Anda di halaman 1dari 13

MAQAMAT DAN AHWAL DALAM TASAWUF

Penulis:
Nusaibah Izzati 23060200037
Primanda Rabbani 23060200049

Dosen:
Syaefudin Achmad, M.Pd.

Mata Kuliah:
Akhlaq Taswuf

Prodi:
Tadris IPA FTIK IAIN Salatiga

1
A. Pendahuluan
1. Latar Belakang Masalah
Tujuan hidup manusia yang telah Allah sebutkan dalam Surat Adz
Dzariyat ayat 56 adalah mengabdikan diri kepada Allah SWT. Pengertian
mengabdi dalam ayat ini mencakup segala aktivitas yang bersifat positif
(baik). Namun dalam artian lebih spesifik, Sebagian orang melakukan
kegiatan-kegiatan ibadah. Dalam Islam kegiatan atau praktek ibadah
secara khusus dilakukan dalam waktu dan tempat yang bersahaja. Hal
tersebut dikenal dalam ajaran Islam sebagai ajaran tasawuf (Asnawiyah,
2014: 79).
Pengertian tasawuf sendiri adalah jalan atau cara untuk
mendekatkan diri kepada Allah SWT (Arrasyid, 2020: 71). Dengan cara
mempraktekan konsep-konsep yang ada dalam tasawuf. Konsep-konsep
ini mengarahkan manusia atau sufi berada sedekat mungkin dengan Allah
SWT. Meskipun tasawuf belum ada saat zaman Nabi SAW, bukan berarti
praktif tasawuf belum ada di zaman nabi. Nabi dan para sahabat adalah
orang-orang yang mempraktikan tasawuf dalam kehidupan sehari-hari.
Saat itu belum muncul istilah tasawuf kemungkinan karena semua umat
Islam pada masa itu memang seragam secara amal ibadah.
Setiap orang memiliki tingkatan yang berbeda dalam hal
keteguhannya menjaga kualitas hidup di hadapan Tuhan mereka. Dalam
tasawuf tingkatan-tingkatan ini disebut dengan maqam, yang menunjukkan
posisi seseorang. Karena tidak ada redaksi dalam Al Quran maupun Hadis
Nabi mengenai tingkatan ini, para ulama pun berbeda-beda dalam
penetapannya.
Dalam perkembangan tasawuf, para ahli tasawuf atau sufi
memaparkan konsep religio-moral yang disebut maqamat dan juga teori
ahwal yang bersifat psiko-gnostik yang harus dilalui oleh para sufi.
Maqamat ini bertingkat-tingkat dan tidak disepakati kronologi dan
sistematikannya. Tetapi menurut Abu Nashr As-Sarraj al-Thusi, yang
paling banyak digunakan oleh sufi adalah taubat, zuhud, wara’, sabar,

2
tawakal, dan ridha. Akan tetapi ada beberapa sufi yang berpendapat,
bahwa sesudah ridha masih adamaqam yang lebih tinggi, yaitu ma’rifat,
mahabbah, dan ijtihad (Mubassyirah, 2018: 77-78).
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka berikut adalah rumusan
masalahnya:
a. Apa pengertian maqam?
b. Apa saja macam-macam maqam?
c. Apa pengertian ahwal?
d. Apa saja tingkatan ahwal?
B. Pembahasan
1. Pengertian Maqam
Istilah maqam secara terminologi tasawuf memiliki makna yang
jauh berbeda dengan istilah umum yang berarti kuburan. Pengertian
maqam (jamak: maqamat) berarti kedudukan spiritual (Englsih: Station).
Maqam arti dasarnya adalah “tempat berdiri”. Kaum sufi telah
merumuskan teori-teori tentang jalan menuju Allah SWT, yaitu menuju
ke suatu tahap ma’rifatullah (mengenal Allah SWT dengan hati). Secara
bertahap menempuh berbagai tahapan yang dikenal dengan maqam yang
berakhir kepada Allah SWT (Zulfikli & Jamaluddin, 2018: 83).
Sedangkan Abu Nashr As-Sarraj al-Thusi memberikan pengertian
berbeda yaitu sebagai berikut:
‫مقام العبد يدى هللا فيما يقام فيه من العبادات والمجاهدات والرياضات والنقطاع إلى هللا‬
“Kedudukan hamba di hadapan Allah yang diperoleh melalui kerja
keras dalam ibadah, kesungguhan melawan hawa nafsu, latihan-latihan
kerohanian serta menyerahkan seluruh jiwa dan raga semata-mata untuk
berbakti kepada-Nya.”
2. Macam-macam Maqam
a. Taubat
Secara etimologi taubat berasal dari kata taba, yatubu, taubatan
artinya kembali (Arrasyid, 2020: 72). At-Taubah dapat diartikan

