Anda di halaman 1dari 62

Konsep Cinta (Mahabbah) dalam 

Tasawuf
Hatiku telah mampu menerima aneka bentuk dan rupa;
ia merupakan padang rumput bagi menjangan,
biara bagi para rahib, kuil anjungan berhala,
ka`bah tempat orang bertawaf,
batu tulis untuk Taurat,
dan mushaf bagi al-Qur’an.
Agamaku adalah agama cinta,

yang senantiasa kuikuti ke mana pun langkahnya;


itulah agama dan keimananku”

(Ibnu Arabi 1165-1240 M)[1]

A.    PENDAHULUAN

Ajaran cinta kasih ternyata tidak hanya milik agama Kristen saja. Nabi Muhammad
sendiri –yang notabene pembawa agama Islam– diutus oleh Allah untuk membawa misi
sebagai kasih sayang bagi alam semesta (rahmah lil ‘alamin).[2] Lebih jauh lagi, tasawuf
sebagai salah satu bentuk pemahaman dalam Islam telah memperkenalkan betapa ajaran cinta
(mahabbah) menempati kedudukan yang tinggi. Hal itu terlihat dari bagaimana para ulama
sufi, seperti al-Ghazali, menempatkan mahabbah sebagai salah satu tingkatan puncak yang
harus dilalui para sufi.[3] 

Wajah sejuk dan teduh tasawuf yang mendedahkan cinta, dari dulu sejak zaman
Rabi’ah al-Adawiyah hingga di zaman modern sekarang, tak pelak menarik orang-orang
yang tertarik dengan pencarian kebahagiaan dan kebenaran hakiki. Apalagi di zaman modern
sekarang ketika alienasi sosial begitu banyak terjadi, terutama di masyarakat Barat. Alienasi
tersebut terjadi di antaranya karena kemajuan material ternyata banyak mengorbankan
penderitaan spiritual. Kemudahan-kemudahan hidup yang dihasilkan oleh kemajuan
teknologi modern membuat banyak orang jadi mengabaikan ruang rohani dalam dirinya.

B.     DASAR-DASAR AJARAN MAHABBAH

1.      Dasar Syara’


Ajaran mahabbah memiliki dasar dan landasan, baik di dalam Alquran maupun
Sunah Nabi SAW.  Hal ini juga menunjukkan bahwa ajaran tentang cinta khususnya dan
tasawuf umumnya, dalam Islam tidaklah mengadopsi dari unsur-unsur kebudayaan asing
atau agama lain seperti yang sering ditudingkan oleh kalangan orientalis.[4]

a.       Dalil-dalil dalam al-Qur’an, misalnya sebagai berikut:

1)      QS. Al-Baqarah ayat 165

      


    
     
    
    
    


Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan


selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun
orang-orang yang beriman, sangat besar cinta mereka kepada Allah. Dan jika
seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu mengetahui ketika mereka
melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya,
dan bahwa Allah amat berat siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal).

2)      QS. Al-Maidah ayat 54

    


     
   
   
    
     
      
  

Hai orang-orang yang beriman, barang siapa di antara kamu yang murtad dari
agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah
mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut
terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir,
yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang
suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang
dikehendaki-Nya, dan Allah Maha luas (pemberian-Nya), lagi Maha
Mengetahui.

3)      QS. Ali Imran ayat 31

    


   
     


Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya


Allah mencintai dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang.

b.      Dalil-dalil dalam hadis Nabi Muhammad SAW, misalnya sebagai berikut:

َّ‫ َواهُ َما َوأَ ْن ي ُِحب‬G‫ ِه ِم َّما ِس‬G‫ولُهُ أَ َحبَّ إِلَ ْي‬G‫ونَ هللاُ َو َر ُس‬GG‫ ِه َوجَ َد َحاَل َوةَ ْا ِإليمَا ِن أَ ْن يَ ُك‬G‫ث َم ْن ُك َّن فِي‬ ٌ ‫ثَاَل‬
ِ َّ‫ْال َمرْ َء الَ ي ُِحبُّهُ إِالَّ ِهللِ َوأَ ْن يَ ْك َرهَ أَ ْن يَعُو َد فِي ْال ُك ْف ِر َك َما يَ ْك َرهُ أَ ْن يُ ْق َذفَ فِي الن‬
‫ار‬
Tiga hal yang barang siapa mampu melakukannya, maka ia akan merasakan
manisnya iman, yaitu: pertama Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai daripada selain
keduanya; kedua: tidak mencintai seseorang kecuali hanya karena Allah; ketiga
benci kembali kepada kekafiran sebagaimana ia benci dilemparkan ke neraka. [5]   
 
ُ ‫هُ ُك ْن‬Gُ‫ ِل َحتَّى أُ ِحبَّهُ فَإِ َذا أَحْ بَ ْبت‬Gِ‫ي بِالنَّ َواف‬
‫ ِه‬Gِ‫ َم ُع ب‬G‫ ْم َعهُ الَّ ِذي يَ ْس‬G‫ت َس‬ َّ َ‫ ِدي يَتَقَرَّبُ إِل‬G‫ َو َما يَ َزا ُل َع ْب‬..…
… ‫ص ُر بِ ِه َويَ َدهُ الَّتِي يَ ْب ِطشُ بِهَا َو ِرجْ لَهُ الَّتِي يَ ْم ِشي بِهَا‬ ِ ‫ص َرهُ الَّ ِذي يُ ْب‬
َ َ‫َوب‬
….Tidaklah seorang hamba-Ku senantiasa mendekati-Ku dengan ibadah-ibadah
sunah kecuali Aku akan mencintainya. Jika Aku mencintainya, maka Aku pun
menjadi pendengarannya yang ia gunakan untuk mendengar; menjadi
penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat; menjadi tangannya yang ia gunakan
untuk memukul; dan menjadi kakinya yang ia gunakan untuk berjalan. …[6]
‫اس أَجْ َم ِعين‬
ِ َّ‫الَ ي ُْؤ ِمنُ أَ َح ُد ُك ْم َحتَّى أَ ُكونَ أَ َحبَّ إِلَ ْي ِه ِم ْن َولَ ِد ِه َو َوالِ ِد ِه َوالن‬
Tidak beriman seseorang dari kalian sehingga aku lebih dicintainya daripada
anaknya, orang tuanya, dan seluruh manusia.[7]
 

2.          Dasar Filosofis

Dalam mengelaborasi dasar-dasar filosofis ajaran tentang cinta (mahabbah) ini,


al-Ghazali merupakan ulama tasawuf yang pernah melakukannya dengan cukup bagus.
Menurut beliau, ada tiga hal yang mendasari tumbuhnya cinta dan bagaimana
kualitasnya, yaitu sebagai berikut: 

a.       Cinta tidak akan terjadi tanpa proses pengenalan (ma’rifat) dan pengetahuan (idrak)

Manusia hanya akan mencintai sesuatu atau seseorang yang telah ia kenal.
Karena itulah, benda mati tidak memiliki rasa cinta. Dengan kata lain, cinta
merupakan salah satu keistimewaan makhluk hidup. Jika sesuatu atau seseorang
telah dikenal dan diketahui dengan jelas oleh seorang manusia, lantas sesuatu itu
menimbulkan kenikmatan dan kebahagiaan bagi dirinya, maka akhirnya akan timbul
rasa cinta. Jika sebaliknya, sesuatu atau seseorang itu menimbulkan kesengsaraan
dan penderitaan, maka tentu ia akan dibenci oleh manusia. [8]

b.      Cinta terwujud sesuai dengan tingkat pengenalan dan pengetahuan

Semakin intens pengenalan dan semakin dalam pengetahuan seseorang


terhadap suatu obyek, maka semakin besar peluang obyek itu untuk dicintai.
Selanjutnya, jika semakin besar kenikmatan dan kebahagiaan yang diperoleh dari
obyek yang dicintai, maka semakin besar pula cinta terhadap obyek yang dicintai
tersebut.

Kenikmatan dan kebahagiaan itu bisa dirasakan manusia melalui


pancaindranya. Kenikmatan dan kebahagiaan seperti ini juga dirasakan oleh
binatang. Namun ada lagi kenikmatan dan kebahagiaan yang dirasakan bukan
melalui pancaindra, namun melalui mata hati. Kenikmatan rohaniah seperti inilah
yang jauh lebih kuat daripada kenikmatan lahiriah yang dirasakan oleh pancaindra.
Dalam konteks inilah, cinta terhadap Tuhan terwujud.  

c.       Manusia tentu mencintai dirinya

Hal pertama yang dicintai oleh makhluk hidup adalah dirinya sendiri dan
eksistensi dirinya. Cinta kepada diri sendiri berarti kecenderungan jiwa untuk
mempertahankan kelangsungan hidupnya dan menghindari hal-hal yang bisa
menghancurkan dan membinasakan kelangsungan hidupnya.
 Selanjutnya al-Ghazali juga menguraikan lebih jauh tentang hal-hal yang
menyebabkan tumbuhnya cinta.[9] Pada gilirannya, sebab-sebab tersebut akan
mengantarkan seseorang kepada cinta sejati, yaitu cinta kepada Tuhan Yang Maha
Mencintai. Sebab-sebab itu adalah sebagai berikut:

a.       Cinta kepada diri sendiri, kekekalan, kesempurnaan, dan keberlangsungan hidup

Orang yang mengenal diri dan Tuhannya tentu ia pun mengenal bahwa
sesungguhnya ia tidak memiliki diri pribadinya. Eksistensi dan kesempurnaan
dirinya adalah tergantung kepada Tuhan yang menciptakannya. Jika seseorang
mencintai dirinya dan kelangsungan hidupnya, kemudian menyadari bahwa diri dan
hidupnya dihasilkan oleh pihak lain, maka tak pelak ia pun akan mencintai pihak
lain tersebut. Saat ia mengenal bahwa pihak lain itu adalah Tuhan Yang Maha
Pencipta, maka cinta kepada Tuhan pun akan tumbuh. Semakin dalam ia mengenal
Tuhannya, maka semakin dalam pula cintanya kepada Tuhan.

b.      Cinta kepada orang yang berbuat baik

Pada galibnya, setiap orang yang berbuat tentu akan disukai oleh orang lain.
Hal ini merupakan watak alamiah manusia untuk menyukai kebaikan dan membenci
kejahatan. Namun pada dataran manusia dan makhluk umumnya, pada hakikatnya
kebaikan adalah sesuatu yang nisbi. Karena sesungguhnya, setiap kebaikan yang
dilaksanakan oleh seseorang hanyalah sekedar menggerakkan motif tertentu, baik
motif duniawi maupun motif ukhrawi.

Untuk motif duniawi, hal itu adalah jelas bahwa kebaikan yang dilakukan
tidaklah ikhlas. Namun untuk motif ukhrawi, maka kebaikan yang dilakukan juga
tidak ikhlas, karena masih mengharapkan pahala, surga, dan seterusnya. Pada
hakikatnya, ketika seseorang memiliki motif ukhrawi atau agama, maka hal itu juga
akan mengantarkan kepada pemahaman bahwa Allah jugalah yang berkuasa
menanamkan ketaatan dan pengertian dalam diri dan hatinya untuk melakukan
kebaikan sebagaimana yang Allah perintahkan. Dengan kata lain, orang yang
berbuat baik tersebut pada hakikatnya juga terpaksa, bukan betul-betul mandiri,
karena masih berdasarkan perintah Allah.

Ketika kesadaran bahwa semua kebaikan berujung kepada Allah, maka cinta
kepada kebaikan pun berujung kepada Allah. Hanya Allah yang memberikan
kebaikan kepada makhluk-Nya tanpa pamrih apapun. Allah berbuat baik kepada
makhluk-Nya bukan agar Ia disembah. Allah Maha Kuasa dan Maha Suci dari
berbagai pamrih. Bahkan meskipun seluruh makhluk menentang-Nya, kebaikan
Allah kepada para makhluk tetap diberikan. Kebaikan-kebaikan Allah kepada
makhluk-Nya itu sangat banyak dan tidak akan mampu oleh siapa pun. Karena
itulah, pada gilirannya bagi orang yang betul-betul arif, akan timbul cinta kepada
Allah sebagai Dzat Yang Maha Baik, yang memberikan berbagai kebaikan dan
kenikmatan yang tak terhitung jumlahnya.

c.       Mencintai diri orang yang berbuat baik meskipun kebaikannya tidak dirasakan

Mencintai kebaikan per se juga merupakan watak dasar manusia. Ketika


seseorang mengetahui bahwa ada orang yang berbuat baik, maka ia pun akan
menyukai orang yang berbuat baik tersebut, meskipun kebaikannya tidak
dirasakannya langsung. Seorang penguasa yang baik dan adil, tentu akan disukai
rakyatnya, meskipun si rakyat jelata tidak pernah menerima langsung kebaikan sang
penguasa. Sebaiknya, seorang pejabat yang lalim dan korup, tentu akan dibenci oleh
rakyat, meski sang rakyat tidak mengalami langsung kelaliman dan korupsi sang
pejabat.

Hal ini pun pada gilirannya akan mengantar kepada cinta terhadap Allah.
Karena bagaimanapun, hanya karena kebaikan Allah tercipta alam semesta ini.
Meski seseorang mungkin tidak langsung merasakannya, kebaikan Allah yang
menciptakan seluruh alam semesta ini menunjukkan bahwa Allah memang pantas
untuk dicintai. Kebaikan Allah yang menciptakan artis Dian Sastrowardoyo nan
cantik jelita namun tinggal di Jakarta, misalnya, adalah kebaikan yang tidak
langsung dirasakan seorang Iwan Misbah yang tinggal nun jauh di Ciwidey.

d.      Cinta kepada setiap keindahan

Segala yang indah tentu disukai, baik yang bersifat lahiriah maupun batiniah.
Lagu yang indah dirasakan oleh telinga. Wajah yang cantik diserap oleh mata.
Namun keindahan sifat dan perilaku serta kedalaman ilmu, juga membuat seorang
Imam Syafi’i, misalnya, dicintai oleh banyak orang. Meskipun mereka tidak tahu
apakah wajah dan penampilan Imam Syafi’i betul-betul menarik atau tidak.
Keindahan yang terakhir inilah yang merupakan keindahan batiniah. Keindahan
yang bersifat batiniah inilah yang lebih kuat daripada keindahan yang bersifat
lahiriah. Keindahan fisik dan lahiriah bisa rusak dan sirna, namun keindahan
batiniah relatif lebih kekal.

Pada gilirannya, segala keindahan itu pun akan berujung pada keindahan
Tuhan yang sempurna. Namun keindahan Tuhan adalah keindahan rohaniah yang
hanya dapat dirasakan oleh mata hati dan cahaya batin. Orang yang betul-betul
menyadari betapa Tuhan Maha Mengetahui, Maha Kuasa, dan segala sifat
kesempurnaan melekat dalam Zat-Nya, maka tak ayal ia pun akan menyadari betapa
indahnya Tuhan, sehingga sangat pantas Tuhan untuk dicintai.

e.       Kesesuaian dan keserasian

Jika sesuatu menyerupai sesuatu yang lain, maka akan timbul ketertarikan
antara keduanya. Seorang anak kecil cenderung lebih bisa akrab bergaul dengan
sesama anak kecil. Seorang dosen tentu akan mudah berteman dengan sesama dosen
daripada dengan seorang tukang becak. Ketika dua orang sudah saling mengenal
dengan baik, maka tentu terdapat kesesuaian antara keduanya. Berangkat dari
kesesuaian dan keserasian inilah akhirnya muncul cinta. Sebaliknya, jika dua orang
tidak saling mengenal, kemungkinan besar karena memang terdapat perbedaan dan
ketidakcocokan antara keduanya. Karena ketidakcocokan dan perbedaan pula akan
muncul tidak suka atau bahkan benci.

Dalam konteks kesesuaian dan keserasian inilah, cinta kepada Tuhan akan
muncul. Meski demikian, kesesuaian yang dimaksud ini bukanlah bersifat lahiriah
seperti yang diuraikan di atas, namun kesesuaian batiniah. Sebagian hal tentang
kesesuaian batiniah ini merupakan misteri dalam dunia tasawuf yang menurut al-
Ghazali tidak boleh diungkapkan secara terbuka. Sedangkan sebagian lagi boleh
diungkapkan, seperti bahwa seorang hamba boleh mendekatkan diri kepada Tuhan
dengan meniru sifat-sifat Tuhan yang mulia, misalnya ilmu, kebenaran, kebaikan,
dan lain-lain.

