Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

CARA KEJA ILMU PASTI


Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Filsafat Ilmu

Dosen Pengampu : Dr. Abdur Rohman, S.Ag., MEI

Disusun oleh :

1. Tsaniya Rusyda Nugrahani (220721100176)

PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS KEISLAMAN
UNIVERSITAS TRUNOJOYO MADURA
2022
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah kami panjatkan puja dan puji syukur kehadirat Allah SWT
yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga kita dapat
menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya dalam kehidupan sehari-
hari.
Kedua kalinya shalawat serta salam tetap tercurahkan kepada junjungan
kita Nabi Muhammad SAW yang telah menunjukan kita dari jalan kegelapan
menuju jalan yang terang benderang yakni Addinun Islam.
Ketiga kalinya, kami berterimakasih kepada dosen pengampu mata kuliah
Filsafat Ilmu Bapak . Dr. Abdur Rohman, S.Ag., MEI yang telah memberi
tanggung jawab kepada kelompok kami dalam menyusun makalah ini. Semoga
ilmu yang diberikan beliau kepada kami menjadi ilmu yang bermanfaat di dunia
ataupun akhirat, Aamin.
Kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna di
karenakan terbatasnya pengalaman dan pengetahuan yang kami miliki oleh karena
itu ;kami mengharapkan segala bentuk saran serta masukan bahkan kritik yang
membangun dari berbagai pihak.Akhirnya kami berharap semoga makalah ini
dapat memberikan manfaat bagi perkembangan dunia pendidikan

Bangkalan, 30 November 2022

Penyusun

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.............................................................................................i
DAFTAR ISI...........................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang..............................................................................................1
B. Rumusan masalah.........................................................................................1
C. Tujuan pembahasan......................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian hadis shahih, hasan dan dhaif beserta contohnya.......................2
B. Kedudukan hadis shahih, hasan dan dhaif dalam ajaran islam....................8
C. Hadis-hadis yang tertolak dan macam-macamnya.....................................10
BAB III PENUTUP
Kesimpulan...............................................................................................12
DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................13

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ilmu pasti merupakan dasar bagi semua ilmu pengetahuan karena sifatnya
yang tetap, bergerak, dan pasti. Dengan metode-metode yang dipergunakan
melalui ilmu pasti kita akan memperoleh pengetahuan tentang sesuatu yang
sebenarnya, yaitu hukum ilmu pengetahuan dalam tingkat kesederhanaan dan
ketetapan yang tertinggi, sebagaimana yang dapat dilakukan akal manusia.

Untuk mengungkapkan cara kerja ilmu pasti, maka pada bahasan ini, kami
kelompok 8 menyusun makalah ini dengan judul “ Cara Kerja Ilmu Pasti ”
sebagai upaya ikut serta dalam menyikapi permasalan yang telah dipaparkan
dalam lingkup dunia akademik. Tujuan akhirnya adalah dapat memberikan
manfaat kepada diri sendiri khususnya dan orang lain pada umumnya.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, berikut beberapa rumusan masalah yang
akan dibahas, yaitu :
1. Bagaimana pengertian Ilmu Pasti ?
2. Bagaimana awal mula ilmu pasti ?
3. Apa saja bidang Ilmu Pasti ?
4. Bagaimana cara kerja ilmu pasti ?

C. Tujuan Pembahasan
Berdasarkan rumusan masalah diatas, berikut beberapa tujuan makalah, yaitu :
1. Mengetahui dan memahami pengertian Ilmu Pasti
2. Mengetahui dan memahami awal mula Ilmu Pasti
3. Mengetahui dan memahami bidang Ilmu Pasti
4. Mengetahui dan memahami cara kerja Ilmu Pasti

