PENDAHULUAN
Ajaran cinta kasih ternyata tidak hanya milik agama Kristen saja. Nabi Muhammad
sendiri –yang notabene pembawa agama Islam– diutus oleh Allah untuk membawa misi
sebagai kasih sayang bagi alam semesta (rahmah lil ‘alamin).[2] Lebih jauh lagi, tasawuf
sebagai salah satu bentuk pemahaman dalam Islam telah memperkenalkan betapa ajaran cinta
(mahabbah) menempati kedudukan yang tinggi. Hal itu terlihat dari bagaimana para ulama
sufi, seperti al-Ghazali, menempatkan mahabbah sebagai salah satu tingkatan puncak yang
harus dilalui para sufi.[3]
Wajah sejuk dan teduh tasawuf yang mendedahkan cinta, dari dulu sejak zaman
Rabi’ah al-Adawiyah hingga di zaman modern sekarang, tak pelak menarik orang-orang
yang tertarik dengan pencarian kebahagiaan dan kebenaran hakiki. Apalagi di zaman modern
sekarang ketika alienasi sosial begitu banyak terjadi, terutama di masyarakat Barat. Alienasi
tersebut terjadi di antaranya karena kemajuan material ternyata banyak mengorbankan
penderitaan spiritual. Kemudahan-kemudahan hidup yang dihasilkan oleh kemajuan
teknologi modern membuat banyak orang jadi mengabaikan ruang rohani dalam dirinya.
Hai orang-orang yang beriman, barang siapa di antara kamu yang murtad dari
agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah
mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut
terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir,
yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang
suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang
dikehendaki-Nya, dan Allah Maha luas (pemberian-Nya), lagi Maha
Mengetahui.
b. Dalil-dalil dalam hadis Nabi Muhammad SAW, misalnya sebagai berikut:
َّ َواهُ َما َوأَ ْن ي ُِحبG ِه ِم َّما ِسGولُهُ أَ َحبَّ إِلَ ْيGونَ هللاُ َو َر ُسGG ِه َوجَ َد َحاَل َوةَ ْا ِإليمَا ِن أَ ْن يَ ُكGث َم ْن ُك َّن فِي ٌ ثَاَل
ِ َّْال َمرْ َء الَ ي ُِحبُّهُ إِالَّ ِهللِ َوأَ ْن يَ ْك َرهَ أَ ْن يَعُو َد فِي ْال ُك ْف ِر َك َما يَ ْك َرهُ أَ ْن يُ ْق َذفَ فِي الن
ار
Tiga hal yang barang siapa mampu melakukannya, maka ia akan merasakan
manisnya iman, yaitu: pertama Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai daripada selain
keduanya; kedua: tidak mencintai seseorang kecuali hanya karena Allah; ketiga
benci kembali kepada kekafiran sebagaimana ia benci dilemparkan ke neraka. [5]
ُ هُ ُك ْنGُ ِل َحتَّى أُ ِحبَّهُ فَإِ َذا أَحْ بَ ْبتGِي بِالنَّ َواف
ِهGِ َم ُع بG ْم َعهُ الَّ ِذي يَ ْسGت َس َّ َ ِدي يَتَقَرَّبُ إِلG َو َما يَ َزا ُل َع ْب..…
… ص ُر بِ ِه َويَ َدهُ الَّتِي يَ ْب ِطشُ بِهَا َو ِرجْ لَهُ الَّتِي يَ ْم ِشي بِهَا ِ ص َرهُ الَّ ِذي يُ ْب
َ ََوب
….Tidaklah seorang hamba-Ku senantiasa mendekati-Ku dengan ibadah-ibadah
sunah kecuali Aku akan mencintainya. Jika Aku mencintainya, maka Aku pun
menjadi pendengarannya yang ia gunakan untuk mendengar; menjadi
penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat; menjadi tangannya yang ia gunakan
untuk memukul; dan menjadi kakinya yang ia gunakan untuk berjalan. …[6]
اس أَجْ َم ِعين
ِ َّالَ ي ُْؤ ِمنُ أَ َح ُد ُك ْم َحتَّى أَ ُكونَ أَ َحبَّ إِلَ ْي ِه ِم ْن َولَ ِد ِه َو َوالِ ِد ِه َوالن
Tidak beriman seseorang dari kalian sehingga aku lebih dicintainya daripada
anaknya, orang tuanya, dan seluruh manusia.[7]
a. Cinta tidak akan terjadi tanpa proses pengenalan (ma’rifat) dan pengetahuan (idrak)
Manusia hanya akan mencintai sesuatu atau seseorang yang telah ia kenal.
Karena itulah, benda mati tidak memiliki rasa cinta. Dengan kata lain, cinta
merupakan salah satu keistimewaan makhluk hidup. Jika sesuatu atau seseorang
telah dikenal dan diketahui dengan jelas oleh seorang manusia, lantas sesuatu itu
menimbulkan kenikmatan dan kebahagiaan bagi dirinya, maka akhirnya akan timbul
rasa cinta. Jika sebaliknya, sesuatu atau seseorang itu menimbulkan kesengsaraan
dan penderitaan, maka tentu ia akan dibenci oleh manusia. [8]
Hal pertama yang dicintai oleh makhluk hidup adalah dirinya sendiri dan
eksistensi dirinya. Cinta kepada diri sendiri berarti kecenderungan jiwa untuk
mempertahankan kelangsungan hidupnya dan menghindari hal-hal yang bisa
menghancurkan dan membinasakan kelangsungan hidupnya.
Selanjutnya al-Ghazali juga menguraikan lebih jauh tentang hal-hal yang
menyebabkan tumbuhnya cinta.[9] Pada gilirannya, sebab-sebab tersebut akan
mengantarkan seseorang kepada cinta sejati, yaitu cinta kepada Tuhan Yang Maha
Mencintai. Sebab-sebab itu adalah sebagai berikut:
a. Cinta kepada diri sendiri, kekekalan, kesempurnaan, dan keberlangsungan hidup
Orang yang mengenal diri dan Tuhannya tentu ia pun mengenal bahwa
sesungguhnya ia tidak memiliki diri pribadinya. Eksistensi dan kesempurnaan
dirinya adalah tergantung kepada Tuhan yang menciptakannya. Jika seseorang
mencintai dirinya dan kelangsungan hidupnya, kemudian menyadari bahwa diri dan
hidupnya dihasilkan oleh pihak lain, maka tak pelak ia pun akan mencintai pihak
lain tersebut. Saat ia mengenal bahwa pihak lain itu adalah Tuhan Yang Maha
Pencipta, maka cinta kepada Tuhan pun akan tumbuh. Semakin dalam ia mengenal
Tuhannya, maka semakin dalam pula cintanya kepada Tuhan.