Terkait dengan sebab keserasian dan kecocokan ini, satu hal yang perlu
digarisbawahi adalah bahwa Allah tidak akan pernah ada yang mampu menandingi
atau menyerupainya. Keserasian yang terdapat dalam jiwa orang-orang tertentu yang
dipilih oleh Allah, sehingga ia mampu mencintai Allah dengan sepenuh hati,
hanyalah dalam arti metaforis (majazi). Keserasian tersebut adalah wilayah misteri
yang hanya diketahui oleh orang-orang yang betul-betul mengalami cinta ilahiah.

C.    RABI’AH AL-ADAWIYAH: PERINTIS TASAWUF CINTA

Sosok sufi perempuan ini sangat dikenal dalam dunia tasawuf. Ia hidup di abad kedua
Hijriah, dan meninggal pada tahun 185 H. Meski ia hidup di Bashrah sebagai seorang hamba
sahaya dari keluarga Atiq, hal itu tidak menghalanginya tumbuh menjadi seorang sufi yang
disegani di zamannya, bahkan hingga di zaman modern sekarang ini.[10]
Corak tasawuf Rabi’ah yang begitu menonjolkan cinta kepada Tuhan tanpa pamrih
apapun merupakan suatu corak tasawuf yang baru di zamannya. Pada saat itu, tasawuf lebih
didominasi corak kehidupan zuhud (asketisme) yang sebelumnya dikembangkan oleh Hasan
al-Bashri yang mendasarkan ajarannya pada rasa takut (khauf) kepada Allah. Corak tasawuf
yang dikembangkan oleh Rabi’ah tersebut kelak membuatnya begitu dikenal dan menduduki
posisi penting dalam dunia tasawuf.[11]

Sedemikian tulusnya cinta kepada Allah yang dikembangkan oleh Rabi’ah, bisa dilihat,
misalnya, dalam sebuah munajat yang ia panjatkan: “Tuhanku, sekiranya aku beribadah
kepada-Mu karena takut neraka-Mu, biarlah diriku terbakar api jahanam. Dan sekiranya
aku beribadah kepada-u karena mengharap surga-Mu, jauhkan aku darinya. Tapi, sekiranya
aku beribadah kepada-Mu hanya semata cinta kepada-Mu, Tuhanku, janganlah Kauhalangi
aku melihat keindahan-Mu yang abadi.”[12]    

Saking besar dan tulusnya cinta Rabi’ah kepada Allah, maka seolah cintanya telah
memenuhi seluruh kalbunya. Tak ada lagi tersisa ruang di hatinya untuk mencintai selain
Allah, bahkan kepada Nabi Muhammad sekalipun. Pun, tak ada ruang lagi di kalbunya untuk
membenci apapun, bahkan kepada setan sekalipun. Seluruh hatinya telah penuh dengan cinta
kepada Tuhan semata. Hal ini juga Rabi’ah tunjukkan dengan memutuskan untuk tidak
menikah sepanjang hidupnya, karena ia menganggap seluruh diri dan hidupnya hanya untuk
Allah semata.[13]

D.    DOKTRIN-DOKTRIN MAHABBAH

1.      Makna Cinta di Kalangan Sufi

Dalam tasawuf, konsep cinta (mahabbah) lebih dimaksudkan sebagai bentuk cinta
kepada Tuhan.[14] Meski demikian, cinta kepada Tuhan juga akan melahirkan bentuk
kasih sayang kepada sesama, bahkan kepada seluruh alam semesta. Hal ini bisa dilacak
pada dalil-dalil syara’, baik dalam Alquran maupun hadis yang menunjukkan tentang
persoalan cinta. Sebagian dalil tersebut telah disebutkan pada bagian sebelumnya dalam
makalah ini.

Secara terminologis, sebagaimana dikatakan al-Ghazali, cinta adalah suatu


kecenderungan terhadap sesuatu yang memberikan manfaat. Apabila kecenderungan itu
mendalam dan menguat, maka ia dinamakan rindu. Sedangkan sebaliknya, benci adalah
kecenderungan untuk menghindari sesuatu yang menyakiti. Apabila kecenderungan untuk
menghindari itu mendalam dan menguat, maka ia dinamakan dendam.[15]
Menurut Abu Yazid al-Busthami mengatakan bahwa cinta adalah menganggap
sedikit milikmu yang sedikit dan menganggap banyak milik Dzat yang kau cintai.
Sementara Sahl bin Abdullah al-Tustari menyatakan bahwa cinta adalah melakukan
tindak-tanduk ketaatan dan menghindari tindak-tanduk kedurhakaan.[16] Bagi al-Junaid,
cinta adalah kecenderungan hati. Artinya, kecenderungan hati seseorang kepada Allah
dan segala milik-Nya tanpa rasa beban.[17]

2.      Cinta Sejati adalah Cinta kepada Allah

Bagi al-Ghazali, orang yang mencintai selain Allah, tapi cintanya tidak
disandarkan kepada Allah, maka hal itu karena kebodohan dan kepicikan orang tersebut
dalam mengenal Allah. Cinta kepada Rasulullah SAW, misalnya, adalah sesuatu yang
terpuji karena cinta tersebut merupakan manifestasi cinta kepada Allah. Hal itu karena
Rasulullah adalah orang yang dicintai Allah. Dengan demikian, mencintai orang yang
dicintai oleh Allah, berarti juga mencintai Allah itu sendiri. Begitu pula semua bentuk
cinta yang ada. Semuanya berpulang kepada cinta terhadap Allah.[18]

Jika sudah dipahami dan disadari dengan baik lima sebab timbulnya cinta yang
telah diuraikan al-Ghazali sebelumnya, maka juga bisa disadari bahwa hanya Allah yang
mampu mengumpulkan sekaligus kelima faktor penyebab cinta tersebut. Kelima faktor
penyebab tersebut terjadi pada diri manusia hanyalah bersifat metaforis (majazi), dan
bukanlah hakiki.[19] Hanya Allah Yang Maha Sempurna. Ia tidak bergantung kepada
apapun dan siapa pun. Kesempurnaan itulah yang akan mengantarkan seseorang kepada
cinta sejati, yaitu cinta terhadap Allah.[20]

3.      Mahabbah: antara Maqam dan Hal

Sebagaimana diketahui, dalam terminologi tasawuf ada istilah maqam (tingkatan)


dan hal (keadaan, kondisi kejiwaan). Menurut as-Sarraj ath-Thusi dalam kitabnya al-
Luma’, maqam merujuk kepada tingkatan seorang hamba di depan Tuhan pada suatu
tingkat yang ia ditempatkan di dalamnya, berupa ibadah, mujahadah, riyadhah, dan
keterputusan (inqitha’) kepada Allah. Sedangkan hal adalah apa yang terdapat di dalam
jiwa atau sesuatu keadaan yang ditempati oleh hati. Sementara menurut al-Junaid, hal
adalah suatu “tempat” yang berada di dalam jiwa dan tidak statis.[21]  

Menurut al-Ghazali, cinta kepada Allah (mahabbah) merupakan tingkatan


(maqam) puncak dari rangkaian tingkatan dalam tasawuf. Tak ada lagi tingkatan setelah
mahabbah selain hanya sekedar efek sampingnya saja, seperti rindu (syauq), mesra (uns),
rela (ridla), dan sifat-sifat lain yang serupa. Di samping itu, tidak ada satu tingkatan pun
sebelum mahabbah selain hanya sekedar pendahuluan atau pengantar menuju ke arah
mahabbah, seperti taubat, sabar, zuhud, dan lain-lain.[22] Cinta sebagai maqam ini juga
diamini oleh Ibn Arabi. Menurutnya, cinta merupakan maqam ilahi.[23]

Berbeda dengan al-Ghazali, menurut al-Qusyairi, mahabbah merupakan termasuk


hal. Bagi al-Qusyairi, cinta kepada Tuhan (mahabbah) merupakan suatu keadaan yang
mulia saat Tuhan bersaksi untuk sang hamba atas keadaannya tersebut. Tuhan
memberitahukan tentang cinta-Nya kepada sang hamba. Dengan demikian, Tuhan disifati
sebagai yang mencintai sang hamba. Selanjutnya, sang hamba pun disifati sebagai yang
mencintai Tuhan.[24]  

4.      Tingkatan Cinta

Dilihat dari segi orangnya, menurut Abu Nashr ath-Thusi, cinta kepada Tuhan
terbagi menjadi tiga macam cinta. Pertama, cinta orang-orang awam. Cina seperti ini
muncul karena kebaikan dan kasih sayang Tuhan kepada mereka. Ciri-ciri cinta ini adalah
ketulusan dan keteringatan (zikir) yang terus-menerus. Karena jika orang mencintai
sesuatu, maka ia pun akan sering mengingat dan menyebutnya.[25]

Kedua, cinta orang-orang yang shadiq dan mutahaqqiq. Cinta mereka ini timbul
karena penglihatan mata hati mereka terhadap kekayaan, keagungan, kebesaran,
pengetahuan dan kekuasaan Tuhan. Ciri-ciri cinta ini adalah “terkoyaknya tabir” dan
“tersingkapnya rahasia” Tuhan. Selain itu, ciri lain adalah lenyapnya kehendak serta
hilangnya semua sifat (kemanusiaan dan keinginan duniawi).[26]

Ketiga, cinta orang-orang shiddiq dan arif. Cinta macam ini timbul dari
penglihatan dan pengenalan mereka terhadap ke-qadim-an Cinta Tuhan tanpa sebab
(illat) apapun. Menurut Zunnun al-Mishri, sifat cinta ini adalah terputusnya cinta dari hati
dan tubuh sehingga cinta tidak lagi bersemayam di dalamnya, namun yang bersemayam
hanyalah segala sesuatu dengan dan untuk Allah. Sedangkan menurut Abu Ya’qub as-
Susi, cirinya alah berpaling dari cinta menuju kepada Yang Dicintai. Sementara al-Junaid
menambahkan bahwa ciri cinta macam ini adalah meleburnya sifat-sifat Yang Dicintai
kepada yang mencintai sebagai pengganti sifat-sifatnya.[27]

  

E.     PENGARUH DOKTRIN MAHABBAH

 Semenjak Rabi’ah al-Adawiyah mengungkapkan corak tasawuf melalui puisi,


prosa, atau dialognya, ajaran cinta ilahi (mahabbah) pun mulai menjadi tema menarik di
kalangan tasawuf. Gambaran tentang Tuhan pun tidak lagi begitu menakutkan seperti
sebelumnya. Tuhan seolah menjadi lebih dekat dan lebih “manusiawi”.
Pada perkembangan tasawuf selanjutnya, mahabbah selalu menjadi tema yang
mendapat pembahasan secara khusus. Para sufi pun banyak yang membahas lebih mendalam
tentang tema ini dalam karya-karya mereka, seperti al-Hujwairi dengan Kasyf al-Mahjub,
ath-Thusi dengan al-Luma’, al-Qusyairi dengan ar-Risalah al-Qusyairiyyah, al-Ghazali
dengan Ihya Ulumiddin, Ibnu Arabi dalam al-Futuhat al-Makkiyah, dan lain-lain.

Pada bidang puisi, banyak para sufi yang juga sekaligus penyair yang kemudian
menyenandung cinta ilahi, seperti Abu Sa’id bin Abi al-Khair, al-Jilli, Ibnu al-Faridh,
Jalaluddin Rumi, dan lain-lain. Hingga sekarang, para penyair sufi kontemporer masih
banyak yang menyenandungkan puisi-puisi cinta ilahi, seperti Syekh Fattah yang membentuk
kelompok musik Debu yang kini ada di Indonesia.

F.     PENUTUP

Ajaran cinta ilahi yang dikumandangkan oleh tasawuf sebenarnya bisa dijadikan
sarana kita untuk lebih memperhalus jiwa. Kehalusan jiwa yag dihasilkan oleh tasawuf ini
diperlukan agar agama tidak selalu dipahami secara legal-formalistik belaka yang biasanya
ditampilkan oleh kalangan ahli fikih. Dengan demikian, agama pun diharapkan bisa menjadi
berwajah toleran, humanis, dan menerima realitas pluralistik yang ada di tengah di
masyarakat, seperti puisi yang didengungkan oleh Ibnu Arabi di awal makalah.

Meski demikian, ajaran cinta dalam Alquran sendiri, juga menghendaki


keseimbangan antara sisi individual dan sosial; antara emosional dan rasional. Dari penelitian
yang pernah dilakukan penulis, term-term cinta yang ditampilkan Alquran justru bersifat
dinamis dan menghendaki aktualisasi riil dalam realitas sosial. Cinta dalam Alquran hampir
selalu ditempatkan dalam konteks untuk mewujudkan kebaikan dan keadilan sosial.[28]
Karena itu tidaklah mengherankan jika di akhir abad 19 hingga awal abad 20, beberapa
kelompok sufi di Afrika Utara menjadi pendorong perlawanan terhadap penjajahan Barat.
Wallahu a’lam.     
DAFTAR PUSTAKA

Abdurrasyid Ridha, Memasuki Makna Cinta, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003).

Abu al-Qasim al-Qusyari, ar-Risalah al-Qusyairiyyah, (format e-book dalam Program


Syamilah).  

Abu al-Wafa al-Ghanimi al-Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman, Suatu Pengantar tentang
Tasawuf, terj. Ahmad Rofi’ Utsmani, (Bandung: Pustaka, 1985).

Abu Bakr Muhammad al-Kalabadzi, at-Ta’arruf li Mazhab Ahl at-Tashawwuf, (tk.: Maktabah al-
Kulliyat al-Azhariyyah, 1969).

Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, Ihya Ulumiddin, (Beirut, Dar al-Ma’rifah,
tt). 

Abu Nashr as-Sarraj ath-Thusi, al-Luma’, (Mesir: Dar al-Kutub al-Haditsah, 1960).

Al-Hujwairi, Kasyful Mahjub, terj. Suwardjo Muthary dan Abdul Hadi WM, (Bandung: Mizan,
1993).

Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973).

Ibn al-Mulqin, Thabaqat al-Auliya, (format e-book Program al-Maktabah asy-Syamilah)

Muhammad bin Ismail Abu Abdillah al-Bukhari al-Ja’fi, al-Jami’ as-Shahih al-Mukhtashar, ed.
Mushtafa Dib al-Biqha, (Beirut: Dar Ibnu Katsir, 1987).

Muhyiddin Ibnu Arabi, al-Futuhat al-Makkiyah, (format e-book dalam Program Syamilah).

______, Dzakhair al-A’laq Syarh Tarjuman al-Asywaq, seperti dikutip oleh Syamsuddin Arif,
“Ibnu Arabi dan Pluralisme” dalam www.hidayatullah.com

Muslim bin al-Hajjaj Abu al-Husain al-Qusyairi an-Naisaburi, Sahih Muslim, ed. Muhammad
Fuad Abd al-Baqi, (Beirut: Dar Ihya at-Turats al-Arabi, tt).
[1]Muhyiddin ibn al-Arabi, The Tarjuman al-Ashwaq, (London: Theosophical Publishing House
Ltd, 1978), hal. 19.

[2]Dan tiadalah Kami mengutus kamu (Muhammad), melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi
semesta alam. (QS. Al-Anbiya: 107).

[3]Lihat, penjelasan al-Ghazali tentang hal ini dalam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad
al-Ghazali, Ihya Ulumiddin, (Beirut, Dar al-Ma’rifah, tt), juz IV, hal. 293 dan seterusnya. 

[4]Lihat kajian tentang sumber-sumber tasawuf dan tudingan para orientalis, misalnya, dalam
Abu al-Wafa al-Ghanimi al-Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman, Suatu Pengantar tentang
Tasawuf, terj. Ahmad Rofi’ Utsmani, (Bandung: Pustaka, 1985) hal. 22-34.

[5]Muhammad bin Ismail Abu Abdillah al-Bukhari al-Ja’fi, al-Jami’ as-Shahih al-Mukhtashar,
ed. Mushtafa Dib al-Biqha, (Beirut: Dar Ibnu Katsir, 1987), juz 1, hal. 14.

