Disusun oleh :
2020
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Shalat yang khusyu ' adalah sebuah kewajiban. Shalat tanpa kekhusyuan bagai
raga tak bernyawa. Shalat tanpa kekhusyuan adalah jasad tak berkepala. Sebaliknya
khusyu ' sendiri adalah kunci kemenangan dan keberuntungan. Di dalam al - Qur'an ,
Allah menyatakan dalam QS. Al-Mu’minun 1: " قد أفلح المؤيمونSungguh beruntunglah
orang - orang beriman ... " Siapakah orang-orang yang beriman itu?” و الذين هم في
“ ص==التهمYaitu orang-orang yang selalu khusyu’ dalam shalat-shalat mereka...” (al-
Mukminun: 2) Dan inilah salah satu sifat yang akan menobatkan kita sebagai salah
satu pewaris surga Firdaus vang kekal (Lih. Surah al-Mukminun: 10-11)1
Dalam penjelasannya suatu ketika , Rasulullah Shallallahu ' alaihi wa sallam
juga pernah menggambarkan dahsyatnya shalat yang khusyu ' dengan mengatakan :
"Lima shalat yang diwajibkan Allah Ta'ala; siapa yang berwudhu dengan baik, lalu
mengerjakannya tepat pada waktunya, dan ia menyempurnakan rukun serta
kekhusyu'annya, maka ia mempunyai jaminan di sisi Allah untuk diampuni. Namun
jika ia tidak melakukan itu, maka ia tidak memiliki jaminan di sisi Allah, jika la mau,
la akan mengampuninya. Namun jika la mau, la akan menyiksanya." (HR .Abu
Dawud)
Dengan semua keutamaan dan kedahsyatan ini, maka tidak hernalah jika
hilangnya khusyu'an adalah sebuah bencana dan pertanda buruk. Maka, sebagaimana
kebaikan-kebaikan lainnya, kekhusyu’an termasuk yang akan diangkat dan hilang dari
kehidupan manusia menjelang Hari Kiamat. Maka Nabi SAW bersabda: "Hal
pertama yang akan diangkat dari ummat ini adalah kekhusyu'an, hingga engkau tidak
akan melihat seorang yang khusyu'pu di dalamnya." (Lih. Shahih al-Taghrib. no.
543)2
Berdasarkan hal tersebut, maka kekhusyu’an didalam melaksanakan shalat itu
sangat penting, mengingat shalat merupakan tiang agama, dan hal oertama yang akan
dihisab atau dipertangungjawabkan diakhirat kelat.
1
Muhammad Iqbal al-Sinjawy, 10 menit belajar tips shalat khusyu' (Jakarta: Zad media, 2015), hlm. 1
2
Ibid, hlm. 2
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana gambaran umum mengenai khusyu’?
2. Bagaimana makna khusyu’ dalam melaksanakan shalat?
3. Bagaimana cara/langkah agar dapat mencapai kekhusyu’an didalam shalat?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui gambaran umum mengenai khusyu’.
2. Untuk mengetahui makna khusyu’ dalam melaksanakan shalat.
3. Untuk mengetahui cara/langkah agar dapat mencapai kekhusyu’an didalam
shalat.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Khusyu'
Secara bahasa atau etimologi, term khusyu’ yang berakar dari huruf kha-sha-‘a dapat
berarti tenang atau tunduk (al-khudu’i).3 Khusyu’ dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
diartikan sebagai penuh konsentrasi, bersungguh-sungguh, dan penuh kerendahan hati.4
Dalam QS. Al-Baqarah: 45
ِ 8 ا8خ8َ 8 ْل8 ا8 ى8َ ل8 ِإ اَّل َع8ٌ ة8 َر8 ي8ِ ب8 َك8َ ل8 ا8َّ َه8 ِإ ن8و8َ 8ۚ 8 اَل ِة8َّص8ل8 ا8 َو8 ِر8 ْب8َّص8ل8 ا8ِ ب8ا8 و8ُن8 ي8ع8ِ 8َ ت8س
8ن8َ 8 ي8 ِع8ش ْ 8 ا8َو
َالَّ ِذينَ يَظُنُّونَ َأنَّ ُهم ُّماَل قُو َربِّ ِه ْم َوَأنَّ ُه ْم ِإلَ ْي ِه َرا ِجعُون
Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sebenarnya yang demikian itu
sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu ',
(yaitu) orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Tuhannya, dan bahwa
mereka akan kembali kepada-Nya
menyatakan bahwa al-khashi’in yaitu orang-orang yang merendahkan hati penuh ketenangan
dalam mematuhi perintah Allah dan merasa hina karena takut akan siksa-Nya.5 Penafsiran
yang hampir sama diberikan oleh M. Quraish Shihab bahwa khusuk adalah keengganan
mengarah kepada kedurhakaan. Orang-orang yang khusuk dalam ayat ini adalah mereka yang
menekan kehendak nafsunya dan membiasakan diri untuk selalu menerima dan merasa
tenang menghadapi segala ketentuan dan Takdir Allah serta selalu mengharapkan yang
terbaik. ia bukanlah orang yang terpedaya oleh rayuan nafsu. Ia adalah yang mempersiapkan
dirinya untuk menerima dan mengamalkan kebijakan. Orang-orang khusyu’ yang dimaksud
oleh ayat ini adalah mereka yang takut lagi mengarahkan pandangannya kepada kesudahan
segala sesuatu sehingga denga demikian mudah baginya berlaku sabar yang membutuhkan
penekanan gejolak nafsu dan mudah juga baginya melaksanakan shalat kendati kewajiban ini
3
Ahmad Munawir Warson, Al-Munawir Kamus Arab Indonesia (Surabaya: Pustaka Progressif,
1997), hlm. 341.