Pada galibnya, setiap orang yang berbuat tentu akan disukai oleh orang lain.
Hal ini merupakan watak alamiah manusia untuk menyukai kebaikan dan membenci
kejahatan. Namun pada dataran manusia dan makhluk umumnya, pada hakikatnya
kebaikan adalah sesuatu yang nisbi. Karena sesungguhnya, setiap kebaikan yang
dilaksanakan oleh seseorang hanyalah sekedar menggerakkan motif tertentu, baik
motif duniawi maupun motif ukhrawi.
Untuk motif duniawi, hal itu adalah jelas bahwa kebaikan yang dilakukan
tidaklah ikhlas. Namun untuk motif ukhrawi, maka kebaikan yang dilakukan juga
tidak ikhlas, karena masih mengharapkan pahala, surga, dan seterusnya. Pada
hakikatnya, ketika seseorang memiliki motif ukhrawi atau agama, maka hal itu juga
akan mengantarkan kepada pemahaman bahwa Allah jugalah yang berkuasa
menanamkan ketaatan dan pengertian dalam diri dan hatinya untuk melakukan
kebaikan sebagaimana yang Allah perintahkan. Dengan kata lain, orang yang
berbuat baik tersebut pada hakikatnya juga terpaksa, bukan betul-betul mandiri,
karena masih berdasarkan perintah Allah.
Ketika kesadaran bahwa semua kebaikan berujung kepada Allah, maka cinta
kepada kebaikan pun berujung kepada Allah. Hanya Allah yang memberikan
kebaikan kepada makhluk-Nya tanpa pamrih apapun. Allah berbuat baik kepada
makhluk-Nya bukan agar Ia disembah. Allah Maha Kuasa dan Maha Suci dari
berbagai pamrih. Bahkan meskipun seluruh makhluk menentang-Nya, kebaikan
Allah kepada para makhluk tetap diberikan. Kebaikan-kebaikan Allah kepada
makhluk-Nya itu sangat banyak dan tidak akan mampu oleh siapa pun. Karena
itulah, pada gilirannya bagi orang yang betul-betul arif, akan timbul cinta kepada
Allah sebagai Dzat Yang Maha Baik, yang memberikan berbagai kebaikan dan
kenikmatan yang tak terhitung jumlahnya.
c. Mencintai diri orang yang berbuat baik meskipun kebaikannya tidak dirasakan
Hal ini pun pada gilirannya akan mengantar kepada cinta terhadap Allah.
Karena bagaimanapun, hanya karena kebaikan Allah tercipta alam semesta ini.
Meski seseorang mungkin tidak langsung merasakannya, kebaikan Allah yang
menciptakan seluruh alam semesta ini menunjukkan bahwa Allah memang pantas
untuk dicintai. Kebaikan Allah yang menciptakan artis Dian Sastrowardoyo nan
cantik jelita namun tinggal di Jakarta, misalnya, adalah kebaikan yang tidak
langsung dirasakan seorang Iwan Misbah yang tinggal nun jauh di Ciwidey.
Segala yang indah tentu disukai, baik yang bersifat lahiriah maupun batiniah.
Lagu yang indah dirasakan oleh telinga. Wajah yang cantik diserap oleh mata.
Namun keindahan sifat dan perilaku serta kedalaman ilmu, juga membuat seorang
Imam Syafi’i, misalnya, dicintai oleh banyak orang. Meskipun mereka tidak tahu
apakah wajah dan penampilan Imam Syafi’i betul-betul menarik atau tidak.
Keindahan yang terakhir inilah yang merupakan keindahan batiniah. Keindahan
yang bersifat batiniah inilah yang lebih kuat daripada keindahan yang bersifat
lahiriah. Keindahan fisik dan lahiriah bisa rusak dan sirna, namun keindahan
batiniah relatif lebih kekal.
Pada gilirannya, segala keindahan itu pun akan berujung pada keindahan
Tuhan yang sempurna. Namun keindahan Tuhan adalah keindahan rohaniah yang
hanya dapat dirasakan oleh mata hati dan cahaya batin. Orang yang betul-betul
menyadari betapa Tuhan Maha Mengetahui, Maha Kuasa, dan segala sifat
kesempurnaan melekat dalam Zat-Nya, maka tak ayal ia pun akan menyadari betapa
indahnya Tuhan, sehingga sangat pantas Tuhan untuk dicintai.
Jika sesuatu menyerupai sesuatu yang lain, maka akan timbul ketertarikan
antara keduanya. Seorang anak kecil cenderung lebih bisa akrab bergaul dengan
sesama anak kecil. Seorang dosen tentu akan mudah berteman dengan sesama dosen
daripada dengan seorang tukang becak. Ketika dua orang sudah saling mengenal
dengan baik, maka tentu terdapat kesesuaian antara keduanya. Berangkat dari
kesesuaian dan keserasian inilah akhirnya muncul cinta. Sebaliknya, jika dua orang
tidak saling mengenal, kemungkinan besar karena memang terdapat perbedaan dan
ketidakcocokan antara keduanya. Karena ketidakcocokan dan perbedaan pula akan
muncul tidak suka atau bahkan benci.
Dalam konteks kesesuaian dan keserasian inilah, cinta kepada Tuhan akan
muncul. Meski demikian, kesesuaian yang dimaksud ini bukanlah bersifat lahiriah
seperti yang diuraikan di atas, namun kesesuaian batiniah. Sebagian hal tentang
kesesuaian batiniah ini merupakan misteri dalam dunia tasawuf yang menurut al-
Ghazali tidak boleh diungkapkan secara terbuka. Sedangkan sebagian lagi boleh
diungkapkan, seperti bahwa seorang hamba boleh mendekatkan diri kepada Tuhan
dengan meniru sifat-sifat Tuhan yang mulia, misalnya ilmu, kebenaran, kebaikan,
dan lain-lain.
Terkait dengan sebab keserasian dan kecocokan ini, satu hal yang perlu
digarisbawahi adalah bahwa Allah tidak akan pernah ada yang mampu menandingi
atau menyerupainya. Keserasian yang terdapat dalam jiwa orang-orang tertentu yang
dipilih oleh Allah, sehingga ia mampu mencintai Allah dengan sepenuh hati,
hanyalah dalam arti metaforis (majazi). Keserasian tersebut adalah wilayah misteri
yang hanya diketahui oleh orang-orang yang betul-betul mengalami cinta ilahiah.