[6] Ibid., juz 5, hal. 2384.

Muslim bin al-Hajjaj Abu al-Husain al-Qusyairi an-Naisaburi, Sahih Muslim, ed. Muhammad
[7]
Fuad Abd al-Baqi, (Beirut: Dar Ihya at-Turats al-Arabi, tt), juz 1, hal. 67.

Lihat, penjelasan al-Ghazali pada Kitab al-Mahabbah wa asy-Syauq wa ar-Ridha, dalam al-
[8]
Ghazali, Ihya Ulumiddin, op. cit., juz 4, hal. 296-300.

[9] Lihat, ibid., hal. 300-307.

[10]Ibn al-Mulqin, Thabaqat al-Auliya, (format e-book Program al-Maktabah asy-Syamilah), juz
1, hal. 68.

[11] Ibid., hal. 85.

[12] Al-Taftazani., Sufi dari Zaman ke Zaman., op. cit., hal. 86.

[13] Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), hal.
74.

[14] Ibid.,  hal. 70.

[15] Al-Ghazali, Ihya., op. cit.., juz 4, hal. 296.


[16]Al-Hujwairi, Kasyful Mahjub, terj. Suwardjo Muthary dan Abdul Hadi WM, (Bandung:
Mizan, 1993), hal. 278-279.

[17]Abu Bakr Muhammad al-Kalabadzi, at-Ta’arruf li Mazhab Ahl at-Tashawwuf, (tk.:


Maktabah al-Kulliyat al-Azhariyyah, 1969), hal. 130.

[18] Al-Ghazali, Ihya., op. cit., juz 4, hal. 301.

[19] Ibid.

[20] Ibid., juz 4, hal. 307.

[21] Abu Nashr as-Sarraj ath-Thusi, al-Luma’, (Mesir: Dar al-Kutub al-Haditsah, 1960), hal. 65-
66.

[22] Al-Ghazali, Ihya., op. cit.., juz 4, hal. 294.

[23] Ibnu Arabi, al-Futuhat al-Makkiyah, (format e-book Program al-Maktabah asy-Syamilah),
juz 3, hal. 465.

[24] Abual-Qasim al-Qusyari, ar-Risalah al-Qusyairiyyah, (format e-book Program al-Maktabah


asy-Syamilah), hal. 143.  

[25] Ath-Thusi, al-Luma’, op. cit., hal. 86.

[26] Ibid., hal. 87.

[27] Ibid., hal. 88.

[28] Abdurrasyid Ridha, Memasuki Makna Cinta, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hal. 160.

http://racheedus.wordpress.com/makalahku/konsep-cinta-mahabbah-dalam-tasawuf/, rabu 8:27

MEMAHAMI MAKNA MAHABBAH


(CINTA)
 
Mahabbah atau cinta, demikianlah Kaum sufi menyebut tradisi bercinta
mereka.
 
Adalah Imam al Qusyairi, pengarang Risâlah al Qusyairiyyah mendefinisikan
cinta (mahabbah) Allah kepada hamba sebagai kehendak untuk memberikan
nikmat khusus kepada siapa saja yang Ia kehendaki. Apabila kehendak
tersebut tidak diperuntukkan khusus melainkan umum untuk semua
hambaNya—menurut Qusyairi—dinamakan Rahmat; kemudian jika irâdah 
tersebut berkaitan dengan adzab disebut dengan murka(ghadlab).
 
Masih dalam konteks yang sama, lebih jauh al Qusyairi memaparkan definisi
mahabbah tersebut versi kaum salaf; mereka mengartikan cinta sebagai salah
satu sifat khabariyyah lantas menjadikannya sebagai sesuatu yang mutlak,
tidak dapat diartikulasikan sebagaimana rupa seperti halnya mereka
cenderung tidak memberikan pentafsiran yang lebih dalam lagi, sebab apabila
cinta diidentikkan dengan kecenderungan pada sesuatu ataupun sikap
ketergantungan,  alias cinta antara dua manusia, maka mereka menganggap
hal itu sangatlah mustahil untuk Allah Swt. Interprestasi yang demikian ini
memang lebih cenderung berhati-hati seperti halnya mereka (baca:kaum
salaf) sangat menekankan metode tafwîdl dalam permasalahan yang bersifat
ilâhiyah.
 
Kaum Sufi menganggap mahabbah sebagai modal utama sekaligus
mauhibah dari Allah Swt, untuk menuju kejenjang ahwâl yang lebih tinggi.
 
Imam al Ghazâli memposisikan cinta ini sederajat dengan  taubat dalam
maqâmât. Beliau berpendapat: bagaimana seorang sufi bisa merasakan
imanensi ataupun fana tanpa didahului oleh rasa cinta, suatu hal yang
mustahil tentunya; bagaimana mungkin qois rela mengakhiri hidupnya demi
seorang Laila tanpa ada cinta antar keduanya?, sungguh skenario itu tak
akan pernah terjadi.
 
Fakta ini pun diamini oleh sebagian besar para sarjana muslim; Dr.Faishal
badîr ‘aun misalnya, mengatakan bahwa kaum sufi akan sulit menyelesaikan
petualangan spiritualnya tanpa dibekali mahabbah yang merupakan anugerah
Allah semata; jika tangga awal cinta ini bisa dilalui maka tangga ahwâl
selanjutnyapun akan mudah terlewati.
 
Nah, dalam konteks cinta ilahi ini kaum sufi memakai dalil-dalil dari Al-Quran
dan As- Sunnah. Dua ayat al Quran yang sering dijadikan landasan ialah ayat
ke 31 dari surat ali ‘imran dan ayat ke 54 surat al Maidah.
 
Kedua ayat ini menempati posisi penting dalam budaya “bercinta” seorang
sufi; karena secara tersirat atupun tersurat, keduanya mengisyaratkan bahwa
cinta yang terjadi antara Tuhan dan mahluk-Nya adalah sebuah keniscayaan,
pasti terjadi.
Namun bukan berarti cinta itu terjalin begitu saja melainkan buah hasil dari
mujâhadah yang kontinyu dan berkualitas.
 
Al Wâsithî mengkomentari ayat kedua di atas terutama pada lafadz
"yuhibbuhum wa yuhibbûnahu" bahwa Allah Swt dengan dzat-Nya akan
mencintai mereka (hamba-hambanya-Nya) seperti halnya mereka mencintai
sang Khâliq dengan dzat-Nya yang suci.
Dengan demikian huruf ha’ yang terdapat di situ kembali kepada dzat bukan
sekedar sifat-sifat, dalam artian secara hakiki cinta tersebut memang benar
adanya.
 
Berangkat dari sini maka kaum sufi melegitimasikan budaya cinta mereka
serta meniscayakan hal tersebut. Apabila sebuah tradisi itu terlegalisasi dalam
Al-Quran, mengapa tidak mencoba untuk diterapkan?.
 
Tradisi ini diperkuat lagi dengan beberapa Hadits Rosululloh Saw yang
terjamin keabsahannya. Salah satu contohnya hadist Qudsi yang diriwayatkan
Anas bin Mâlik;
Dalam matan hadist ini Allah Swt berfirman :
"....Hatta uhibbuhu... "
yang berlanjut dengan sebuah statemen yang lebih konkret;
"...waman ahbabtuhu kuntu lahu sam’a....,"
yang jelas merupakan manifestasi dari cinta Dzat Abadi ini.
 
Masih banyak dalil apologik yang melandasi salah satu tradisi suci kaum sufi,
seperti dua hadits riwayat Abu Hurairah dengan rawi pertama Na’îm abd al
Mâlik dalam hadist pertama, sedangkan ‘Alî bin Ahmad bin ‘Abdân sebagai
perawi pertama dari hadist kedua.
 
Nah, dalil dalil di atas—baik Al-Quran maupun As-Sunah—mereka sinergikan
sedemikian rupa menjadi—kalau boleh disebut— "landasan hukum" yang
memang absah dan terjamin legalitasnya, ya, tentunya bersumber dari Dzat
yang Maha Mengetahui.
 
Kemudian mengenai konteks cinta secara garis linier seorang hamba kepada
Khaliqnya—menurut penulis—sangatlah relatif, tidak bisa digeneralasikan
pengertiannya. Hal demikian disinyalir oleh deveritas pemahaman tentang
cinta itu sendiri.
 
Al Qusyairi menyebutkan ada banyak definisi tentang mahabbah;dari sekian
pentafsiran tersebut—jika kita lihat—sangatlah berkaitan dengan pengalaman
(tajribah) pribadi seorang sufi yang mungkin berbeda satu sama lain.
 
Abû Yazîd al Basthâmî mendefinisikan Mahabbah sebagai sikap menganggap
sedikit sesuatu yang banyak yang berasal dari diri kita dan menilai hal sedikit
yang bersumber dari kekasih kita sebagai sesuatu yang besar.
 
Berbeda dengan al Junaid, guru al Hallâj yang akrab dengan julukan sayyid al
Thâifah mengartikan kata yang bernilai sufistik ini dengan masuknya sifat-sifat
Dzat yang dicintai mengganti apa yang ada di jiwa sang Pecinta; mendorong
seorang pecinta untuk tidak mengingat selain Dzat tersebut serta melupakan
dan mencampakkan secara total sifat-sifat yang dulunya melekat di dirinya.
Namun bagaimanapun persepsi orang, pentafsiran tersebut tidak  boleh
keluar dari landasan hukum di atas.
 
Mengenai kapankah budaya cinta ini mulai mentradisi; ’Abd al Rahmân
Badawî menyebutkan bahwa Rabi’ah al ‘Adawiyyah (beliau terkenal dengan
julukannya Syahîdat al’Isyq al Ilâhî, hidup pada masa khalifah Harun al
Râsyîd) adalah sufi pertama yang mengumandangkan syiar “bercinta” ini.
 
Berangkat dari sini—seperti yang dipaparkan Abd al Rahmân Badawî —, ada
sebuah polemik yang menarik; tentang dialektika yang terjadi antara tiga
istilah yang berbeda, namun sering kita salah artikan yaitu  :al ‘Isyq,
Mahabbah dan al Khullah.
 
Dialektika ini terjadi karena ada persamaan diantara ketiga istilah tersebut,
meskipun pada akhirnya kesemuanya tidak bisa bertemu di satu titik
kesepakatan. Mengenai hal ini massignion mengatakan bahwa Abd al wâhid
bin Zaid berpendapat bahwa kalimat i’syq lebih diakui dalam perbincangan
mengenai Allah, karena lanjutnya kalimat mahabbah tidak sesuai dengan Al-
Quran dan merupakan warisan yahudi dan kristiani. Namun  bagaimanapun,
kata Mahabbah yang dipilih Abân bin Abî ‘Ayyâsy dan diamini beberapa tokoh
lain seperti Rabî’ah sendirilah yang akhirnya lebih mendominasi sampai
sekarang.
 
Abd al Rahmân Badawî menegaskan Mahabbah merupakan satu-satunya
lafadz yang tertulis dalam Al-Quran dan As-Sunnah; Sedangkan termasuk
Isyq sendiri adalah sebuah ibarat tentang cinta yang berlebihan, tentunya
Islam tidak mengajarkan itu apalagi secara legal formal seperti apa yang Abd
Al Wahîd usulkan, bagaiamana mungkin seorang hamba bisa mendapatkan
takaran cinta lebih dari apa yang telah ditakdirkan?.
Mengenai al Khullah, pengarang kitab Jâmi’ al ushûl mengatakan asal mula
kata ini adalah Khalla al Syai fî al syaii (menyatunya dua hal yang berbeda);
kondisi inilah yang sering diartikan sebagai kondisi gugur kewajiban, karena
kedekatan antara seorang hamba dan Khaliqnya maka—menurut
pemahaman sufi tersebut—ia pun terbebas dari syariat, tak ada perintah dan
larangan apalagi sekedar halal dan haram.
 
Untuk hal yang satu ini (gugurnya kewajiban, karena kedekatan antara
seorang hamba dan Khaliqnya)  jelas berseberangan dengan koridor agama,
karena bagaimanapun Ibrahim as adalah Khâlilullâh namun ia sendiri tidak
begitu saja meninggalkan kewajiban terlebih melanggar halal haram seperti
yang disebutkan.
 
Terakhir kali, jika Râbi’ah dalam Syairnya pernah berkata bahwa ia mencinta
Tuhannya dengan dua cinta; cinta hasrat dengan melupakan segala sesuatu
selain-Nya dan cinta karena Dialah Pemilik cinta itu, agar ia pun bisa
melihatNya tanpa ada hijab yang menghalangi.
jika cinta sejati itu benar adanya; cinta abadi yang tak bertendensikan
duniawi, maka inilah cinta sejati.
 
Kawan... Mudah-mudahan kita termasuk golongan orang-orang yang Cinta
kepada Sang Kholiq dan utusan-Nya.... Amien Allohumma Ya Robbal
a'lamien....
 
Wallohu a'lam bish-shawab,-
 
========================
by arland
from : El Faqir M.Nashih Nasrullah "Maka Inilah Cinta Sejati" 

http://groups.yahoo.com/group/mencintai-islam/message/8712

Hikmah Ibnu Atha'illah As-Sakandary


HIKMAH 68 :KHIDMAH DAN MAHABBAH

KH. Muhammad Wafi, Lc, M.Si


string(295) "Smarty error: [in evaluated template line 1]: syntax error: unrecognized tag: ‫ُكاًّل نُ ِم ُّد‬
‫ك َمحْ ظُورًا‬
َ ِّ‫ك َو َما َكانَ َعطَا ُء َرب‬
َ ِّ‫( هَؤُاَل ء َوهَؤُاَل ِء ِم ْن َعطَا ِء َرب‬Smarty_Compiler.class.php, line 446)"
string(117) "Smarty error: [in evaluated template line 1]: syntax error: unrecognized tag ''
(Smarty_Compiler.class.php, line 590)"

 ‫ ) اإلسراء‬20 ( ‫قوم أقامهم الحق لخدمته وقوم اختصهم بمحبته‬

"Ada orang-orang yang Allah jadikan berkhidmat kepada-Nya dan ada orang-orang yang Allah
pilih untuk mencintai-Nya. Kepada masing-masing golongan itu, kami berikan bantuan dari
kemurahan Tuhanmu. Dan kemurahan Tuhanmu tidaklah terbatas"

Orang yang sholih (dekat kepada Allah) ada 2 macam :


 

1. orang yang ditugaskan untuk khidmah kepada Allah (agama Allah) bukan untuk Allah sendiri.
Oleh karena itu orang ini harus tahu perintah-perintah dan larangan-larangan lalu
menjelaskannya kepada masyarakat. (amar ma'ruf nahi munkar)

2. orang yang dikhususkan oleh Allah untuk mahabbah kepada-Nya. Dia tidak ingat apa-apa
kecuali Allah (‫)مجنون في هللا‬. Dia tidak tahu apa itu baik dan jelek jadi dia tidak bisa amar ma'ruf
nahi munkar. Orang yang seperti ini terkadang masih mengikuti syari'at tapi tidak bisa mengurusi
syari'at tersebut dan juga terkadang ada yang jadzab baik penuh maupun sebagian. Terkadang dia
jadzab dan terkadang ingat. Ini semua karena ada tajalli dari Allah (Allah tampak pada diri
mereka).

Semua orang yang beriman pasti memiliki mahabbah. Baik sedikit maupun banyak mereka pasti
memiliki mahabbah. Dalam Al-Qur'an telah disebutkan :

‫اب أَ َّن‬
َ ‫يَروْ نَ ْالعَ َذ‬
َ ‫وا إِ ْذ‬GG‫ ُّد ُحبًّا هَّلِل ِ َولَوْ يَ َرى الَّ ِذينَ ظَلَ ُم‬G‫اس َم ْن يَتَّ ِخ ُذ ِم ْن دُو ِن هَّللا ِ أَ ْندَادًا يُ ِحبُّونَهُ ْم َكحُبِّ هَّللا ِ َوالَّ ِذينَ آَ َمنُوا أَ َش‬
ِ َّ‫َو ِمنَ الن‬
]165/‫) [البقرة‬165( ‫ب‬ ِ ‫ْالقُ َّوةَ هَّلِل ِ َج ِميعًا َوأَ َّن هَّللا َ َش ِدي ُد ْال َع َذا‬

165. Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah;
mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. adapun orang-orang yang beriman
amat sangat cintanya kepada Allah. dan jika seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu[106]
mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah
semuanya, dan bahwa Allah amat berat siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal).

