Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Maqamat dan ahwal adalah dua istilah penting dalam dunia tasawuf.
Keduanya merupakan sarana dan pengalaman spiritual seseorang dalam
berkomunikasi dengan Tuhan, Dzat tempat berasal dan kembali segala sesuatu
yang ada di jagad raya ini. Bahkan menurut Khaja Khan, dua term tersebut
berfungsi untuk mematahkan ketergantungan kepada sesuatu selain Dzat Allah
dan untuk mencapai kebersatuan dengan sang Khalik.
Dengan itu maqam dan hal merupakan cara untuk mencapai tujuan ideal
para sufi. Melalui proses purifikasi jiwa terhadap kecenderungan materi agar
kembali pada cahaya Tuhan. Dalam konterks ini, Abu Yazid al-Bustami (874-947
M) dalam suatu kesempatan pernah bertanya kepada Tuhan tentang jalan menuju
kehadirat-Nya. Tuhan menjawab: “Tinggalkan dirimu dan datanglah”. Tinggalkan
diri sendiri berarti seseorang mesti terbebas dari keinginan dan hawa nafsu
pribadinya dan datang memiliki pengertian bahwa seorang sufi mengikuti
keinginan dan iradah Tuhan. Maka dari itu, para sufi telah menciptakan jalan
spiritual untuk merangkai hubungan dengan sang Tuhan yang disebut maqamat.

B. Rumusan Masalah
Runusan masalah dalam pembuatan makalah ini adalah :
1. Apakah pengertian maqamat?
2. Apakah pengertian ahwal?
3. Apakah ada keterkaitan antara maqamat dan ahwal?

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. MAQAMAT
1. Pengertian Maqamat
Maqam yang arti dasarnya “tempat berdiri”, dalam terminologi sufis
berarti tempat atau martabat seorang hamba di hadapan Allah pada saat ia berdiri
menghadap-Nya. Ia merupakan proses training melatih diri dalam hidup
kerohanian (riyadlah), memerangi hawa nafsu (mujahaddah) dan melepaskan
kegiatan dunia untuk semata-mata berbakti kepada Allah. Hal ini senada dengan
pendapat al-Qusairi (376-465 H) pada hamba Allah berkat ketinggian adab sopan
santunnya yang dihasilkan dengan kerja keras.
Menurut Al-Thusi (1200-1273 M), “ Kedudukan hamba di hadapan Allah
yang diperoleh melalui kerja keras dalam ibadah, kesungguhan melawan hawa
nafsu, latihan-latihan kerohanian serta menyerahkan seluruh jiwa dan raga
semata-mata untuk berbakti kepada-Nya”.

2. Urutan Maqamat Menurut Beberapa Sufi


a. Al-Qusyairi (376-465 H)
Al-Qusyairi dalam bukunya Ar Risalah Al Qusyairiyah, urutan maqom
adalah sebagai berikut1:
1) Taubah 4) Syukur
2) Mujahadah 5) Sabar
3)Khalwat
b. Al-Thusi (1200-1273 M)
Menurut Abu Nasr al-Sarraj al-Thusi dalam kitabnya al-Luma`
menyebutkan jumlah maqamat ada tujuh2, yaitu:
1) Al-Taubah 3) Sabar

1
M. Sholohin, Ilmu Tasawuf Untuk Mata Kuliah Ilmu Tasawuf di Seluruh Jurusan
PTAIN dan PTAIS, (Bandung: Pustaka Setia , 2008), hlm. 76.
2
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Rajawali Press, 2008), hlm. 194.