Sosok sufi perempuan ini sangat dikenal dalam dunia tasawuf. Ia hidup di abad kedua
Hijriah, dan meninggal pada tahun 185 H. Meski ia hidup di Bashrah sebagai seorang hamba
sahaya dari keluarga Atiq, hal itu tidak menghalanginya tumbuh menjadi seorang sufi yang
disegani di zamannya, bahkan hingga di zaman modern sekarang ini.[10]
Corak tasawuf Rabi’ah yang begitu menonjolkan cinta kepada Tuhan tanpa pamrih
apapun merupakan suatu corak tasawuf yang baru di zamannya. Pada saat itu, tasawuf lebih
didominasi corak kehidupan zuhud (asketisme) yang sebelumnya dikembangkan oleh Hasan
al-Bashri yang mendasarkan ajarannya pada rasa takut (khauf) kepada Allah. Corak tasawuf
yang dikembangkan oleh Rabi’ah tersebut kelak membuatnya begitu dikenal dan menduduki
posisi penting dalam dunia tasawuf.[11]
Sedemikian tulusnya cinta kepada Allah yang dikembangkan oleh Rabi’ah, bisa dilihat,
misalnya, dalam sebuah munajat yang ia panjatkan: “Tuhanku, sekiranya aku beribadah
kepada-Mu karena takut neraka-Mu, biarlah diriku terbakar api jahanam. Dan sekiranya
aku beribadah kepada-u karena mengharap surga-Mu, jauhkan aku darinya. Tapi, sekiranya
aku beribadah kepada-Mu hanya semata cinta kepada-Mu, Tuhanku, janganlah Kauhalangi
aku melihat keindahan-Mu yang abadi.”[12]
Saking besar dan tulusnya cinta Rabi’ah kepada Allah, maka seolah cintanya telah
memenuhi seluruh kalbunya. Tak ada lagi tersisa ruang di hatinya untuk mencintai selain
Allah, bahkan kepada Nabi Muhammad sekalipun. Pun, tak ada ruang lagi di kalbunya untuk
membenci apapun, bahkan kepada setan sekalipun. Seluruh hatinya telah penuh dengan cinta
kepada Tuhan semata. Hal ini juga Rabi’ah tunjukkan dengan memutuskan untuk tidak
menikah sepanjang hidupnya, karena ia menganggap seluruh diri dan hidupnya hanya untuk
Allah semata.[13]
Dalam tasawuf, konsep cinta (mahabbah) lebih dimaksudkan sebagai bentuk cinta
kepada Tuhan.[14] Meski demikian, cinta kepada Tuhan juga akan melahirkan bentuk
kasih sayang kepada sesama, bahkan kepada seluruh alam semesta. Hal ini bisa dilacak
pada dalil-dalil syara’, baik dalam Alquran maupun hadis yang menunjukkan tentang
persoalan cinta. Sebagian dalil tersebut telah disebutkan pada bagian sebelumnya dalam
makalah ini.
Bagi al-Ghazali, orang yang mencintai selain Allah, tapi cintanya tidak
disandarkan kepada Allah, maka hal itu karena kebodohan dan kepicikan orang tersebut
dalam mengenal Allah. Cinta kepada Rasulullah SAW, misalnya, adalah sesuatu yang
terpuji karena cinta tersebut merupakan manifestasi cinta kepada Allah. Hal itu karena
Rasulullah adalah orang yang dicintai Allah. Dengan demikian, mencintai orang yang
dicintai oleh Allah, berarti juga mencintai Allah itu sendiri. Begitu pula semua bentuk
cinta yang ada. Semuanya berpulang kepada cinta terhadap Allah.[18]
Jika sudah dipahami dan disadari dengan baik lima sebab timbulnya cinta yang
telah diuraikan al-Ghazali sebelumnya, maka juga bisa disadari bahwa hanya Allah yang
mampu mengumpulkan sekaligus kelima faktor penyebab cinta tersebut. Kelima faktor
penyebab tersebut terjadi pada diri manusia hanyalah bersifat metaforis (majazi), dan
bukanlah hakiki.[19] Hanya Allah Yang Maha Sempurna. Ia tidak bergantung kepada
apapun dan siapa pun. Kesempurnaan itulah yang akan mengantarkan seseorang kepada
cinta sejati, yaitu cinta terhadap Allah.[20]
Dilihat dari segi orangnya, menurut Abu Nashr ath-Thusi, cinta kepada Tuhan
terbagi menjadi tiga macam cinta. Pertama, cinta orang-orang awam. Cina seperti ini
muncul karena kebaikan dan kasih sayang Tuhan kepada mereka. Ciri-ciri cinta ini adalah
ketulusan dan keteringatan (zikir) yang terus-menerus. Karena jika orang mencintai
sesuatu, maka ia pun akan sering mengingat dan menyebutnya.[25]
Kedua, cinta orang-orang yang shadiq dan mutahaqqiq. Cinta mereka ini timbul
karena penglihatan mata hati mereka terhadap kekayaan, keagungan, kebesaran,
pengetahuan dan kekuasaan Tuhan. Ciri-ciri cinta ini adalah “terkoyaknya tabir” dan
“tersingkapnya rahasia” Tuhan. Selain itu, ciri lain adalah lenyapnya kehendak serta
hilangnya semua sifat (kemanusiaan dan keinginan duniawi).[26]
Ketiga, cinta orang-orang shiddiq dan arif. Cinta macam ini timbul dari
penglihatan dan pengenalan mereka terhadap ke-qadim-an Cinta Tuhan tanpa sebab
(illat) apapun. Menurut Zunnun al-Mishri, sifat cinta ini adalah terputusnya cinta dari hati
dan tubuh sehingga cinta tidak lagi bersemayam di dalamnya, namun yang bersemayam
hanyalah segala sesuatu dengan dan untuk Allah. Sedangkan menurut Abu Ya’qub as-
Susi, cirinya alah berpaling dari cinta menuju kepada Yang Dicintai. Sementara al-Junaid
menambahkan bahwa ciri cinta macam ini adalah meleburnya sifat-sifat Yang Dicintai
kepada yang mencintai sebagai pengganti sifat-sifatnya.[27]
Pada bidang puisi, banyak para sufi yang juga sekaligus penyair yang kemudian
menyenandung cinta ilahi, seperti Abu Sa’id bin Abi al-Khair, al-Jilli, Ibnu al-Faridh,
Jalaluddin Rumi, dan lain-lain. Hingga sekarang, para penyair sufi kontemporer masih
banyak yang menyenandungkan puisi-puisi cinta ilahi, seperti Syekh Fattah yang membentuk
kelompok musik Debu yang kini ada di Indonesia.
