PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tasawuf merupakan sekelompok orang pada masa Rasulullah SAW. Yang hidupnya
berdiam di serambi-serambi masjid, mereka mengabdikan hidupnya untuk beribadah kepada
Allah SWT. Tasawuf secara sederhana dapat diartikan sebagai usaha untuk menyucikan jiwa
sesuci mungkin dan berusaha mendekatkan diri kepada Tuhan sehingga kehadiran-Nya
senantiasa dirasakan secara sadar dalam kehidupan. Dalam mendekatkan diri dan mencapai
ridho-Nya. Tasawuf sendiri adalah upaya untuk membersihkan diri dari sifat-sifat
kemanusiaan demi meraih sifat-sifat malaikat dan akhlak ilahi, serta mejalani hidup pada
hidup ma’rifatullah dan mahabatullah sembari menikmati kenikmatan spiritual.1
Dalam rangka untuk menjadi seorang hamba yang baik maka kita seharusnya mengenal
Allah lebih dalam daripada sebelumnya, lebih berusaha mendekatkan pada-Nya. Dan
memohon ampun atas dosa yang telah kita lakukan. Upaya-upaya inilah yang disebut usaha
bertasawuf.
1
Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), h. 147
1
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Tasawuf
Secara etimologi, pengertian tasawuf dapat dilihat menjadi beberapa macam pengertian,
Tasawuf berasal dari istilah yang dikonotasikan dengan ahlu suffah, yang berarti sekelompok
orang pada masa Rasulullah SAW. Yang hidupnya berdiam diserambi-serambi masjid, mereka
mengabdikan hidupnya untuk beribadah kepada Allah SWT.2
Menurut istilah dapat disimpulkan sebagai suatu ilmu untuk mengetahui bagaimana cara
menyucikan jiwa, menjernihkan akhlak, membangun dhohir dan batin serta untuk memperoleh
kebahagiaan abadi.
2
Muhammad Ghalab, Al-Tasawuf Al-Muqarin, Mesir: Maktabah An-Nahdhah, t.t., hlm. 26-27.
3
Asmaran As,Pengantar Studi Tasawuf, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada,h.45.
4
Abu al-Wafa’ al-Ghanimi,Sufi dari Zaman ke Zaman,Bandung, Penerbit Pustaka,h.21.
5
Pendapat ini didasari oleh kenyataan bahwa kebanyakan para sufi berbadan kurus kering, akibat banyak berpuasa
dan banyak bangun malam sehingga badannya menyerupai pohon sufanah.
6
Akbarizan, Tasawuf Intregatif, Pekanbaru, Suska Press, 2008, h. 2.
7
Ibid, h.3.
2
1) QS. Ar-Ra’du: 28
Pada dasarnya tasawuf berpusat pada kegiatan rohaniyah, yakni untuk
mendekatkan diri kepada Allah. Oleh karena itu, tasawuf tidak berkenaan dengan adab-
adab lahiriah. Seorang hamba harus sebisa mungkin untuk selalu ingat (dzikir) pada
Penciptanya. Pada ayat tersebut telah termuat bahwa yang bisa mengingat Penciptanya,
maka hati mereka akan tentram.
2) QS. Al Isra’: 79
Cara mengingat sang Pencipta dalam tasawuf juga bisa melalui sholat. Alquran
juga telah memuat bahwa terdapat anjuran untuk sholat tahajud (lail) sebagai tambahan
beribadah untuk semakin mendekatkan diri terhadap Allah.
3) QS. Adz Dzariyat: 17-18
Mengingat Allah merupakan perbuatan yang harus senantiasa dilakukan. Tidak
hanya kualitas saja, melainkan juga kuantitasnya dalam mengingat Allah. Ayat diatas
telah memberikan gambaran bagaimana waktu yang tepat untuk berada lebih dekat
dengan Allah, yakni pada saat akhir malam dan dengan cara memohon ampun atas
perbuatan dosa mereka.
4) QS. Fathir: 5
Bertasawuf juga mengajarkan agar kita tidak terlalu melihat kehidupan dunia.
Dunia saat ini hanyalah tempat persinggahan sementara. Dan yang lebih dipentingkan
adalah kehidupan akhirat nantinya. Hal itu juga telah diungkapkan oleh Alquran pada
surat An Nisa’.