[106] yang dimaksud dengan orang yang zalim di sini ialah orang-orang yang menyembah selain
Allah.

 
Akan tetapi yang paling banyak, mahabbah mereka wujud untuk khidmah kepada agama Allah
(berdakwah, mengajar, dll). Ini juga tak lain karena adanya tajalli dari Allah. Oleh karena itu
mahabbah ini tidak akan tertuju kepada selain Allah. Tajalli di sini adalah sebagaimana dalam Al-
Qur'an :

‫َولَ َّما َجا َء ُمو َسى لِ ِميقَاتِنَا َو َكلَّ َمهُ َربُّهُ قَا َل َربِّ أَ ِرنِي أَ ْنظُرْ إِلَ ْيكَ قَا َل لَ ْن تَ َرانِي َولَ ِك ِن ا ْنظُرْ إِلَى ْال َجبَ ِل فَإ ِ ِن ا ْستَقَ َّر َم َكانَهُ فَ َسوْ فَ ت ََرانِي‬
]143/‫) [األعراف‬143( َ‫ْت إِلَ ْيكَ َوأَنَا أَ َّو ُل ْال ُم ْؤ ِمنِين‬ ُ ‫ك تُب‬ َ ‫فَلَ َّما تَ َجلَّى َربُّهُ لِ ْل َجبَ ِل َج َعلَهُ َد ًّكا َوخَ َّر ُمو َسى‬
َ ‫ص ِعقًا فَلَ َّما أَفَا‬
َ َ‫ق قَا َل ُس ْب َحان‬

143. Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan kami) pada waktu yang Telah kami
tentukan dan Tuhan Telah berfirman (langsung) kepadanya, berkatalah Musa: "Ya Tuhanku,
nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar Aku dapat melihat kepada Engkau". Tuhan
berfirman: "Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku, tapi Lihatlah ke bukit itu, Maka jika ia
tetap di tempatnya (sebagai sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku". tatkala Tuhannya
menampakkan diri kepada gunung itu[565], dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musa pun
jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, dia berkata: "Maha Suci Engkau, Aku
bertaubat kepada Engkau dan Aku orang yang pertama-tama beriman".

[565] para Mufassirin ada yang mengartikan yang nampak oleh gunung itu ialah kebesaran dan
kekuasaan Allah, dan ada pula yang menafsirkan bahwa yang nampak itu hanyalah cahaya Allah.
Bagaimanapun juga nampaknya Tuhan itu bukanlah nampak makhluk, hanyalah nampak yang
sesuai sifat-sifat Tuhan yang tidak dapat diukur dengan ukuran manusia.

Jadi hati yang lemah seperti ini kalau ada tajalli maka akan jatuh pingsan.

Kita memiliki dan diberi mahabbah sangat sedikit tapi kalau sudah sampai pada derajat wahdatis
Syuhud maka semua akan dilupakan sehingga terkadang dia melupakan syari'at. Dia akan seperti
orang yang gila bahkan memang benar-benar gila sehingga dia tidak kewajiban shalat dan ibadah
lain. Dia tidak sadar dengan apa yang dilakukan. Lalu apa tugas mereka sebagai wali Allah swt
dan apa faedahnya?

Memang mereka tidak ditugaskan untuk amar ma'ruf oleh Allah tapi mereka memiliki tugas yang
tidak bisa dilihat mata namun atsarnya akan kelihatan. Sebagaimana dijelaskan dalam hadits :

َ ‫َح َّدثَنَا أَبُو ْال ُم ِغي َر ِة َح َّدثَنَا‬


 ‫ص ْف َوانُ َح َّدثَنِي ُش َر ْي ٌح يَ ْعنِي ا ْبنَ ُعبَ ْي ٍد قَا َل‬

ِ ‫ول هَّللا‬
َ G‫ْت َر ُس‬ ُ ‫ ِمع‬G‫قَال اَل إِنِّي َس‬
َ َ‫ير ْال ُم ْؤ ِمنِين‬ َ ‫اق فَقَالُوا ْال َع ْنهُ ْم يَا أَ ِم‬
ِ ‫ض َي هَّللا ُ َع ْنهُ َوهُ َو بِ ْال ِع َر‬ ِ ‫ب َر‬ ٍ ِ‫ُذ ِك َر أَ ْه ُل ال َّش ِام ِع ْن َد َعلِ ِّي ْب ِن أَبِي طَال‬
ُ ‫قَى بِ ِه ْم ْال َغي‬G‫ َد َل هَّللا ُ َم َكانَهُ َر ُجاًل ي ُْس‬Gْ‫ ٌل أَب‬Gُ‫ونَ َر ُجاًل ُكلَّمَا مَاتَ َرج‬Gُ‫ ِام َوهُ ْم أَرْ بَع‬G‫الش‬
‫ْث‬ َّ ِ‫ونَ ب‬Gُ‫دَا ُل يَ ُكون‬Gْ‫و ُل اأْل َب‬Gُ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم يَق‬ َ
‫ذ‬َ ‫ع‬ ْ
‫ال‬
ُ‫ِ ِ ِ ْ َ اب‬ ‫م‬ ‫ه‬ ‫ب‬ ‫ام‬‫ش‬َّ ‫ال‬ ‫ل‬ِ ْ
‫ه‬ َ ‫أ‬ ْ
‫َن‬‫ع‬ ُ‫ف‬ ‫ر‬
َ ْ‫ُص‬ ‫ي‬‫و‬َ ِ ‫ء‬ ‫َا‬‫د‬‫ع‬ْ َ ‫أْل‬‫ا‬ ‫ى‬ َ ‫ل‬ ‫ع‬
َ ْ ِ ِ ُ َ ُ‫َوي‬
‫م‬ ‫ه‬‫ب‬ ‫ر‬ ‫َص‬ ‫ت‬ ْ
‫ن‬

)360 ‫ ص‬/ 2 ‫ (ج‬- ‫مسند أحمد‬

Artinya : "suatu ketika Ahli syam disebut-disebut di hadapan sayyidina Ali (ketika beliau di Irak)
lalu penduduk Irak berkata : laknatlah mereka wahai amirul mukminin. Sayyidina Ali
menjawab : tidak, saya pernah mendengar Rasulullah saw bersabda : wali abdal itu berada di
syam, mereka ada 40 orang, ketika satu orang meninggal maka Allah mengganti tempatnya
dengan orang lain. Karena merekalah penduduk syam diberi hujan, karena mereka penduduk
syam ditolong dari musuh dan karena mereka penduduk syam dihindarkan dari siksa"

‫ َد بن أَبِي‬G‫ ع َْن يَ ِزي‬،‫ ٍد‬Gِ‫ رُو بن َواق‬G‫ حَ َّدثَنَا َع ْم‬، ُّ‫وري‬ ِ G‫الص‬ُّ ‫ك‬ ِ ‫ َح َّدثَنَا ُم َح َّم ُد بن ْال ُمبَا َر‬،‫ َح َّدثَنَا أَبُو ُزرْ َعةَ َع ْب ُد الرَّحْ َم ِن بن َع ْم ٍرو ال ِّد َم ْشقِ ُّي‬ 
‫ل‬Gَ G‫ يَا أَ ْه‬:‫قَال‬
َ ‫ ثُ َّم‬،‫س‬ ٍ ْ‫ر‬GGُ‫هُ ِم ْن ت‬G‫ك َر ْأ َس‬Gٍ Gِ‫ فَأ َ ْخ َر َج عَوْ فُ بن َمال‬،‫ َسبُّوا أَ ْه َل ال َّش ِام‬،ُ‫ت ِمصْ ر‬ ْ ‫ لَ َّما فُتِ َح‬:‫ قَا َل‬،‫ب‬
ٍ ‫ ع َْن َشه ِْر بن َحوْ َش‬،‫ك‬ ٍ ِ‫َمال‬
‫ َوبِ ِه ْم‬،ُ‫دَال‬G‫"فِي ِه ُم األَ ْب‬:ُ‫ول‬GGُ‫ يَق‬،‫لَّ َم‬G‫ ِه َو َس‬G‫لَّى هَّللا ُ َعلَ ْي‬G‫ص‬
َ ِ ‫و َل هَّللا‬G‫ْت َر ُس‬ ُ ‫ ِمع‬G‫ ِام فَإِنِّي َس‬G‫الش‬ َّ ‫ َل‬G‫بُّوا أَ ْه‬G‫ ال ت َُس‬،‫ك‬ ٍ Gِ‫ أَنَا عَوْ فُ بن َمال‬, ‫ َر‬G‫ص‬ ْ ‫ِم‬
." َ‫ َوبِ ِه ْم تُرْ َزقُون‬، َ‫صرُون‬َ ‫تُ ْن‬

)434 ‫ ص‬/ 12 ‫ (ج‬- ‫المعجم الكبير للطبراني‬


 

Artinya : "ketika negara mesir dikuasai islam, penduduknya mencaci maki ahli syam, lalu Auf
bin Malik mengeluarkan kepalanya dari perisainya dan berkata : wahai penduduk mesir saya
adalah Auf bin Malik, janganlah kalian mencaci maki ahli syam karena saya pernah mendengar
Rasulullah saw bersabda : dalam ahli syam ada wali abdal. Karena merekalah ahli syam ditolong
dan karena merekalah ahli syam diberi rizki"

‫ « رب‬: ‫ال‬GG‫ أن النبي صلى هللا عليه وسلم ق‬، ‫ عن أنس بن مالك‬، ‫ عن حفص بن عبيد هللا‬، ‫ أنا أسامة بن زيد‬، ‫أنا جعفر بن عون‬ 
» ‫أشعث أغبر ذي طمرين لو أقسم على هللا ألبره‬

)361 ‫ ص‬/ 3 ‫ (ج‬- ‫مسند عبد بن حميد‬

Artinya : "Nabi Muhammad saw pernah bersabda : banyak orang yang amburadul rambutnya,
berdebu, dan hanya memiliki dua pakaian yang rusak, namun jika mereka bersumpah dengan
nama Allah maka Allah pasti akan meluluskan sumpah tersebut"

Jadi tugas mereka tidak kelihatan tapi berkahnya sangat besar bagi manusia. Lalu kenapa Allah
menjadikan dua hamba yang berbeda? memang sunatullah dalam menciptakan sesuatu ada yang
bervariasi sehingga tidak monoton. Kalau diciptakan seperti kelompok yang pertama maka
semua akan amar maruf tapi tidak ada yang bisa menjadikan bumi tenang dan kalau hanya yang
seperti kelompok kedua maka tidak akan ada amar maruf.

Ada orang ziarah pada syekh Ramdhan. Orang ini seperti orang yang gila namun dia dimulyakan
oleh syekh Ramdhan. Ketika ingin pulang syekh Ramdhan meminta doa agar Allah
memuliakannya sebagaimana orang tersebut. Lalu orang tersebut berkata : "kalau kamu seperti
saya nanti siapa yang mengurusi masyarakat". Lalu dengan cerita ini apakah bisa menunjukan
bahwa kelompok yang kedua lebih mulia dari pada kelompok yang pertama. Tidak, karena ini
semua hanyalah ciptaan dan sunnah Allah. Pada zaman nabi beliau pernah berpesan pada
shohabat umar agar beliau minta doa pada Uwais Al-qarany.

Lalu bagaimana sikap kita menghadapi dua hamba tersebut?. Hikmah Allah memang sangat
besar. Seandainya Allah memperlihatkan walinya maka semua yang tidak menjadi wali pasti
akan terlihat jelek, oleh karena itu Allah menutupinya. Dari sini kita harus selalu berkhusnu
dzon, jangan-jangan orang yang kelihatan jelek adalah wali Allah sehingga kita harus
memuliakannya. Lebih baik kita tunduk kepada orang walaupun sebenarnya dia tidak mulia
daripada kita sombong pada orang yang benar-benar mulia. Semua hamba tersebut (baik
kelompok pertama maupun kedua) dibantu oleh Allah swt sebagaimana dijelaskan dalam Al-
Qur'an :

َ ِّ‫ُكاًّل نُ ِم ُّد هَؤُاَل ِء َوهَؤُاَل ِء ِم ْن َعطَا ِء َرب‬


]20/‫) [اإلسراء‬20( ‫ك َو َما َكانَ َعطَا ُء َربِّكَ َمحْ ظُورًا‬

20. Kepada masing-masing golongan baik golongan Ini maupun golongan itu kami berikan
bantuan dari kemurahan Tuhanmu. dan kemurahan Tuhanmu tidak dapat dihalangi.

http://www.ppalanwar.com/news/178/22/HIKMAH-68-KHIDMAH-DAN-
MAHABBAH/d,detail_news_mawaidl/

8 pengertian cinta dalam Al-Qur'an


« on: July 02, 2009, 09:48:37 PM »

Menurut hadis Nabi, orang yang sedang jatuh cinta cenderung selalu
mengingat dan menyebut orang yang dicintainya (man ahabba syai'an
katsura dzikruhu), kata Nabi, orang juga bisa diperbudak oleh cintanya
(man ahabba syai'an fa huwa `abduhu). Kata Nabi juga, ciri dari cinta
sejati ada tiga : (1) lebih suka berbicara dengan yang dicintai
dibanding dengan yang lain, (2) lebih suka berkumpul dengan yang
dicintai dibanding dengan yang lain, dan (3) lebih suka mengikuti
kemauan yang dicintai dibanding kemauan orang lain/diri sendiri. Bagi
orang yang telah jatuh cinta kepada Alloh SWT, maka ia lebih suka
berbicara dengan Alloh Swt, dengan membaca firman Nya, lebih suka
bercengkerama dengan Alloh SWT dalam I`tikaf, dan lebih suka mengikuti
perintah Alloh SWT daripada perintah yang lain.

Dalam Qur'an cinta memiliki 8 pengertian berikut ini penjelasannya:

1. Cinta mawaddah adalah jenis cinta mengebu-gebu, membara dan


"nggemesi". Orang yang memiliki cinta jenis mawaddah, maunya selalu
berdua, enggan berpisah dan selalu ingin memuaskan dahaga cintanya. Ia
ingin memonopoli cintanya, dan hampir tak bisa berfikir lain.

2. Cinta rahmah adalah jenis cinta yang penuh kasih sayang, lembut,
siap berkorban, dan siap melindungi. Orang yang memiliki cinta jenis
rahmah ini lebih memperhatikan orang yang dicintainya dibanding
terhadap diri sendiri. Baginya yang penting adalah kebahagiaan sang
kekasih meski untuk itu ia harus menderita. Ia sangat memaklumi
kekurangan kekasihnya dan selalu memaafkan kesalahan kekasihnya.
Termasuk dalam cinta rahmah adalah cinta antar orang yang bertalian
darah, terutama cinta orang tua terhadap anaknya, dan sebaliknya. Dari
itu maka dalam al Qur'an , kerabat disebut al arham, dzawi al arham ,
yakni orang-orang yang memiliki hubungan kasih sayang secara fitri,
yang berasal dari garba kasih sayang ibu, disebut rahim (dari kata
rahmah). Sejak janin seorang anak sudah diliputi oleh suasana
psikologis kasih sayang dalam satu ruang yang disebut rahim.
Selanjutnya diantara orang-orang yang memiliki hubungan darah
dianjurkan untuk selalu ber silaturrahim, atau silaturrahmi artinya
menyambung tali kasih sayang. Suami isteri yang diikat oleh cinta
mawaddah dan rahmah sekaligus biasanya saling setia lahir batin-dunia
akhirat.

3. Cinta mail adalah jenis cinta yang untuk sementara sangat membara,
sehingga menyedot seluruh perhatian hingga hal-hal lain cenderung
kurang diperhatikan. Cinta jenis mail ini dalam al Qur'an disebut
dalam konteks orang poligami dimana ketika sedang jatuh cinta kepada
yang muda (an tamilu kulla al mail), cenderung mengabaikan kepada yang
lama.

4. Cinta syaghaf. Adalah cinta yang sangat mendalam, alami, orisinil


dan memabukkan. Orang yang terserang cinta jenis syaghaf (qad
syaghafaha hubba) bisa seperti orang gila, lupa diri dan hampir-hampir
tak menyadari apa yang dilakukan. Al Qur'an menggunakan term syaghaf
ketika mengkisahkan bagaimana cintanya Zulaikha, istri pembesar Mesir
kepada bujangnya, Yusuf.