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Ilmu Pasti


Ilmu Pasti
Kata shahih menurut bahasa dari kata shahha, yashihhu, suhhan
wa shihhatan wa shahahan yang menurut bahasa berarti yang sehat,
yang selamat, yang benar, yang sah dan yang benar. Para ulama biasa
menyebut kata shahih itu sebagai lawan kata dari kata saqim (sakit).
Maka hadis shahih menurut bahasa berarti hadis yang sah, hadis yang
sehat atau hadis yang selamat. Shahih menurut bahasa berarti sehat atau
mulus. Kata shahih merupakan lawan kata dari kata “saqam” artinya
“sakit”, kemudian kata shahih dijadikan nama bagi hadis yang terlepas
dari segala illat.1
Para ulama hadis membagi hadis shahih menjadi dua bagian,
yaitu shahih li dzatihi dan shahih li ghairihi. Perbedaan antara kedua
bagian ini terletak pada segi hafalan atau ingatan perawinya. Pada
hadis shahih li ghairihi, ingatan perawinya kurang sempurna. Yang
dimaksud dengan hadis shahih li dzatihi adalah hadis shahih yang
mencapai tingkat keshahihannya dengan sendirinya tanpa dukungan
hadis lain yang menguatkannya.
Hadist shahih didefinisikan oleh Ibnu Ash Shalah sebagai berikut:
"Hadis yang disandarkan kepada Nabi saw yang sanadnya bersambung,
diriwayatkan oleh (perawi) yang adil dan dhabit hingga sampai akhir
sanad, tidak ada kejanggalan dan tidak ber'illat." Ibnu Hajar al-
Asqalani mendefinisikan hadis dengan lebih ringkas yaitu: "Hadis yang
diriwayatkan oleh orang–orang yang adil, sempurna kedzabittannya,
bersambung sanadnya, tidak ber'illat dan tidak syadz."
Sedangkan yang dimaksud dengan hadis shahih li ghairihi adalah
hadis hasan li dzatihi yang diriwayatkan melalui jalur lain yang semisal
atau yang lebih kuat, baik dengan redaksi yang sama maupun hanya
maknanya saja yang sama, maka kedudukan hadis tersebut menjadi kuat
dan meningkat kualitasnya dari tingkatan hasan kepada tingkatan shahih.
Dengan kata lain, hadis ini keshahihannhya tidak berasal dari sanadnya
sendiri melainkan dibantu oleh adanya matan atau sanad yang lainnya.
Sedangkan definisi hadis shahih menurut istilah adalah sebagai
berikut:

1
Tajul Arifin, Ulumul Hadis (Bandung: Gunung Djati Press, 2014), 125.

2
a. Definisi yang dikemukakan oleh Mahmud al-Thuhan dalam
kitabnya Taisir Musthlah al-hadis.

‫ وال علة‬،‫ من غير شذوذ‬،‫ عن مثله إلى منتهاه‬،‫ما اتصل سنده بنقل العدل الضابط‬

“Hadis yang sanadnya bersambung yang diriwayatkan oleh rawi


yang adil dan dhabith dari rawi yang sama (adil dan dhabith) dari
awal sanad sampai akhirnya. Serta tidak syad dan tidak ada
illat”.

b. Definisi hadis shahih menurut Ibn Shalah dalam kitabnya ulum al-
hadis.

“Hadis yang sanadnya bersambung yang diriwayatkan oleh orang


yang adil dan dhabit (kuat hafalannya) dari orang yang serupa
(adil dan dhabith) sampai akhir sanadnya serta tidak terdapat
syad dan illat”.

c. Definisi hadis shahih menurut ‘Ajaj al-Khuththabi

“Hadis yang sanadnya bersambung yang diriwayatkan oleh para


rawi yang adil dan dhabith secara keseluruhan (dari awal sampai
akhir sanad), tidak syad juga tidak ada illat”.

Contoh hadis shahih adalah hadis yang diriwayatkan oleh al-


Bukhari dalam kitab shahihnya, kitab al-adzan no. 765 berikut:

‫ب عَنْ ُم َح َّم ِد ْب ِن ُجبَ ْي ِر ْب ِن ُم ْط ِع ٍم‬ ٍ ‫ش َها‬ ِ ‫َح َّدثَنَا َع ْب ُد هَّللا ِ بْنُ يُوسُفَ قَا َل َأ ْخبَ َرنَا َمالِ ٌك عَنْ ا ْب ِن‬
‫طو ِر‬ ِ ‫سلَّ َم قَ َرَأ فِي ا ْل َم ْغ ِر‬
ُّ ‫ب بِال‬ َ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو‬
َ ِ ‫سو َل هَّللا‬ َ ‫عَنْ َأبِي ِه قَا َل‬
ُ ‫س ِمعْتُ َر‬

