Anda di halaman 1dari 10

PENDAHULUAN

Ajaran cinta kasih ternyata tidak hanya milik agama Kristen saja. Nabi Muhammad sendiri –yang
notabene pembawa agama Islam– diutus oleh Allah untuk membawa misi sebagai kasih sayang bagi alam
semesta (rahmah lil ‘alamin).[2] Lebih jauh lagi, tasawuf sebagai salah satu bentuk pemahaman dalam
Islam telah memperkenalkan betapa ajaran cinta (mahabbah) menempati kedudukan yang tinggi. Hal itu
terlihat dari bagaimana para ulama sufi, seperti al-Ghazali, menempatkan mahabbah sebagai salah satu
tingkatan puncak yang harus dilalui para sufi.[3] 

Wajah sejuk dan teduh tasawuf yang mendedahkan cinta, dari dulu sejak zaman Rabi’ah al-
Adawiyah hingga di zaman modern sekarang, tak pelak menarik orang-orang yang tertarik dengan
pencarian kebahagiaan dan kebenaran hakiki. Apalagi di zaman modern sekarang ketika alienasi sosial
begitu banyak terjadi, terutama di masyarakat Barat. Alienasi tersebut terjadi di antaranya karena kemajuan
material ternyata banyak mengorbankan penderitaan spiritual. Kemudahan-kemudahan hidup yang
dihasilkan oleh kemajuan teknologi modern membuat banyak orang jadi mengabaikan ruang rohani dalam
dirinya.

A. PENGERTIAN MAHABBAH
Mahabbah (cinta) menurut para ulama tasawuf berarti “kehendak”, yaitu kehendak-Nya
untuk melimpahkan rahmat secara khusus kepada hamba, sebagaimana kasih sayang-Nya bagi
hamba adalah kehendak pelimpahan nikmat-nya. Jadi, cinta (mahabbah) lebih khusus dari pada
rahmat. Kehendak Allah swt. dimaksudkan untuk menyampaikan pahala dan nikmat kepada si
hamba. Dan inilah yang disebut rahmat. Sedangkan kehendak-Nya untuk mengkhususkan kepada
hamba, suatu kedekatan dan ihwal rohani yang luhur disebut sebagai mahabbah.
Kata mahabbah berasal dari kata ahabba, yuhibbu, mahabatan, yang secara harfiah berarti
mencintai secara mendalam, atau kecintaan atau cinta yang mendalam.[1] Dalam Mu’jam al-
Falsafi, Jamil Shaliba mengatakan mahabbah adalah lawan dari al-baghd, yakni cinta lawan dari
benci.[2] Al-Mahabbah dapat pula berarti al-wadud, yakni yang sangat kasih atau penyayang.[3]
Selain itu al-Mahabbah  dapat pula berarti kecenderungan kepada sesuatu yang sedang
berjalan, dengan tujuan untuk memperoleh kebutuhan yang bersifat material maupun spiritual,
seperti cintanya seseorang yang kasmaran pada sesuatu yang dicintainya, orang tua pada anaknya,
seseorang pada sahabatnya, suatu bangsa terhadap tanah airnya, atau seorang pekerja kepada
pekerjaannya. Mahabbah pada tingkat selanjutnya dapat pula berarti suatu usaha sungguh-
sungguh dari seseorang untuk mencapai tingkat rohaniah tertinggi dengan tercapainya gambaran
Yang Mutlak, yaitu cinta kepada Tuhan.
Kata Mahabbah tersebut selanjutnya digunakan untuk menunjukkan pada suatu paham
atau aliran dalam tasawuf. Dalam hubungan ini mahabbah obyeknya lebih ditujukan pada Tuhan.
Dari sekian banyak arti mahabbah yang dikemukakan di atas, tampaknya da juga yang cocok
dengan arti mahabbah yang dikehendaki dalam tasawuf, yaitu mahabbah yang artinya kecintaan
yang mendalam secara ruhian pada Tuhan.[4]
Seperti telah dijelaskan, bahwa bagian terpenting dari tujuan sufi adalah memperoleh
hubungan langsung dengan Tuhan sehingga dirasakan dan disadari berada di hadirat Tuhan.
Keberadaan di hadirat Tuhan itu diyakini sebagai kenikmatan dan kebahagiaan yang hakiki.[5]

B. Dasar-Dasar Ajaran Mahabbah

1.      Dasar Syara’


Ajaran mahabbah memiliki dasar dan landasan, baik di dalam Alquran maupun Sunah
Nabi SAW.  Hal ini juga menunjukkan bahwa ajaran tentang cinta khususnya dan tasawuf
umumnya, dalam Islam tidaklah mengadopsi dari unsur-unsur kebudayaan asing atau
agama lain seperti yang sering ditudingkan oleh kalangan orientalis.

a.       Dalil-dalil dalam al-Qur’an, misalnya sebagai berikut:

1. QS. Al-Baqarah ayat 165

Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain


Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang
yang beriman, sangat besar cinta mereka kepada Allah. Dan jika seandainya orang-orang
yang berbuat zalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa
kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya, dan bahwa Allah amat berat siksaan-Nya (niscaya
mereka menyesal).

