Anda di halaman 1dari 11

Kata pengantar

Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat-Nya kepada kita
sehingga bisa menyelesaikan kewajiban akademik, berupa makalah ini yang berkaitan dengan
ilmu hadits dengan judul “Kajian Haditst Shahih dan Hasan”. Dan salawat serta salam
semoga tercurahkan kepada junjungan kita Nabbi Muhammad SAW, yang dengannya kita
bisa memperoleh petunjuk melalui al-Quran dan sunahnya. Terlepas dari itu semua jika
terdapat menfaat yang diperoleh dari tugas akademik ini semua tak lain hanya lah semata-
mata bentuk rahmat-Nya. Namun, jika terdapat kesalahan baik dari segi penuturan maupun
tulisan yang ada di makalah ini, itu semua murni dari kami sebagai yang bertugas
menyelesaikan tugas akademik.

Sehingga kritik dan saran kami harapkan untuk memperbaiki kekurangan yang ada
pada makalah ini.

Situbondo, 18-12-2022

Yang Bertugas
Daftar isi
Kata pengantar......................................................................................................................... 1
Daftar isi ................................................................................................................................... 2
Pendahuluan ............................................................................................................................. 3
pembahasan .............................................................................................................................. 4
A. Pengertian Hadits Shahih dan Hasan......................................................................... 4
1. Pengertian Hadits Shahih ........................................................................................... 4
2. Pengertian Hadits Hasan ............................................................................................. 6
B. Kaidah Hadits Shahih dan Hasan................................................................................ 8
1. Kaidah Hadits Shahih .................................................................................................. 8
.2 Kaidah Hadits Hasan ................................................................................................ 10
C. Kehujjahan Hadits Shahih dan Hasan ...................................................................... 11
1. Kehujjahan hadiis shahih .......................................................................................... 11
2. Kehujjahan hadits hasan ............................................................................................ 11
Pendahuluan
Hadits, oleh umat Islam diyakini sebagai sumber pokok ajaran Islam sesudah al-
Quran. Dalam tataran aplikasinya, hadits dapat dijadikan hujjah keagamaan dalam kehidupan
dan menempati posisi yang sangat penting dalam kejiani keislaman. Secara struktural hadits
merupakan sumber ajaran Islam setelah al-Quran yang bersifat global. Artinya, jika kita tidak
menemukan penjelasan tentang berbagai problematika kehidupan di dalam al-Quran, maka
kita herus dan wajib merujuk pada hadits. Oleh karena itu, hadits merupakan hal terpenting
dan memiliki kewenangan dalam menetapkan suatu hukum yang tidak termaktub dalam al-
Quran.

Kualitas keshahih an suatu hadits merupakan hal yang sangat penting, terutama
hadits-hadits yang bertentangan dengan hadits, atau dalil lain yang lebih kuat. Dalam hal ini,
maka kajian makalah ini diperlukan untuk mengetahui apakah suatu hadits dapat dijadikan
hujjah syar’iyah atau tidak. Oleh karenanya kami mengkaji hanya seputar hadits shahih dan
hasan.
pembahasan
A. Pengertian Hadits Shahih dan Hasan
1. Pengertian Hadits Shahih

Secara etimologi, shahih berasal dari akar kata (ّ‫ )صح‬yang memiliki makna

lawan kata sakit. Sedangkan secara terminologi, hadits shahih adalah:

ّ ّ‫مّاّاّتّصّلّّسّنّ ّدهّّبّنّقّلّّالّعّ ّدلّّالظّابّطّّعّنّّمّثّلّهّّمنّغْيّشذوٍذّوّالّعل ٍّةّقادح ٍة‬


“Hadits Shahih adalah haditst yang sanadnya bersambung, dan diriwayatkan
oleh perawi yang adil, kuat daya ingatnnya dari orang yang serupa sifatnya, serta
hadits tersebut terbebas dari kejanggalan dan illat yang mencacatkan.”

a. Klasifikasi Hukum Hadits Shahih


Hukum hadits shahih terbagi menjadi enam macam, yaitu;

1) Keabsahan hadits yang meniscayakan kepastian, apabila berada dalam kitab


sahih al-Bukharidan Muslim.
2) Secara otomatis boleh mengamalkan dengan tiap-tiap yang sah, sekalipun
tidak ditakhtij oleh imam al-Bukharidan Muslim.
3) Wajib menerima hadits shahih , meskipun tidak satupun orang mengamalkan.
4) Untuk megamalkannya tidak perlu mengetahui tidak adanya yang menasakh
atau tidak adanya ijma’ yang menyalahinya atau tidak adanya mu’arid.
Bahkan harus mengamalkan hadits Shahih sampai ada sesuatu yang
mencegah untuk mengamalkan.
5) Periwayatan hadits oleh satu orang sahabat tidak me-mudharatkan pada
keabsahan hadits shahih .

b. Tingktan Hadits Shahih .


