Disusun Oleh :
Nama : Tri Ulfa Handayani
Kelas : 1A01
Prodi : Manajemen
Nim : 2023008011
Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa
2023/2024
KATA PENGANTAR
i
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Setelah Al-Qur’an dan Sunah terhenti, perilaku, budaya, dan peradaban manusia
tumbuh dan berkembang secara dinamis. Hal ini mengandung makna akan terjadi
ketidakseimbangan antara ayat-ayat Al-Qur’an dan Sunah yang terbatas dengan
masalah-masalah sosial keagamaan yang tidak terbatas. Dalam kondisi demikian, para
ulama sebagai ahli waris para Nabi (waratsat al-anbiya’) diperkenankan untuk berijtihad
guna menentukan dan menetapkan hukum Islam. Sebagai referensi berijtihad yaitu dalam
kisah Muadz bin Jabal ketika diutus oleh Nabi SAW sebagai hakim di Yaman. Hadisnya
sebagai berikut :
(Diriwayatkan) dari Muadz bin Jabal bahwasanya Rasulullah SAW ketika mengutusnya
ke Yaman bertanya kepada Muadz, “Bagaimana Engkau akan mengadili ketika dihadapkan
kepadamu?” Muadz menjawab, “Dengan Kitab Allah” Rasulullah SAW bertanya
“Bagaimana apabila tidak Engkau dapati dalam kitab Allah?” Muadz menjawab,
“Berdasarkan Sunah Rasulullah” Rasulullah bertanya lagi, “Bagaimana apabila tidak
engkau dapati dasar dalam Sunah?” Muadz menjawab, “Saya akan berijtihad
berdasarkan pemikiran saya” Rasulullah bersabda, “Segala puji bagi Allah yang telah
menunjukkan utusan Rasulullah atas sesuatu yang diridai Rasulullah” Dalam kisah tersebut
menunjukkan bahwa ijtihad menempati posisi strategis dan signifikan atas
keberlangsungan hukum Islam dalam mengatasi problem hukum yang muncul. Pada makalah
ini akan dibahas mengenai definisi ijtihad, objek dan macam-macamnya serta ruang lingkup
mujtahid.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari Ijtihad?
2. Bagaimana cara Ijtihad?
3. Untuk apa Ijtihad?
4. Apa Ijtihad masih diperlukan sekarang?
5. Apa saja macam-macam dari Mujtahid?
1
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN IJTIHAD
1. Ijtihad secara Etimologi
Ijtihad diambil dari akar kata bahasa Arab “jahada” (ََ)َدَهج. Bentuk kata mashdar-nya ada
dua bentuk yang berbeda artinya:
A. Jahdun (َ )ْد َهج, artinya kesungguhan atau sepenuh hati atau serius. Contohnya
terdapat di dalam Al-Qur’an surah Al-An’am ayat 109 :
َْ)١٠٩َ(ماعنالا:ِم ِهنَاْمَيََاْد َهَِج هلِاّٰلَباْ ُو َم ْس َقَاََو
Artinya : Mereka dengan Allah sesungguh-sungguh sumpah.
B. Juhdun (َ )ْد ُهج, artinya kesanggupan dan kemampuan yang di dalamnya
terkandung arti sulit, berat dan susah. Contohnya terdapat di dalam Al-Qur’an
surah Al-Qur’an surah At-taubah ayat 79:
َ:)٧٩ةبوتالْ(ُم ْهِنََم ْنُوَر ْخ َسَيَْفُمَهْدُهَج َّ ِال ََاْنُو دِ َج َي َ ََالْنِيَّذ الَ و
Artinya : Dan orang-orang yang tidak memperoleh selain sekadar
kesanggupannya, maka orang munafik itu menghina mereka.
Pengubahan dari kata Jahada ََ َدَهجatau Jahida ََ ِد َهجmenjadi Ijtihada ََ دَاِهْتِج اdengan
cara menambahkan dua huruf, yaitu “alif” diawalnya “ ta ” antara huruf “Jim”
dan “ha”, mengandung enam maksud, satu di antara maksudnya yang tepat
adalah untuk “mubalaghah” َةَغَالُبمyaitu dalam pengertian “sangat”. Bila kata Jahada
dihubungkan dengan dua bentuk mashdarnya tersebut, pengertiannya berarti
“kesanggupan yang sangat” atau “ kesanggupan yang sangat”. Bila arti kata terminologi
ini dihubungkan dengan arti istilah (definitif) tentang Ijtihad, akan terlihat keserasian
artinya karena pada kata Ijtihad itu memang terkandung arti kesanggupan dan
kemampuan yang maksimal dan harus dilakukan dengan kesanggupan serta
sepenuh hati. 1
menjadilandasan apakah fatwanya dapat dijadikan pegangan atau tidak. Orang yang
tidak mempunyai sifat yang demikian , fatwanya tidak boleh dijadikan pegangan.
Adapun sifat yang tidak adil untuk dirinya sendiri, artinya fatwa atau
ijtihadnya itu untuk dirinya sendiri, sifat tidak adil itu tidaklah
menjadihalangan. Artinya didalam ia bersifat tidak adil itu boleh saja boleh
saja berijtihad untuk dirinya sendiri, dan fatwanya menjadi pegangan untuk
dirinya sendiri.