2. QS. Al-Maidah ayat 54

Hai orang-orang yang beriman, barang siapa di antara kamu yang murtad dari agamanya,
maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan
mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin,
yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak
takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada
siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha luas (pemberian-Nya), lagi Maha Mengetahui.

3. QS. Ali Imran ayat 31

Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintai
dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

b.      Dalil-dalil dalam hadis Nabi Muhammad SAW, misalnya sebagai berikut:

ِ‫إ‬ ُ‫حُيِ بُّه‬ َ‫ال‬ ‫الْمَرء‬ ‫ب‬ ِ ِ ‫أَح َّ ِ ِ مِم‬  ‫ورس ولُه‬  ‫اهلل‬ ‫ي ُك و َن‬ ‫أَ ْن‬ ‫ميَان‬ ِ ‫اْ ِإل‬ ‫حاَل و َة‬ ‫َد‬ ِِ
َ ْ َّ ‫حُي‬ ‫ َوأَ ْن‬ ‫س َوامُهَا‬ ‫ َّا‬ ‫إلَْي ه‬ ‫ب‬ َ ُ ُ ََ ُ َ َ َ َ ‫ َوج‬ ‫فيه‬ ‫ ُك َّن‬ ‫ َم ْن‬ ‫ث‬ ٌ ‫ثَاَل‬
‫النَّا ِر‬  ‫يِف‬ ‫ف‬
َ ‫يُ ْق َذ‬ ‫أَ ْن‬ ُ‫يَكَْره‬ ‫ َك َما‬ ‫الْ ُك ْف ِر‬  ‫يِف‬ ‫ود‬ ِ
َ ُ‫ َيع‬ ‫أَ ْن‬ ‫يَكَْر َه‬ ‫ َوأَ ْن‬ ‫ِهلل‬ َّ‫ال‬
Tiga hal yang barang siapa mampu melakukannya, maka ia akan merasakan manisnya iman,
yaitu: pertama Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai daripada selain keduanya; kedua: tidak
mencintai seseorang kecuali hanya karena Allah; ketiga benci kembali kepada kekafiran
sebagaimana ia benci dilemparkan ke neraka. [5]   

ِ ‫يب‬ ‫الَّ ِذي‬ ‫وبص ره‬ ‫بِِه‬ ‫يسمع‬ ‫الَّ ِذي‬ ‫مَسْعه‬ ‫ ُكْنت‬ ‫أَحببتُه‬ ‫فَِإذَا‬ ‫أ ُِحبَّه‬  ‫حىَّت‬ ‫بِالنَّوافِ ِل‬ َّ ‫إِيَل‬ ‫يَت َقَّرب‬ ‫عب ِدي‬ ‫يز ُال‬ ‫وما‬ ..…
‫ص‬ ُْ ُ ََ َ َ ُ َ ْ َ ُ َ ُ ُ َْ ْ ُ َ َ ُ َ ْ َ ََ َ َ
… ‫ َا‬ ‫مَيْشي‬  ‫الَّيِت‬ ُ‫ َو ِر ْجلَه‬ ‫هِبَا‬ ‫ش‬
‫هِب‬ ِ ِ ِ
ُ ‫ َيْبط‬  ‫الَّيِت‬ ُ‫ َويَ َده‬ ‫بِه‬ ‫ُر‬
….Tidaklah seorang hamba-Ku senantiasa mendekati-Ku dengan ibadah-ibadah sunah kecuali
Aku akan mencintainya. Jika Aku mencintainya, maka Aku pun menjadi pendengarannya yang ia
gunakan untuk mendengar; menjadi penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat; menjadi
tangannya yang ia gunakan untuk memukul; dan menjadi kakinya yang ia gunakan untuk
berjalan. …[6]

ِ ‫ َوالن‬ ‫ َو َوالِ ِد ِه‬ ‫ َولَ ِد ِه‬ ‫ِم ْن‬ ‫إِلَْي ِه‬ ‫ب‬


‫أَمْج َعِني‬ ‫َّاس‬ َ ‫أ‬ ‫أَ ُكو َن‬  ‫ َحىَّت‬ ‫َح ُد ُك ْم‬
َّ ‫َح‬ ِ
َ ‫أ‬ ‫يُ ْؤم ُن‬ َ‫ال‬
Tidak beriman seseorang dari kalian sehingga aku lebih dicintainya daripada anaknya, orang
tuanya, dan seluruh manusia.[7]

2. Dasar Filosofis

Dalam mengolaborasikan dasar-dasar filosofis ajaran tentang cinta(mahabbah) ini, al-Ghazali


merupakan ulama tasawuf yang pernah melakukannya dengan cukup bagus. Menurut beliau, ada
tiga hal yang mendasari tumbuhnya cinta dan bagaimana kualitasnya, yaitu sebagai berikut:

a. Cinta tidak akan terjadi tanpa proses pengenalan (ma’rifat) dan pengetahuan (idrak)