8
jamil, cakrawala Tasawuf, (Jakarta : Gaung Persada Press,2004), 14
3
1) Dalam hadist Qudsi dikatakan bahwa Nabi Muhammd SAW bersabda: “ sesungguhnya
Allah berkata: “Siapa yang memusuhi wali (hamba kekasih)-Ku maka Aku akan
menyatakan perang kepadanya. Seorang hamba yangmendekatkan diri pada-Ku lebih
aku cintai daripada apa yang aku wajibkan kepadanya. Ketika Aku mencintainya, Aku
menjadi pendengarnya atas apa yang sedang didengarkannya, menjadi penglihatanya
atas apa yang dilihatnya, menjadi tangannya atas apa yang sedang digenggamnya, dan
menjadi pejalannya atas perjalanan yang dilakukannya. Apabila dia meminta kepada-
Ku, Aku akan memberinya; dan apabila dia memohon ampun kepada-Ku, Aku akan
mengampuninya” (HR. Bukhari Muslim)9
Rasulullah bersabda dalam hadist tersebut bahwa yang menjadi kekasih Allah
adalah orang yang dekat dengan Allah, upaya mendekatkan dengan Allah adalah
melalui jalan tasawuf. Jika dianalogkan, kekasih Allah adalah orang yang melakukan
tasawuf (sufi). Dengan bertasawuf maka, kita akan mudah mengharapkan pengampunan
dari Allah.
Pada hadits tersebut, Rasulullah sangat menganjurkan bahwa amal ibadah yang
kita lakukan harus dan hanya ditujukan untuk mengharap keridhaan Allah seolah-olah
kita telah melihatnya. Hal itu juga merupakan tujuan dari tasawuf yang menganjurkan
agar kita beribadah hanya untuk mencapai keridaan Allah. Bukan untuk yang lain,
seperti dunia.
3) Mengenai kualitas dan kuantitas ibadah Rasulullah SAW, Aisyah r.a. pernah berkata
“Sesungguhnya Nabi SAW., bangun di tengah malam (untuk melaksanakan sholat)
sehingga kedua telapak kakinya menjadi lecet. Saya berkata kepadanya: “Wahai
Rasulullah, mengapa anda masih berbuat seperti ini, padahal Allah telah mengampuni
dosa-dosayang telah lalu dan yang akan datang bagi mu?” Nabi SAW ., menjawab:
“Salahkah aku jika ingin menjadi seorang hamba yang selalu bersyukur?”. (HR.
Bukhari Muslim)11
Hadist tersebut memberitahukan kepada kita agar selalu kontinyu terhadap amal
ibadah kita. Ibadah yang dilakukan harus benar-benar bagus dalam kualitas yakni
keikhasan dan juga dalam hal kuantitas yakni istiqomah.
9
ibid., 15
10
ibid
11
ibid., 16
4
4) Hadits tentang zuhud
Hadits tersebut memberitahukan bahwa segala hal yang ada di dunia tidak
dinomorsatukan, melainkan urusan akhiratlah yang terpenting. Zuhud bukan berarti
harus benar-benar lepas dari dunia. Hal itu tidaklah mudah bagi seorang manusia yang
membutuhkan makan. Yang dimaksud dengan zuhud adalah tidak terlalu mementingan
dunia, dunia hanyalah alat untuk pencapaian kesuksesan di akhirat kelak.
5) Rasulullah bersabda: “ Demi Allah, aku memohon ampunan kepada Allah dalam sehari
semalam tak kurang dari tujuh puluh kali.” (HR. Bukhari)12
1. Fase Arketitisme (zuhud) , tumbuh pada abad pertama dan kedua hijriyah. Pada masa ini
dalam kalangan muslim, terdapat individu-individu yang lebih memusatkan dirinya pada
ibadah. Mereka tidak mementingkan makanan, pakaian, maupun tempat tinggal.
Diantara mereka adalah Hasan al-Bashri (w.110 h) dan rabi’ah al-adawiyah (w.185 h).
2. Pada abad ketiga dan keempat hijriyah para sufi mulai menaruh perhatian terhadap hal-
hal yang berkaitan dengan jiwa dan tingkah laku. Inilah cikal bakal terbentuknya tariqat-
tariqat sufi islam, dimana sang murid menempuh pelajaran dasarnya secara formal dalam
suatu majelis. Dalam tariqat itulah mereka mempelajari tata-tertib tasawuf baik ilmu
maupun prakteknya.