“Telah menceritakan kepada kami Abdullah ibn Yusuf, ia berkata,


bercerita kepada kami Malik dari Ibn Syihab dari Muhammad ibn
Zubair ibn Math’am dari bapaknya ia berkata: ‘Aku mendengar
Rasulullah SAW membaca Surat Ath-Thur ketika shalat maghrib’”. 2

Hadis di atas merupakan hadis shahih disebabkan karena :


a. Sanadnya bersambung karena karena setiap rawi dalam hadis
tersebut meriwayatkan hadis yang diriwayatkan dari gurunya
walaupun Malik dan ibn Syihab menggunakan redaksi “an” tetap
2
Ibid., 127.

3
dianggap mut.t.ashil (bersambung) karena keduanya merupakan
rawi yang adil.3
b. Rawi-rawi dalam hadis tersebut merupakan rawi yang adil dan
dhabith. Sifat yang dinilai oleh ulama jarh wa ta’dil berikut:
1) Abdullah bin Yusuf Tsiqatun Munqanun
2) Malik bin Anas Imamun Hafidzun
3) Ibn Syihab al-Zuhri Faqihun hafidun, mutqanun ‘ala
jalalatihi wa ithqanihi
4) Muhammad ibn Zubair tsiqatun
5) Jubair ibn Math’am seorang shahabat
c. Hadis tersebut tidak syad (tidak bertentangan dengan hadis yang
lebih kuat).
d. Dalam hadis tersebut tidak ada illat.

Para ulama hadis membagi tingkatan hadis shahih menjadi tujuh,


yang secara berurutan adalah sebagai berikut:
a. Hadis yang disepakati keshahihannya oleh Bukhari dan Muslim
yang lazim disebut dengan istilah “Muttafaqun `alaihi.”
b. Hadis yang dishahihkan oleh Bukhari saja
c. Hadis yang dishahihkan oleh Muslim saja
d. Hadis shahih yang diriwayatkan oleh selain Bukhari dan Muslim,
tetapi mengikuti syarat-syarat shahih Bukhari dan Muslim
e. Hadis shahih yang diriwayatkan oleh selain Bukhari dan Muslim,
tetapi mengikuti syarat-syarat keshahihan Bukhari
f. Hadis shahih yang diriwayatkan oleh selain Bukhari dan Muslim,
tetapi mengikuti syarat-syarat keshahihan Muslim
g. Hadis shahih yang diriwayatkan selain oleh ahli hadis yang
terkenal selain Bukhari dan Muslim, tetapi tidak mengikuti syarat-
syarat keshahihann Bukhari dan Muslim dan tidak pula mengikuti
syarat-syarat keshahihan salah satu dari Bukhari dan Muslim.

Syarat-syarat hadis shahih


a. Rawinya bersifat Adil
Menurut Ar-Razi keadilan adalah tenaga jiwa yang
mendorong untuk selalu bertindak takwa, menjauhi dosa-dosa
kecil dan meninggalkan perbuatan-perbuatan mubah yang
menodai muru’ah, seperti makan sambil berdiri dijalanan, buang
air (kencing) di tempat yang bukan disediakan untuknya, dan
bergurau yang berlebihan.
3
Ibid

4
Menurut Syuhudi Ismail, kriteria-kriteria periwayat yang
bersifat adil adalah:
1) Beragama islam
2) Berstatus mukalaf (Al-Mukallaf)
3) Melaksanakan ketentuan agama
4) Memelihara muru’ah

b. Rawinya bersifat dhabit


Dhabit adalah bahwa rawi yang bersangkutan dapat
menguasai hadisnya dengan baik dengan hapalan yang kuat atau
dengan kitabnya, lalu ia mampu mengungkapkannya kembali
ketika meriwayatkannya
Kalau seseorang mempunyai ingatan yang kuat, sejak
menerima hingga menyampaikan kepada orang lain dan
ingatannya itu sanggup dikeluarkan kapan dan dimana saja
dikendaki orang itu dinamakan dhabtu shadri. Kemudian apa yang
disampaikan itu berdasar pada buku catatannya ia disebut dhabtu
kitab. Rawi yang ‘adil dan sekaligus dhabith disebut tsiqat.