Manusia hanya akan mencintai sesuatu atau seseorang yang telah ia kenal. Karena itulah, benda
mati tidak memiliki rasa cinta. Dengan kata lain, cinta merupakan salah satu keistimewaan makhluk
hidup. Jika sesuatu atau seseorang telah dikenal dan diketahui dengan jelas oleh seorang manusia,
lantas sesuatu itu menimbulkan kenikmatan dan kebahagiaan bagi dirinya, maka akhirnya akan
timbul rasa cinta. Jika sebaliknya, sesuatu atau seseorang itu menimbulkan kesengsaraan dan
penderitaan, maka tentu ia akan dibenci oleh manusia.

b. Cinta terwujud sesuai dengan tingkat pengenalan dan pengetahuan

Semakin intens pengenalan dan semakin dalam pengetahuan seseorang terhadap suatu obyek, maka
semakin besar peluang obyek itu untuk dicintai. Selanjutnya, jika semakin besar kenikmatan dan
kebahagiaan yang diperoleh dari obyek yang dicintai, maka semakin besar pula cinta terhadap obyek
yang dicintai tersebut.

Kenikmatan dan kebahagiaan itu bisa dirasakan manusia melalui pancaindranya. Kenikmatan dan
kebahagiaan seperti ini juga dirasakan oleh binatang. Namun ada lagi kenikmatan dan kebahagiaan
yang dirasakan bukan melalui pancaindra, namun melalui mata hati. Kenikmatan rohaniah seperti
inilah yang jauh lebih kuat daripada kenikmatan lahiriah yang dirasakan oleh pancaindra. Dalam
konteks inilah, cinta terhadap Tuhan terwujud.

c. Manusia tentu mencintai dirinya

Hal pertama yang dicintai oleh makhluk hidup adalah dirinya sendiri dan eksistensi dirinya. Cinta
kepada diri sendiri berarti kecenderungan jiwa untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya dan
menghindari hal-hal yang bisa menghancurkan dan membinasakan kelangsungan hidupnya.

Selanjutnya al-Ghazali juga menguraikan lebih jauh tentang hal-hal yang menyebabkan tumbuhnya
cinta. Pada gilirannya, sebab-sebab tersebut akan mengantarkan seseorang kepada cinta sejati, yaitu
cinta kepada Tuhan Yang Maha Mencintai. Sebab-sebab itu adalah sebagai berikut:

a. Cinta kepada diri sendiri, kekekalan, kesempurnaan, dan keberlangsungan hidup

Orang yang mengenal diri dan Tuhannya tentu ia pun mengenal bahwa sesungguhnya ia tidak
memiliki diri pribadinya. Eksistensi dan kesempurnaan dirinya adalah tergantung kepada Tuhan yang
menciptakannya. Jika seseorang mencintai dirinya dan kelangsungan hidupnya, kemudian menyadari
bahwa diri dan hidupnya dihasilkan oleh pihak lain, maka tak pelak ia pun akan mencintai pihak lain
tersebut. Saat ia mengenal bahwa pihak lain itu adalah Tuhan Yang Maha Pencipta, maka cinta
kepada Tuhan pun akan tumbuh. Semakin dalam ia mengenal Tuhannya, maka semakin dalam pula
cintanya kepada Tuhan.

b. Cinta kepada orang yang berbuat baik


Pada galibnya, setiap orang yang berbuat tentu akan disukai oleh orang lain. Hal ini merupakan
watak alamiah manusia untuk menyukai kebaikan dan membenci kejahatan. Namun pada dataran
manusia dan makhluk umumnya, pada hakikatnya kebaikan adalah sesuatu yang nisbi. Karena
sesungguhnya, setiap kebaikan yang dilaksanakan oleh seseorang hanyalah sekedar menggerakkan
motif tertentu, baik motif duniawi maupun motif ukhrawi.

Untuk motif duniawi, hal itu adalah jelas bahwa kebaikan yang dilakukan tidaklah ikhlas. Namun
untuk motif ukhrawi, maka kebaikan yang dilakukan juga tidak ikhlas, karena masih mengharapkan
pahala, surga, dan seterusnya. Pada hakikatnya, ketika seseorang memiliki motif ukhrawi atau
agama, maka hal itu juga akan mengantarkan kepada pemahaman bahwa Allah jugalah yang
berkuasa menanamkan ketaatan dan pengertian dalam diri dan hatinya untuk melakukan kebaikan
sebagaimana yang Allah perintahkan. Dengan kata lain, orang yang berbuat baik tersebut pada
hakikatnya juga terpaksa, bukan betul-betul mandiri, karena masih berdasarkan perintah Allah.