F. PENUTUP
Ajaran cinta ilahi yang dikumandangkan oleh tasawuf sebenarnya bisa dijadikan
sarana kita untuk lebih memperhalus jiwa. Kehalusan jiwa yag dihasilkan oleh tasawuf ini
diperlukan agar agama tidak selalu dipahami secara legal-formalistik belaka yang biasanya
ditampilkan oleh kalangan ahli fikih. Dengan demikian, agama pun diharapkan bisa menjadi
berwajah toleran, humanis, dan menerima realitas pluralistik yang ada di tengah di
masyarakat, seperti puisi yang didengungkan oleh Ibnu Arabi di awal makalah.
Abu al-Wafa al-Ghanimi al-Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman, Suatu Pengantar tentang
Tasawuf, terj. Ahmad Rofi’ Utsmani, (Bandung: Pustaka, 1985).
Abu Bakr Muhammad al-Kalabadzi, at-Ta’arruf li Mazhab Ahl at-Tashawwuf, (tk.: Maktabah al-
Kulliyat al-Azhariyyah, 1969).
Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, Ihya Ulumiddin, (Beirut, Dar al-Ma’rifah,
tt).
Abu Nashr as-Sarraj ath-Thusi, al-Luma’, (Mesir: Dar al-Kutub al-Haditsah, 1960).
Al-Hujwairi, Kasyful Mahjub, terj. Suwardjo Muthary dan Abdul Hadi WM, (Bandung: Mizan,
1993).
Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973).
Muhammad bin Ismail Abu Abdillah al-Bukhari al-Ja’fi, al-Jami’ as-Shahih al-Mukhtashar, ed.
Mushtafa Dib al-Biqha, (Beirut: Dar Ibnu Katsir, 1987).
Muhyiddin Ibnu Arabi, al-Futuhat al-Makkiyah, (format e-book dalam Program Syamilah).
______, Dzakhair al-A’laq Syarh Tarjuman al-Asywaq, seperti dikutip oleh Syamsuddin Arif,
“Ibnu Arabi dan Pluralisme” dalam www.hidayatullah.com
Muslim bin al-Hajjaj Abu al-Husain al-Qusyairi an-Naisaburi, Sahih Muslim, ed. Muhammad
Fuad Abd al-Baqi, (Beirut: Dar Ihya at-Turats al-Arabi, tt).
[1]Muhyiddin ibn al-Arabi, The Tarjuman al-Ashwaq, (London: Theosophical Publishing House
Ltd, 1978), hal. 19.
[2]Dan tiadalah Kami mengutus kamu (Muhammad), melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi
semesta alam. (QS. Al-Anbiya: 107).
[3]Lihat, penjelasan al-Ghazali tentang hal ini dalam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad
al-Ghazali, Ihya Ulumiddin, (Beirut, Dar al-Ma’rifah, tt), juz IV, hal. 293 dan seterusnya.
[4]Lihat kajian tentang sumber-sumber tasawuf dan tudingan para orientalis, misalnya, dalam
Abu al-Wafa al-Ghanimi al-Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman, Suatu Pengantar tentang
Tasawuf, terj. Ahmad Rofi’ Utsmani, (Bandung: Pustaka, 1985) hal. 22-34.
[5]Muhammad bin Ismail Abu Abdillah al-Bukhari al-Ja’fi, al-Jami’ as-Shahih al-Mukhtashar,
ed. Mushtafa Dib al-Biqha, (Beirut: Dar Ibnu Katsir, 1987), juz 1, hal. 14.
Muslim bin al-Hajjaj Abu al-Husain al-Qusyairi an-Naisaburi, Sahih Muslim, ed. Muhammad
[7]
Fuad Abd al-Baqi, (Beirut: Dar Ihya at-Turats al-Arabi, tt), juz 1, hal. 67.
Lihat, penjelasan al-Ghazali pada Kitab al-Mahabbah wa asy-Syauq wa ar-Ridha, dalam al-
[8]
Ghazali, Ihya Ulumiddin, op. cit., juz 4, hal. 296-300.
[10]Ibn al-Mulqin, Thabaqat al-Auliya, (format e-book Program al-Maktabah asy-Syamilah), juz
1, hal. 68.
[12] Al-Taftazani., Sufi dari Zaman ke Zaman., op. cit., hal. 86.
[13] Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), hal.
74.
[19] Ibid.
[21] Abu Nashr as-Sarraj ath-Thusi, al-Luma’, (Mesir: Dar al-Kutub al-Haditsah, 1960), hal. 65-
66.
[23] Ibnu Arabi, al-Futuhat al-Makkiyah, (format e-book Program al-Maktabah asy-Syamilah),
juz 3, hal. 465.
[28] Abdurrasyid Ridha, Memasuki Makna Cinta, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hal. 160.
http://groups.yahoo.com/group/mencintai-islam/message/8712
"Ada orang-orang yang Allah jadikan berkhidmat kepada-Nya dan ada orang-orang yang Allah
pilih untuk mencintai-Nya. Kepada masing-masing golongan itu, kami berikan bantuan dari
kemurahan Tuhanmu. Dan kemurahan Tuhanmu tidaklah terbatas"
1. orang yang ditugaskan untuk khidmah kepada Allah (agama Allah) bukan untuk Allah sendiri.
Oleh karena itu orang ini harus tahu perintah-perintah dan larangan-larangan lalu
menjelaskannya kepada masyarakat. (amar ma'ruf nahi munkar)
2. orang yang dikhususkan oleh Allah untuk mahabbah kepada-Nya. Dia tidak ingat apa-apa
kecuali Allah ()مجنون في هللا. Dia tidak tahu apa itu baik dan jelek jadi dia tidak bisa amar ma'ruf
nahi munkar. Orang yang seperti ini terkadang masih mengikuti syari'at tapi tidak bisa mengurusi
syari'at tersebut dan juga terkadang ada yang jadzab baik penuh maupun sebagian. Terkadang dia
jadzab dan terkadang ingat. Ini semua karena ada tajalli dari Allah (Allah tampak pada diri
mereka).
Semua orang yang beriman pasti memiliki mahabbah. Baik sedikit maupun banyak mereka pasti
memiliki mahabbah. Dalam Al-Qur'an telah disebutkan :
اب أَ َّن
َ يَروْ نَ ْالعَ َذ
َ وا إِ ْذGG ُّد ُحبًّا هَّلِل ِ َولَوْ يَ َرى الَّ ِذينَ ظَلَ ُمGاس َم ْن يَتَّ ِخ ُذ ِم ْن دُو ِن هَّللا ِ أَ ْندَادًا يُ ِحبُّونَهُ ْم َكحُبِّ هَّللا ِ َوالَّ ِذينَ آَ َمنُوا أَ َش
ِ ََّو ِمنَ الن
]165/) [البقرة165( ب ِ ْالقُ َّوةَ هَّلِل ِ َج ِميعًا َوأَ َّن هَّللا َ َش ِدي ُد ْال َع َذا
165. Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah;
mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. adapun orang-orang yang beriman
amat sangat cintanya kepada Allah. dan jika seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu[106]
mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah
semuanya, dan bahwa Allah amat berat siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal).