5. Cinta ra'fah, yaitu rasa kasih yang dalam hingga mengalahkan


norma-norma kebenaran, misalnya kasihan kepada anak sehingga tidak
tega membangunkannya untuk salat, membelanya meskipun salah. Al Qur'an
menyebut term ini ketika mengingatkan agar janganlah cinta ra`fah
menyebabkan orang tidak menegakkan hukum Allah, dalam hal ini kasus
hukuman bagi pezina (Q/24:2).

6. Cinta shobwah, yaitu cinta buta, cinta yang mendorong perilaku


penyimpang tanpa sanggup mengelak. Al Qur'an menyebut term ni ketika
mengkisahkan bagaimana Nabi Yusuf berdoa agar dipisahkan dengan
Zulaiha yang setiap hari menggodanya (mohon dimasukkan penjara saja),
sebab jika tidak, lama kelamaan Yusuf tergelincir juga dalam perbuatan
bodoh, wa illa tashrif `anni kaidahunna ashbu ilaihinna wa akun min al
jahilin (Q/12:33)

7. Cinta syauq (rindu). Term ini bukan dari al Qur'an tetapi dari
hadis yang menafsirkan al Qur'an. Dalam surat al `Ankabut ayat 5
dikatakan bahwa barangsiapa rindu berjumpa Allah pasti waktunya akan
tiba. Kalimat kerinduan ini kemudian diungkapkan dalam doa ma'tsur
dari hadis riwayat Ahmad; wa as'aluka ladzzata an nadzori ila wajhika
wa as syauqa ila liqa'ika, aku mohon dapat merasakan nikmatnya
memandang wajah Mu dan nikmatnya kerinduan untuk berjumpa dengan Mu.
Menurut Ibn al Qayyim al Jauzi dalam kitab Raudlat al Muhibbin wa
Nuzhat al Musytaqin, Syauq (rindu) adalah pengembaraan hati kepada
sang kekasih (safar al qalb ila al mahbub), dan kobaran cinta yang
apinya berada di dalam hati sang pecinta, hurqat al mahabbah wa il
tihab naruha fi qalb al muhibbi

8. Cinta kulfah. yakni perasaan cinta yang disertai kesadaran mendidik


kepada hal-hal yang positip meski sulit, seperti orang tua yang
menyuruh anaknya menyapu, membersihkan kamar sendiri, meski ada
pembantu. Jenis cinta ini disebut al Qur'an ketika menyatakan bahwa
Allah tidak membebani seseorang kecuali sesuai dengan kemampuannya, la
yukallifullah nafsan illa wus`aha (Q/2:286)

http://www.ponorogozone.com/index.php?topic=3878.0
Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 129
 

Oleh : Ustadz Fakhrurrozi

Disampaikan dalam pengajian rutin tafsir Al Qur'an setiap Jum'at   pk. 06.00-07.00     di
Gedung Perpustakaan SMA 1 Al Islam Surakarta

  Honggowongso, April 2010,

 Ya Tuhan kami, utuslah untuk mereka sesorang Rasul dari kalangan mereka sendiri, yang
akan membacakan kepada mereka ayat-ayatMu, dan mengajarkan kepada mereka Al
kitab (Al Quran) dan Al-Hikmah (As-Sunnah) serta mensucikan mereka. Sesungguhnya
Engkaulah yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana. (Surat Al Baqarah ayat 129)

 Kalau kita kaitkan dengan ayat sebelumnya, dimana yang berdoa ini adalah Nabi Ibrahim dan
Ismail, maka yang dimaksud Rasul disini adalah Nabi Muhammad SAW. Ini juga sesuai dengan
Surat At Taubah ayat 128:

Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya
penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, sangat belas kasih
lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.(Surat Attaubah ayat 128)

Ayat ini menunjukkan betapa besar cinta (mahabbah) Nabi kepada umatnya, maka begitu pula
seharusnya mahabbah kita kepada Nabi. Beliau saat mau dipanggil Allah saja yang beliau
ucapkan : ummatii...  ummatii ... yang menunjukkan besarnya cinta beliau kepada kita umatnya,
Dalam ayat 129 surat Albaqarah tersebut ada arah tazkiyatunnafs atau penyucian jiwa, dimana
pada ayat itu disebutkan wayuzakkiihim... Dan (tugas Rasul itu) mensucikan mereka...

 Adapun cara untuk mencapai tazkiyatunnafs itu adalah dengan jalan :

 Pertama, tilawah. Yakni mengajarkan tilawah, atau membacakan ayat-ayat Al Qur'an.

Talaa -yatluu itu berbeda dengan qara-a. Talaa-yatluu-tilawah itu mengandung arti membaca Al
Qur'an dengan dibimbing guru, yang  dalam hal ini Malaikat Jibril yang membimbing Nabi.
Kalau qara-a itu memiliki arti membaca, ya sekedar membaca, bisa tanpa guru atau
pembimbing.

Sedangkan yang dimaksud dengan ayat-ayat Allah itu ada tiga macam, yaitu ayat Kauniyah,
ayat-ayat Qur'aniyah, dan ayat-ayat Qolbiyah. Ini berdasarkan ayat :

 Iqra' bismi robbikalladzii kholaqa (Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu Yang Telah
Menciptakan). Segala sesuatu yang Allah ciptakan disebut ayat Kauniyah
 Yang kedua iqra' dikaitkan dengan qalam (pena): Alladzii ‘allama bilqolam. Ini yang dimaksud
ayat Qur'aniyah
 Yang ketiga iqra' dikaitkan dengan catatan (yang ada yang ada di dalam hati): Iqra' kitaabak. Ini
yang disebut ayat qolbiyah.

Jadi sesuai dengan prinsip tilawah, dimana Nabi dituntun bacaannya oleh Malaikat Jibril. Maka
orang belajar AlQur'an itu juga harus ada yang menuntun, bagaimana bacaannya, bagaimana 
memahami, dan bagaimana menghayati AlQur'an. Kalau tidak ada yang menuntun, akan keliru.

 Kedua, Mengajari Alkitab (AlQur'an) dan Alhikmah (Asunnah). Bisa juga Alkitab diartikan
yang tertulis/tersurat, sedangkan Alhikmah diartikan yang tidak tertulis/tersirat.

Alqur'an adalah yang tersurat. Petunjuk (hudan) dari AlQur'an  bisa dijelaskan dengan bayan
(keterangan). Bayan ini yang tahu adalah Rasulullah saw. Inilah yang disebut Assunnah. Oleh
karena itu beliau bersabda:

Man fassaral qur'ana biro'yihi fatabawwa' maq'adahuu minannaar.. ("Barangsiapa yang


menafsirkan Alqur'an dengan akalnya maka tempat duduknya di neraka")

Dalam memahami ayat, orang bisa saja berbeda tingkat sesuai dengan tahapan pemahaman yang
dilalui. Seperti memahami tentang ayat yang memerintahkan kita untuk bersyukur:
 

dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti
Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), Maka
Sesungguhnya azab-Ku sangat pedih".(Surat Ibrahim ayat 7)

 Tingkatan pertama dalam memahami makna bersyukur adalah Asyukru huwa tom'u...(Syukur itu
dilakukan karena mendapat sesuatu karunia dari Allah SWT)
 Tingkatan berikutnya Asyukru ‘ala syukri (mensyukuri atas perbuatannya bersyukur ). Misalnya
setelah minum kita mengucap Alhamdulillah atas minuman tadi. Setelah itu kita bersyukur
karena ternyata kita bisa berbuat mensyukuri nikmat Allah tadi. Jadi ini merupakan perbuatan
syukur beruntun.
 Tingkatan selanjutnya adalah Asyukru huwasyukru (Bersyukur itu ya bersyukur itu sendiri), Jadi
bersyukur bukan karena ingin mendapatkan sesuatu, tetapi karena perintah Allah, seperti pada
ayat diatas.

Jadi sekali lagi, kita harus bisa membaca apa yang tersurat dan tersirat dari AlQur'an. Jadi ketika
kita sedang memahami ayat AlQur'an maka apakah hudan-nya dan apakah bayan-nya?

Misalkan dalam Surat Al An'am ayat 59:

"dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali
Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun
yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji-pun dalam
kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab
yang nyata (Lauh Mahfudz)" (Surat Al An'am ayat 59)
Pemahaman ayat tersebut bukan sekedar menceritakan fenomena alam dimana ada daun yang
gugur entah karena angin atau yang lainnya.  Justru hudan dari ayat itu sebenarnya adalah bahwa
Allah itu adalah Dzat Yang Maha Mengetahui.

Mengenai tafsir Alqur'an, kitab-kitab tafsir yang disusun oleh para ahli tafsir dahulu bersifat
dirinci. Sedangkan DR.Qureisysyihab saat ini mengembangkan tafsir maudhu'I, yakni tafsir yang
bersifat tematik. Beliau mengumpulkan ayat-ayat dan keterangannya berdasarkan tema tertentu.
Misalnya masalah sholat. (ws)

http://www.yayasanalislam.com/?pilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id=96

TAFSIR IBN KATSIR

‫ين آ َمنُو ْا‬ َ ‫ُون هّللا ِ أَن َداداً يُ ِح ُّبونَ ُه ْم َك ُح ِّب هّللا ِ َوالَّ ِذ‬
ِ ‫س َمن يَتَّ ِخ ُذ ِمن د‬ ِ ‫َو ِم َن النَّا‬
َ ‫ين ظَلَ ُمو ْا إِ ْذ يَ َر ْو َن ا ْل َع َذ‬
َّ‫اب أَنَّ ا ْلقُ َّوةَ هّلِل ِ َج ِميعا ً َوأَن‬ َ َ‫أ‬
َ ‫ش ُّد ُحبًّا هّلِّل ِ َولَ ْو يَ َرى الَّ ِذ‬
‫ب‬ ِ ‫ش ِدي ُد ا ْل َع َذا‬
َ َ ‫هّللا‬
Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka
mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat
cintanya kepada Allah. Dan jika seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu mengetahui ketika
mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya, dan bahwa
Allah amat berat siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal).

Daftar isi
[sembunyikan]

 1 Tafsir Ibnu Katsir


o 1.1 "Adapun orang-orang yang beriman sangat cinta kepada Allah."
o 1.2 "Andaikan orang-orang zalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa, (niscaya
mereka sadar) bahwa seluruh kekuatan itu milik Allah."
o 1.3 "Dan bahwa azab Allah itu sangat berat."
 2 Tafsir Lain

Tafsir Ibnu Katsir

Allah Ta'ala menceritakan kondisi orang-orang yang menyekutukan-Nya ketika di dunia dan
azab yang bakal mereka terima di akhirat lantaran mereka menjadikan beberapa tandingan untuk
Allah yang disembah dan dicintai seperti mencintai-Nya, padahal Dia adalah Tuhan yang tiada
tara dan tiada sekutu bagi-Nya. Dalam shahihain dikatakan dari Abdullah bin Mas'ud, dia
berkata, "Saya bertanya, wahai Rasulullah, dosa apakah yang paling besar? Beliau ber-sabda,
'Bila kamu membuat tandingan untuk Allah padahal Dialah yang menciptakanmu.'"

Firman Allah,

"Adapun orang-orang yang beriman sangat cinta kepada


Allah."
Oleh karena itu, mereka tidak menyekutukan-Nya, mereka menyembah Dia semata, bertawakal
kepada-Nya, dan senantiasa bergantung kepada-Nya.

Kemudian, Allah mengancam kaum musyrik. Dia berfirman,

"Andaikan orang-orang zalim itu mengetahui ketika mereka


melihat siksa, (niscaya mereka sadar) bahwa seluruh
kekuatan itu milik Allah."
Asal Firman itu kira-kira demikian, "Apabila mereka melihat azab secara nyata, niscaya pada
saat itu mereka sadar bahwa seluruh kekuatan itu kepunyaan Allah dan bahwa segala perkara itu
ada di bawah otoritas dan kekuasaan-Nya."

"Dan bahwa azab Allah itu sangat berat."


Seandainya mereka mengetahui apa yang dilihatnya secara nyata di sana dan azab yang akan
ditimpakan kepada dirinya karena kemusyrikan dan kekafiran mereka, niscaya mereka akan
menghentikan kesesatan yang tengah dilakukannya.

http://superpedia.rumahilmuindonesia.net/wiki/Tafsir_Ibnu_Katsir_Surah_Al_Baqarah_ayat_165

   Tafsir Surat Ali-Imran ayat 31 - 32         


(31) Katakanlah: Jika memang kamu cinta kepada Allah, maka turutkanlah aku, niscaya cinta
pula Allah kepada kamu dan akan diampuniNya dosa-dosa kamu. Dan Allah adalah Maha
Pengampun lagi penyanyang.

(32) Katakanlah: hendaklah kamu taat kepada Allah dan Rasul. Tetapi jika kamu berpaling,
maka sesungguhnya Allah tidak suka kepada orang-orang yang kafir.

Cintakan Allah
 

Disuruhlah kita selalu membaca al-Qur'an


dengan sebenar-benar baca, artinya dengan
menjurus kan fikiran kepadanya. Dengan
demikian kelak terasa hubungan di antara satu
ayat dengan ayat yang menyambutnya. Ujung
ayat 30 di atas menyatakan bahwa Tuhan Allah
itu amat sayang, amat kasih kepada hamba--
hambaNya. Sehingga orang yang pernah
bersalah diberi kesempatan mengikuti amalan
yang jahat dengan banyak-banyak berbuat baik
disertai memohon ampun. Tuhan selalu
bersedia menerima kedatangan hambaNya
yang demikian.
Apa kesan yang terasa dalam hati yang
beriman bila membaca sampai di sini? Ialah
cinta, kasih-sayang Tuhan kepada hambaNya.
Maka dengan sendirinyapun, dalam perasaan
si hamba terasalah pula keinginan membalas
cinta itu. Bertepuk tidak sebelah tangan
hendaknya. Dalam suasana rasa yang demikian
datanglah ayat lanjutan ini:

‫قُ ْل إِنْ ُك ْنتُ ْم تُ ِحبُّونَ هللاَ فَاتَّبِ ُعوني يُ ْحبِ ْب ُك ُم هللاُ َو يَ ْغفِ ْر لَ ُك ْم‬
‫ُذنُوبَ ُك ْم َو هللاُ َغفُو ٌر َرحي ٌم‬
katakanlah: Jika memang kamu cinta
"
kepada Allah, maka turutkanlah aku,
niscaya cinta pula Allah kepada kamu dan
akan diampuni Nya dosa-dosa kamu. Dan Al-
lah adalah Maha pengampun lagi
Penyayang." (ayat 31).

Maka perasaan yang tadinya masih terasa


samar-samar, laksana masih mencari-sari di
antara si hamba dengan Tuhannya, sekarang
rahasia itu telah terbuka. Mari kita uraikan ! .
"Engkau telah mengatakan dalam ujung
kataMu bahwa Engkau tetap belas-kasihan
kepada aku, hambaMu yang lemah ini, ya
Tuhanku ! Sebenarnya aku sendiripun begitu
kepada Engkau.

Aku cinta kepada Engkau ! Engkau berikan


kepadaku suatu perasaan yang halus, suatu
'iffah atau wijdan. Terasa dalam hati kecilku
bahwa tidak pernah aku lepas dari tilikanMu,
selalu aku Engkau bimbing, banyak nikmatMu
kepadaku. Aku selalu hanya menerima saja,
aku tidak dapat memberi kepadaMu.

Bagaimana aku akan dapat memberi sedang


nyawakupun, nyawa yang sedekat-dekatnya
kepadaku, Engkau yang punya. lantaran ituah
maka kasih cintaku kepada Engkau tumbuh
dengan mesranya. Aku takut kepada Engkau
karena Engkau. Hanya dengan sebuah
tempurung aku menerima nikmatMu yang
seluas lautan. Tetapi sungguhpun aku takut,
akupun rindu kepada Engkau. Aku cemas,
tetapi di dalam cemasku itu akupun
mempunyai penuh harapan.