2
2) Al-Wara’ 4) Al-Tawakkal

3) Al-Zuhud 5) Al-Ridha

3) Al-Faqr

c. Al-Ghazali (450-505 H)
Bagi al-Ghazali, seluruh dari tingkatan-tingkatan keagamaan
(maqamat ad-din) terdiri dari tiga bagian pokok, yaitu pengetahuan
(ma’rifat), keadaan (ahwal), dan tindakan (a’mal). Ilmu pengetahuan
merupakan basis dari keadaan yang keadaan tersebut mengantarkan
seseorang untuk berbuat dalam tindakan.
Maqamat menurut Al-Ghazali ada sepuluh, urutannya sebagai berikut3:

1) Taubah 6) Zuhud

2) Sabar 7) Al-‘isyq

3) Syukur 8) Mahabbah

4) Raja’ 9) Al-Uns

5) Khauf 10) Ridha

d. Al-Kalabadzi ( wafat 390 H)


Menurut Al-Kalabadzi dalam bukunya At Ta’rif Limadzhab At
Tasawuf. Menjadikan Taubat sebagai kunci ketaatan yang disusul dengan
zuhud, sabar, faqr, tawadhu’, khauf, taqwa, ikhlash, syukur, tawakkal,
ridha, yakin, dzikir, uns, qarrub, dan mahabbah4.
3. Urutan Maqamat Secara Umum
Secara umum maqamat yang dijalani oleh para sufi antara lain taubat,
wara’, zuhud, faqr, sabar, tawakkal, dan ridha.
3
M. Jamil, Cakrawala Tasawuf, Sejarah, Pemikiran dan Kontextualitas, (Jakarta: Gaung
Persada Press, 2004), hlm. 47.
4
M. Sholohin, Ilmu Tasawuf Untuk Mata Kuliah Ilmu Tasawuf di Seluruh Jurusan
PTAIN dan PTAIS , (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hlm. 76.

3
Penjelasan maqamat di atas adalah:
1. Taubat
Taubat secara umum diartikan memohon ampun atas segala
dosa dan kesalahan-kesalahan yang dilakukan, serta berjanji secara
sungguh-sungguh untuk tidak mengulanginya dan disertai dengan
melaksanakan amal-amal shomaksudleh. Dua macam taubat dalam
tasawuf menurut Dzu al-Nun al-Mishri (180-246 H), keduanya yaitu
taubat orang awam dan taubat orang khawash5.
Bagi orang awam taubat merupakan perbuatan penyesalan atas
dosa yang telam mereka lakukan dan berjanji untuk tidak
mengulanginya kembali, dan dikemudian harinya diisi dengan hal-hal
terpuji dan amal shaleh. Dalam konteks ini, dosa diartikan sebagai
pelanggaran-pelanggaran terhadap perintah dan larangan Tuhan.
Bagi kehidupan para sufi atau khawash, taubat merupakan
penyesalan atas dosa-dosa yang mereka lakukan berupa kelalaian
mengingat Tuhan (ghaflah). Karena mereka berpandangan bahwa
seseorang tidak akan melakukan kemaksiatan jika ia benar-benar
mengingat Tuhan.
Syarat-syarat taubat adalah sebagai berikut:
1) Bersungguh-sungguh
2) Berhenti sejenak
3) Berjanji untuk tidak mengulangi
Dalam surat An-Nur yang artinya: “Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada
Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” (Q.S. An-Nur:31).

2. Zuhud
Istialah ini dapat diartikan sebagai meninggalkan kehidupan dunia
dan sepenuhnya berkonsentrasi pada urusan akhirat. Seorang yang
menjalani zuhud disebut zahid.

5
?
M. Jamil, Cakrawala Tasawuf, Sejarah, Pemikiran dan Kontextualitas, (Jakarta: Gaung
Persada Press, 2004), hlm. 48.

4
Al-Ghazali (450-505 H) mengartikan zuhud sebagai kelakuan di
mana seseorang itu menjauhi urusan dunia, mengurangi keterikatannya
terhadap dunia dan hal ini dilakukan dengan kesadaran penuh dan
didasarkan kerena kecintaannya kepada Allah semata6. Sedangkan Al-
Qusyairi (376-465 H) mengartikan zuhud sebagai sikap dimana menerima
segala kenikmatan yang telah diterimanya7.
Berdasarkan maksud dari pengertiannya tersebut, zuhud dibagi atas
tiga tingkatan, diantaranya yaitu (mulai dari terendah ke yang tertinggi) 8:
a. Menjauhkan dunia ini agar terhindar dari hukuman di akhirat.

b. Menjauhi dunia dengan menimbang imbalan di akhirat.

c. Mengucilkan dunia bukan karena takut terhadap Allah tetapi


karena cinta kepada Allah.