4
Umi Chulsum dan Windi Novia, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Surabaya: Kashiko, 2006), hlm. 378
5
Muhammad ‘Ali al-Shabuni, Mukhtasar Ibn Kathir, (Beirut: Dar al-Fikr, 1976), Vol. 1, hlm. 61.
mengharuskan disiplin wantu serta kesucian jasmani, padahal ketika itu boleh jadi ia sedang
disibukkan oleh aktivitas yang menghasilkan harta dan kelezatan6
Ibnu katsir menyatakan bahwa al-khashi’in yaitu orang-orang yang merendahkan hati
penuh ketenangan dalam mematuhi perintah Allah dan merasa hina karena takut akan siksa-
Nya. Begitu juga Menurut Imam Al-Ghāzali khusyu’ adalah buah keimanan dan hasil
keyakinan akan keangungan Allah SWT. Siapapun yang dapat merasakannya, maka dia akan
khusyu’ dalam shalatnya, bahkan diwaktu sendirian. Khusyu’ bisa timbul dari kesadaran
bahwa Allah SWT. Slalu mengawasi gerak gerik hamban-Nya, kesadaran tentang keagungan-
Nya serta kekurangan diri hamba dalam melaksanakan perintah Tuhan-Nya.7
Nilai dan kualitas ibadah seseorang bergantung pada kekhusyukannya. Semakin tinggi
tingkat kekhusyukannya, semakin besar kemungkinan diterima oleh Allah SWT. Karena
khusyuk menjadi tolak ukur kualitas salat, maka orang yang menunaikan salat haruslah
memahami khusyu’.
Imam al-Jurjany dalam kitab al-Ta’rifa menjelaskan bahwa orang yang khusyuk
dalam salat adalah orang yang merendahkan di hadapan Allah dengan segenap hati dan
anggota badannya. Jadi khusyuk bukan sekadar perbuatan hati, namun termanifestasi dalam
gerakan-gerakan salat yang benar, teratur, dan tuma’ninah.
Ibadah yang paling tampak dalam masalah kekhusyu’an adalah ibadah shalat.
Sehingga dalam melaksanakan shalat sebisa mungkin kita mencapai atau berusaha khusyu.
Maka, Allah SWT memberikan pujian kepada hamba-hambanya yang khusyu’ dalam
6
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Vol. 1 (Jakarta: Lentera Hati, 2012), hlm. 223.
7
Abu Hamid Al-Ghazali, Ihya ‘Ulumuddin, (Beirut: Dar al Makhrifah), Juz I hlm. 171
melaksanakan shalat sebagai hamba yang beruntung. Sebagaimana dalam QS. Al-
Mu’minuun: 1-2
Manusia pasti memiliki rasa takut yang dipengaruhi oleh dirinya sendiri maupun
orang lain, yakni takut akan kemiskinan, takut akan kematian, takut akan tekanan-tekanan
sesama manusia. Bahkan, kadang-kadang manusia berani pun ada juga rasa takutnya.
Roosevelt Presiden Amerika Serikat dalam perang dunia kedua, menambahkan lagi salah satu
tujuan “Declaration of Human Right” ialah bebas dari rasa takut (freedom from fear).
Padahal tidaklah manusia dapat membebaskan diri dari rasa takut itu, sebab naluri rasa takut
adalah sebagian dari naluri rasa takut mati. Takut mati ialah karena keinginan hendak terus
hidup.