[106] yang dimaksud dengan orang yang zalim di sini ialah orang-orang yang menyembah selain
Allah.
Akan tetapi yang paling banyak, mahabbah mereka wujud untuk khidmah kepada agama Allah
(berdakwah, mengajar, dll). Ini juga tak lain karena adanya tajalli dari Allah. Oleh karena itu
mahabbah ini tidak akan tertuju kepada selain Allah. Tajalli di sini adalah sebagaimana dalam Al-
Qur'an :
َولَ َّما َجا َء ُمو َسى لِ ِميقَاتِنَا َو َكلَّ َمهُ َربُّهُ قَا َل َربِّ أَ ِرنِي أَ ْنظُرْ إِلَ ْيكَ قَا َل لَ ْن تَ َرانِي َولَ ِك ِن ا ْنظُرْ إِلَى ْال َجبَ ِل فَإ ِ ِن ا ْستَقَ َّر َم َكانَهُ فَ َسوْ فَ ت ََرانِي
]143/) [األعراف143( َْت إِلَ ْيكَ َوأَنَا أَ َّو ُل ْال ُم ْؤ ِمنِين ُ ك تُب َ فَلَ َّما تَ َجلَّى َربُّهُ لِ ْل َجبَ ِل َج َعلَهُ َد ًّكا َوخَ َّر ُمو َسى
َ ص ِعقًا فَلَ َّما أَفَا
َ َق قَا َل ُس ْب َحان
143. Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan kami) pada waktu yang Telah kami
tentukan dan Tuhan Telah berfirman (langsung) kepadanya, berkatalah Musa: "Ya Tuhanku,
nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar Aku dapat melihat kepada Engkau". Tuhan
berfirman: "Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku, tapi Lihatlah ke bukit itu, Maka jika ia
tetap di tempatnya (sebagai sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku". tatkala Tuhannya
menampakkan diri kepada gunung itu[565], dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musa pun
jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, dia berkata: "Maha Suci Engkau, Aku
bertaubat kepada Engkau dan Aku orang yang pertama-tama beriman".
[565] para Mufassirin ada yang mengartikan yang nampak oleh gunung itu ialah kebesaran dan
kekuasaan Allah, dan ada pula yang menafsirkan bahwa yang nampak itu hanyalah cahaya Allah.
Bagaimanapun juga nampaknya Tuhan itu bukanlah nampak makhluk, hanyalah nampak yang
sesuai sifat-sifat Tuhan yang tidak dapat diukur dengan ukuran manusia.
Jadi hati yang lemah seperti ini kalau ada tajalli maka akan jatuh pingsan.
Kita memiliki dan diberi mahabbah sangat sedikit tapi kalau sudah sampai pada derajat wahdatis
Syuhud maka semua akan dilupakan sehingga terkadang dia melupakan syari'at. Dia akan seperti
orang yang gila bahkan memang benar-benar gila sehingga dia tidak kewajiban shalat dan ibadah
lain. Dia tidak sadar dengan apa yang dilakukan. Lalu apa tugas mereka sebagai wali Allah swt
dan apa faedahnya?
Memang mereka tidak ditugaskan untuk amar ma'ruf oleh Allah tapi mereka memiliki tugas yang
tidak bisa dilihat mata namun atsarnya akan kelihatan. Sebagaimana dijelaskan dalam hadits :
ِ ول هَّللا
َ Gْت َر ُس ُ ِمعGقَال اَل إِنِّي َس
َ َير ْال ُم ْؤ ِمنِين َ اق فَقَالُوا ْال َع ْنهُ ْم يَا أَ ِم
ِ ض َي هَّللا ُ َع ْنهُ َوهُ َو بِ ْال ِع َر ِ ب َر ٍ ُِذ ِك َر أَ ْه ُل ال َّش ِام ِع ْن َد َعلِ ِّي ْب ِن أَبِي طَال
ُ قَى بِ ِه ْم ْال َغيG َد َل هَّللا ُ َم َكانَهُ َر ُجاًل ي ُْسGْ ٌل أَبGُونَ َر ُجاًل ُكلَّمَا مَاتَ َرجGُ ِام َوهُ ْم أَرْ بَعGالش
ْث َّ ِونَ بGُدَا ُل يَ ُكونGْو ُل اأْل َبGُصلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم يَق َ
ذَ ع ْ
ال
ُِ ِ ِ ْ َ اب م ه ب امشَّ ال لِ ْ
ه َ أ ْ
َنع ُف ر
َ ُْص يوَ ِ ء َادعْ َ أْلا ى َ ل ع
َ ْ ِ ِ ُ َ َُوي
م هب ر َص ت ْ
ن
Artinya : "suatu ketika Ahli syam disebut-disebut di hadapan sayyidina Ali (ketika beliau di Irak)
lalu penduduk Irak berkata : laknatlah mereka wahai amirul mukminin. Sayyidina Ali
menjawab : tidak, saya pernah mendengar Rasulullah saw bersabda : wali abdal itu berada di
syam, mereka ada 40 orang, ketika satu orang meninggal maka Allah mengganti tempatnya
dengan orang lain. Karena merekalah penduduk syam diberi hujan, karena mereka penduduk
syam ditolong dari musuh dan karena mereka penduduk syam dihindarkan dari siksa"
َد بن أَبِيG ع َْن يَ ِزي، ٍدGِ رُو بن َواقG حَ َّدثَنَا َع ْم، ُّوري ِ Gالصُّ ك ِ َح َّدثَنَا ُم َح َّم ُد بن ْال ُمبَا َر، َح َّدثَنَا أَبُو ُزرْ َعةَ َع ْب ُد الرَّحْ َم ِن بن َع ْم ٍرو ال ِّد َم ْشقِ ُّي
لGَ G يَا أَ ْه:قَال
َ ثُ َّم،س ٍ ْرGGُهُ ِم ْن تGك َر ْأ َسGٍ Gِ فَأ َ ْخ َر َج عَوْ فُ بن َمال، َسبُّوا أَ ْه َل ال َّش ِام،ُت ِمصْ ر ْ لَ َّما فُتِ َح: قَا َل،ب
ٍ ع َْن َشه ِْر بن َحوْ َش،ك ٍ َِمال
َوبِ ِه ْم،ُدَالG"فِي ِه ُم األَ ْب:ُولGGُ يَق،لَّ َمG ِه َو َسGلَّى هَّللا ُ َعلَ ْيGص
َ ِ و َل هَّللاGْت َر ُس ُ ِمعG ِام فَإِنِّي َسGالش َّ َلGبُّوا أَ ْهG ال ت َُس،ك ٍ Gِ أَنَا عَوْ فُ بن َمال, َرGص ْ ِم
." َ َوبِ ِه ْم تُرْ َزقُون، َصرُونَ تُ ْن
Artinya : "ketika negara mesir dikuasai islam, penduduknya mencaci maki ahli syam, lalu Auf
bin Malik mengeluarkan kepalanya dari perisainya dan berkata : wahai penduduk mesir saya
adalah Auf bin Malik, janganlah kalian mencaci maki ahli syam karena saya pernah mendengar