3. Faqr (butuh akan akhirat)


Faqr dapat diartikan sebagai rasa puas terhadap apa yang telah
didapat dan tidak sekalipun menuntut lebih atas apa yang telah
didapatnya.Tidak meminta walau tidak mempunyai apa-apa, namun tidak
juga menolak jika diberi. Dengan sikap ini akan terhindar dari sifat
serakah.
4. Wara’
Wara’ secara lughah berarti hati-hati. Berhati-hati dalam
menentukan suatu hukum, terhindar dari syubhat dan menjauhkan diri dari
perkara yang haram.
Menurut ulama sufi, wara’ berarti meninggalkan segala sesuatu
keragu-raguan antara halal dan haram yaitu syubhat. Karena suatu

6
M. Sholohin, Ilmu Tasawuf Untuk Mata Kuliah Ilmu Tasawuf di Seluruh Jurusan
PTAIN dan PTAIS , (Bandung: Pustaka Setia, 2008) , hlm. 79.
7
M. Sholohin, Ilmu Tasawuf Untuk Mata Kuliah Ilmu Tasawuf di Seluruh Jurusan
PTAIN dan PTAIS, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hlm. 79.
8
M. Sholohin, Ilmu Tasawuf Untuk Mata Kuliah Ilmu Tasawuf di Seluruh Jurusan
PTAIN dan PTAIS, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hlm. 79.

5
perbuatan yang haram akan dapat mematikan hati sehingga jauh dari
Allah.

Ibrahim bin Adham (wafat, 777 M) mengatakan wara’ adalah


meninggalkan setiap yang berbau subhat dan meninggalkan apa yang tidak
perlu, yaitu meninggalkan berbagai macam kesenangan. Dalam artian
bukan hanya kesyubhatan saja yang harus ditinggalkan namun suatu hal
apapun yang berupa kenikmatan yang halal yang dianggap tidak
bermanfaat.
Sabda Rasul SAW, yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori:

‫ﻓﻤﻦ اﺗﻘﻰ ﻣﻦ اﻟﺸﺒﻬﺎت ﻓﻘﺪ ا ﺳﺘﺮﺒ ا ﻣﻦ اﳊﺮا م‬


Artinya: “Maka siapa yang terbebas dari syubhat, maka sesungguhnya ia
terbebas dari yang haram”. (HR. Bukhori)
5. Sabar
Sabar merupakan sifat yang tidak dapat dipengaruhi oleh hawa
nafsu. Di mana seseorang tersebut tidak tergoda oleh apa pun yang
diperintahkan oleh hawa nafsu. Menurut Imam Al-Ghazali (450-505 H),
sabar adalah tetap tegaknya dorongan agama yang berhadapan dengan
dorongan hawa nafsu.
Sabda Rasulullah, sabar adalah cahaya. Cahaya di sini adalah
cahaya hati yang tidak terkontaminasi oleh suatu apapun, yang bisa
membedakan mana jalan yang sesat dan mana jalan yang benar, dan ini
merupakan hidayah atau petunjuk Allah.
Sabar ada tiga macam, yang pertama sabar terhadap maksiat, kedua
sabar terhadap musibah, ke tiga sabar dalam menjalankan ibadah.
6. Tawakkal
Tawakkal adalah sikap pasrah terhadap keputusan yang diputuskan
oleh Allah. Menurut Prof. Dr. Buya Hamka (1908-1981 M), tawakkal itu
menyerahkan segala keputusan dan persoalan, ikhtiar dan usaha kepada
Allah Ta’ala yang kuat dan kuasa, sedangkan kita lemah dan tak berdaya.