Ketika kesadaran bahwa semua kebaikan berujung kepada Allah, maka cinta kepada kebaikan pun
berujung kepada Allah. Hanya Allah yang memberikan kebaikan kepada makhluk-Nya tanpa pamrih
apapun. Allah berbuat baik kepada makhluk-Nya bukan agar Ia disembah. Allah Maha Kuasa dan
Maha Suci dari berbagai pamrih. Bahkan meskipun seluruh makhluk menentang-Nya, kebaikan Allah
kepada para makhluk tetap diberikan. Kebaikan-kebaikan Allah kepada makhluk-Nya itu sangat
banyak dan tidak akan mampu oleh siapa pun. Karena itulah, pada gilirannya bagi orang yang betul-
betul arif, akan timbul cinta kepada Allah sebagai Dzat Yang Maha Baik, yang memberikan berbagai
kebaikan dan kenikmatan yang tak terhitung jumlahnya.

c. Mencintai diri orang yang berbuat baik meskipun kebaikannya tidak dirasakan

Mencintai kebaikan per se juga merupakan watak dasar manusia. Ketika seseorang mengetahui
bahwa ada orang yang berbuat baik, maka ia pun akan menyukai orang yang berbuat baik tersebut,
meskipun kebaikannya tidak dirasakannya langsung. Seorang penguasa yang baik dan adil, tentu
akan disukai rakyatnya, meskipun si rakyat jelata tidak pernah menerima langsung kebaikan sang
penguasa. Sebaiknya, seorang pejabat yang lalim dan korup, tentu akan dibenci oleh rakyat, meski
sang rakyat tidak mengalami langsung kelaliman dan korupsi sang pejabat.

Hal ini pun pada gilirannya akan mengantar kepada cinta terhadap Allah. Karena bagaimanapun,
hanya karena kebaikan Allah tercipta alam semesta ini. Meski seseorang mungkin tidak langsung
merasakannya, kebaikan Allah yang menciptakan seluruh alam semesta ini menunjukkan bahwa
Allah memang pantas untuk dicintai. Kebaikan Allah yang menciptakan artis Dian Sastrowardoyo nan
cantik jelita namun tinggal di Jakarta, misalnya, adalah kebaikan yang tidak langsung dirasakan
seorang Iwan Misbah yang tinggal nun jauh di Ciwidey.

d. Cinta kepada setiap keindahan

Segala yang indah tentu disukai, baik yang bersifat lahiriah maupun batiniah. Lagu yang indah
dirasakan oleh telinga. Wajah yang cantik diserap oleh mata. Namun keindahan sifat dan perilaku
serta kedalaman ilmu, juga membuat seorang Imam Syafi’i, misalnya, dicintai oleh banyak orang.
Meskipun mereka tidak tahu apakah wajah dan penampilan Imam Syafi’i betul-betul menarik atau
tidak. Keindahan yang terakhir inilah yang merupakan keindahan batiniah. Keindahan yang bersifat
batiniah inilah yang lebih kuat daripada keindahan yang bersifat lahiriah. Keindahan fisik dan lahiriah
bisa rusak dan sirna, namun keindahan batiniah relatif lebih kekal.

Pada gilirannya, segala keindahan itu pun akan berujung pada keindahan Tuhan yang sempurna.
Namun keindahan Tuhan adalah keindahan rohaniah yang hanya dapat dirasakan oleh mata hati dan
cahaya batin. Orang yang betul-betul menyadari betapa Tuhan Maha Mengetahui, Maha Kuasa, dan
segala sifat kesempurnaan melekat dalam Zat-Nya, maka tak ayal ia pun akan menyadari betapa
indahnya Tuhan, sehingga sangat pantas Tuhan untuk dicintai.

e. Kesesuaian dan keserasian

Jika sesuatu menyerupai sesuatu yang lain, maka akan timbul ketertarikan antara keduanya. Seorang
anak kecil cenderung lebih bisa akrab bergaul dengan sesama anak kecil. Seorang dosen tentu akan
mudah berteman dengan sesama dosen daripada dengan seorang tukang becak. Ketika dua orang
sudah saling mengenal dengan baik, maka tentu terdapat kesesuaian antara keduanya. Berangkat
dari kesesuaian dan keserasian inilah akhirnya muncul cinta. Sebaliknya, jika dua orang tidak saling
mengenal, kemungkinan besar karena memang terdapat perbedaan dan ketidakcocokan antara
keduanya. Karena ketidakcocokan dan perbedaan pula akan muncul tidak suka atau bahkan benci.

Dalam konteks kesesuaian dan keserasian inilah, cinta kepada Tuhan akan muncul. Meski demikian,
kesesuaian yang dimaksud ini bukanlah bersifat lahiriah seperti yang diuraikan di atas, namun
kesesuaian batiniah. Sebagian hal tentang kesesuaian batiniah ini merupakan misteri dalam dunia
tasawuf yang menurut al-Ghazali tidak boleh diungkapkan secara terbuka. Sedangkan sebagian lagi
boleh diungkapkan, seperti bahwa seorang hamba boleh mendekatkan diri kepada Tuhan dengan
meniru sifat-sifat Tuhan yang mulia, misalnya ilmu, kebenaran, kebaikan, dan lain-lain.