Adapun syarat lebih rincinya pendapat ulama ushul terhadap orang yangmengemukakan
ijtihad adalah sebagai berikut:
a. Mempunyai pengetahuan yang luas tentang al-Qur’an serta memahaminya mencakup
ilmu yang berkaitan denganya, seperti nasikh mansukh, asbabual-Nuzul mujmal dan
mubayyan, muthlaq muqayyad, mantuq dan mafhumlafadz ‘amm khas
b. Hafal al-Qur’an seluruhnya (Imam syafi’i )
c. Mempunyai pengetahuan Sunnah Nabi meliputi al-Jarh wata’dil,asbabulwurud al-Hadist,
ilmu hadist dirayah wa riwayah dan ilmu lainyang berhubungan dengan hadist
d. Mengetahui masalah-masalah hukum yang menjadi ijma’ para ulama terdahulu
e. Mengetahui bahasa Arab dengan baik dan sempurna, paham ilmu nahwudan lainya
f. Mengetahui Ushul fiqh
g. Mengetahui maqashid as-Syari’ah h. Iman, cerdas dan lainya.
E. Macam Mujtahid
Dalam literatur ilmu ushul fiqh, secara teoretis, kriteria mujtahid dapat
diklasifikasikan menjadi tiga tingkatan sebagai berikut.
1) Mujtahid mustaqill atau mujtahid mutlak, yaitu orang yang mampu
mengistinbatkan hukum suatu masalah secara langsung dan independen dari
sumber hukum aslinya, yaitu nas Alquran dan Sunah melalui penalaran normatif
secara deduktif-makro. Di antara para ulama yang termasuk kategori ini dari
kalangan tabi’in adalah Sa’id bin al-Musayyab dan an-Nakha’i. Adapun dari
kalangan mujtahid mazhab adalah Ja’far ash-Shadiq, al-Baqir, Abu Hanifah,
Malik, al-Syafi’i, Ahmad bin Hanbal, al-Auza’i, Sufyan ats-Tsauri, dan lain 6
sebagainya.
2) Mujtahid muntasib, yaitu orang-orang yang dalam berijtihad bergantung dan
menggunakan manhaj ulama lain tetapi memiliki ketetapan hukum yang berbeda.
Maka inilah para ulama pengikut mazhab tertentu. Seperti pengikut Abu Hanifah,
Malik, akl-Syafi’I dan Ahmad bin hanbal. Diantara ulama yang termasuk katagori ini
adalah Abu Yusuf. Muhammad bin al-Hasan dan Zufar dari pengikut Abu Hanifah ;
Al-Muzni dari pengikut Mazhab al-Syafii’I :Abd al-Rahman bin al-Qosim, ibn’ Abd
al-Hakam, dan lain Sebagainya.
3) Mujtahid Fi al-mazhab yaitu para ulama yang mengikuti pendapat para imam mujthid
mutlak baik dalam hal mitodologi (manhaj) ijtihad yang digunakan maupun dalam
produk pemikiran hukumnya. Teknis pelaksanannya, Langkah pertama adalah
mencermati kaidah-kaidah ushul fiqh yang digunakan para imam mazhab sebelumnya
da kaidah-kaidah fiqh. Kemudian secara induktif kaidah-kaidah tersebut diterapkan
dalam kasus hukum di Masyarakat dan belum pernah ditemukan sebelumnya.
Menurut ilmu ushul fiqh. Praktik ijtihad yang demikian dikenal dengan istilah tahqiq
al-manath.
7
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Ijtihad dalam arti etimologi berarti kesanggupan dan kemampuan yang
maksimal dan harus dilakukan dengan kesanggupan serta sepenuh hati. Sedangkan
secara terminologi, ijtihad merupakan suatu aktifitas ulama untuk mengintroduksi dan
mengeksplorasi makna serta materi hukum (maqashid al-syarui’ah) yang terkandung
dalam Al-Qur’an dan Sunah (hadist). Prinsip utama ijtihad adalah bahwa suatu ayat atau
hadist yang mengandung satu pemahaman yang jelas dan pasti sehingga tidak
dimungkinkan adanya pemahaman lain maka tidak ada peluang bagi ijtihad. Mujtahid
dalam kitab al-Ta’rifat yaitu orang yang menguasai ilmu Al-Qur’an dan ilmu tafsir yang
sangat diperlukan dalam memahami makna ayat-ayat Al-Qur’an, menguasai ilmu
riwayah dan dirayah hadis sehingga mampu menjelaskan maksud suatu hadis,
mampu melakukan penalaran analogis, dan tanggap terhadap problem-problem
kekinian.
DAFTAR PUSTAKA
A Bahrudin, M. 2019. Ilmu Ushul Fiqh. Bandar Lampung: Anugrah Utama Raharja.
Miswanto, Agus. 2018. Ushul Fiqh: Metode Ijtihad Hukum Islam Jilid 2. Yogyakarta:
UNIMMA PRESS.
Supriyanto, Agus. 2010. Ijtihad: Makna dan Relasinya dengan Syariah, Fiqih, dan
Ushul Fiqh. Maslahah. 1(1): 12-13.
Syarifuddin, Amir. 2011. Ushul Fiqh Jilid 2. Jakarta: Kencana
9
DAFTAR ISI
................................................................................................................................................................ii
................................................................................................................................................................1
........................................................................................................................................................1
........................................................................................................................................................1
................................................................................................................................................................2
........................................................................................................................................................2
........................................................................................................................................................3
........................................................................................................................................................4
D. Mujtahid ..........................................................................................................................................
........................................................................................................................................................5
........................................................................................................................................................6
................................................................................................................................................................8
A. KESIMPULAN ...............................................................................................................................
........................................................................................................................................................8
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................................
...............................................................................................................................................................9
ii