Tuhanku ! Engkau ada ! Sungguh Engkau


ada ! Hatiku merasainya. Aku ingin sekali
berjumpa dengan engkau, tetapi aku tidak tahu
ke mana jalan. Dan aku Engkau takdirkan jadi
manusia. Aku sendiri tahu kelemahan dan
kekuranganku. Sebab itu kadang-kadang terasa
malu aku akan melihat Engkau, tetapi aku
hendak melihat juga. Tuhanku, tolong aku,
tolong aku. Tolong aku dalam penyelesaian
soalku ini."

Di sinilah datang jawaban Tuhan, dirumuskan


oleh ayat ini. Jika sungguh-sungguh engkau
cinta kepadaKu, maka jalan buat menemuiKu
mudah saja. Memang Aku Maha Mengetahui,
bahwa banyak hambaKu yang seperti engkau,
ingin menemuiKu, ingin bersimpuh di
hadapanKu, hatinya penuh dengan ingat
kepadaKu. Sebelum engkau Aku adakanpun
telah Kuketahui keinginan, kerinduan, dan
kecintaan itu. Untuk itulah aku utus RasulKu
kepadamu; dialah petunjuk jalan menuju aku
itu. "Hai utusanKu! Sampaikanlah pesanKu itu
kepada seluruh hambaKu yang rindu, asyik
dan cinta kepadaKu itu. Bentuklah sebuah
rombongan itu; zumaran, berbondong-
bondong. Tiap-tiap rombongan di bawah
pimpinan engkau, wahai utusanku! Katakanlah
kepada mereka wahai rasulKu, cinta mereka
Aku balas, bertepuk tidak sebelah tangan. Tadi
mereka menyebut bahwa mereka sebagai
manusia. pernah bersalah. Aku tahu itu, Aku
lebih tahu. Sebab Aku yang mengetahui asal
kejadian. Maka apabila rombongan itu telah
terbentuk, dan mereka telah berkumpul di
dalamnya, dan engkau sendiri yang
memimpin, tandanya mereka telah benar-benar
telah berjalan menuju Aku. Aku ampuni dosa
mereka. Aku mempunyai pula suatu nama
yang menunjukkan sifatKu yaitu tawwab,
artinya memberi taubat, menerima hambaKu
yang kembali. Akupun mempunyai suatu nama
menunjukkan sifatKu, yaitu ghafur, pemberi
ampun. Akupun rahim, amat penyayang.
Bagaimana akan kamu ketahui kebesaran
Asma'Ku itu, kalau yang bersalah di antara
kamu memohon ampun tidak Aku ampuni?"

Ingatlah kembali salah satu sebab turunnya


ayat ini, yaitu utusan dan rombongan Nasrani
60 orang dengan 14 orang terkemuka sedang
berada di Madinah.

Nabi Musa yang besar telah mengajarkan


kepada Bani Israil suatu ajaran yang berintisari
pengorbanan. Sifatnya ialah jalal, kemuliaan.
Nabi Isa Almasih yang agung telah membawa
lanjutan ajaran yang berdasar hubb, artinya
cinta. Sifatnya ialah jamal, keindahan.
Sekarangdatang Nabi Muhammad saw.
menyempurnakan penyerahan diri kepada
Tuhan itu, Islam. Sifatnya ialah kamal,
kesempurnaan. Nyatalah ayat-ayat ini
meninggalkan kesan yang mendalam juga
pada anggota-anggota utusan Nasrani itu;
Muhammad s.a.w, pun membicarakan dari hat
cinta.

Memang cintalah pintu pengajian itu, yang


selalu dibuka dengan ucapan:

"Dengan nama Allah Yang Maha Murah,


lagi Penyayang."
Tetapi cinta dalam ucapan sajapun tidaklah
cukup. Bahkan cinta hati tidak diikuti
pengorbanan tidaklah cukup. Menyatakan
cinta, padahal kehendak hati yang dicintai
tidak diikuti, adalah cinta palsu. Allah tidak
menyukai kepalsuan.

Kamu durhakai Allah, padahal kamu


menyatakan cinta kepadaNya. Ini adalah
mustahil dalam kejadian, dan ini adalah ganjil
Jika memang cintamu itu cinta sejati, niscaya
kamu taat kepadaNya. Sebab orang yang
bercinta, terhadap yang dicintainya, selalu
patuh.

Oleh sebab itu datanglah sambungan ayat:

ُ ‫قُ ْل أَطي ُعوا هللاَ َو ال َّر‬


‫سو َل‬
Katakanlah: hendaklah kamu taat kepada
"
Allah dan Rasul" (pangkal ayat 32).

Taatlah kepada Allah dan ikuti jejak rasul,


niscaya kamu akan yakin bahwa
bimbingannya tidak akan membawamu kepada
kecelakaan. Apabila kamu telah cinta kepada
sesuatu, tentu keinginan kamu adalah
keinginan dia. Apatah lagi cinta kepada Allah.
Kalau kamu telah cinta kepada Allah, niscaya
fanalah kesukaan dirimu sendiri, lebur ke
dalam kesukaan Allah. Niscaya bertaubat
kamu, hanya Satu Dia saja ingatanmu. Tidak
berbelah bagi. Kalau terbelah sedikit saja,
niscaya terbelah pula ketaatanmu, palsulah
cintamu. Taat kepada rasul adalah akibat taat
kepada Allah, sebab Rasul itu diutus buat
"menjemput kamu dan menunjukkan jalan
serta memimpin perjalanan itu sekali.

َ‫فَإِنْ ت ََولَّ ْوا فَإِنَّ هللاَ ال يُ ِح ُّب ا ْلكافِرين‬


"Tetapi jika kamu berpaling, maka
sesungguhnya Allah tidak suka kepada
orang-orang yang kafir "
(ujung ayat 32).

Maka adalah orang-orang yang terpacul,


tercampak ke luar dari rombongan. Ada yang
mengaku cinta kepada Allah, tetapi bukan
bimbingan Muhammad yang hendak
diturutinya, diapun tersingkir ke tepi. Dia
maghdhub, dimurkai Tuhan.Ada yang
mencoba-coba membuat rencana sendiri,
memandai-mandai, maka diapun terlempar
keluar, dia dhallin, diapun tersesat.Ada yang
tidak sabar, lantas tercecer di tengah jalan. Ada
yang terpesona oleh beberapa hal yang
disangka indah, sehingga dia lupa bahwa yang
akan dituju ialah yang sebenar-benar indah.

Orang-orang yang semuanya telah kafir,


artinya tidak percaya lagi kepada bimbingan
Tuhan; niscaya Tuhan tidak bisa mencintai
mereka. Sebab itu maka cinta yang sejati ialah
penyerahan diri bulat-bulat, bukan sayang
yang terbagi-bagi.

Dan mesti sabar menerima apa yang


ditimpakan kekasih. Sehingga kalau ada orang
yang mengatakan kepada kekasihnya: "
walaupun ke lautan api beta ini tuan bawa,
beta akan mengikutinya juga." Ucapan yang
demikian hanya layak kepada Tuhan, dan
Tuhan tidak akan membawa kecintaanNya ke
lautan api, melainkan ke dalam syurga.

Ayat-ayat inipun masih berhubungan rapat


dengan ayat yang diatasnya, tadi dilarang
orang yang beriman menghubungkan wilayah
dengan orang kafir, jangan mengangkat
mereka jadi pelindung atau jadi pemerintahan.
Kecuali kalau hendak menjaga dan
memelihara supaya jangan datang dari mereka
apa yang ditakuti. Kemudian datang ayat ini,
mengatakan bahwa cinta sejati hanya kepada
Allah dengan mengikuti Nabi saw. sudah itu
datang ayat yang lebih tegas menyuruh taat
kepada Allah dan Rasul. Maka kalau kita
renungkan pertalian ayat ini satu dengan yang
lain, nampaklah bahwa pokoknya orang yang
beriman tidak boleh berwilayah kepada orang
yang kafir, kecuali kalau sudah sangat
terpaksa. Tetapi orang-orang yang imannya
sudah sangat mendalam dan cintanya yang
pertama dan utama, yaitu Allah.

http://kongaji.tripod.com/myfile/Ali_Imran_ayat_31_32.htm

  Tafsir Suroh Ali-Imran Ayat 14 - 17        


(14) Diperhiaskan bagi manusia kesukaan kepada barang yang diingini, (yaitu) dari hal
perempuan dan anak laki-laki, dan berpikul-pikul emas dan perak, dan kuda kenderaan yang
diasuh, dan binatang-binatang ternak dan sawah-ladang. Yang demikian itulah perhiasan
hidup di dunia. Namun di sisi Allah ada (lagi) sebaik tempat kembali.

(15) Katakanlah: sukakah kamu aku ceritakan kepada kamu apa yang lebih baik daripada
yang demikian, di sisi Tuhan mereka, bagi orang-orang yang bertakwa? Ialah syurga-syurga,
yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, kekal mereka di dalamnya, dan isteri-isteri yang
suci, dan keridhaan dari Allah. Dan Allah melihat akan hamba-hambaNya.

(16) (Yaitu) orang-orang yang berkata: Ya Tuhan Kami , Sesungguhnya kami telah beriman.
oleh karena itu ampunilah bagi kami dosa-dosa kami, dan peliharakanlah kami dari siksaan
neraka.

(17) (Yaitu) orang-orang yang sabar dan orang-orang yang jujur dan orang-orang yang
sungguh-sungguh taat dan orang-orang yang membelanjakan harta dan orang-orang yang
memohon ampun di ujung malam.
Menurut riwayat dari penulis-penulis sejarah
hidup Rasulullah saw, ketika utusan-utusan
Nasrani dari Najran itu datang, mereka
memakai pakaian yang indah-indah, sutera
dewangga. Dan terberita lagi bahwa pakaian-
pakaian yang indah dan mewah, perhiasan,
sampai ada salib emas, semuanya itu adalah
pemberian dari Raja Romawi yang berkuasa di
Timur, yang berkedudukan pada waktu itu di
Syam, yaitu Raja Heraclius.

Menurut setengah riwayat bahwa kepala


perutusan keberatan mengakui kebenaran
Rasulullah saw, oleh karena jaminan hidup dan
kemegahan dan perhiasan yang mahal-mahal
itu niscaya akan dicabut kembali oleh Raja
Heraclius kalau mereka menukar agama.

Kata riwayat itu pula, sahabat-sahabat Nabi


saw yang ada di Madinah, yang hidup miskin
terpesona oleh pakaian mereka yang indah-
indah itu. Oleh sebab itulah kata ahli-ahli
sejarah itu maka turun ayat ini .

Menurut riwayat dari Imam ar-Razi pula,


seorang bangsawan Arab Nasrani yang
bernama Alqamah, pernah mengakui terus-
terang kepada saudaranya yang telah masuk
Islam bahwa dalam hatinya dia membenarkan
dan mengakui kerasulan Nabi Muhammad
saw, Cuma katanya kalau dia masuk Islam,
segala kemewahan dan kebesaran yang telah
dianugerahkan oleh Raja Romawi akan
dicabut kembali dari dia.

Dan ada pula riwayat bahwa setelah kaum


Muslimin mendapat kemenangan gilang-
gemilang dalam peperangan Badar, Rasulullah
pernah mengajak kaum Yahudi di Madinah
supaya masuk Islam, tetapi mereka tidak mau ,
melainkan mereka banggakan kekuatan,
kebesaran jumlah harta mereka dan
kelengkapan senjata mereka. Maka menurut
riwayat itu , inilah sebab turun ayat ini.

Memberi peringatan bahwa semuanya itu


hanyalah sesuatu yang diperhiaskan saja oleh
syaitan bagi manusia, karena keinginan--
keinginan syahwat.Terlepas daripada menilai
sebab-sebab turun ayat menurut dua tiga
riwayat itu, sekarang kita kaji isi ayat itu
sendiri.

ِ ‫ُز ِّينَ لِل َّن‬


‫اس‬
"Diperhiaskan bagi manusia kesukaan kepada
barang yang diingini, "
(pangkal ayat 14).

Di sini telah terdapat tiga kata.

Pertama Zuyyina , artinya diperhiaskan.


Maksudnya segala barang yang diingini itu
ada. baiknya dan ada buruknya, tetapi apabila
keinginan telah timbul, yang kelihatan hanya
eloknya saja dan lupa akan buruk atau
susahnya.

Kata, kedua ialah Hubb , artinya kesukaan


atau cinta.

Kata ketiga ialah Syahwat , yaitu keinginan-


keinginan yang menimbulkan selerayang
menarik nafsu buat mempunyainya. -Maka
disebutlah di sini enam macam hal yang
manusia sangat menyukainya karena ingin
hendak mempunyai dan menguasainya,
sehingga yang nampak oleh manusia hanyalah
keuntungannya saja, sehingga manusia tidak
memperdulikan kepayahan buat naencintainya.

‫ناطير‬
ِ ‫ت مِنَ ال ِّنساءِ َو ا ْل َبنينَ َو ا ْل َق‬ َّ ‫ب ال‬
ِ ‫ش َهوا‬ ُّ ‫ُح‬
‫س َّو َم ِة َو‬ َ ‫ِض ِة َو ا ْل َخ ْي ِل ا ْل ُم‬
َّ ‫ب َو ا ْلف‬ َّ َ‫ا ْل ُم َق ْن َط َر ِة مِن‬
ِ ‫الذ َه‬
ِ ‫عام َو ا ْل َح ْر‬ َ
‫ث‬ ِ ‫اأْل ْن‬
"(yaitu) diri hal perempuan dan anak laki-laki,
dan berpikul-pikul emas dan perak, dan kuda
kendaraan yang di asuh , dan binatang-
binatang tewrnak ; dan sawaah ladang "

Itulah enam macam yang sangat disukai,


diinginkan dan dengan berbagai macam usaha
manusia ingin mempunyainya.

Pertama: Perempuan

Sudah ditakdirkan oleh Tuhan bahwa tiap-tiap


orang laki-laki apabila bertarnbah
kedewasaannya bertambah pulalah
keinginannya hendak mempunyai teman hidup
orang perempuan. Apabila syahwat kepada
perempuan itu sedang tumbuh dan mekar,
maka seluruh tubuh orang perempuan itu
laksana besi berani buat menumbuhkan
syahwat si laki-laki hendak mempunyainya.
"Zuyyina", diperhiaskan kepadanya, sehingga
meskipun misalnya telah didapatnya
perempuan itu, hanya kesusahan yang akan
dihadapinya, tidaklah diperdulikannya.
Adapun keinginan kepada perempuan itu
adalah syahwat yang mesti ada pada tiap laki-
lak .

Kalau tidak ada syahwatnya kepada


perempuan, itulah laki-laki sakit. Allah
mentakdirkan bahwa laki-laki mengingini
perempuan adalah mengandung hikmat yang
lebih dalam, yaitu karena. hendak
menyambung keturunan, hendak menjalin
hidup berdua, sebab yang satu akan
mencukupkan yang lain, Tetapi kalau syahwat
si laki-laki tidak terkendali, niscaya dia tidak
memperdulikan hikmatnya, hanyalah
melepaskan syahwatnya, lalu zinalah yang
terjadi, dan kalau mereka beranak, kacaulah
keturunan.

Maka agamapun mengajarkan penyaluran


syahwat itu, mencari jodoh, mencari isteri
untuk teman hidup, dengan jalan yang halal.
Baik sebelum jodoh bertemu atau sesudahnya,
sebahagian besar hidup manusia adalah
didorong oleh cinta kepada perempuan. Ada
manusia yang jatuh bangkit lagi karena
digiurkan oleh senyum perempuan. Tetapi
tidak kurang pula manusia yang naik bintang
kehidupannya, karena dorongan perempuan.
Ahli ilmu jiwa yang terkenal, Prof. Freud,
malahan memusatkan seluruh kegiatan hidup
rnanusia kepada soal hubungan laki-laki dan
perempuan belaka yang dinamainya: libido.

Tuhan Adil. Di dalam ayat ini tidak disebutkan


yang sebaliknya, yaitu bahwa perempuan
tergila-gila kepada laki-laki. Perempuan yang
tergila-gila kepada laki-laki diumpamakan
tidak ada saja, karena sangat jarang. Yang
jarang itu ialah perempuan-perempuan yang
tidak beres (abnormal). Umumnya pada
perempuan hanyalah kesetiaan, penyerahan
diri dan kelemah-lembutan. Tetapi kesetiaan,
penyerahan diri dan kelemah-lembutan itulah
pula yang membuat laki-laki tambah
terpesona. Memang, pada perempuan diadakan
juga syahwat. Tetapi latar-belakang dari
syahwat perempuan ialah karena insting atau
naluri hendak mengasuh anak.