Dengan mengerjakan shalat, maka seluruh rasa takut telah terpusat kepada Tuhan,
maka tidaklah ada lagi yang kita takuti dalam hidup ini. Kita tidak takut mati, karena dengan
8
Buya Hamka, Tafsir Al-Azhar, (Singapura: Pustaka Nasional Pte Ltd, 1990), hlm. 4753
mati kita akan segera berjumpa dengan Tuhan untuk mempertanggungjawabkan amal kita
selama hidup ini. Kita tidak takut kepada zalim aniaya sesama manusia, karena sesama
manusia itu hanyalah makhluk sebagaiman kita juga. Kita tidak takut kepada lapar lalu tak
makan, karena rezeki itu telah dijamin Tuhan, asal kita mau berusaha. Kita tidak takut
menghadang bahaya, karena tidak ada yang bergerak di dalam alam ini kalau tidak ditentukan
Tuhan. Dengan sembahyang yang khusyu’ rasa takut menjadi hilang, lalu timbul perasaan-
perasaan yang lain. Timbullah pengharapan, dan pengharapan adalah kehendak asasi
manusia. Hidup manusia tidak ada artinya samasekali kalau dia tidak mempunyai
pengaharapan.9
Khusyu’ artinya ialah hati yang patuh dengan sikap badan yang tunduk. Sembahyang
yang khusyu’, setelah menghilangkan rasa takut adalah pula menyebabkan berganti dengan
berani, dan jiwa jadi bebas. Dengan sembahyang barulah kita merasai nilai kepercayaan
(Iman) yang tadinya telah tumbuh dalam hati.10
Orang yang beriman pasti sembahyang, tetapi sembahyang tidak ada artinya kalau
semata hanya gerak badan berdiri, duduk, ruku’, dan sujud. Sembahyang mesti berisi dengan
khusyu’. Sembahyang dengan khusyu’ adalah laksana tubuh dengan nyawa. Dengan hal itu,
akan menjadikan lebih kuat berjuang dalam menjalankan hidup.11
9
Buya Hamka, Tafsir Al-Azhar, (Singapura: Pustaka Nasional Pte Lt, 1990), hal. 4754
10
Ibid, hlm. 4754
11
Ibid, hlm. 4755
12
Muhammad Iqbal al-Sinjawy, 10 menit belajar tips shalat khusyu' (Jakarta: Zad media, 2015), hlm 4-7
e) Memohon dan meminta kepada allah diantara adzan dan iqamah
f) Mengenakan pakaian yang baik dan bersih
g) Bersegera menuju masjid/musholla dengan tetap tenang dan tawadhu’
h) Menanti saatnya shalat ditegakkan dengan berdziki atau membaca al-quran
2. Berlatih untuk bersikap tenang dalam shalat
Ketika Allah swt memerintahkan untuk melaksanakan shalat, maka itu bermakna
mengerjakannya dengan benar dan sempurna. Baik ruku’, sujud, bacaan dan semua unsurnya.
Dan sangat mustahil kekhusyu’an akan dicapai dengan tergesa-gesa dan terburu-buru.
Kekhuyu’an hanya akan terwujud denga ketenangan dalam melaksankan shalat. Para ulama
biasa menyebutnya dengan istilah Thuma’ninah. Yakni dengan menyempurnakan kembalinya
posisi anggota tubuh dalam setiap gerakan shalat.
Jika igin khusyu’ maka lepaskan semua ikatan-ikatan dunia dengan menghadirkan
kematian kita dalam shalat. Jadi kita membayangkan bahwa ini adalah shalat terakhir. Setelah
itu tiada, karena telah meninggalkan dunia yang fana. Persaan semacam ini harus dilatih dari
wktu ke waktu.
Agar dapat memahai dan mentafakkuri bacaan al-Qur’an dalam shalat, maka kita harus
membacanya dengan tenang. Ayat demi ayat. Tidak tergesa-gesa dan terburu-buru. Menahan
diri dan berlatih sabar dalam membaca ayat per ayat. Belajar unuk membaca Al-Qur’an
dengan tartil didalam shalat. Tartil artinya membaca ayat per ayat dengan berusaha
memperindah suara ketika membacanya.
Ketika kita melaksanakan shalat, pandangan tidak boleh keatas, kebawah, kekanan, kekiri
dan kedepan, tetapi arahkan ketempat sujud. Hal tersebut akan membatu kita untuk lebih
khusyu’ dalam shalat. Sementara ketika bertasyahud, maka Rasulullah mengajarkan untuk
memandang kearah jari telunjuk yang menunjuk ketika membaca do’a tasyahud.
8. Beristidzah
Istidzah adalah memohon perlinungan dari Allah terhapa syaitan. Sudah snagat jelas
bahwa yang mengganggu kita untuk tidak khusyu’ adalah syaitan. ialah yang membisik-
bisikkan dan menghembuskan gangguan kedalam jiwa manusia. Bahkan sebelum itu, syaitan
telah berusaha dengan segala macam cara agar kita tidak memikirkan shalat sekalipun. Agar
kita meninggalkan shalat dan menganggapnya sebagai hal yang remeh. Untuk itulah,
Rasulullah Saw mengajarkan kepada kita untuk memohon perlindungan Allah Swt dengan
membaca Ta’awudz.