3
memohon ampun atas segala dosa dan kesalahan-kesalahan yang
dilakukan, disertai janji-jani yang sunggu-sungguh untuk tidak
mengulangi dosa-dosa atau kesalahan serupa, kemudian disertai
dengan amal sholeh. Di kalangan sufi taubat juga dimaknai
“keharusan untuk memohon ampunan dari rasa dengki, riya, kelalaian
mengingat Allah SWT dan penyakit hati lainnya.
Cara taubat menurut pandangan Ibn Atha’illah adalah dengan
bertafakkur dan berkhalwat. Tafakkur adalah hendaknya seorang
saling melakukan instropeksi terhadap semua perbuatannya. Jika dia
mendapati perbuatannya tersebut berupa ketaatan kepada Allah SWT,
maka hendaknya dia bersyukur kepada-Nya. Dan sebaliknya jika dia
mendapati amal perbuatannya berupa kemaksiatan, maka hendaknya
dia segera beristighfar dan bertaubat kepada-Nya. (Zulfikli &
Jamaluddin, 2018: 87-89).
b. Wara
Secara bahasa wara’ artinya shaleh, menjauhkan diri dari
perbuatan dosa. Secara bahasa wara’ artinya shaleh, menjauhkan diri
dari perbuatan dosa. Secara istilah, wara’ adalah menjauhi perkara
yang syubhat karena takut terjatuh dalam perkara yang haram. Di
antara tanda yang mendasar bagi orang-orang yang wara’ adalah
kehati-hatian mereka yang luar biasa dari sesuatu yang haram dan
tidak adanya keberanian mereka untuk maju kepada sesuatu yang bisa
membawa kepada yang haram. (Mukhlisisn, 2017: 32-41).
Berkaitan dengan hal tersebut, Rasulullah SAW. bersabda,
“Dari Abu Abdillah An-Nu’man bin Basyir Radhiyallahu ‘Anhuma
berkata: aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
bersabda, “Sesungguhnya yang halal telah jelas dan yang haram telah
jelas, dan di antara keduanya terdapat perkara-perkara yang syubhat
(samar) yang tidak diketahui kebanyakan manusia. Barangsiapa
menjaga diri dari hal yang samar (syubhat), sungguh dia telah