3. Pada abad kelima hijriyah muncullah imam al-Ghazali yang sepenuhnya hanya
menerima tasawuf yang berdasarkan al-Quran dan as-sunnah serta bertujuan asketitisme,
kehidupan sederhana, pelurusan jiwa, dan pembinaan moral.
4. Pada abad keenam hijriyah, sebagai akibat pengaruh kepribadian al-Ghazali yang begitu
besar, pengaruh tasawuf sunni semakin luas dalam dunia islam. Pada abad ini juga
muncul sekelompok sufi yang memadukan tasawuf dengan filsafat, dengan teori mereka
yang bersifat setengah-setengah, artinya disebut tasawuf murni bukan dan murni filsafat
pun bukan. Diantara mereka adalah al-Syuhrawardi al-Maqtul (w.549 h), penyusun kitab
hikmah al-isyraq.
5. Pada abad ketujuh hijriyah, muncul pula tokoh-tokoh sufi lainnya yang menempuh jalan
yang sama. Yang paling terkenal diantaranya adalah Abu al-Syadzili (w.656 h). Tasawuf
mereka di pandang sebagai kesinambungan jenis tasawuf sunni dari al-Ghazali.13
12
ibid., 99
13
Op.cit, Abu al-Wafa’ al-Ghanimi, h.16.
14
Ibid, h.54.
5
Zuhud menurut para ahli sejarah tasawuf adalah fase yang mendahului tasawuf.
Zuhud bukanlah kependetaan atau terputusnya kehidupan duniawi akan tetapi ia adalah
hikmah pemahaman yang membuat para penganutnya mempunyai pandangan khusus
terhadap kehidupan duniawi, dimana mereka tetap bekerja dan berusaha, akan tetapi
kehidupan duniawi itu tidak menguasai kecenderungan kalbu mereka, serta tidak
membuat mereka mengingkari tuhannya.
Karena itu zuhud dalam islam tidak bersyaratkan kemiskinan. Terkadang
seseorang yang kaya tapi pada saat yang sama ia juga zuhud, seperti Usman bin Affan
dan Abdurrahman bin ‘Auf , Mereka adalah hartawan tapi keduanya adalah zuhud dengan
harta yang mereka miliki. Utsman bin Affan membekali pasukan nabi pada masa paceklik
dan membeli sumur seorang yahudi yang melarang kaum muslimin menimba air di
sumurnya.
15
Ibid, h. 37.
6
para sufi yang terkenal dengan ungkapan ganjil itu. Dan juga pada masa ini sering
diadakan pembaharuan, yakni mengembalikan ke landasan alquran dan sunnah.
Gerakan orthodoksi sufisme mencapai puncaknya pada abad ini melalui tokoh
monumental al-Gahazali, dengan upayanya mengikis semua ajaran tasawuf yang
menurutnya tidak islami. Pendekatan yang dilakukan oleh al-Ghazali nampaknya bagi
satu pihak memberikan jaminan untuk mempertahankan prinsip, bahwa allah dan alam
ciptaan-Nya adalah dua hal yang berbeda sehingga satu sama lain tidak mungkin bersatu.
16
Louis Massignon, receuil de textes inedits, concernant i’histoire de la mystique en pays de islam, Paris, 1929, h.
9
7
BAB III
PENUTUP
3.1.Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa: Ilmu tasawuf merupakan ilmu yang
mempelajari tentang usaha membersihkan diri,berjuang memerangi hawa nafsu, mencari jalan
kesucian dengan ma’rifat menuju keabadian,saling mengingatkan antara manusia, berpegang
teguh pada janji Allah,syari’ah rasulullah dan mendekatkan diri mencapai keridhoan-Nya.
3.2. Saran
Penulis menyadari bahwa dalam makalah ini masih banyak terdapat kekurangan dan
kekhilafan oleh karena itu, kepada para pembaca dan para pakar utama penulis mengharapkan
saran dan kritik ataupun tegur sapa yang sifatnya membangun akan diterima dengan senang hati
demi kesempurnaan makalah selanjutnya.
Kepada semua pihak khususnya kepada Dosen Pembimbing Mata kuliah Akhlak
Tasawuf yang telah memberikan saran dan kritik konstruktif demi kesempurnaan makalah ini.
Kami ucapkan terima kasih.
8
DAFTAR PUSTAKA
Alwi Shihab , Islam Sufistik, Islam Pertama,dan Pengaruhnya Hingga Kini di Indonesia,
Bandung, Mizan, 2001.