c.  Sanadnya bersambung
Yang dimaksud dengan ketersambungan sanad adalah
bahwa setiap rawi hadis yang bersangkutan benar-benar
menerimanya dari rawi yang berada di atsnya dan begitu
selanjutnya sampai kepada pembicara yang pertama.
Untuk mengetahui bersambung atau tidaknya suatu sanad,
biasanya ulama hadis menempuh tata kerja penelitian berikut:
1) Mencatat semua nama rawi dalam sanad yang diteliti
2)  Mempelajari sejarah hidup masing-masing rawi
3) Meneliti kata-kata yang menghubungkan antara para
perawi dan rawi yang terdekat dengan sanad.
 Jadi, suatu sanad hadis dapat dinyatakan bersambung
apabila:
1) Seluruh rawi dalam sanad itu benar-benar tsiqat (adil
dan dhabit)
2) Antara masing-masing rawi dengan rawi terdekat
sebelumnya dalam sanad itu benar-benar telah terjadi
hubungan periwayatan hadis secara sah menurut
ketentuan tahamul wa ada al-hadis.
d. Tidak ber’illat

5
Maksudnya bahwa hadis yang bersangkutan terbebas  dari
catat keshahihannya, yakni hadis itu terbebas dari sifat-sifat samar
yang membuatnya cacat meskipun tampak bahwa hadis itu itu
tidak menunjukan adanya cacat tersebut.

e. Tidak syadz (janggal)


Kejanggalan hadis terletak pada adanya perlawanan antara
suatu haits yang diriwayatkan oleh rawi yang maqbul (yang dapat
diterima periwayatannya) dengan hadis yang diriwayatkan oleh
rawi yang lebih kuat (rajih) daripadanya, disebabkan kelebihan
jumlah sanad dalam ke-dhabit-an atau adanya segi-segi tarjih yang
lain.
Jadi, hadis shahih adalah hadis yang rawinya adil dan
sempurna ked dhabit-annya, sanadnya muttashil dan tidak cacat
matannya marfu’, tidak cacat dan tidak janggal.

1. Hadis Hasan
Menurut pendapat Ibnu Hajar, Hadis hasan adalah hadis yang
dinukilkan oleh orang yang adil, yang kurang kuat ingatannya, yang
muttasil sanadnya, tidak cacat dan tidak ganjil.4 Imam Tirmidzi
mengartikan hadis hasan sebagai berikut: “Tiap-tiap hadis yang pada
sanadnya tidak terdapat perawi yang tertuduh dusta (pada matan-nya)
tidak ada kejanggalan (syadz) dan (hadis tersebut) diriwayatkan pula
melalui jalan lain”.5
Dari uraian di atas maka dapat difahami bahwa hadis Hasan tidak
memperlihatkan kelemahan dalam sanadnya kurang kesempurnaan
hafalannya. Disamping itu pula hadis hasan hampir sama dengan hadis
shahih, perbedaannya hanya mengenai hafalan, di mana hadis hasan
rawinya tidak kuat hafalannya.
Untuk membedakan antara hadis shahih dan hadis hasan, kita harus
mengetahui batasan dari kedua hadis tersebut. Batasannya adalah
keadilan pada hadis hasan disandang oleh orang yang tidak begitu kuat
ingatannya, sedangkan pada hadis shahih terdapat rawi-rawi yang benar-
benar kuat ingatannya. Akan tetapi, keduanya bebas dari keganjilan dan
penyakit. Keduanya bisa digunakan sebagai hujjah dan kandungannya
dapat dijadikan penguat.
Hadis Hasan terbagi atas dua, yang pertama hadis Hasan Lidzatihi,
adalah hadis yang dirinya sendiri telah memenuhi keriteria hasan
4
Zufran Raman, Kajian Sunnah Nabi SAW Sebagai Sumber Hukum Islam, Cet- Ke-1 (Jakarta:
Pedoman Ilmu Jaya, 1995), 40.
5
At-Tirmidzi, Sunan At-Tirmidzi, Dar Al-Fikr, Bairut, 1980, 76.