6
Tawakkal merupakan salah satu sikap muslim yang merupakan hasil dari
keyakinan hati yang kuat terhadap Allah.
Dalam kitab Ihya ‘Ulumuddin, dalam segi bahasanya, tawakkal
berarti perwakilan9. Dalam menjalani kehidupan yang fana ini kita seorang
muslim hendaknya bertawakkal kepada Allah. Semua urusan dunia
maupun akhirat harusnya kita pasrahkan kepada Allah. Sebagaimana kata-
kata yang dipegang manusia, manusia yang berusaha dan Allah yang
menentukan. Namun jika belum berikhtiar sama sekali dan langsung
bertawakkal, maka itu sama dengan kosong10. Tidak pada tempatnya.
Pada Surah Al-Muzammil ayat 9, yang artinya:
“Dialah Tuhan masyrik dan maghrib, Tuhan hanya Dia. Maka ambillah
(jadikanlah) Dia sebagai pelindung.”
Hatim Al-Hasan11, meyakini empat bekal untuk bertawakkal
kepada Allah12, yaitu:
a. Keyakinanku bahwa dunia dan seisinya adalah milik Allah.
b. Semua makhluk akan ku anggap hambanya.
c. Segala daya dan upaya hanyalah penyebab saja, sedangkan rejeki
urusannya di tangan Tuhan.
d. “Aku yakin: Ketentuan-Nya pasti berlaku bagi setiap makhluk”.
Sabda Rasulullah, “ Apabila kalian berserah diri kepada Allah dengan
sebenar-benarnya, niscaya Allah memberikan rizki kepadamu, seperti Dia
memberikan rizki kepada burung. Pada waktu fajar brung-burung keluar dari
sarangnya dengan perut lapar. Senja hari ketika mereka kembali ke sarangnya
dengan perut kenyang.”

9
Ali Hasyim, Menuju Puncak Tasawuf, (Surabaya: Visi7, 2008), hlm. 118.
10
Ali Hasyim, Menuju Puncak Tasawuf, ( Surabaya: Visi7, 2008), hlm. 118.
11
Seorang ulama sufi yang hidup pada periode Madzhab Arba’ah.
12
Ali Hasyim, Menuju Puncak Tasawuf, (Surabaya: Visi7, 2008), hlm. 120.

7
Sebagaimana Luqman Al-Hakim13, berpesan kepada anaknya, tentang
enam perkara, diantaranya yaitu14:
a. Janganterlalu sibuk dengan urusan duniawi, kecuali sekedar mencukupi
kebutuhanmu untuk menyambung sisa umurmu.

b. Sembahlah Tuahanmu menurut hajatmu kepada-Nya.

c. Kerjakanlah sesuatu untuk akhirat sesuai dengan keinginanmu, untuk


bermukin disana.

d. Berusahalah untuk membebaskan dirimu dari api neraka, selama


engkau masih ragu jika engkau tak bebas dari neraka.

e. Jika engkau kuat menghadapi siksa Allah maka berbuatlah maksiat.

f. Berbuatlah maksiat jika engkau mampu mencari tempat yang ama dari
pengelihatan Allah dan malaikat-Nya.

Dunia yang hanya sementara jangan sampai dijadian tujuan utama


dalam menjalani hidup yang hanya singkat ini, Kita harus bertawakkal
kepada-Nya.

7. Ridha

Jika seseorang sudah sampai pada tingkatan ini maka dia akan
selalu merasa senang dan menerima pada semua yang diputuskan oleh
Allah. Ketika manusia ridha, maka mereka akan dapat mengambil hikmah
dan sisi kebaikan dibalik semua permasalahan yang diberikan oleh Allah.
Bahkan mereka mampu melihat keagungan , kekuatan, kekuasaan dan
keMahabesaran Allah.

13
Beliau bukan nabi dan juga bukan rasul, orang yang dimuliakan oleh Allah dan
diabadikan namanya dalam Al-Qur’an.
14
Ali Hasyim, Menuju Puncak Tasawuf, (Surabaya: Visi7, 2008), hlm. 121.