4
memelihara agama dan kehormatannya…” (HR. Al Bukhari no. 52
dan Muslim no. 1599).
c. Zuhud
Menurut Ibn Athaillah, zuhud ada dua macam. Pertama, zuhud
zahir jali seperti zuhd dari perbuatan berlebih-lebihan dalam perkara
halal, seperti: makanan, pakaian, dan hal lain yang tergolong dalam
perhiasan duniawi. Kedua, zuhud batin khafi seperti zuhd dari segala
bentuk kepemimpinan, cinta penampilan zahir, dan juga berbagai hal
maknawi yang terkait dengan keduniaan (Zulfikli & Jamaluddin,
2018: 89).
Hakikat zuhud dapat ditemukan dalam Surah An-Nisa ayat 77,
ْ ُ‫ع ال ُّد ْنيَا قَلِ ْي ۚ ٌل َوااْل ٰ ِخ َرةُ خَ ْي ٌر لِّ َم ِن اتَّ ٰقىۗ َواَل ت‬
‫ظلَ ُموْ نَ فَتِ ْي ًل‬ ُ ‫قُلْ َمتَا‬
Katakanlah, “Kesenangan di dunia ini hanya sedikit dan akhirat itu
lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa (mendapat pahala turut
berperang) dan kamu tidak akan dizalimi sedikit pun.”
Sedang menurut Hamka sebagai tokoh tasawuf Modern
mengatakan bahwa Zuhud akan dunia itu adalah sudi miskin, sudi
kaya, sudi tidak mempunyai uang sepeserpun juga, sudi jadi miliuner,
tetapi harta itu tidak menjadi alasan buat dia melupakan Tuhan, atau
lalai dari kewajiban (Hamka, 2015: 263).
d. Sabar
Ibn ‘Ata’illah membagi sabar menjadi tiga macam:
1) Sabar terhadap perkara haram. Sabar terhadap perkara haram
adalah sabar terhadap hak-hak manusia.
2) Sabar terhadap kewajiban. Sedangkan sabar terhadap kewajiban
adalah sabar terhadap kewajiban dan keharusan untuk
menyembah kepada Allah SWT. Segala sesuatu yang menjadi
kewajiban ibadah kepada Allah SWT akan melahirkan bentuk
sabar.
3) Sabar terhadap segala perencanaan (angan-angan) dan usaha
(Zulfikli & Jamaluddin, 2018: 91-92).

5
e. Fakir
Secara bahasa fakir biasanya diartikan sebagai orang yang berhajat,
orang yang butuh atau orang miskin. Adapun dalam pandangan sufi
fakir adalah tidak meminta lebih dari apa yang telah ada pada diri kita.
Tidak meminta rezeki kecuali hanya untuk dapat menjalankan
kewajiban-kewajiban. Tidak meminta walaupun tidak ada pada diri
kita, kalau diberi dia terima. Dia tidak meminta dan tidak juga
menolak apabila diberikan kepadanya. Fethullah Gulen mengartikan
“bahwa fakir adalah kesadaran atas kebutuhan kepada Allah semata
dan hidup dalam kesadaran atas kecukupan pada makhluk”. Yahya bin
Mu’adz ketika ditanya tentang hakikat kefakiran dia menjawab bahwa
seseorang tidak butuh lagi selain Allah, dan tanda kefakiran adalah
tidak adanya harta benda (Arrasyid, 2020: 73-74).
f. Ridha dan tawakkal
Ridha artinya ikhlas menerima apapun yang telah ditentukan dan
ditakdirkan oleh Allah kepadanya. Keikhlasan mereka dalam
menerima semata-mata karena Allah. Orang yang telah memiliki sifat
“ridha” tidak akan mudah bimbang atau kecewa atas pengorbanan
yang menimpanya, tidak merasa menyesal dalam hidup kekurangan,
tidak iri hati atas kelebihan-kelebihan yang telah dimiliki oleh orang
lain, karena mereka kuat dan tetap berpegang pada aqidah yang
berkaitan dengan qadha dan qadhar yang semuanya itu dari Allah
(Mustafa, 1979: 71-72).
Rida dalam pandangan Ibn ‘Ata’illah adalah penerimaan secara
total terhadap ketentuan dan kepastian Allah SWT. Hal ini didasarkan
pada QS. al-Maidah ayat 11,
ُ‫ض َي هّٰللا ُ َع ْنهُ ْم َو َرضُوْ ا َع ْنه‬
ِ ‫َر‬
“Allah rida kepada mereka dan mereka pun rida kepada-Nya.”
Maqam tawakkal akan membangkitkan kepercayaan yang
sempurna bahwa segala sesuatu ada dalam kekuasaan Allah SWT.