6
sebagaimana telah disebutkan, dan tidak memerlukan bantuan yang lain
untuk mengangkatnya kederajat hasan. Dan yang kedua yaitu hadis
Hasan Ligairihi, adalah hadis yang sanadnya ada rawi yang tidak diakui
keahliannya, tetapi dia bukanlah orang yang terlalu banyak kesalahan
dalam meriwayatkan hadis, kemudian ada riwayat dengan sanad yang
lain yang bersesuaian dengan maknanya.
Dengan pengertian ini, maka sesungguhnya hadis hasan ligairihi
itu pada awalnya adalah hadis dhaif, kemudian ada petunjuk lain yang
menolongnya sehingga ia meningkat menjadi hasan, jadi sekiranya tidak
ada yang menolongnya, maka hadis tersebut akan tetap berkualitas
dhaif.6
Juga dapat dikatakan bahwa hadis tersebut diriwayatkan oleh
perawi yang lain, melalui jalan yang lain, dengan syarat bahwa perawi
(jalan), yang lain tersebut, lebih baik dari padanya. Juga bahwa sebab
kedhaifannya bukan karena perawinya bersifat fasiq atau pendusta.7
Definisi yang dikemukakan oleh Ibn hajar al-asqhalani dalam
kitabnya al-Nukhbah

“Hadis hasan adalah hadis yang diriwayatkan oleh rawi yang adil
tetapi lemah hafalannya, sanadnya bersambung tidak ada illat juga
bukan hadis syad”.8

Contoh hadis hasan lidzatihi adalah hadis yang diriwayatkan oleh


al-Tirmidzi dalam bab fadha’il al’jihad.9
“Telah bercerita kepada kami Qutaibah telah bercerita kepada kami
Ja’far ibn Sulaiman al-dhaba’i dari Abi Imran al- Jauni dari Abi Bakar
ibn Abu Musa al-asy’ari ia berkata: Aku mendengar Rasulullah Saw.
bersabda: “pintu surga berada dibawah bayang-bayang pedang …”
(hadis hasan gharib).

Hadis di atas merupakan hadis hasan lidzatihi karena seluruh


rawinya tsiqat kecuali Ja’far ibn Ismailal-Dhaba’i oleh karena itu derajat
hadis tersebut turun dari hadis shahih ke hadis hasan lidzatihi (Mahmud
Al-Thuhan,: 39)

2. Hadis Dhaif

6
M. Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadis, 182.
7
Nawir Yuslem, 232.
8
Tajul Arifin, Ulumul Hadis, 136.
9
Ibid

7
Kata Dhaif menurut bahasa yang berarti lemah, sebagai lawan dari
Qawiy yang kuat. Sebagai lawan dari kata shahih, kata Dhaif secara
bahasa berarti Hadis yang lemah, yang sakit atau yang tidak kuat.10
Secara Terminilogis, para ulama mendefinisikan secara berbeda-beda.
Akan tetapi pada dasarnya mengandung maksud yang sama, Pendapat
An Nawawi: “Hadis yang didalamnya tidak terdapat syarat-syarat Hadis
Shahih dan syarat-syarat Hadis Hasan”.11
Dari defenisi diatas terlihat bahwa hadis dhaif tidak memenuhi
salah satu kriteria hadis shahih dan hasan. Sebagaimana dijelaskan
bahwa kriteria-kriteria hadis shahih adalah sanadnya bersambung,
periwayat adil, periwayat dhabit, tidak syadz, terhindar dari ‘illat.
Adapun kriteria-kriteria hadis hasan adalah sanadnya bersambung,
periwayat adil, periwayat kurang dhabit, tidak syadz, dan terhindar
dari ‘illat.
Contoh hadis dhaif adalah hadis yang diriwayatkan oleh Hakim al-
Atsram dari Abi Tamimah al-Juhani dari Abu Hurairah:
“Barang siapa yang menjima istri yang sedang haid atau menjimanya
lewat dubur atau mendatangi seorang dukun maka ia telah kufur
terhadap apa yang telah diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw (Al-
Qur’an)”.