Di masa muda, di kala gelora syahwat kelamin


masih sedang naik, cinta kasih suami-istri
masih dipengaruhi urusan persetubuhan.
Sehingga ahli-ahli Biologi yang mengatakan
bahwa cinta suami-istri itu ialah kepuasan
bersetubuh. Orang yang tidak menyadari
hikmat syahwat yang dihiaskan Tuhan itu
tidaklah akan merasa puas dengan satu
perempuan, karena daya tarik tiap-tiap
perempuan itu adalah sebanyak dirinya. Kalau
kita misalkan bahwa penduduk dunia ini di
zaman sekarang ada 3.000.000.000 (tiga
milyar) orang, yang separohnya adalah
perempuan. Allah mentakdirkan bahwa 1,5
milyar perempuan di dunia ini membawakan
daya tarik sendiri-sendiri. Tetapi manusia yang
insaf hanya memilih dan menetapkan satu,
meskipun Islam mengizinkan sampai empat.
Baik satu, ataupun sampai empat, dan telah
ada hubungan dengan jalan halal, namun
pesona perempuan tidak juga kurang dari yang
empat itu. Engkau sadar, ataupun tidak sadar,
namun sikap hidupmu setiap hari dipengaruhi
oleh isterimu. Dan kalau keduanya sudah
sama-sama tua, syahwat setubuh sendirinya
sudah menurun, ataupun habis (berhenti) masa
haidh perempuan pada umumnya menjelang
usia 50 dengan 55 tahun.

Kalau umur sama panjang dan sama menjelang


tua, syahwat setubuh bertukar menjadi
syahwat keinginan ada perlindungan; ataupun
sama lindung-melindungi. Mendirikan rumah-
tangga bahagia, melalui peredaran hidup dari
tahun ke tahun, yang bergelombang dan
tenang, yang bergelora dan berangin sepoi.
Pendeknya perhiasan kesukaan kepada
perempuan karena keinginan syahwat, adalah
hikmat yang tertinggi dari Tuhan untuk
melengkapkan hidup.

Kedua: Anak Laki-laki

Di ayat ini disebut banin , ditonjolkan


kesukaan karena ingin mempunyai anak,
terutama anak laki-laki, termasuk hal yang
dihiaskan pula bagi manusia. Dia menjadi
yang kedua sesudah kesukaan syahwat
perempuan. Anak adalah hasil utama dan
pertama dari hubungan dengan perempuan
tadi. Kalau syahwat kepada perempuan pada
kulitnya karena syahwat faraj atau setuubuh ,
pada batinnya ialah karena kerinduan
mendapat keturunan. Sekali lagi kita katakan:
Tuhan Adil! Pada yang pertama disebutkan
bahwa laki-laki menginginkan perempuan,
tetapi pada yang kedua diterangkan bahwa
laki-laki menginginkan anak laki-laki. Jika
disini tidak disebut menginginkan anak
perempuan, karena yang akan
menginginkannya bukan lagi ayahnya, tetapi
ibunya.

Memang, oleh karena keinginan kepada anak


laki-laki sebagai penyambung turunan, sedang
anak perempuan setelah dewasa hanya akan
menjadi penghuni rumah orang lain, maka di
zaman jahiliyah tidak suka kepada anak
perempuan itu sampai membawa kepada
benci. Mereka malu mendapat anak
perempuan . Muka mereka menjadi hitam bila
orang mengabarkan bahwa mereka telah dapat
anak perempuan, bahkan sampai ada yang
menguburkan anak perempuan itu hidup-
hidup. Maka di dalam ayat ini masih
dibayangkan bahwa keinginan mendapat anak
laki-laki itu lebih juga utama bagi mereka
daripada mendapat anak perempuan.

Kedatangan Islam dan teladan yang diberikan


Rasulullah saw tentang mencintai anak
perempuan , itulah yang telah memperbaiki
jiwa mereka sehingga kekejaman menjadi
hilang. Rasulullah saw menyayangi anak-anak
perempuannya: Fatimah az-Zahra', Zainab,
Ummu Kultsum dan Ruqaiyah. Malahan pada
waktu sakit akan meninggal, belau raih bahu
Fatimah dan beliau berbisik. Lalu Fatimah
menangis , Kemudian beliau raih lagi dan
beliaupun berbisik pula; Fatimah tesenyum
girang .

Beberapa lamma kemudian baru


diceritakannya , bahwa ayahnya membisiki
yang pertama menyebabkan dia menangis
ialah karena beliau berkata bahwa di antara.
ummatnya yang begitu banyak dia sendirilah,
Fatimah, yang akan dahulu sekali menuruti
beliau. Dan tidak sampai enam bulan di
belakang meninggal pulalah Fatimah, sebagai
orang yang pertama meninggal dunia sesudah
Rasulullah saw meninggal.

Demikian Rasulullah memperlihatkan contoh


kasih mesra kepada anak-anak perempuan.
Sampai ada sabda beliau, bahwa barangsiapa
yang dipikuli Allah dengan cobaan,
dianugerahi anak perempuan, lalu dididiknya
anak perempuan itu baik-baik lalu
dicarikannya suami dengan baik , anak itu
akan menjadi syafaatnya juga di akhirat .

Maka dengan teladan Rasulullah saw yang


seketika anaknya Ruqaiyah meninggal, beliau
sendiri yang menyediakan kafan dan baju yang
akan dipakaikan pada jenazahnya kelak,
diulurkannya satu demi satu dari balik tabir
tempat mayatnya dimandikan. Meninggal
Ruqaiyah, lalu dikawinkannya suami
Ruqaiyah itu dengan adiknya Ummu Kultsum.
Suami kedua anak perempuan itu ialah Usman
bin Affan sendiri. Kemudian Ummu Kultsum
pun meninggal pula, sehingga Usman dua kali
kematian isteri. Ketika itu Rasulullah berkata
kepada Usman: "Sayang Usman aku tidak
mempunyai lagi anak perempuan yang ketiga.
Kalau ada lagi adiknya, dengan dia juga
engkau akan saya kawinkan ."

Demikianlah contoh-contoh yang


mengharukan dari hal kasih Rasul saw kepada
anak perempuannya, yang mengesankan dan
mempertinggi budi bangsa Arab. Tetapi dalam
hati kecil mereka tetaplah anak laki-laki lebih
utama. Sampai kepada zaman kita ini pun,
kuranglah gembira orang Arab hendak
menceritakan kepada temannya bahwa
isterinya telah melahirkan anak perempuan,
dan dia akan gembira dan temannya akan
menyambut pula dengan gembira , kalau dia
memberitakan baru mendapat laki-laki.

Di waktu masih kecil anak-anak laki-laki


sebagai perhiasan mata karena lucunya, karena
dia tumpuan harapan, maka setelah dia besar,
dia menjadi kebanggaan karena kejayaan
(sukses) hidupnya. Sehingga ada orang tua-tua
yang tidak bosan-bosan memuji anak laki-
lakinya di hadapan orang lain, dengan tidak
memperdulikan apakah orang lain itu telah
bosan mendengarkan atau tidak. Keinginan
dan kebanggaan dengan anak laki-laki ialah
gejala dari kesadaran manusia bahwa dia akan
mati. Dia pasti mati, tetapi di dalam instingnya
ada pula keinginan hidup terus. Hidup itu akan
diteruskan oleh anak, dan anak akan beranak
dan bercucu pula. Kadang-kadang pula
didorong oleh perasaan akan adanya pelindung
di hari tua.

Perangai manusia itu kadang-kadang ganjil-


ganjil dan lucu. Di waktu muda belia seorang
ayah membimbing anaknya dan memarahi
kalau anak bersalah. Tetapi setelah dia tua, dia
menjadi kekanak-kanakan. Kadang-kadang dia
akan menangis seperti anak-anak kalau
sekiranya anaknya. mencium tangannya atau
mukanya .

Dia merasai suatu nikmat yang amat besar dan


mengharukan apabila anak-anaknya
menunjukkan cinta kepadanya . teringat saya
akan ayah saya dihari tuanya . Karena iseng
dia menimba air sumur . setelah kelihatan oleh
kami anak-anaknya ( saya dan Wadud ) , kami
lekas-lekas datang dan dengan lemah lembut
meminta timba itu dari tangan beliau dam
kami yang menimba .
Beliau senyum dan bangga karena dilarang
menimba air sumur itu , sebab ember penimba
itu berat . Wadud berkata : " Biar kami saja
yang menimbanya , Buya ! ember itu berat . "
Beliau tersenyum tetapi airmatanya
menggelenggang . Hal itu tidak dapat saya
lupakan selama hidup dan bertambah saya
meningkat tua pula , saya teringat kembali hal
itu , setelah merasainya pula dari anak !.

Ketiga: "Berpikul-pikul Emas dan Perak

Yaitu kekayaan. Manusia semuanya


mempunyai keinginan mempunyai kekayaan
emas dan perak. Di dalam ayat disebut emas
dan perak, karena memang ukuran (standard)
kekayaan yang sebenarnya ialah emas-perak.
Walaupun satu waktu kita hidup dengan uang
kertas, namun uang kertas itu mesti
mempunyai sandaran (dekking) emas di dalam
bank. Tidak akan tercapai banyak maksud
kalau tidak ada uang. Kita mempunyai
keinginan banyak hendaknya uang itu ,
malahan di dalam ayat disebut berpikul-pikul,
karena sangat banyaknya. Keinginan
mempunyai kekayaan itu tidaklah ada
batasnya. Dari kecil sampai besar, dari muda
sampai tua, dari hidup sampai mati, tidak ada
manusia menginginkan kekayaan dengan
terbatas. Manusia ingin harta satu juta. Tetapi
setelah satu juta, kalau bertambah lagi,
menjadi 100 juta, manusia masih ingin 1.000
juta. Sehingga Nabi kita saw pernah bersabda:

"Kalau adalah bagi anak Adam dua buah


lembah dari emas , masihlah dia
menginginkan yang ketigo. Tapi tidaklah yang
akan memenuhi perut anak Adam selain tanah
, Dan Allah akan memberi taubat pada yang
taubat " (Bukhari dan Muslim dari hadits Ibnu
Abbas).

Keinginan kepada harta tidaklah terbatas,


padahal hidup itu sendiri terbatas, Kalau
manusia tidak membatasi seleranya, sampai
matinya dia tidak akan merasa puas dengan
yang ada.

Keempat Kuda Kenderaan yang


Diasuh

Di zaman dahulu, di kala ayat ini diturunkan,


yang diasuh dan dipingit, diberi pelana dan
sanggurdi ialah kuda. Disikati bulunya dan
diistimewakan makannya , schingga sampai ke
zaman kita sekarang ini amat masyhurlah kuda
tunggang Arab di seluruh dunia Mempunyai
kuda tangkas itupun menjadi satu keinginan ,
dihiaskan Tuhan kesukaan mempunyainya.
Dia alat penghubung dari satu tempat ke lain
tempat.

Dia kenderaan intimewa di dalam perang dan


di dalam damai. Di waktu kecil penulis Tafsir
ini masih mendapati datuk-datuk di kampung
kami, mempunyai kenderaan memakai genta,
yang dari jauh sudah kedengaran bunyinya. Di
zaman negeri kami masih memakai pangkat
Tuanku Laras, masyhurlah "Kuda Tuanku
Laras." Untuk memelihara kuda, di negeri
kami Minangkabau sehingga diadakan pacuan
kuda menurut adat tiap-tiap tahun pada
beberapa negeri. Lantaran itu maka kenderaan
kuda bukan saja sebagai perhiasan melainkan
menjadi pelengkap hidup yang mesti (vital),
sebagai rangkaian dari yang sebelumnya, yaitu
kekayaan emas-perak, anak-cucu dan isteri
yang setia.

Di zaman kita sekarang mundurlah kuda


kendaraan yang dipingit dan naiklah
kepentingan kenderaan bermotor. Dia menjadi
alat perlengkapan hidup di zaman modern,
sehingga mobil tidak lagi barang mewah,
tetapi barang penting. Jalan jalan raya di
seluruh dunia telah diubah pembuatannya
daripada 100 tahun yang lalu, di zaman
memakai gerobak dan pedati. Maka
dihiaskanlah dalam hati manusia keinginan
memakai kendaraan. Timbullah perlombaan
merk mobil dan model mobil. Sehingga ada
orang yang gila mobil. Apatah lagi industri-
industri mobil itu tidak henti-hentinya
mengubah model tiap-tiap tahun, karena
kepentingan berniaga, sehingga melihat model
yang baru, orang jadi bosan dengan model
mobilnya yang telah dianggap usang.

Kelima: Binatang-binatang Ternak

Kalau kenderaan bermotor adalah alat penting


dalam kehidupan kota, maka binatang ternak
amat penting dalam kehidupan di padang-
padang yang luas, sebab pengikut Nabi
Muhammad saw bukan orang kota saja. Pada
kehidupan suku-suku Badwi, hitungan
kekayaan ialah pada binatang ternak. Berapa
puluh ekor unta, kerbau dan lembunya, berapa
ratus ekor kambing dan domba dan biri-
birinya. Di negeri kita sendiri kekayaan kaum
Muslimin di pulau Sumbawa dan pulau
Lombok ditentukan oleh beberapa puluh atau
beberapa ekor memelihara lembu dan berapa
pengirimnya ke Jawa atau ke Singapura dalam
setahun .
Keenam : dan Sawah-Ladang

Kekayaan dari perkebunan dan pertanian.


Teringatlah kita akan luas-luasnya sawah di
Sindenreng dan Wajo di Sulawesi. Teringat
kita perkebunan karet di Kalimantan. Tetapi
sebelum mengukurnya kepada negeri kita,
teringatlah kita betapa luas-luasnya kebun di
sekeliling kota Madinah di zaman dahulu.
Teringat kita bagaimana setelah kaum
Muslimin menyeberang ke Andalusia
(Spanyol) mereka memperbaiki pengairan
(irigasi) yang sampai sekarang sudah 500
tahun mereka meninggalkan negeri itu, namun
bekas tangan mereka masih ada. Terkenang
kita bagaimana jasa kaum Muslimin
memajukan pertanian di India seketika mereka
berkuasa (kerajaan Mongol).

Di dalam ayat ini ialah menjelaskan kekayaan


pertanian ini dihiaskan bagi menusia, sehingga
kadang-kadang seluruh tenaga, seluruh
kegiatan hidup mereka tumpahkan untuk
mencapainya. Sehingga kadang-kadang
mereka tidak mengiri-menganan lagi ,
menumpahkan seluruh tujuan hidup untuk itu ,
untuk keenamnya atau untuk salah satu dari
keenamnya, atau se-bahagian dari keenamnya.
Sehingga kadang-kadang mereka asyik dengan
itu, manusiapun lupa akan yang lebih penting.
Oleh sebab itu maka Tuhan bersabda memberi
peringatan dengan lanjutan ayat:

‫ذلِ َك َمتا ُع ا ْل َحيا ِة ال ُّد ْنيا‬


"Yang demikian itulah perhiasan hidup di
dunia. "
Tegasnya bahwasanya semuanya itu. hanyalah
perhiasan hiclup di dunia , niscaya usianya
akan habis untuk itu, sedangkan perhiasan
untuk di akhirat kelak dia tidak sedia. Padahal
di belakang hidup yang sekarang ini ada lagi
hidup yang akan dihadapi. Sesudah dunia
adalah akhirat. Tuhan lebih tegaskan lagi:

ِ ‫َو هللاُ عِ ْندَ هُ ُح ْسنُ ا ْل َمآ‬


‫ب‬
Namun di sisi Allah ada (lagi) 5ebaik-baik
tempat kembali . " (Ujung ayat 14).

Di Ujung ayat diterangkan bahwa ada lagi


yang lebih penting, entah berapa ribu kali lebih
penting daripada perhiasan dunia itu, ialah
sebaik-baik tempat kembali disediakan Allah.
Sebab selama-lama hidup di dunia kita pasti
kembali juga kepada Allah. Tuhan
menyediakan bagi kita sebaik-baik tempat
kembali itu.