Rasulullah saw bersabda : dalam ahli syam ada wali abdal. Karena merekalah ahli syam ditolong
dan karena merekalah ahli syam diberi rizki"
« رب: الGG أن النبي صلى هللا عليه وسلم ق، عن أنس بن مالك، عن حفص بن عبيد هللا، أنا أسامة بن زيد، أنا جعفر بن عون
» أشعث أغبر ذي طمرين لو أقسم على هللا ألبره
Artinya : "Nabi Muhammad saw pernah bersabda : banyak orang yang amburadul rambutnya,
berdebu, dan hanya memiliki dua pakaian yang rusak, namun jika mereka bersumpah dengan
nama Allah maka Allah pasti akan meluluskan sumpah tersebut"
Jadi tugas mereka tidak kelihatan tapi berkahnya sangat besar bagi manusia. Lalu kenapa Allah
menjadikan dua hamba yang berbeda? memang sunatullah dalam menciptakan sesuatu ada yang
bervariasi sehingga tidak monoton. Kalau diciptakan seperti kelompok yang pertama maka
semua akan amar maruf tapi tidak ada yang bisa menjadikan bumi tenang dan kalau hanya yang
seperti kelompok kedua maka tidak akan ada amar maruf.
Ada orang ziarah pada syekh Ramdhan. Orang ini seperti orang yang gila namun dia dimulyakan
oleh syekh Ramdhan. Ketika ingin pulang syekh Ramdhan meminta doa agar Allah
memuliakannya sebagaimana orang tersebut. Lalu orang tersebut berkata : "kalau kamu seperti
saya nanti siapa yang mengurusi masyarakat". Lalu dengan cerita ini apakah bisa menunjukan
bahwa kelompok yang kedua lebih mulia dari pada kelompok yang pertama. Tidak, karena ini
semua hanyalah ciptaan dan sunnah Allah. Pada zaman nabi beliau pernah berpesan pada
shohabat umar agar beliau minta doa pada Uwais Al-qarany.
Lalu bagaimana sikap kita menghadapi dua hamba tersebut?. Hikmah Allah memang sangat
besar. Seandainya Allah memperlihatkan walinya maka semua yang tidak menjadi wali pasti
akan terlihat jelek, oleh karena itu Allah menutupinya. Dari sini kita harus selalu berkhusnu
dzon, jangan-jangan orang yang kelihatan jelek adalah wali Allah sehingga kita harus
memuliakannya. Lebih baik kita tunduk kepada orang walaupun sebenarnya dia tidak mulia
daripada kita sombong pada orang yang benar-benar mulia. Semua hamba tersebut (baik
kelompok pertama maupun kedua) dibantu oleh Allah swt sebagaimana dijelaskan dalam Al-
Qur'an :
20. Kepada masing-masing golongan baik golongan Ini maupun golongan itu kami berikan
bantuan dari kemurahan Tuhanmu. dan kemurahan Tuhanmu tidak dapat dihalangi.
http://www.ppalanwar.com/news/178/22/HIKMAH-68-KHIDMAH-DAN-
MAHABBAH/d,detail_news_mawaidl/
Menurut hadis Nabi, orang yang sedang jatuh cinta cenderung selalu
mengingat dan menyebut orang yang dicintainya (man ahabba syai'an
katsura dzikruhu), kata Nabi, orang juga bisa diperbudak oleh cintanya
(man ahabba syai'an fa huwa `abduhu). Kata Nabi juga, ciri dari cinta
sejati ada tiga : (1) lebih suka berbicara dengan yang dicintai
dibanding dengan yang lain, (2) lebih suka berkumpul dengan yang
dicintai dibanding dengan yang lain, dan (3) lebih suka mengikuti
kemauan yang dicintai dibanding kemauan orang lain/diri sendiri. Bagi
orang yang telah jatuh cinta kepada Alloh SWT, maka ia lebih suka
berbicara dengan Alloh Swt, dengan membaca firman Nya, lebih suka
bercengkerama dengan Alloh SWT dalam I`tikaf, dan lebih suka mengikuti
perintah Alloh SWT daripada perintah yang lain.
2. Cinta rahmah adalah jenis cinta yang penuh kasih sayang, lembut,
siap berkorban, dan siap melindungi. Orang yang memiliki cinta jenis
rahmah ini lebih memperhatikan orang yang dicintainya dibanding
terhadap diri sendiri. Baginya yang penting adalah kebahagiaan sang
kekasih meski untuk itu ia harus menderita. Ia sangat memaklumi
kekurangan kekasihnya dan selalu memaafkan kesalahan kekasihnya.
Termasuk dalam cinta rahmah adalah cinta antar orang yang bertalian
darah, terutama cinta orang tua terhadap anaknya, dan sebaliknya. Dari
itu maka dalam al Qur'an , kerabat disebut al arham, dzawi al arham ,
yakni orang-orang yang memiliki hubungan kasih sayang secara fitri,
yang berasal dari garba kasih sayang ibu, disebut rahim (dari kata
rahmah). Sejak janin seorang anak sudah diliputi oleh suasana
psikologis kasih sayang dalam satu ruang yang disebut rahim.
Selanjutnya diantara orang-orang yang memiliki hubungan darah
dianjurkan untuk selalu ber silaturrahim, atau silaturrahmi artinya
menyambung tali kasih sayang. Suami isteri yang diikat oleh cinta
mawaddah dan rahmah sekaligus biasanya saling setia lahir batin-dunia
akhirat.
3. Cinta mail adalah jenis cinta yang untuk sementara sangat membara,
sehingga menyedot seluruh perhatian hingga hal-hal lain cenderung
kurang diperhatikan. Cinta jenis mail ini dalam al Qur'an disebut
dalam konteks orang poligami dimana ketika sedang jatuh cinta kepada
yang muda (an tamilu kulla al mail), cenderung mengabaikan kepada yang
lama.