Menurut Al-Tirmidzi hadis tersebut tidak diriwayatkan oleh


seorang rawipun kecuali oleh Hakim al-Ashram dari Abi Tamimah al-
Tuhaini dari Abi Hurairah. Menurut Muhammad (al-Bukhari) dilihat
dari segi sanad hadis tersebut dhaif karena dalam hadis tersebut Hakim
al-Ashramsedangkan Hakim alAshram adalah rawi yang dhaif (Al-
Tirmidzi ma’a Syarhihi, I: 419-420).12
Berhubung hadis dhaif tidak memenuhi salah satu dari beberapa
kriteria diatas, maka kriteria-kriteria hadis dhaif adalah :
a. Sanadnya terputus
b. Perawinya tidak adil
c. Periwayatannya tidak dhabit
d. Mengandung syadz
e. Mengandung ‘illat.

B. Kedudukan Hadis Shahih, Hasan dan Dhaif Dalam Ajaran Islam


1. Kedudukan hadis shahih (kehujjahan)

10
Utang Ranuwijaya, 176.
11
An-Nawaawi, At-Taqrib An-Nawawi Fann Ushul Al-Hadis, Abd Rahman Muhammad Kairo, 9.
12
Tajul Arifin, Ulumul Hadis, 153.

8
Hadis shahih sebagai sumber ajaran islam lebih tinggi
kedudukannya dari pada hadis hasan dan dhaif, tetapi berada di bawah
kedudukan hadis mutawatir. Para ulama’ sependapat bahwa hadis shahih
dapat dijadikan hujjah untuk menetapkan syari’at Islam, terutama dalam
bidang hukum dan moral. Namun mereka berbeda pendapat, apabila
dijadikan hujjah untuk menetapkan soal-soal akidah.
Karya-karya yang hanya memuat hadis shahih di antaranya adalah
Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Mustadrak Al-Hakim, Shahih Ibnu
Hibban dan Shahih Ibnu Khizaimah.

2. Kedudukan hadis hasan (kehujjahan)


Sebagaimana hadis shahih, menurut para ulama’ ahli hadis, bahwa
hadis hasan, baik hasan li dzatih maupun hasan li ghairih, juga dapat
dijadikan hujjah untuk menetapkan suatu kepastian hukum, yang harus
diamalkan. Hanya saja terdapat perbedaan pandangan di antara mereka
dalam soal penempatan rutbah atau urutannya, yang disebabkan oleh
kualitasnya masing-masing. Ada ulama’ yang tetap mambedakan
kualitas kehujjahan, baik antara shahih li dzatih dan shahih li ghairih
dengan hasan li dzatih dan hasan li ghairih.

3. Kedudukan hadis dhaif (Kehujjahan)


Ada beberapa pendapat di kalangan ulama’ mengenai hukum
pengamalan hadis dhaif. Pertama, hadis dhaif tidak dapat diamalkan
secara mutlak. Menurut madzhab Imam Malik, Syafi’I, Yahya bin
Ma’in, Abdurrahman bin Mahdi, Bukhari, Muslim, Ibnu Abdil Bar, Ibnu
Hazm, dan para imam ahli hadis lainnya, mereka tidak membolehkan
beramal dengan hadis dhaif secara mutlaq meskipun untuk fadlaa-ilul
a’mal. Kedua, Menurut Ibn Hajar Al-Asqalani, hadis dhaif boleh
diamalkan dengan beberapa persyaratan yang sangat ketat, yaitu:
a. Hadis tersebut khusus untuk fadhaa-ilul a’mal atau targhib dan
tarlub, tidak boleh untuk akidah atau ahkaam atau tafsir Qur’an.
b. Hadis tersebut tidak sangat dhaif apalagi hadis-hadis maudlu’,
munkar, dan hadis-hadis yang tidak jelas asalnya.
c. Hadis tesebut tidak boleh diyakini sebagai sabda Nabi SAW. Dan
tidak boleh dimasyhurkan.
d. Hadis tersebut harus mempunyai dasar yang umum dari hadis
shahih.
e. Wajib memberikan bayan (penjelasan) bahwa hadis tesebut dhaif
saat menyampaikan atau membawakannya.