6
Sebagaimana termaktub dalam QS. Hud ayat 123 Allah SWT
berfirman:
َ ُّ‫َواِلَ ْي ِه يُرْ َج ُع ااْل َ ْم ُر ُكلُّهٗ فَا ْعبُ ْدهُ َوتَ َو َّكلْ َعلَ ْي ۗ ِه َو َما َرب‬
َ‫ك بِغَافِ ٍل َع َّما تَ ْع َملُوْ ن‬
“Dan kepada-Nya segala urusan dikembalikan. Maka sembahlah
Dia dan bertawakallah kepada-Nya. Dan Tuhanmu tidak akan lengah
terhadap apa yang kamu kerjakan.”
Sebagaimana maqam-maqam lainnya, maqam ridha dan tawakkal
tidak akan benar jika tanpa menanggalkan angan-angan. Menyerah
kepada qadhâ’illah (keputusan takdir) Allah SWT termasuk tidak
boleh mengandai-andaikan, misalnya andaikan tadinya dia tidak ikut
rombongan ini, barangkali dia tidak termasuk korban kecelakaan ini,
sebagaimana firman Allah SWT.:
ْ‫ض اَو‬ ِ ْ‫ض† َربُوْ ا فِى ااْل َر‬ َ ‫ٰيٓاَيُّهَ†ا الَّ ِذ ْينَ ٰا َمنُ†وْ ا اَل تَ ُكوْ نُ†وْ ا َكالَّ ِذ ْينَ َكفَ†رُوْ ا َوقَ†الُوْ ا اِل ِ ْخ† َوانِ ِه ْم اِ َذا‬
‫ك َح ْس† َرةً فِ ْي قُلُ††وْ بِ ِه ْم ۗ َوهّٰللا ُ يُحْ ٖي‬ َ †ِ‫َكانُوْ ا ُغ ًّزى لَّوْ َكانُوْ ا ِع ْن َدنَا َم††ا َم††اتُوْ ا َو َم††ا قُتِلُ††وْ ۚا لِيَجْ َع† َل هّٰللا ُ ٰذل‬
‫ويُمي ُ هّٰللا‬
ِ َ‫ْت ۗ َو ُ بِ َما تَ ْع َملُوْ نَ ب‬
‫ص ْي ٌر‬ ِ َ
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu seperti orang-
orang kafir yang mengatakan kepada saudara-saudaranya apabila
mereka mengadakan perjalanan di bumi atau berperang, “Sekiranya
mereka tetap bersama kita, tentulah mereka tidak mati dan tidak
terbunuh.” (Dengan perkataan) yang demikian itu, karena Allah
hendak menimbulkan rasa penyesalan di hati mereka. Allah
menghidupkan dan mematikan, dan Allah Maha Melihat apa yang
kamu kerjakan.” (Zulfikli & Jamaluddin, 2018: 96-100).
g. Syukur
Ibnu Athaillah membagi macam syukur menjadi tiga, yaitu:
1) Syukur dengan lisan, yaitu mengungkapkan secara lisan,
menceritakan nikmat yang didapat.
2) Syukur dengan anggota tubuh, yaitu syukur yang
diimplementasikan dalam bentuk ketaatan.

7
3) Syukur dengan hati, yaitu dengan mengakui bahwa hanya Allah
SWT Sang Pemberi Nikmat, segala bentuk kenikmatan yang
diperoleh dari manusia semata-mata dari-Nya.
Manfaat dari syukur adalah menjadikan anugerah kenikmatan yang
didapat menjadi langgeng, dan semakin bertambah. Ibn ‘Ata’illah
memaparkan bahwa jika seorang salik tidak menshukuri nikmat yang
didapat, maka bersiap-siaplah untuk menerima sirnanya kenikmatan
tersebut. Dan jika dia menshukurinya, maka rasa shukurnya akan
menjadi pengikat kenikmatan tersebut. Allah SWT berfirman:
‫لَِئن َشكَرْ تُ ْم َأَل ِزي َدنَّ ُك ْم‬
"Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah
(nikmat) kepadamu,…” QS. Ibrahim: 7. (Zulfikli & Jamaluddin, 2018:
91-93).
h. Khauf
Khauf merupakan maqam para pesuluk dan ahwal (pengalaman
ruhani) para thalibin. Dinamakan hal selama bersifat sementara dan
dapat hilang atau muncul kembali. Sedangkan dinamakan maqam jika
telah teguh. (Al-Ghazali, Terj. Irwan Kurniawan, 2008: 337).
Secara terminologi khauf merupakan suatu sikap mental yang
merasa takut kepada Allah karena kurang sempurnanya suatu
pengabdian seorang hamba. Menurut Qusyairiyah takut mempunyai
arti yang berhubungan dengan masa yang akan datang, karena orang
akan takut menghalalkan yang makruh dan meninggalkan yang sunah.
Hal ini tidak begitu penting kecuali jika membawa dampak positif di
masa depan. Jika sekarang hal itu muncul, maka pengertian takut tidak
terkait. Sedangkan pengertian takut kepada Allah ialah takut kepada
siksaan Allah baik di dunia maupun di akhirat. (Al-Qusyairi, 2002,
167).
i. Mahabbah
Al-Hub atau mahabbah adalah satu istilah yang selalu
berdampingan dengan ma’rifat, karena nampaknya manifestasi dari