Terkait dengan sebab keserasian dan kecocokan ini, satu hal yang perlu digarisbawahi adalah bahwa
Allah tidak akan pernah ada yang mampu menandingi atau menyerupainya. Keserasian yang
terdapat dalam jiwa orang-orang tertentu yang dipilih oleh Allah, sehingga ia mampu mencintai
Allah dengan sepenuh hati, hanyalah dalam arti metaforis (majazi). Keserasian tersebut adalah
wilayah misteri yang hanya diketahui oleh orang-orang yang betul-betul mengalami cinta ilahiah.

C. Macam-Macam Mahabah

Dalam Qur’an cinta memiliki 8 pengertian berikut ini penjelasannya:

1. Mahabbah mawaddah adalah jenis cinta mengebu-gebu, membara dan“nggemesi”.


Orang yang memiliki cinta jenis mawaddah, maunya selaluberdua, enggan berpisah dan
selalu ingin memuaskan dahaga cintanya. Ia ingin memonopoli cintanya, dan hampir tak
bisa berfikir lain.

2. Mahabbah rahmah adalah jenis cinta yang penuh kasih sayang, lembut,siap berkorban,
dan siap melindungi. Orang yang memiliki cinta jenis rahmah ini lebih memperhatikan orang
yang dicintainya dibandingterhadap diri sendiri. Baginya yang penting adalah kebahagiaan
sangkekasih meski untuk itu ia harus menderita. Ia sangat memaklumi kekurangan
kekasihnya dan selalu memaafkan kesalahan kekasihnya. Termasuk dalam cinta rahmah
adalah cinta antar orang yang bertalian
darah, terutama cinta orang tua terhadap anaknya, dan sebaliknya.

Dari itu maka dalam al Qur’an , kerabat disebut al arham, dzawi al arham ,yakni
orang-orang yang memiliki hubungan kasih sayang secara fitri, yang berasal dari garba
kasih sayang ibu, disebut rahim (dari katarahmah). Sejak janin seorang anak sudah diliputi
oleh suasana psikologis kasih sayang dalam satu ruang yang disebut rahim.Selanjutnya
diantara orang-orang yang memiliki hubungan darah dianjurkan untuk selalu ber
silaturrahim, atau silaturrahmi artinya menyambung tali kasih sayang. Suami isteri yang
diikat oleh cinta mawaddah dan rahmah sekaligus biasanya saling setia lahir batin-dunia
akhirat.

3. Mahabbah mail, adalah jenis cinta yang untuk sementara sangat membara, sehingga
menyedot seluruh perhatian hingga hal-hal lain cenderung kurang diperhatikan. Cinta jenis
mail ini dalam al Qur’an disebut dalam konteks orang poligami dimana ketika sedang jatuh
cinta kepada yang muda (an tamilu kulla al mail), cenderung mengabaikan kepada yang
lama.

4. Mahabbah syaghaf. Adalah cinta yang sangat mendalam, alami, orisinil dan
memabukkan. Orang yang terserang cinta jenis syaghaf (qad syaghafaha hubba) bisa
seperti orang gila, lupa diri dan hampir-hampir tak menyadari apa yang dilakukan. Al Qur’an
menggunakan term syaghaf ketika mengkisahkan bagaimana cintanya Zulaikha, istri
pembesar Mesir kepada bujangnya, Yusuf.

5. Mahabbah ra’fah, yaitu rasa kasih yang dalam hingga mengalahkannorma-norma


kebenaran, misalnya kasihan kepada anak sehingga tidak tega membangunkannya untuk
salat, membelanya meskipun salah. Al Qur’an menyebut term ini ketika mengingatkan agar
janganlah cinta ra`fah menyebabkan orang tidak menegakkan hukum Allah, dalam hal ini
kasus hukuman bagi pezina (Q/24:2).

6. Mahabbah shobwah, yaitu cinta buta, cinta yang mendorong perilakupenyimpang tanpa


sanggup mengelak. Al Qur’an menyebut term ni ketikamengkisahkan bagaimana Nabi Yusuf
berdoa agar dipisahkan dengan Zulaiha yang setiap hari menggodanya (mohon dimasukkan
penjara saja),sebab jika tidak, lama kelamaan Yusuf tergelincir juga dalam perbuatanbodoh,
wa illa tashrif `anni kaidahunna ashbu ilaihinna wa akun min aljahilin (Q/12:33)