Kita ketahui bahwa setiap bacaan shalat itu mengandung do’a. wajar saja, karena do’a
dalah wujud paling nyata untuk membuktikan betapa fakir dan besarnya hajat kita kepada
Allah Swt.Sujud adalah saat yang tepat untuk meminta dan memohon hajad kita kepada Allah
Swt, karena sujud merupakan hak yang paling dekat antara seorang hamba dengan tuhannya.
Shalat itu menyerahkan dan mengarahkan seluruh diri hanya kepada Allah Swt. Karean itu,
kita harus berusaha untuk menjauhi apapun yang dapat mengalihkan dan memalingkan kita
dari perjumpaan dengan Allah Swt. Diantara hal-hal yang berpotensi mengganggu yaitu
shalat ketika makanan telah disajikan, shalat sambal menahan dorongan untuk buang air kecil
atau besar, shalat memikirkan urusan duniawi, dll.
BAB III
ANALISIS
Ibadah yang paling tampak dalam masalah kekhusyu’an adalah ibadah shalat.
Sehingga dalam melaksanakan shalat sebisa mungkin kita mencapai atau berusaha khusyu.
Maka, Allah SWT memberikan pujian kepada hamba-hambanya yang khusyu’ dalam
melaksanakan shalat sebagai hamba yang beruntung. Nilai dan kualitas ibadah seseorang
bergantung pada kekhusyukannya. Semakin tinggi tingkat kekhusyukannya, semakin besar
kemungkinan diterima oleh Allah SWT. Karena khusyuk menjadi tolak ukur kualitas salat,
maka orang yang menunaikan salat haruslah memahami khusyu’.
Jika kita berbicara tentang shalat, maka sudah pasti kita harus berbicara tentang
kekhusyu’an mengerjakannya. Karena kadar shalat disisi Allah Swt sangat ditentukan oleh
kadar kekhusyu’an itu sendiri. Maka menjadi kewajiban bagi kita sepanjang hidup untuk
terus berusaha untuk menjadi orang yang selalu khusyu’ dalam melaksankan shalat. Orang
yang khusyu’ dalam shalat adalah orang yang khusyuk dalam salat adalah orang yang
merendahkan di hadapan Allah dengan segenap hati dan anggota badannya. Jadi khusyuk
bukan sekadar perbuatan hati, namun termanifestasi dalam gerakan-gerakan salat yang benar,
teratur, dan tuma’ninah.
Allah swt telah menetapkan dan mengaitakn antara shalat dan kekhusyu’an sisi yang
tidak dapat dipisahkan untuk meraih keberuntungan baik didunia maupun diakhirat.
3) Pengampunan dosa
Balasan luar biasa ini disebabkan jihad orang yang khusyu’ dalam shalatnya untuk
melawan, menghadapi, dan menundukkam semua godaan dan gangguan yang dapat
memalingkan hati dar Allah Swt. Jadi khusyu’ merupakan jiha yang luar biasa.
Orang yang menghadapkan seluruh dirinya kepada Allah Swt ketika melaksanjan shalat,
menghadirkan keagungan-Nya hingga hatinya dipenuhi dengan ketundukan dan rasa
malu pada-Nya, maka ia kan menemukan semangat dalm shalatnya dengan khusyu,
hingga selesai. Bahkan terkadang merasa enggan untuk mengakhirinya, karena begitu
besarnya ketengan dan kesejukan jiwa yang dirasakan ketika shalat.
A. Kesimpulan
Khusyu’ adalah kondisi kejiwaan yang dikehendaki oleh umat Islam ketika sedang
menjalankan shalat. Khusyu’ adalah perasaan dekat dengan Allah, merasakan kehadirannya
sehingga menjadikan manusia sadar akan posisinya sebagai seorang hamba. Khusyu’ bukan
merupakan salah satu hal yang menentukan sah atau tidaknya shalat yang dilakukan, karena
khusyu’ berhubungan dengan batin seseorang. Meskipun demikian, khusyu’ memiliki
peranan penting bagi seseorang yang menjalankan shalat, karena hanya shalat yang khusyu’
yang mampu berperan sebagai pencegah perbuatan keji dan munkar.
Demikian makalah ini penulis susun dari berbagai sumber, diharapkan pembaca dapat
memahami isi dari makalah ini dan dapat mengambil hikmah dari makalah penulis. Penulis
menyadari bahwa dalam penyusuna makalah ini masih terdapat banyak kekurangan. Oleh
karena itu, penulis mengharapkan sran dan kritik dari pembaca agar kedepannya penulis bisa
lebih baik lagi.
DAFTAR PUSTAKA