8
Dan hanya orang yang ahli makrifat dan mahabbah yang mampu
bersikap seperti ini15, karena mereka merasakan musibah dan cobaan
sebagai suatu nikmat, sebagai media pertemuan mereka dengan sang
Khaliq yang dirindukannya.

Jika telah sampai pada Ridha maka dia akan sampai pada mahabbah orang
biasa.

B. AHWAL
1. Pengertian Ahwal
Ahwal yaitu keadaan yang meyentuh hati, berlangsung sekejap dan tidak
menetap. Menurut al-Jurjani (400-471 H), ahwal dapat berarti sebagai berikut.
“Ahwal ialah makna atau kesan yang menyentuh hati begitu saja tanpa dibuat-
buat, tanpa penyebab, dan tanpa diusahakan. Sentuhannya mengakibatkan
perasaan-perasaan seperti haru, bahagia, sedih, senang, sesak, pengap, resah,
segan dan sebagainya. Perasaan tersebut segera menghilang apabila sifat-sifat jiwa
muncul. Sifat-sifat yang kemudian terbentuk, akibatnya silih bergantinya perasaan
yang disebabkan oleh kesan yang menyentuh hati dan menjadi bagian kemampuan
diri, dinamakan maqam. Dengan demikian, maqamat adalah hasil usaha dan
ahwal adalah anugerah atau ahwal berasal dari Sang Sumber Kedermawanan dan
maqamat terjadi atas upaya yang dilakukan.”
Dapat dikatakan pula Hal merupakan keadaan seorang sufi ketika
menapaki maqamat.
2. Macam Ahwal Dalam Perjalanan Sufi
Hal-hal atau ahwal yang sering dilaksanakan oleh seorang sufi adalah
muhasabah dan muraqabah, qarb, mahabbah, khouf, raja’, syauq, uns,
thuma’ninah, musyahadah dan yaqin.
a. Muhasabah dan muraqabah
Menurut arti lughawinya muhasabah dan muraqabah adalah
waspada dan mawas diri. Dua hal yang tidak dapat dipisahkan dan saling
15
M. Sholohin, Ilmu Tasawuf Untuk Mata Kuliah Ilmu Tasawuf di Seluruh Jurusan
PTAIN dan PTAIS, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hlm. 82.

9
berkaitan. Dalam hal ini manusia harus menanamkan keyakinan dimana
Allah Sang Khaliq selalu ada mengawasi tingkah polah yang dilakukan
oleh manusia, dari segi lahir maupun batin. Menurut Imam Qusyairi (376-
465 H) muraqabah adalah hamba Allah yakin seyakin-yakinnya bahwa
Tuhan selalu melihatnya16.
Muraqabah dibagi menjadi tiga tingkatan17, yaitu:

1) Muraqabah Al-qalbi, yaitu kewaspadan dan peringatan terhadap


hati, agar tidak keluar dari pada kehadirannya dengan Allah.

2) Muraqabah Al-ruhi, yaitu kewaspadaan dan peringatan terhadap


ruh, agar selalu merasa dalam pengawasan dan pengintaian Allah.

3) Muraqabah Al-sirri, yaitu kewaspadaan dan peringatan terhadap


sirr (rahasia) agar selalu meningkatkan amal ibadahnya dan
memperbaiki adabnya.

b. Qarb
Istilah ini berarti mendekat. Dalam hal ini mendekat kepada Allah.
Lebih agresif unutk mencapai pendekatan sedekat-dekatnya kepada Allah.
c. Mahabbah
Berasal dari kata, ahabba, yuhibbu, mahabbatan. Secara harfiah
berarti rasa cinta yang mendalam. Dapat diartikan pula –dalam Mu’jam al-
Falsafi, oleh Jamil Shaliba18- yang sangat kasih atau penyayang 19.
Mahabbah ini bertujuan memperoleh kebutuhan yang bersifat material
juga spiritual, sebagaimana rasa kasmaran yang dialami oleh manusia
seperti biasanya.
d. Khauf

16
Ali Hasyim, Menuju Puncak Tasawuf, (Surabaya: Visi7, 2008), hlm. 102.
17
Mustafa Zahri, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf, (Jakarta: PT. Bina Ilmu, 1998), hlm.
218.
18
Penulis buku Al-Falsafah Al-Arabiyah
19
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Rajawali Press, 2008), hlm. 207.