7. Cinta syauq (rindu). Term ini bukan dari al Qur'an tetapi dari
hadis yang menafsirkan al Qur'an. Dalam surat al `Ankabut ayat 5
dikatakan bahwa barangsiapa rindu berjumpa Allah pasti waktunya akan
tiba. Kalimat kerinduan ini kemudian diungkapkan dalam doa ma'tsur
dari hadis riwayat Ahmad; wa as'aluka ladzzata an nadzori ila wajhika
wa as syauqa ila liqa'ika, aku mohon dapat merasakan nikmatnya
memandang wajah Mu dan nikmatnya kerinduan untuk berjumpa dengan Mu.
Menurut Ibn al Qayyim al Jauzi dalam kitab Raudlat al Muhibbin wa
Nuzhat al Musytaqin, Syauq (rindu) adalah pengembaraan hati kepada
sang kekasih (safar al qalb ila al mahbub), dan kobaran cinta yang
apinya berada di dalam hati sang pecinta, hurqat al mahabbah wa il
tihab naruha fi qalb al muhibbi
http://www.ponorogozone.com/index.php?topic=3878.0
Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 129
Disampaikan dalam pengajian rutin tafsir Al Qur'an setiap Jum'at pk. 06.00-07.00 di
Gedung Perpustakaan SMA 1 Al Islam Surakarta
Ya Tuhan kami, utuslah untuk mereka sesorang Rasul dari kalangan mereka sendiri, yang
akan membacakan kepada mereka ayat-ayatMu, dan mengajarkan kepada mereka Al
kitab (Al Quran) dan Al-Hikmah (As-Sunnah) serta mensucikan mereka. Sesungguhnya
Engkaulah yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana. (Surat Al Baqarah ayat 129)
Kalau kita kaitkan dengan ayat sebelumnya, dimana yang berdoa ini adalah Nabi Ibrahim dan
Ismail, maka yang dimaksud Rasul disini adalah Nabi Muhammad SAW. Ini juga sesuai dengan
Surat At Taubah ayat 128:
Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya
penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, sangat belas kasih
lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.(Surat Attaubah ayat 128)
Ayat ini menunjukkan betapa besar cinta (mahabbah) Nabi kepada umatnya, maka begitu pula
seharusnya mahabbah kita kepada Nabi. Beliau saat mau dipanggil Allah saja yang beliau
ucapkan : ummatii... ummatii ... yang menunjukkan besarnya cinta beliau kepada kita umatnya,
Dalam ayat 129 surat Albaqarah tersebut ada arah tazkiyatunnafs atau penyucian jiwa, dimana
pada ayat itu disebutkan wayuzakkiihim... Dan (tugas Rasul itu) mensucikan mereka...
Talaa -yatluu itu berbeda dengan qara-a. Talaa-yatluu-tilawah itu mengandung arti membaca Al
Qur'an dengan dibimbing guru, yang dalam hal ini Malaikat Jibril yang membimbing Nabi.
Kalau qara-a itu memiliki arti membaca, ya sekedar membaca, bisa tanpa guru atau
pembimbing.
Sedangkan yang dimaksud dengan ayat-ayat Allah itu ada tiga macam, yaitu ayat Kauniyah,
ayat-ayat Qur'aniyah, dan ayat-ayat Qolbiyah. Ini berdasarkan ayat :
Iqra' bismi robbikalladzii kholaqa (Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu Yang Telah
Menciptakan). Segala sesuatu yang Allah ciptakan disebut ayat Kauniyah
Yang kedua iqra' dikaitkan dengan qalam (pena): Alladzii ‘allama bilqolam. Ini yang dimaksud
ayat Qur'aniyah
Yang ketiga iqra' dikaitkan dengan catatan (yang ada yang ada di dalam hati): Iqra' kitaabak. Ini
yang disebut ayat qolbiyah.
Jadi sesuai dengan prinsip tilawah, dimana Nabi dituntun bacaannya oleh Malaikat Jibril. Maka
orang belajar AlQur'an itu juga harus ada yang menuntun, bagaimana bacaannya, bagaimana
memahami, dan bagaimana menghayati AlQur'an. Kalau tidak ada yang menuntun, akan keliru.
Kedua, Mengajari Alkitab (AlQur'an) dan Alhikmah (Asunnah). Bisa juga Alkitab diartikan
yang tertulis/tersurat, sedangkan Alhikmah diartikan yang tidak tertulis/tersirat.
Alqur'an adalah yang tersurat. Petunjuk (hudan) dari AlQur'an bisa dijelaskan dengan bayan
(keterangan). Bayan ini yang tahu adalah Rasulullah saw. Inilah yang disebut Assunnah. Oleh
karena itu beliau bersabda:
Dalam memahami ayat, orang bisa saja berbeda tingkat sesuai dengan tahapan pemahaman yang
dilalui. Seperti memahami tentang ayat yang memerintahkan kita untuk bersyukur:
dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti
Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), Maka
Sesungguhnya azab-Ku sangat pedih".(Surat Ibrahim ayat 7)
Tingkatan pertama dalam memahami makna bersyukur adalah Asyukru huwa tom'u...(Syukur itu
dilakukan karena mendapat sesuatu karunia dari Allah SWT)
Tingkatan berikutnya Asyukru ‘ala syukri (mensyukuri atas perbuatannya bersyukur ). Misalnya
setelah minum kita mengucap Alhamdulillah atas minuman tadi. Setelah itu kita bersyukur
karena ternyata kita bisa berbuat mensyukuri nikmat Allah tadi. Jadi ini merupakan perbuatan
syukur beruntun.
Tingkatan selanjutnya adalah Asyukru huwasyukru (Bersyukur itu ya bersyukur itu sendiri), Jadi
bersyukur bukan karena ingin mendapatkan sesuatu, tetapi karena perintah Allah, seperti pada
ayat diatas.
Jadi sekali lagi, kita harus bisa membaca apa yang tersurat dan tersirat dari AlQur'an. Jadi ketika
kita sedang memahami ayat AlQur'an maka apakah hudan-nya dan apakah bayan-nya?
"dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali
Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun
yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji-pun dalam
kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab
yang nyata (Lauh Mahfudz)" (Surat Al An'am ayat 59)
Pemahaman ayat tersebut bukan sekedar menceritakan fenomena alam dimana ada daun yang
gugur entah karena angin atau yang lainnya. Justru hudan dari ayat itu sebenarnya adalah bahwa
Allah itu adalah Dzat Yang Maha Mengetahui.