9
f. Dalam membawakannya tidak boleh menggunakan lafadz-lafadz
jazm (yang menetapkan), seperti Nabi SAW telah bersabda atau
mengerjakan sesuatu atau memerintahkan dan melarang dan lain-
lain yang menunjukkan ketetapan atau kepastian bahwa Nabi
SAW. Benar-benar bersabda demikian. Tetapi wajib menggunakan
lafadz tamridh (yaitu lafadz yang tidak menunjukkan sebagai suatu
ketetapan). Seperti: “telah diriwayatkan dari Nabi SAW dan yang
serupa dengannya.
Pendapat ketiga, berpendapat boleh mengamalkan hadis dhaif
secara mutlak. Abu Daud dan Imam Ahmad berpendapat bahwa
mengamalkan hadis dhaif lebih disukai daripada berpedoman kepada
akal atau qiyas.

C. Hadis-Hadis yang Tertolak dan Macam-Macamnya


Hadis mardud adalah hadis yang tertolak pengamalannya sebab tidak
memenuhi salah satu syarat diterimanya hadis sebagai hujjah. Hadis mardud
dibagi menjadi dua kelompok, yaitu dhaif dan maudhu'. Mengenai faktor
penyebab ditolaknya hadis dhaif, para muhaddits melihatnya dari dua sisi,
yaitu matan dan sanad. Dari sisi sanad, faktor penyebabnya ada dua, yaitu:
Pertama, mata rantainya tidak bersambung sebab ditemukan adanya seorang
perawi atau lebih, yang hilang atau tidak bertemu satu sama lain. Kedua,
karena ada cacat perawinya, baik dalam keadilan maupun hafalanya13
1. Macam-macam hadis yang tertolak karena gugurnya perawi dalam
sanad yaitu sebagai berikut:
a. Mursal adalah adis yang sanadnya terbuang dari akhir sanadnya,
sebelum tabi'in. Gambarannya, adalah apabila seorang tabi'in
mengatakan, "Rasulullah shallallahu “alaihi wa sallam
bersabda, ..." atau “Adalah Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam
melakukan ini dan itu.
b. Mudhal adalah Hadis yang sanadnya ada dua orang perawi atau
lebih yang gugur secara berturut-turut. Sedangkan Idhal sendiri
adalah terputusnya rangkaian sanad Hadis, dua orang atau lebih
secara berurutan.
c. Munqathi' adalah Hadis yang di tengah sanadnya terdapat perawi
yang gugur, satu orang atau lebih, secara tidak berurutan."14

2. Macam-macam hadis yang tertolak karena cacat dan tuduhan terhadap


rawi yaitu sebagai berikut :
13
Ma’shum Zein, Ilmu Memahami Hadis Nabi, (Yogyakarta, Pustaka Pesantren, 2016), 110-111.
14
Rahmat Lutfi Guefera dan Soffan Rizqi, Mirroring Rasulullah Dalam Mendidik Akhlak Para
Sahabat, (Wonosobo: Bimalukar Kreativa ,2020), 33-34.

10
a. Matriik adalah hadis yang menyendiri dalam periwayatan, yang
diriwayatkan oleh orang yang dituduh dusta dalam periwayatan
hadis.
b. Munkar adalah hadis yang menyendiri dalam periwayatan, yang
diriwayatkan oleh orang yang banyak kesalahannya, banyak
kelengahannya atau jelas kefasikannya yang bukan karena dusta.
Di dalam satu tema jika ada hal yang diriwayatkan oleh dua hadis
lemah yang berlawanan, misalnya, yang satu lemah sanadnya,
sedangkan yang satunya lagi lebih lemah sanadnya, maka yang
lemah sanadnya dinamakan hadis ma'rif dan yang lebih lemah
dinamakan hadis munkar.
c. Mu'allal atau Ma'lul adalah hadis yang tampaknya baik, tetapi
setelah diteliti dan diselidiki ternyata ada cacatnya. Hal ini terjadi
karcna salah sangka dari pcrawinya dengan menganggap bahwa
sanadnya bersambung, padahal tidak. Hal ini hanya bisa diketahui
oleh para ahli hadis.
d. Mudhtharib adalah hadis yang menyalahi hadis lain, dan tidak ada
cara untuk menyelaraskannya (menggabungkannya).
e. Mudraj adalah hadis yang disadur dengan sesuatu yang bukan
hadis berdasarkan perkiraan bahwa saduran itu termasuk hadis.
f. Maglub adalah hadis yang menyalahi hadis lain, disebabkan ada
redaksi yang didahulukan atau diakhirkan.
g. Muharraf adalah hadis yang menyalahi hadis lain disebabkan
adanya perubahan harakat kata, meskipun bentuk tulisannya masih
tetap.
h. Mushahhaf adalah hadis yang menyalahi hadis lain karena
perubahan titik kata, sedangkan bentuk tulisannya tidak berubah.
i. Mubham adalah hadis yang di dalam matan atau sanadnya terdapat
seorang perawi yang tidak dijelaskan apakah ia laki-laki atau
perempuan.
j. Syadz adalah hadis yang diriwayatkan oleh seorang yang dapat
dipercaya (Isigah), tapi menyalahi riwayat yang lebih kuat (rajih)
karena mempunyai kelebihan pada banyaknya sanad atau aspek
lainnya, dari segi diterimanya hadis (tarjih).
k. Mukhtalith adalah hadis yang perawinya buruk hafalannya karena
sudah lanjut usia, tertimpa bahaya, terbakar atau hilang kitab-
kitabnya.15