10
Menurut arti harfiahnya berarti takut. Dapat diartikan pula takut
terhadap siksa Allah.
Khauf ini dapat dijadikan sebagai penggiringan perbuatan manusia
menuju kepada amal shaleh agar para hamba dapat mendekat kepada
Tuhannya. Khauf juga merupakan sarana untuk mendorong diri agar lebih
tekun dalam menjalankan perintah-Nya. Juga dapat mencegah terjadinya
perbuatan maksiat yang dapat dilakukan oleh hamba-Nya

Rasulullah bersabda, yang artinya:

“Orang beriman itu berada di antara dua ketakutan, yaitu antara ajal
terdahulu, tidak tahu persis apa tindakan Allah baginya. Dan ajal
mendatang, juga tidak tahu persis bagamana keputusan Allah terhadapnya.
Oleh sebab itu seseorang wajib berbekal amal shaleh demi keselamatan
dirinya, dan dari dunia untuk akhirat, dari hidup untuk matinya. Maka
demi Allah yang jiwa Muhammad di bawah tangan-Nya: sesudah mati,
tiada kesempatran istighfar dari dosa, dan tiada tempat di sana kecuali
surga dan neraka”. (HR. Hasan Basri dari Jabir RA)

Menurut Imam Alghazali (450-505 H) khauf terbagi menjadi dua


macam20, yaitu khauf karena khawatir kehilangan nikmat yang membuat
orang untuk memelihara dan memanfaatkan nikmat tersebut pada
tempatnya. Kedua, khauf kepada siksaan karena kemaksiatan yang
dilakukan. Hal inilah yang mendorong manusia untuk bertaqwa kepada
Tuhannya.

e. Raja’
Raja’ secara umum berarti berharap atau optimisme. Yaitu
perasaan yang senantiasa berharap sesuatu yang diinginkan atau disenangi.
Raja’ akan mendorong seseorang untuk ta’at kepada Tuhannya serta
mencegah dari kemaksiatan.

20
M. Jamil, Cakrawala Tasawuf, Sejarah, Pemikiran dan Kontextualitas, (Jakarta: Gaung
Persada Press, 2004), hlm. 60
.

11
Raja’ menuntut tiga perkara21,diantaranya yaitu:

1) Cinta kepada apa yang diharapkannya.

2) Takut harapannya itu hilang.

3) Berusaha untuk mencapainya.

Raja’ tanpa dibarengi dengan tiga perkara di atas maka semua hal
yang dia harapkan akan menjadi sebuah ilusi dan khayalan belaka.

f. Syauq (rindu)
Di sini diartikan sebagai rindu akan pertemuan dengan Allah,
sebagai yang dicinta. Selama masih ada kata-kata cinta dalam hatinya,
maka masih tersimpan pula yang namanya Syauq.
Menurut Imam Al-Ghazali (450-505 H), rindu kepada Allah dapat
dijelaskan melalui pendefinisian cinta yang sebenarnya kepada Allah 22.
Ketika belum bertemu dengan yang dicntainya dan yang dicintainya belum
berada di hadapannya, maka rindi itu akan memabukkannya. Pasti selalu
merindukan yang dicintainya.

g. Uns

Menurut para kaum sufi uns diartikan sebagai selalu berteman dan
tak pernah merasa sepi23. Seperti halnya ketika berada di tempat yang
ramai tetapi jiwa mereasa sepi, sebab selalu memikirkan yang dicintanya.
Da ketika berada di kesepian yang dirasakan adalah keramaian, sebab
selalu memikrkan rencana-rencana untuk bertemu dengan yang
dicintainya.