7. Mahabbah syauq (rindu). Term ini bukan dari al Qur’an tetapi darihadis yang
menafsirkan al Qur’an. Dalam surat al `Ankabut ayat 5dikatakan bahwa barangsiapa rindu
berjumpa Allah pasti waktunya akantiba. Kalimat kerinduan ini kemudian diungkapkan dalam
doa ma’tsurdari hadis riwayat Ahmad; wa as’aluka ladzzata an nadzori ila wajhikawa as
syauqa ila liqa’ika, aku mohon dapat merasakan nikmatnya
memandang wajah Mu dan nikmatnya kerinduan untuk berjumpa dengan Mu.Menurut Ibn al
Qayyim al Jauzi dalam kitab Raudlat al Muhibbin waNuzhat al Musytaqin, Syauq (rindu)
adalah pengembaraan hati kepadasang kekasih (safar al qalb ila al mahbub), dan kobaran
cinta yangapinya berada di dalam hati sang pecinta, hurqat al mahabbah wa iltihab naruha fi
qalb al muhibbi.

8. Mahabbah kulfah. yakni perasaan cinta yang disertai kesadaran mendidik kepada hal-hal
yang positip meski sulit, seperti orang tua yang menyuruh anaknya menyapu,
membersihkan kamar sendiri, meski ada pembantu. Jenis cinta ini disebut al Qur’an ketika
menyatakan bahwa Allah tidak membebani seseorang kecuali sesuai dengan
kemampuannya, layukallifullah nafsan illa wus`aha (Q/2:286).

D. Doktrin-Doktrin Mahabbah

1. Makna Cinta di Kalangan Sufi

Dalam tasawuf, konsep cinta (mahabbah) lebih dimaksudkan sebagai bentuk cinta


kepada Tuhan. Meski demikian, cinta kepada Tuhan juga akan melahirkan bentuk kasih
sayang kepada sesama, bahkan kepada seluruh alam semesta. Hal ini bisa dilacak pada
dalil-dalil syara’, baik dalam Alquran maupun hadis yang menunjukkan tentang persoalan
cinta. Sebagian dalil tersebut telah disebutkan pada bagian sebelumnya dalam makalah ini.

Secara terminologis, sebagaimana dikatakan al-Ghazali, cinta adalah suatu


kecenderungan terhadap sesuatu yang memberikan manfaat. Apabila kecenderungan itu
mendalam dan menguat, maka ia dinamakan rindu. Sedangkan sebaliknya, benci adalah
kecenderungan untuk menghindari sesuatu yang menyakiti. Apabila kecenderungan untuk
menghindari itu mendalam dan menguat, maka ia dinamakan dendam.

Menurut Abu Yazid al-Busthami mengatakan bahwa cinta adalah menganggap


sedikit milikmu yang sedikit dan menganggap banyak milik Dzat yang kau cintai. Sementara
Sahl bin Abdullah al-Tustari menyatakan bahwa cinta adalah melakukan tindak-tanduk
ketaatan dan menghindari tindak-tanduk kedurhakaan. Bagi al-Junaid, cinta adalah
kecenderungan hati. Artinya, kecenderungan hati seseorang kepada Allah dan segala milik-
Nya tanpa rasa beban.

2. Cinta Sejati adalah Cinta kepada Allah

Bagi al-Ghazali, orang yang mencintai selain Allah, tapi cintanya tidak disandarkan
kepada Allah, maka hal itu karena kebodohan dan kepicikan orang tersebut dalam
mengenal Allah. Cinta kepada Rasulullah SAW, misalnya, adalah sesuatu yang terpuji
karena cinta tersebut merupakan manifestasi cinta kepada Allah. Hal itu karena Rasulullah
adalah orang yang dicintai Allah. Dengan demikian, mencintai orang yang dicintai oleh Allah,
berarti juga mencintai Allah itu sendiri. Begitu pula semua bentuk cinta yang ada. Semuanya
berpulang kepada cinta terhadap Allah.

Jika sudah dipahami dan disadari dengan baik lima sebab timbulnya cinta yang telah
diuraikan al-Ghazali sebelumnya, maka juga bisa disadari bahwa hanya Allah yang mampu
mengumpulkan sekaligus kelima faktor penyebab cinta tersebut. Kelima faktor penyebab
tersebut terjadi pada diri manusia hanyalah bersifat metaforis (majazi), dan bukanlah
hakiki. Hanya Allah Yang Maha Sempurna. Ia tidak bergantung kepada apapun dan siapa
pun. Kesempurnaan itulah yang akan mengantarkan seseorang kepada cinta sejati, yaitu
cinta terhadap Allah.

3. Mahabbah: antara Maqam dan Hal

Sebagaimana diketahui, dalam terminologi tasawuf ada istilahmaqam (tingkatan)


dan hal (keadaan, kondisi kejiwaan). Menurut as-Sarraj ath-Thusi dalam kitabnya al-
Luma’, maqam merujuk kepada tingkatan seorang hamba di depan Tuhan pada suatu tingkat
yang ia ditempatkan di dalamnya, berupa ibadah, mujahadah, riyadhah, dan
keterputusan (inqitha’)kepada Allah.