Mengenai tafsir Alqur'an, kitab-kitab tafsir yang disusun oleh para ahli tafsir dahulu bersifat
dirinci. Sedangkan DR.Qureisysyihab saat ini mengembangkan tafsir maudhu'I, yakni tafsir yang
bersifat tematik. Beliau mengumpulkan ayat-ayat dan keterangannya berdasarkan tema tertentu.
Misalnya masalah sholat. (ws)
http://www.yayasanalislam.com/?pilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id=96
ين آ َمنُو ْا َ ُون هّللا ِ أَن َداداً يُ ِح ُّبونَ ُه ْم َك ُح ِّب هّللا ِ َوالَّ ِذ
ِ س َمن يَتَّ ِخ ُذ ِمن د ِ َو ِم َن النَّا
َ ين ظَلَ ُمو ْا إِ ْذ يَ َر ْو َن ا ْل َع َذ
َّاب أَنَّ ا ْلقُ َّوةَ هّلِل ِ َج ِميعا ً َوأَن َ َأ
َ ش ُّد ُحبًّا هّلِّل ِ َولَ ْو يَ َرى الَّ ِذ
ب ِ ش ِدي ُد ا ْل َع َذا
َ َ هّللا
Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka
mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat
cintanya kepada Allah. Dan jika seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu mengetahui ketika
mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya, dan bahwa
Allah amat berat siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal).
Daftar isi
[sembunyikan]
Allah Ta'ala menceritakan kondisi orang-orang yang menyekutukan-Nya ketika di dunia dan
azab yang bakal mereka terima di akhirat lantaran mereka menjadikan beberapa tandingan untuk
Allah yang disembah dan dicintai seperti mencintai-Nya, padahal Dia adalah Tuhan yang tiada
tara dan tiada sekutu bagi-Nya. Dalam shahihain dikatakan dari Abdullah bin Mas'ud, dia
berkata, "Saya bertanya, wahai Rasulullah, dosa apakah yang paling besar? Beliau ber-sabda,
'Bila kamu membuat tandingan untuk Allah padahal Dialah yang menciptakanmu.'"
Firman Allah,
http://superpedia.rumahilmuindonesia.net/wiki/Tafsir_Ibnu_Katsir_Surah_Al_Baqarah_ayat_165
(32) Katakanlah: hendaklah kamu taat kepada Allah dan Rasul. Tetapi jika kamu berpaling,
maka sesungguhnya Allah tidak suka kepada orang-orang yang kafir.
Cintakan Allah
قُ ْل إِنْ ُك ْنتُ ْم تُ ِحبُّونَ هللاَ فَاتَّبِ ُعوني يُ ْحبِ ْب ُك ُم هللاُ َو يَ ْغفِ ْر لَ ُك ْم
ُذنُوبَ ُك ْم َو هللاُ َغفُو ٌر َرحي ٌم
katakanlah: Jika memang kamu cinta
"
kepada Allah, maka turutkanlah aku,
niscaya cinta pula Allah kepada kamu dan
akan diampuni Nya dosa-dosa kamu. Dan Al-
lah adalah Maha pengampun lagi
Penyayang." (ayat 31).
http://kongaji.tripod.com/myfile/Ali_Imran_ayat_31_32.htm
(15) Katakanlah: sukakah kamu aku ceritakan kepada kamu apa yang lebih baik daripada
yang demikian, di sisi Tuhan mereka, bagi orang-orang yang bertakwa? Ialah syurga-syurga,
yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, kekal mereka di dalamnya, dan isteri-isteri yang
suci, dan keridhaan dari Allah. Dan Allah melihat akan hamba-hambaNya.
(16) (Yaitu) orang-orang yang berkata: Ya Tuhan Kami , Sesungguhnya kami telah beriman.
oleh karena itu ampunilah bagi kami dosa-dosa kami, dan peliharakanlah kami dari siksaan
neraka.
(17) (Yaitu) orang-orang yang sabar dan orang-orang yang jujur dan orang-orang yang
sungguh-sungguh taat dan orang-orang yang membelanjakan harta dan orang-orang yang
memohon ampun di ujung malam.
Menurut riwayat dari penulis-penulis sejarah
hidup Rasulullah saw, ketika utusan-utusan
Nasrani dari Najran itu datang, mereka
memakai pakaian yang indah-indah, sutera
dewangga. Dan terberita lagi bahwa pakaian-
pakaian yang indah dan mewah, perhiasan,
sampai ada salib emas, semuanya itu adalah
pemberian dari Raja Romawi yang berkuasa di
Timur, yang berkedudukan pada waktu itu di
Syam, yaitu Raja Heraclius.
ناطير
ِ ت مِنَ ال ِّنساءِ َو ا ْل َبنينَ َو ا ْل َق َّ ب ال
ِ ش َهوا ُّ ُح
س َّو َم ِة َو َ ِض ِة َو ا ْل َخ ْي ِل ا ْل ُم
َّ ب َو ا ْلف َّ َا ْل ُم َق ْن َط َر ِة مِن
ِ الذ َه
ِ عام َو ا ْل َح ْر َ
ث ِ اأْل ْن
"(yaitu) diri hal perempuan dan anak laki-laki,
dan berpikul-pikul emas dan perak, dan kuda
kendaraan yang di asuh , dan binatang-
binatang tewrnak ; dan sawaah ladang "
Pertama: Perempuan
لِلَّذينَ ا َّت َق ْوا عِ ْندَ َر ِّب ِه ْم َج َّناتٌ َت ْجري مِنْ َت ْح ِت َها اأْل َ ْنها ُر
ٌج ُم َط َّه َرة ٌ خالِدينَ فيها َو أَ ْزوا
I"alah syurga-syurga yang mengalir
dibawahnya sungai-sungai, kekal mereka di
dalam nya , dan isteri-isteri yang suci."
Semuanya ini beribu kali lebih baik daripada
yang dihiaskan kepada kamu dari yang enam
perkara itu. Dibandingkan dengan yang akan
kamu terima kelak itu , belum ada arti
sepeserpun apa yang kamu jadikan perhiasan
dunia itu , Kalau anak yang kamu banggakan
itu menjadi anak fasik , dia hanya akan
menambah sakit hatimu di akhirat. Engkau
boleh ingat sendiri bahwa segala kekayaan
yang kamu kejar-kejar di dunia ini, entah
emas-perak, kendaraan mewah, binatang
ternak dan sawah ladang , sebagian besar
hanyalah perhiasan yang nampak oleh orang
luar , tetapi menggelisahkan dirimu sendiri.
http://kongaji.tripod.com/myfile/Ali_Imran_ayat_14_17.htm