21
M. Sholohin, Ilmu Tasawuf untuk Mata Kuliah Ilmu Tasawuf di Seluruh Jurusan
PTAIN dan PTAIS , (Bandung:Pustaka Setia , 2008), hlm. 85.
22
M. Sholohin, Ilmu Tasawuf untuk Mata Kuliah Ilmu Tasawuf di Seluruh Jurusan
PTAIN dan PTAIS, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hlm. 86.
23
M. Sholohin, Ilmu Tasawuf untuk Mata Kuliah Ilmu Tasawuf di Seluruh Jurusan
PTAIN dan PTAIS, (Bandung:Pustaka Setia , 2008), hlm. 86.

12
Ini menunjukkan keakraban dan nilai kedekatan dengan Tuhan
yang selalu dicintanya. Seseorang yang ada pada kondisi uns akan
merasakan kebahagiaan, kesenangan, kegembiraan serta suka cita yang
begitu dalam. Kondisi kejiwaan seperti ini dialami oleh seorang sufi ketika
merasakan kedekatan sedekat-dekatnya dengan Allah. Hati dan
perasaannya diselubungi oleh cinta yang begitu mendalam. Keadaan
seperti ini dapat dialami oleh seorang sufi misalnya ketika menikmati
keindahan panorama alam, keluasan bacaan atau merdunya alunan suara.
Pengalaman yang seperti ini akan berbeda antar individu sufi.

h. Thuma’ninah
Dalam sholat thuma’ninah berarti berhenti sejenak. Dalam konteks
ini thuma’ninah berarti keteguhan atau ketentraman hati dari segala hal
yang merusak hati itu sendiri.
Di dasarkan atas firman Allah SWT, yang artinya: “Wahai jiwa
yang tenang, kembalilah kehadirat Tuhanmu dengan hati yang puas dan
diridlai-Nya. Masuklah dalam golongan hamba-hamba-Ku dan masuklah ke
dalam surga-Ku” (QS Al-Fajr: 27-30).

Ibnu Qayim (691 H/1292 M – 751 H/1350 M) membagi tuma’ninah


dalam tiga tingkatan:

1) Ketenangan hati dengan mengingat Allah.

2) Ketentraman jiwa pada kashf, ketentraman perindu pada batas


penantian.

3) Ketentraman menyaksikan Tuhan pada kelembutan kasihnya.

i. Musyahadah
Musyahadah berarti bersaksi. Bersaksi atas keberadan Allah dan
Rasul-Nya. Dengan berucap dua kalimat syahadah disertai dengan iman.
Dalam hal ini musyahadah adalah kehadiran al-Haqq dengan tanpa
dibayangkan. Orang yang berada pada puncak musyahadah hatinya

13
senantiasa dipenuhi oleh cahaya-cahaya ketuhanan, ibarat cahaya matahari
yang tiada hentinya menyinari bumi.
j. Yaqin
Menurut arti bahasanya, yaqin bermakna mempercayai. Dalam
konteks ini yaqin adalah, mempercayai terhadap segala sesuatu yang diberi
oleh Allah merupakan anugrah yang tak ternilai harganya. Meyakini
keberadaan Allah sebagai wujud keimanan dan ketakwaan kepada Allah.
Lebih tegasnya yakin adalah memantapkan hati kepada yang Maha Pencinta.

C. Keterkaitan Maqamat Dan Ahwal


Menurut Ibn ‘Arabi (560-638 H), kesan yang bersifat temporal adalah ciri
khusus ahwal, sedang potensi yang menjelma menjadi sifat adalah ciri khusus
maqamat. Hakikat keduanya ditentukan oleh niat dan istiqamah dalam
mempraktikkan keutamaan. Allah Swt menganugerahkan maqamat kepada jiwa
melalui praktik keutamaan, meski Dia sesungguhnya Mahakuasa menentukan
apakah akan memberi (atau tidak) anugerah yang dapat memungkinkan hamba
melakukan perbuatan baik.
Keterkaitan maqamat dan ahwal bersifat integral sehingga gejala ahwal
yang terlihat pada sebagian orang terkadang dinilai sebagai gejala maqamat dalam
pandangan orang lain. Hal ini disebabkan kenyataan bahwa ahwal itu sendiri
dapat dapat berkembang menjadi maqamat. Dinamakan ahwal karena fungsinya
mentransformasikan hamba dari posisi jauh dari Tuhan untuk dekat kepada-Nya,
sedangkan maqamat pada dasarnya adalah cara yang ditempuh untuk
mendapatkan anugerah-anugerah Ilahi tersebut.