Sedangkan hal adalah apa yang terdapat di dalam jiwa atau sesuatu keadaan yang
ditempati oleh hati. Sementara menurut al-Junaid,hal adalah suatu “tempat” yang berada di
dalam jiwa dan tidak statis.

Menurut al-Ghazali, cinta kepada Allah (mahabbah) merupakan


tingkatan (maqam) puncak dari rangkaian tingkatan dalam tasawuf. Tak ada lagi tingkatan
setelah mahabbah selain hanya sekedar efek sampingnya saja, seperti
rindu (syauq), mesra (uns), rela (ridla), dan sifat-sifat lain yang serupa. Di samping itu, tidak
ada satu tingkatan pun sebelum mahabbahselain hanya sekedar pendahuluan atau
pengantar menuju ke arahmahabbah, seperti taubat, sabar, zuhud, dan lain-lain. Cinta
sebagaimaqam ini juga diamini oleh Ibn Arabi. Menurutnya, cinta merupakanmaqam ilahi.

Berbeda dengan al-Ghazali, menurut al-Qusyairi, mahabbahmerupakan


termasuk hal. Bagi al-Qusyairi, cinta kepada Tuhan (mahabbah)merupakan suatu keadaan
yang mulia saat Tuhan bersaksi untuk sang hamba atas keadaannya tersebut. Tuhan
memberitahukan tentang cinta-Nya kepada sang hamba. Dengan demikian, Tuhan disifati
sebagai yang mencintai sang hamba. Selanjutnya, sang hamba pun disifati sebagai yang
mencintai Tuhan.

4. Tingkatan Cinta

Dilihat dari segi orangnya, menurut Abu Nashr ath-Thusi, cinta kepada Tuhan terbagi
menjadi tiga macam cinta. 

Pertama, cinta orang-orang awam. Cina seperti ini muncul karena kebaikan dan
kasih sayang Tuhan kepada mereka. Ciri-ciri cinta ini adalah ketulusan dan
keteringatan(zikir) yang terus-menerus. Karena jika orang mencintai sesuatu, maka ia pun
akan sering mengingat dan menyebutnya.

Kedua, cinta orang-orang yang shadiq dan mutahaqqiq. Cinta mereka ini timbul


karena penglihatan mata hati mereka terhadap kekayaan, keagungan, kebesaran,
pengetahuan dan kekuasaan Tuhan. Ciri-ciri cinta ini adalah “terkoyaknya tabir” dan
“tersingkapnya rahasia” Tuhan. Selain itu, ciri lain adalah lenyapnya kehendak serta
hilangnya semua sifat (kemanusiaan dan keinginan duniawi).

Ketiga, cinta orang-orang shiddiq dan arif. Cinta macam ini timbul dari penglihatan


dan pengenalan mereka terhadap ke-qadim-an Cinta Tuhan tanpa sebab (illat) apapun.
Menurut Zunnun al-Mishri, sifat cinta ini adalah terputusnya cinta dari hati dan tubuh
sehingga cinta tidak lagi bersemayam di dalamnya, namun yang bersemayam hanyalah
segala sesuatu dengan dan untuk Allah. Sedangkan menurut Abu Ya’qub as-Susi, cirinya
alah berpaling dari cinta menuju kepada Yang Dicintai. Sementara al-Junaid menambahkan
bahwa ciri cinta macam ini adalah meleburnya sifat-sifat Yang Dicintai kepada yang
mencintai sebagai pengganti sifat-sifatnya.

E. Pengaruh Doktrin Mahabbah

Semenjak Rabi’ah al-Adawiyah mengungkapkan corak tasawuf melalui puisi, prosa,


atau dialognya, ajaran cinta ilahi (mahabbah) pun mulai menjadi tema menarik di kalangan
tasawuf. Gambaran tentang Tuhan pun tidak lagi begitu menakutkan seperti sebelumnya.
Tuhan seolah menjadi lebih dekat dan lebih “manusiawi”.

Pada perkembangan tasawuf selanjutnya, mahabbah selalu menjadi tema yang


mendapat pembahasan secara khusus. Para sufi pun banyak yang membahas lebih
mendalam tentang tema ini dalam karya-karya mereka, seperti al-Hujwairi dengan Kasyf al-
Mahjub, ath-Thusi dengan al-Luma’, al-Qusyairi dengan ar-Risalah al-Qusyairiyyah, al-Ghazali
dengan Ihya Ulumiddin, Ibnu Arabi dalam al-Futuhat al-Makkiyah, dan lain-lain.