8
mahabbah itu adalah tingkat pengenalan kepada Tuhan yang disebut
dengan ma’rifat. Al-Hubb mengandung pengertian terpadunya seluruh
kecintaan hanya kepada Allah SWT yang menyebabkan adanya rasa
kebersamaan dengan-Nya. Seluruh jiwa dan segenap ekspresinya
hanya diisi oleh rasa cinta dan rindu kepada Allah SWT, rasa cinta
dan rindu yang tumbuh karena keindahan dan kesempurnaan zat Allah
SWT, tanpa motivasi lain kecuali hanya kasih Allah SWT,
sebagaimanayang disenandungkan oleh Rabi’ah al-Adawiyyah (w.
185H) dengan sya’irnya:
“Tuhanku, bila mana aku menyembah-Mu karena tahut akan
neraka-Mu, maka campakkan aku kedalamnya, dan bila mana aku
menyembah-Mu karena harap bisa masuk sorga-Mu, maka haramkan
ia untukku, tapi bila mana aku menyembahmu karena kasihku pada-
Mu, maka janganlan tutup wajah-Mu dari pandanganku” (Zulfikli &
Jamaluddin, 2018: 100-102).
j. Hakikat
Istilah hakikat berasal dari kata Al-Haqq, yang berarti kebenaran.
Kalau dikatakan Ilmu Hakikat, berarti ilmu yang digunakan untuk
mencari suatu kebenaran. Kemudian beberapa ahli merumuskan
definisinya sebagai berikut:
1) Asy-Syekh Abu Bakar Al-Ma’ruf: “Hakikat adalah (suasana
kejiwaan) seorang Saalik (Shufi) ketika ia mencapai suatu
tujuan, sehingga ia dapat menyaksikan (tanda-tanda) ketuhanan
dengan mata hatinya”.
2) Imam Al-Qasyairiy: “Hakikat adalah menyaksikan sesuatu yang
telah ditentukan, ditakdirkan, disembunyikan (dirahasiakan) dan
yang telah dinyatakan (oleh Allah SWT kepada hamba-Nya”
(Zulfikli & Jamaluddin, 2018: 104).
k. Ma’rifat
Istilah Ma’rifat berasal dari kata “Al-Ma’rifah” yang berarti
mengetahui atau mengenal sesuatu. Dan apabila dihubungkan dengan