15
Irfan Maulana Hakim dan Ibn Hajar Al-Asqalani, Bulughul Maram, (Bandung : Mizan Pustaka,
1998), 21-20.

11
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan uraian materi di atas dapat disimpulkan bahawa :
1. Hadis shahih menurut bahasa berarti hadis yang sah, hadis yang sehat
atau hadis yang selamat. Sedangkan hadis hasan adalah hadis yang
dinukilkan oleh orang yang adil, yang kurang kuat ingatannya, yang
muttasil sanadnya, tidak cacat dan tidak ganjil, dan hadis dhaif
merupakan hadis yang didalamnya tidak terdapat syarat-syarat hadis
shahih dan syarat-syarat hadis hasan.
2. Kedudukan hadis shahih hadis shahih sebagai sumber ajaran islam
lebih tinggi kedudukannya dari pada hadis hasan dan dhaif, tetapi
berada di bawah kedudukan hadis mutawatir. Sedangkan kedudukan
hadis hasan sebagaimana hadis shahih, menurut para ulama’ ahli hadis,
bahwa hadis hasan, baik hasan li dzatih maupun hasan li ghairih, juga
dapat dijadikan hujjah untuk menetapkan suatu kepastian hukum, yang
harus diamalkan, dan kedudukan hadis dhaif Ada beberapa pendapat di
kalangan ulama’ mengenai hukum pengamalan hadis dhaif. Pertama,
hadis dhaif tidak dapat diamalkan secara mutlak, hadis dhaif boleh
diamalkan dengan beberapa persyaratan yang sangat ketat, berpendapat
boleh mengamalkan hadis dhaif secara mutlak.
3. Yang dimaksud dengan hadits yang tertolak karena gugur dari
sanadnya adalah; terputusnya rantai sanad dengan gugurnya seorang
perawi atau lebih baik disengaja oleh sebagian perawi atau tidak
disengaja, gugurnya tersebut baik secara transparan maupun
tersembunyi.

12
DAFTAR PUSTAKA
An-Nawaawi, At-Taqrib Li An-Nawawi Fann Ushul Al-Hadis, Abd Rahman
Muhammad Kairo.
Arifin, Tajul. 2014. Ulumul Hadis (Bandung: Gunung Djati Press).
At-Tirmidzi, Sunan At-Tirmidzi, Dar Al-Fikr, Bairut. 1980.
Guefera, Rahmat Lutfi dan Soffan Rizqi. 2020. Mirroring Rasulullah Dalam
Mendidik Akhlak Para Sahabat (Wonosobo: Bimalukar Kreativa).
Hakim, Irfan Maulana dan Ibn Hajar Al-Asqalani. 1998. Bulughul Maram
(Bandung : Mizan Pustaka).
Raman, Zufran. 1995. Kajian Sunnah Nabi SAW Sebagai Sumber Hukum Islam,
Cet- Ke-1 (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya).
Zein, Ma’shum. 2016. Ilmu Memahami Hadis Nabi (Yogyakarta, Pustaka
Pesantren).

13

Anda mungkin juga menyukai