Pada bidang puisi, banyak para sufi yang juga sekaligus penyair yang kemudian
menyenandung cinta ilahi, seperti Abu Sa’id bin Abi al-Khair, al-Jilli, Ibnu al-Faridh,
Jalaluddin Rumi, dan lain-lain. Hingga sekarang, para penyair sufi kontemporer masih
banyak yang menyenandungkan puisi-puisi cinta ilahi, seperti Syekh Fattah yang
membentuk kelompok musik Debu yang kini ada di Indonesia.
F. ALAT UNTUK MENCAPAI MAHABBAH
Dapatkah manusia mencapai mahabbah seperti disebutkan di atas? Para ahli tasawuf
menjawabnya dengan menggunakan pendekatan psikologi, yaitu pendekatan yang melihat adanya
potensi rohaniah yang ada dalam diri manusia. Harun Nasution, dalam bukunya Falsafah dan
Mistisis dalam Islam  mengatakan, bahwa alat untuk memperoleh ma’rifah  oleh sufi disebut sir
( ‫ ّر‬/‫س‬ ). Dengan mengutip pendapat al-Qusyairi, Harun Nasution mengatakan bahwa dalam diri
manusia ada tiga alat yang dapat dipergunakan untuk berhubungan dengan Tuhan. Pertama, al-
qalb(    /‫القلب‬ ) hati sanubari, sebagai alat untuk mengetahui sifat-sifat Tuhan. Kedua, roh ( ‫الروح‬ )
sebagai alat untuk mencintai Tuhan. Ketiga sir    ( ‫سر‬ ), yaitu alat untuk melihat Tuhan. Sir lebih
halus dari pada roh, dan roh lebih halus dari qalb. Kelihatannya sir bertempat di roh, dan roh
bertempat di qalb, dan sir timbul dan dapat menerima iluminasi dari Allah, kalau qalb dan roh
telah suci sesuci-sucinya dan kosong-sekosongnya, tidak berisi apa pun.[17]
Dengan keterangan tersebut, dapat diketahui bahwa alat untuk mencintai Tuhan adalah
roh, yaitu roh yang sudah dibersihkan dari dosa dan maksiat, serta dikosongkan dari kecintaan
kepada segala sesuatu, melainkan hanya diisi oleh cinta kepada Tuhan.
Roh yang digunakan untuk mencintai Tuhan itu telah dianugerahkan Tuhan kepada
manusia sejak kehidupannya dalam kandungan ketika umur empat bulan. Dengan demikian alat
untuk mahabbah itu sebenarnya telah diberikan Tuhan. Manusia tidak tahu sebenarnya hakikat
roh itu. Yang mengetahui hanyalah Tuhan. Allah berfirman:

‫م اِاَّل قَلِ ْياًل‬/ِ ‫اال ِع ْل‬


ْ ‫ح ِم ْن اَ ْم ِر َرب ِّْي َو َمااُ ْوتِ ْيتُ ْم ِّم َن‬/ُ ‫ قُ ِل الرُّ ْو‬/‫ح‬ َ َ‫َويَ ْسئَلُ ْو ن‬
ِ ‫ك َع ِن الرُّ ْو‬

Mereka itu bertanya kepada Engkau (Muhammad) tentang roh, katakanlah bahwa roh itu urusan
Tuhan, tidak kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit sekali.  (QS. Al-Isra’, 17:85).

G. TOKOH YANG MENGEMBANGKAN MAHABBAH


Nama lengkapnya ialah Ummu Al-Khair Rabi’ah Binti Ismail Al-Adawiyah Al-Qisiyah. Dia
lahir di Basrah pada tahun 96 H/713 M. Ia hidup antara tahun 713-801 H.[18] Sumber lain
menyebutkan bahwa ia meninggal dunia dalam tahun 185 H/796 M.[19] Rabi’ah al-Adawiyah
adalah seorang zahid perempuan yang amat besar dari Bashrah, di Irak. Dia berasal dari keluarga
sejahtera tetapi hidup sederhana. Dari kecil dia tinggal di kota kelahirannya. Di kota ini Ummu
Rabi’ah Al-Adawiyah sangat harum namanya sebagai seorang manusia suci dan sangat dihormati
oleh orang-orang dikotanya.
Hampir seluruh literatur bidang tasawuf menyebutkan bahwa tokoh yang
memperkenalkan ajaran mahabbah ini adalah Rabi’ah al-Adawiyah. Hal ini didasarkan pada
ungkapan-ungkapannya yang menggambarkan bahwa ia menganut paham tersebut.
Menurut riwayatnya ia adalah seorang hamba yang kemudian dibebaskan. Dalam hidup
selanjutnya ia banyak beribadat, bertaubat dan menjauhi hidup duniawi. Ia hidup dalam
kesederhanaan dan menolak segala bantuan material yang diberikan orang kepadanya. Dalam
berbagai doa yang dipanjatkannya ia tak mau meminta hal-hal yang bersifat materi dari Tuhan. Ia
betul-betul hidup dalam keadaan zuhud dan hanya ingin berada dekat dengan Tuhan.[20]
Ia terkenal sebagai Ulama Shufi wanita yang mempunyai banyak murid dari kalangan
wanita pula. Rabi’ah menganut ajaran zuhud dengan menonjolkan falsafah hubb (cinta) dan syauq
(rindu) kepada Allah. 

Anda mungkin juga menyukai