9
pengamalan Tasawuf, maka istilah ma’rifat di sini berarti mengenal
Allah SWT ketika Shufi mencapai maqam dalam Tasawuf. Dalam
istilah tasawuf berarti pengetahuan yang sangat jelas dan pasti tentang
Tuhan yang diperoleh melalui sanubari. Karena jelas dan pastinya
pengethuan itu, menyebabkan seorang merasa haru dengan yang
diketahuinya itu (Zulfikli & Jamaluddin, 2018: 105-106).
3. Pengertian Ahwal
Istilah hal menurut sufi adalah makna, nilai atau rasa yang hadir
dalam hati secara otomatis, tanpa unsur kesengajaan, upaya, latihan dan
pemaksaan. Simuh menjelaskan, bahwa hal adalah pengalaman dan
perasaan kejiwaan yang berubah dan dialami secara tiba-tiba tanpa
diikhtiari, yakni di luar usaha manusia. Karena terjadi di luar usaha ma-
nusia maka hal merupakan hibah, anugerah dan hadiah dari Allah.
Dengan demikian hal berbeda dengan maqam, karena maqam harus
diusahakan. Ahwal adalah anugerah (hibah) dari Allah sedang maqamat
adalah hasil jerih payah dari hamba. Ahwal bersifat berubah-ubah sedang
maqamat bersifat tetap (Simuh, 2002: 72).
Disimpulkan bahwa antara maqamat dan ahwal memiliki
perbedaan. Jika maqamat merupakan tingkatan seorang hamba di hadapan
Tuhannya dalam hal ibadah dan latihan-latihan jiwa yang dilakukannya,
artinya maqamat merupakan hasil usaha manusia, sedangkan ahwal
adalah suatu kondisi atau keadaan jiwa yang diberikan oleh Allah kepada
seseorang hamba, tanpa harus dilakukan suatu latihan oleh orang tersebut.
Meskipun jika ditelusuri terus bahwa pemberian Tuhan tersebut ada
hubungannya dengan upaya-upaya yang telah dilakukan oleh seorang
hamba sebelumnya (M. Jamil, 2004: 56).
Ada banyak definisi berkaitan dengan ahwal yang bermunculan di
berbagai rujukan sufi, hal demikian memang dirumuskan oleh para sufi,
diantaranya seperti pandangan Al-Thusi yaitu: “Ahwal adalah keadaan
hati yang selalu berzikir, dan bukanlah hal itu dilihat dari metodologi
mujahadah dan latihan-latihan seperti yang telah disebutkan sebagaimana

10
terdahulu. Ahwal tersebu seperti: merasa diawasi Allah SWT, perasaan
dekat dengan Allah SWT, rasa cinta, takut, harap, rindu. tenang, yakin
dan lainnya (Zulfikli & Jamaluddin, 2018: 111-112).
4. Tingkatan Ahwal
Seperti halnya maqa, ahwal juga memiliki macam-macam
tingkatannya. Tentang jumlah tingkatan maqam dan ahwaal, tidak
disepakati oleh Ulama Tasawuf. Abu Nashr As-Sarraaj mengatakan
bahwa tingkatan maqam ada tujuh, sedangkan tingkatan ahwaal ada
sepuluh. Sedangkan mengenai tingkatan hal (al-ahwaal) menurut Abu
Nash As-Sarraj, dapat dikemukakan sebagai berikut
a. Tingkatan Pengawasan diri (Al-Muraaqabah)
b. Tingkatan kedekatan diri (Al-Qurbu)
c. Tingkatan cinta (Al-Mahabbah)
d. Tingkatan takut (Al-Khauf)
e. Tingkatan harapan (Ar-Rajaa)
f. Tingkatan kerinduan (Asy-Syauuq)
g. Tingkatan kejinakan atau senang mendekat kepada perintah Allah
SWT (Al-Unsu)
h. Tingkatan ketengan jiwa (Al-Itmi’naan)
i. Tingkatan Perenungan (Al-Musyaahaah)
j. Tingkatan kepastian (Al-Yaqiin) (Zulfikli & Jamaluddin, 2018:
1114-115).
Misalnya Muraqabah, memiliki makna yang sama dengan istilah
ihsan, yaitu keyakinan yang mendalam bahwa Allah terus menerus
mengamati seluruh aktivitas baik lahir maupun batin. Kisah yang selalu
dikemukakan dalam hal muraqabah ini adalah kisah ibn Umar yang
mencoba membujuk penggembala agar mau menjual satu ekor kambing
gembalaannya dan menyuruh melaporkan kepada pemiliknya bahwa
kambing tersebut sudah dimakan serigala. Pengembala itu tidak bersedia
bahkan menjawab fa aina Allah (di mana Allah? /Allah selalu
mengawasi).