Apakah sebaik-baik tempat kembali itu?

‫قُلْ أَأ ُ َن ِّب ُئ ُك ْم ِب َخ ْي ٍر مِنْ ذلِ ُك ْم‬


"Katakanlah : Sukakah kamu Aku ceritakan
kepada kamu apa yang lebih baik dari yang
demikian?' (pangkal ayat 15).

Yang lebih baik dari perempuan, anak-anak,


emas-perak, kuda kendaraan, binatang ternak
dan sawah-ladang itu?

‫لِلَّذينَ ا َّت َق ْوا عِ ْندَ َر ِّب ِه ْم َج َّناتٌ َت ْجري مِنْ َت ْح ِت َها اأْل َ ْنها ُر‬
ٌ‫ج ُم َط َّه َرة‬ ٌ ‫خالِدينَ فيها َو أَ ْزوا‬
I"alah syurga-syurga yang mengalir
dibawahnya sungai-sungai, kekal mereka di
dalam nya , dan isteri-isteri yang suci."
Semuanya ini beribu kali lebih baik daripada
yang dihiaskan kepada kamu dari yang enam
perkara itu. Dibandingkan dengan yang akan
kamu terima kelak itu , belum ada arti
sepeserpun apa yang kamu jadikan perhiasan
dunia itu , Kalau anak yang kamu banggakan
itu menjadi anak fasik , dia hanya akan
menambah sakit hatimu di akhirat. Engkau
boleh ingat sendiri bahwa segala kekayaan
yang kamu kejar-kejar di dunia ini, entah
emas-perak, kendaraan mewah, binatang
ternak dan sawah ladang , sebagian besar
hanyalah perhiasan yang nampak oleh orang
luar , tetapi menggelisahkan dirimu sendiri.

Berapa banyaknya orang yang tidak teratur


lagi makan-minumnya, tidak merasai lagi
nyenyak tidur , karena memikirkan harta-
benda yang sudah terlalu banyak itu. Kadang-
kadang kesusahan seorang jutawan yang harga
barangnya turun atau terancam "falliet" lebih
besar daripada kesusahan seorang miskin yang
dari pagi belum dapat makan.

Kadang-kadang kesusahan tagihan pajak,


membuat mata tak mau tidur. Di dunia engkau
mencari harta-benda dan hendak
menguasainya, padahal beribu-ribu orang kaya
diperbudak oleh harta kekayaannya itu.
Sedang syurga yang disediakan Tuhan buat
orang yang ingat akan kelidupan akhirat itu
tidak lagi mengenal kepala pusing, darah
tinggi, kacau fikiran karena banyak yang
difikirkan. Pendeknya, bukan kurang-
kurangnya bahwa perhiasan dunia itu menjadi
neraka dunia. Oleh Tuhan diistimewakan lagi
menerangkan bahwa di syurga itu mereka akan
mendapat isteri-isteri yang suci. Amat dalam
maksudnya jika Tuhan menonjolkan isteri
yang suci di akhirat ini. Sebab perempuan
dalam dunia ini , bagaimanapun setianya,
namun mereka ada saja cacatnya.
Sebagaimana pepatah orang tua-tua: "tidak ada
lesung yang tidak berdedak".

Berapa banyaknya laki-laki yang disebut orang


mata keranjang, yang tidak puas dengan
sekalian perempuan yang isterinya, karena
tiap-tiap yang telah diperisteri itu ada saja
cacatnya. Selama dia masih perhiasan dunia
selama itu pula dia akan bercacat. Orang yang
tidak mengingat hari depan yaitu akhirat, akan
habislah hidupnya dalam rasa tidak puas.
Sehingga berkatalah pujangga Ibnu Muqaffa' :
" orang yang diperbudak oleh syahwatnya
tidaklah puas dengan isteri yang telah ada di
dalam tangannya. Sehingga kalau sekiranya
hari akan kiamat petang hari, maka di tengah
hari ini masih bersedia hendak kawin. Dan dia
tidak mengingat bahwa akan datang masanya
tenaganya habis, sehingga dia tidak sanggup
lagi memberi nafkah isterinya yang baru itu."
Maka sebagai kunci, atau intisari dari syurga,
atau martabat yang di atas sekali di dalam
syurga itu diterangkan lagi oleh Allah:

ِ‫ضوانٌ مِنَ هللا‬


ْ ‫َو ِر‬
D
" an keridhaan daripada Allah."

Keridhaan dari Allah, inilah yang sebenar


puncak nikmat syurga. Malahan di ayat lain
dilebih terangkan lagi:

"Dan keridhaan Allah itu adalah lebih besar."


( at-Taubah : 72 )
Sehingga shufi perempuan yang terkenal,
Rabi'atul`Adawiyah, ketika ditanyai orang
tentang syurga, dia menjawab: "Di manapun
aku akan ditempatkan Tuhan , terserahlah pada
Tuhan, asal satu perkara aku tetap diberiNya,
yaitu ridhaNya."

Beginilah Tuhan membayangkan tujuan hidup


yang sejati bagi seorang Muslim. Memang,
Tuhan mengakui bahwa dunia mempunyai
perhiasan, dan manusia ditakdirkan
mengingini perhiasan itu, tetapi Tuhan
memperingatkan janganlah lupa akan tujuan
karena bimbang melihat perhiasan. Jangan
terpesona oleh perhiasan di luar, karena yang
di sebelah dalam lebih hebat daripada
perhiasan luar itu.

‫َو هللاُ َبصي ٌر بِا ْلعِبا ِد‬


D
" an Allah adalah melihat akan hamba-
hambaNya." (ujung ayat 15).

Dengan adanya ujung ayat begini , teranglah


bahwa tidak ditutup mati samasekali segala
keinginan perhiasan dunia itu. Boleh terus,
tetapi ingatlah bahwa Allah telah melihat
gerak-gerikmu. Bekerjalah, carilah, tetapi
jangan kamu lupakan bahwa kamu tidak lepas
dari penglihatan Tuhan. Dan bersabdalah Nabi
Muhammad saw:

Beramallah untuk dunia kamu, seakan-akan


kamu akan hidup selama-lamanya, dan
beramallah untuk akharat kamu, seakan-akan
kamu akan meninggal besok.
Ringkasnya ialah: kerja keras selalu dan ingat
mati selalu. orang-orang yang begini ialah
orang-orang yang sadar akan hidupnya di
dunia dan sadar pula akan hidupnya di akhirat
kelak. Sebab itu datanglah sambungan ayat: :

َ ‫اغف ِْر لَنا ُذ ُنو َبنا َو قِنا َع‬


ِ ‫ذاب ال َّن‬
‫ار‬ ْ ‫الَّذينَ َي ُقولُونَ َر َّبنا إِ َّننا آ َم َّنا َف‬
(Yaitu) orang-orang yang berkata: Ya Tuhan
kami ! , Sesungguhnya kami telah beriman.
oleh karena itu ampunilah bagi kami dosa-
dosa kami dan peliharakanlah kami dari
siksaan neraka." (Ayat 16).

Dengan pengakuan telah beriman, cara


hidupmu dirubah. Tidak lagi semata-mata
mengejar "perhiasan dunia", tetapi mengingat
lagi akan perjuangan kelak di kemudian hari
dengan Allah. Lantaran telah beriman,
mengakuilah bahwa di zaman yang sudah-
sudah memang hidup itu hanya ingat dunia
saja, sebab itu memohon ampun kepada Tuhan
atas dosa-dosa yang telah lalu itu, dan
memohonkan lagi kepada Tuhan
peliharakanlah kiranya daripada siksaan
neraka itu. Sebab dengan adanya iman di
dalam hati kami, kami telah mendapat suluh
dan telah jelas oleh kami jalan yang akan
ditempuh. Cuma kadang-kadang mendapat
gangguanlah kami daripada hawa nafsu kami
dan perdayaan syaitan. Ini kami mohonkan
ampun dan tuntunan dari Engkau, ya Tuhan
kami!

َ‫صادِقينَ َو ا ْلقانِتينَ َو ا ْل ُم ْنفِقينَ َو ا ْل ُم ْس َت ْغفِرين‬


َّ ‫ابرينَ َو ال‬
ِ ‫ص‬َّ ‫ال‬
‫حار‬ َ
ِ ‫ِبا ْس‬ ‫أْل‬
" (Yaitu) orang-orang yang sabar dan orang-
orang yang jujur dan orang-orang yang
sungguh-sungguh taat dan orang-orang yang
membelanjakan harta dan orang-orang yang
memohon ampun di ujung malam." (Ayat 17).
Di ayat 16 ditunjukkanlah doa orang telah
mengakui beriman itu, mengandung juga
pengakuan bahwa mereka tidak lagi hanya
semata-mata mengejar perhiasan dunia, sebab
itu mereka meminta ampun dan memohonkan
jauh dari neraka. Tetapi pada ayat 17 Tuhan
menunjukkan bahwa do'a saja belum lah
cukup . Mengucapkan doa mudah, tetapi yang
sukar ialah mcnyesuaikan diri dengan iman .
Di ayat 17 ini Tuhan menunjukkan lima syarat
yang harus dipenuhi supaya iman itu menjadi
sempurna.

Pertama : Sabar , karena gangguan di dalam


menegakkan iman itu akan banyak, dan
permohonan itu kadang-kadang belum segera
dikabul kan Tuhan , bahkan kadang-kadang
kesetiaan iman itu mendapat ujian, yang khas
dari Tuhan sendiri. Kalau tidak sabar,
perjuangan iman akan patah di tengah jalan.
Kedua : Jujur atau dalam bahasa Arabnya
Shadiq, artinya benar dan membenarkan.
Benar ke luar dan ke dalam, tidak berubah
yang di mulut dengan yang di hati,
membenarkan segala apapun yang dituntunkan
Nabi saw , yang diwahyukan Tuhan dengan
kata dan perbuatan, Dan mereka buktikan
dengan perbuatan apa yang dibenarkan oleh
hati.
Ketiga : Qanit, yaitu sungguh taat
mengerjakan apa yang diperintahkan dan
menghentikan yang dilarang. Meletakkan di
muka dan mendahulukan kehendak Allah dan
Rasul daripada kehendak sendiri.
Keempat : Membelanjakan harta, yaitu
dermawan, sudi bersedekah, suka berzakat,
tidak bakhil, memberikan bantuan kepada fakir
dan miskin dan amal-amal kebaikan yang lain.
Kelima: Memohon ampun di ujung malam.
Yaitu melatih diri sehingga menjadi kebiasaan
bangun di ujung malam, yaitu di waktu sahur
untuk bersembahyang Tahajjud, yang sudah
nyata bahwa dalam sembahyang itu kita akan
selalu memohonkan ampun kepada Tuhan di
waktu berdiri, ruku', duduk, dan di antara
duduk sujud. Dua pada waktu sahur atau ujung
malam , atau parak siang itu , sehabis
sembahyang dapat pula makan sahur, bersedia
untuk mengerjakan puasa tathawwu' besoknya.

Menurut keterangan dari Abd bin Humaid,


Qatadah menafsirkan ayat ini demikian:
"orang yang sabar ialah kaum yang sabar atas
ketaatan kepada Allah, dan sabar pula
mematuhi, menghentikan apa yang
dilarangNya. Orang yang shadiq atau jujur,
ialah kaum yang benar dan jujur niatnya dan
istiqamah (lurus) hatinya dan lidahnya, dan
benar serta jujur pula pada rahasianya dan
kenyataannya. Dan orang yang beristighfar di
waktu sahur ialah orang yang tetap
mengerjakan sembahyang."

Bagaimana pentingnya waktu sahur, atau yang


kita namai ujung malam itu?
Menurut riwayat dari Ibnu Jarir dan Imam
Ahmad di dalam kitab az-Zuhd, yang diterima
dari Said al-Jariri, dia berkata bahwa menurut
riwayat yang kami terima, Nabi Daud pernah
menanyakan kepada Jibril: "Bahagian malam
yang manakah yang lebih utama?" lalu Jibril
menjawab: "Hai Daud ! Aku tidak tahu
bahagian malam mana yang lebih penting.
Cuma aku tahu bahwa 'Arsy Tuhan itu
bergerak--gerak di waktu sahur . "
Menurut riwavat dari Bukhari dan Muslim dan
ahli-ahli Hadits yang lain, yang diterima dari
sesuatu jamaah yang besar dari sahabat-
sahabat Rasulullah saw :

"Bahwa Rasulullah saw bersabda: Turanlah


Allah Tabaraka wa Taala pada tiap-tiap malam
kelangit dunia sehlngga tinggal sepertiga
malam. Maka berkatalah Tuhan: adakah
kiranya yang memohon di saat ini supaya Aku
perkenankan ? adakah kiranya yang berdoa,
supaya Aku kabulkan ? Adakah kiranya yang
memohon ampun, supaya Aku beri ampun ?"

Penganut mazhab salaf menerima saja akan


arti ini keseluruhannya, yaitu bahwa Tuhan
turun ke langit dunia, langit yang terdekat
kepada kita ini pada malam hari, sampai
tinggal seper tiga malam. Untuk
mendengarkan siapa kiranya hambaNya yang
memohon, yang berdoa dan meminta ampun.
Mereka tidak lagi memberi arti atau
keterangan lebih jauh. Karena kuasa Ilahi dan
rahasiaNya tidaklah dapat diartikan seluruhnya
oleh makhluk insani yang lemah ini. Tetapi
mazhab khalaf dan kaum Mu'tazilah memberi
juga arti, yaitu bahwa Tuhan turun itu harus
diartikan pendekatan. Untuk mendekatkan
kepada faham kita bahwa di waktu sahur itu
Tuhan lebih dekat kepada hamba-hambaNya
yang taat karena hamba itu sendiri pun merasai
betapa dekat kepada Allah pada saat demikian.
Jadi menurut madzhab khalaf turun ke langit
pertama ialah sangat dekat Tuhan itu, untuk
mendengar doa dan permohonan hambaNya.

Menurut riwayat dari Anas bin Malik,


pembantu pribadi Rasulullah saw itu, dia
berkata: "Kami disuruh oleh Rasulullah saw
memohonkan ampun kepada Tuhan di waktu
sahur itu sampai 70 kali." Ibnu Abi Syaibah
menafsirkan: "Bahwasanya orang yang
memohon ampun waktu sahur itu ialah orang-
orang yang hadir pada sembahyang subuh."

Keterangan dari Ibnu Abi Syaibah ini dapat


pula kita fahamkan. Sebab orang yang telah
merasai kelezatan beribadat, jauh-jauh
sebelum subuh dia telah bangun. Terlebih
dahulu ia mengerjakan sembahyang tahajjud
dan sehabis sembahyang ia duduk tafakkur
sambil membaca istighfar 70 kali atau pun
lebih, kadang-kadang dibaca pula doa yang
lain. Dan beberapa hari dalam seminggu
diteruskannya makan sahur untuk persediaan
puasa pada siang hari, kemudian diapun pergi
ke mesjid melakukan sembahyang subuh
berjamaah.

Rangkaian lima perkara yang dilenyapkan oleh


orang-orang yang hidupnya telah dibangun
oleh iman dan takwanya itu, bila kita
persambungkan dengan ayat sebelumnya
tentang keinginan manusia kepada perhiasan
dunia yang enam macam di atas tadi, nyatalah
bagl orang yang beriman keduanya itu tidak
ada perlawanan. Orang tidak berhalangan
mencari perhiasan dunia,malahan perhiasan
duniapun bisa menjadi pendorong bertambah
dekat kepada Tuhan.
Di kalangan sahabat-sahabat Rasulullah saw
terdapat orang-orang kaya-raya seperti
Abdurrahman bin Auf dan Zubair bin Awwam
dan Said bin al-'Ash dan lain-lain. Dan ada
pula orang yang hidupnya miskin seperti Abu
Zar dan Abu Dardak. Tetapi dalam ketaatan
kepada Tuhan tidaklah berubah di antara yang
kaya dengan yang miskin. Sebuah syair Arab
berkata:

Alangkah indahnya jika dunia dan agama


berkumpul jadi satu , dan alangkah buruknya
kafir dan durhaka bergabung dalam diri
seseorang.

http://kongaji.tripod.com/myfile/Ali_Imran_ayat_14_17.htm

Anda mungkin juga menyukai