Secara historis konsep muqamat dan ahwal diduga muncul pertama kali
pada abad pertama Hijriyah. Sosok yang memperkenalkan kedua term tersebut
adalah ‘Ali bin Abi Thalib. Diriwayatkan bahwa ‘Ali bin Abi Thalib ketika
ditanya, “Apa makna iman?” Beliau menjawab,”Iman dibangun atas empat pilar,

14
yaitu ketabahan, keyakina, keadilan, dan perjuangan.” Kemudian ‘Ali bin Abi
Thalib menguraikan makna masing-masing hingga membentuk sepuluh bentuk
kedudukan hamba.

Maqamat dan ahwal, menurut kaum sufi, masing-masing, memiliki


peringkat tertentu dan setiap peringkat didasarkan kepada Al-quran dan Sunnah.
Kenyataan ini membuktikan bahwa sumber-sumber disiplin tasawuf yang satu ini
adalah bersifat murni dari Islam. Dengan demikian, setiap pandangan yang
berupaya mencarikan sumber-sumber lain kiranya tidak beralasan.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Maqamat dan ahwal tidak dapat terpisahkan, keduanya memiliki
hubungan yang erat. Jika sedang bermaqamat maka akan merasakan yang
namanya ahwal.
2. Perjalanan maqamat dan ahwal para sufi pada zaaman dahulu dengan
sekarang sangatlah berbeda. Mereka menjalankan unsur yang terdapat
dalam maqamat dan ahwal tidak secara kontekstual, namun tersesuaikan
dengan keadaan sekarang. Mereka lebih memilih kepada sosialitas.
3. Kehidupan sufi sekarang banyak yang lebih tercurahkan pada soal-soal
keimanan, akhlaq dan aspek-aspek sosial. Bukan hanya soal-soal ritual
muamalah dan ibadah mudhah secara tradisional.

B. Saran
Penulis menyadari bahwa didalam makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan. Untuk itu demi pemahaman kita bersama, mari kita membaca dari

15
buku-buku lain yang bisa menambah ilmu dan pengetahuan kita, dan penulis
sangat mengharapkan kritik maupun saran yang sifatnya membangun, dari Dosen
Pembimbing dan para pembaca agar untuk berikutnya makalah ini bisa lebih baik
lagi.

DAFTAR PUSTAKA

Hasyim, Ali. 2006. Menuju Puncak Tasawuf. Surbaya: Visi 7.


Jamil, M.. 2004. Cakrawala Tasawuf, Sejarah, Pemikiran dan Kontextualitas.
Jakarta: Gaung Persada Press.
Muhayya, Abdul, dkk. 2001. Tasawuf dan Krisis. Semarang : Pustaka Pelajar.
Nasution, Harun.. Filsafat dan Mistisisme dalam Islam.:.
Natta, Abuddin. 2006. Akhlak Tasawuf. Jakarta: Rajawali Press.
Shihab, Alwi. 2009. Antara Tasawuf Sunni dan Tasawuf Falsafi, Akar Tasawuf di
Indonesia. Depok : Pustaka IIMaN.
Solohin, M., Anwar, Rosihon. 2008. Ilmu Tasawuf untuk Mata Kuliah Ilmu Tasawuf
di Seluruh Jurusan PTAIN dan PTAIS. Bandung: Pustaka Setia.

Zahri, Mustafa. 1998. Kunci Memahami Ilmu Tasawuf. Jakarta: PT. Bina Ilmu.

16
17

Anda mungkin juga menyukai