11
Kisah lain ialah kisah seorang guru yang diprotes oleh murid-
muridnya karena mengistimewakan salah seorang murid. Para murid
menanyakan kelebihan apa yang dimiliki murid tersebut. Untuk
menjawab pertanyaan tersebut, sang guru memberikan kepada setiap
murid seekor ayam dan menyuruh menyembelihnya di suatu tempat yang
tidak diketahui oleh siapapun. Semua murid kembali dengan ayam yang
telah mereka sembelih, kecuali murid yang dikasih tersebut membawa
kembali ayamnya dalam keadaan hidup (tidak disembelih). Waktu sang
guru menanyakan mengapa tidak disembelih, ia menjawab tidak
menemukan satu tempatpun yang tidak diketahui oleh Tuhan. Inilah
kelebihan murid tersebut yang telah sampai kepada muraqabah.
Muraqabah juga diartikan di kalangan para sufi sebagai mawas diri.
Artinya meneliti dan merenung apakah tindak tanduk setiap harinya telah
sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh Allah atau bahkan menyimpang
dari yang dikehendaki-Nya (Asnawiyah, 2014: 84).
C. Simpulan
Disimpulkan bahwa antara maqamat dan ahwal memiliki perbedaan.
Jika maqamat merupakan tingkatan seorang hamba di hadapan Tuhannya
dalam hal ibadah dan latihan-latihan jiwa yang dilakukannya, artinya
maqamat merupakan hasil usaha manusia, sedangkan ahwal adalah suatu
kondisi atau keadaan jiwa yang diberikan oleh Allah kepada seseorang
hamba, tanpa harus dilakukan suatu latihan oleh orang tersebut. Meskipun
jika ditelusuri terus bahwa pemberian Tuhan tersebut ada hubungannya
dengan upaya-upaya yang telah dilakukan oleh seorang hamba
sebelumnya.

Daftar Pustaka

Abul Qasim Abdul Karim Hawazin Al Qusyairi An Naisaburi. Risalah


Qusyairiyah Sumber Kajian Ilmu Tasawuf. Terj. Ma’ruf Zariq dan Ali
Abdul Hamid Balthajy. Jakarta: Pustaka Amani.

12
Al-Ghazali. 2008. Mutiara Ihya Ulumuddin: Ringkasan yang Ditulis Sendiri Oleh
Sang Hujjatul Islam. Terj. Irwan Kurniawan. Bandung: Mizan Pustaka.
Arrasyid. 2020. Tasawuf dan Problematika Modernitas: Menimbang Maqamat
dan Ahwal Abu Nashr As-Sarraj. Jurnal Kajian Keagamaan dan
Kemasyarakatan, 04(01): 70-80.
Asnawiyah. 2014. Maqam dan Ahwal: Makna dan Hakikatnya. Substantia, 16(1):
79-85.
Bakry, Mubassyirah M. 2018. Maqamat, Ahwal dan Konsep Mahabbah Ilahiyah
Rabi‘Ah Al-‘Adawiyah (Suatu Kajian Tasawuf). Jurnal al-Asas, 1(2): 76-
99.
Hamka. 2015. Tasawuf Modern: Bahagia itu Dekat dengan Kita Ada di dalam
Diri Kita. Bandung: Republika.
M. Jamil. 2004. Cakrawala Tasawuf: Sejarah, Pemikiran dan Kontekstualitas.
Ciputat: Gaung Persada Press).
Mukhlisin. 2017. Ciri-Ciri Wara dalam Al-Qur’an (Studi Tafsir Al-Misbah dan
Tafsir AlAzhar). Skripsi. Program Sarjana UIN Raden Intan Lampung.
Lampung.
Simuh. 2002. Tasawuf dan {erkembangannya dalam Islam. Jakarta: Raja Grafindo
Persada.
Zahir, Mustafa. 1979. Kunci Memahami Ilmu Tasawuf. PT Bina Ilmu: Surabaya.
Zulfikli dan Jamaluddin. 2018. Akhlak Tasawuf: Jalan Lurus Mensucikan Diri.
Riau: Kalimedia.

13

Anda mungkin juga menyukai