Tingkatan hadits shahih tergantung tinggi dan rendahnya integritas, keadilan
para perawi dan sifat yang menghendaki ke-shahih-an hadits , baik dalam sanad
maupun matan.1 Tingkatan hadits shahih dari segi sanad;

1) Paling tingginya sanad. Hadits yang telah dikatakan oleh sebagian imam
hadits bahwa hadits tersebut ashahhul asanid. Seperti perkataan al-

1
Hafidz Hasan al-Mas’udi, Minhah al-Mughits fi Ilmi Mushthalahah al-Hadits (Surabaya: al-Hidayah,
t.th), 16-17.
Bukhari“ashahhul asanid ialah hadits yang diriwayatkan Malik dari Nafi’
dari Ibnu Umar.
2) Hadits di bawah tingkatan yang di atas. Seperti hadits yang diriwayatkan
oleh Buraidin bin Abdillah bin Abi Burdah dari bapaknya dari kakeknya dari
Abi Musa al-Asy’ari.
3) Tingkatan Terendah: yakni hadits yang diriwayatkan oleh para perawi yang
memiliki kredibilitas (tsiqoh) yang di bawah dua tingkatan sebelumnya.
Namun catatannya meskipun minimalis mereka masih dikatakan orang-orang
yang tsiqoh. Seperti hadits yang diriwayatkan oleh Suhail bin Abi Sholeh
dari bapaknya dari Abi Hurairah.2

Tingkatan hadits shahih dari segi matan:

1) Hadits yang disepakati oleh al-Bukharidan Muslim.


2) Hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari saja.
3) Hadits yang diriwayatkan oleh Muslim saja.
4) Hadits shahih yang diriwayatkan menurut syarat-syarat al-Bukhari dan
Muslim.
5) Hadits shahih menurut syarat al-Bukhari.
6) Hadits shahih menurut syarat Muslim.
7) Hadits shahih yang tidak menurut salah satu syarat dari kedua Imam, yakni
al-Bukhari dan Muslim.3 Hal ini memberi pemahaman bahwa pen-takhrij
tidak mengambil hadits dengan menggunakan syarat al-Bukhari dan Muslim.
Misalnya shahih yang terdapat pada shahih Ibnu Huzaimah, shahih Ibnu
Hibban, dan Shahih al-Hakim.4

c. Klasifikasi hadits shahih.


1) Hadits shahih li dzatihi adalah hadits yang sesuai dengan kriteria hadits yang
sudah disebutkan di atas.
2) Hadits shahih li gairihi adalah hadits hasan li dzatihi yang mempunyai
periwayatan lain yang setara dengannya atau lebih kuat darinya. Dinamakan

2
Abi Hafsh Mahmud bin Ahmad bin Mahmud Tohan al-Nu’aimiy, Taisir Musthalah al-Hadits
(Surabaya: Maktabah al-Hikmah, t.th.), 43.
3
Sayyid Muhammad Alawy al-Maliky al-Hasany al-Makky, al-Manhal al-Latif fi Ushl al-Hadist,
(Makkah al-Mukarramah: al-Rushaifah, t.th), 59.
4
M. Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis (Bandung: CV.PUSTAKA SETIA, 2008), 144. Lihat
juga Abi Hafsh Mahmud bin Ahmad bin Mahmud Tohan al-Nu’aimiy, Taisir Musthalah al-Hadits (Surabaya:
Maktabah al-Hikmah, t.th.),43-44.
hadits shahih li gairihi karena keshahih-an hadits tersebut tidak muncul dari
sanad hadits itu sendiri, melainkan menerima penguatan dari sanad atau
periwayatan lain sehingga naik tingkatan menjadi hadits shahih 5, seperti
contoh hadits:

ّ‫ّلوالّأن‬:‫ّأنّالنيبّصلىّهللاّعليهّوسلمّقال‬،‫حدثناّحممدّبنّعمروّعنّأيبّسلمةّعنّأيبّهريرة‬

ّ.‫أشقّعلىّأميتّألمرهتمّابلسواكّعندّكلّصالة‬

“Muhammad bin Amr menceritakan kepada kami, dari Abu Salamah, dari
Abu Hurairah, bahwa sesungguhnya Nabi Muhammad saw bersabda:
Seandainya aku tidak memberatkan kepada umatku, maka niscaya aku akan
memerintahkan untuk bersiwak disetiap shalat”
Hadits ini dianggap shahih li gairihi karena perawinya yaitu
Muhammad bin al-Qomah terkenal sebagai perawi yang jujur dan adil, namun
ia termasuk perawi yang tidak kuat hafalannya, sehingga sebagian ulama men-
dhaif-kannya karena buruk hafalannya. Namun, ulama lain menganggap
bahwa Muhammad termasuk perawi yang tsiqah, dikarenakan kejujuran dan
kemuliannya, sehingga hadits tersebut dianggap hasan li dzatihi. Kemudian
setelah hadits tersebut mendapatkan penguat oleh perawi lain seperti al-A’raj,
Ibrahim bin Abdillah dan lain-lain, maka hadits tersebut naik tingkatan
menjadi hadits shahih li gairihi.6

2. Pengertian Hadits Hasan


Secara etimologi hadits hasan berasal dari kata (‫ )الحسن‬yang bermakna
indah, sedangkan secara terminologi, hadits hasan adalah :

ّ ّ‫ماّاتصلّسندهّبن قلّالعدلّالذيّقلّضبطهّعنّدرجةّالصحيحّوّخالّّمنّالشذوٍذّوّالعّل ٍة‬

5
Dardum Abdullah, Ikhtishar Ulum al-Hadits, (Jember : MA NURIS, 2003), 64. Lihat juga Sayyid
Muhammad Alawy al-Maliky al-Hasany al-Makky, al-Manhal al-Latif fi Ushl al-Hadist, (Makkah al-
Mukarramah: al-Rushaifah, t.th), 63.
6
Abi Hafsh Mahmud bin Ahmad bin Mahmud Tohan al-Nu’aimiy, Taisir Musthalah al-Hadits
(Surabaya: Maktabah al-Hikmah, t.th.),64-65.
“Hadits yang sanadnya bersambung, dan diriwayatkan oleh perawi yang
adil namun daya ingatannya berada di bawah perawi hadits shahih , serta
terbebas dari kejanggalan dan cacat”7

a. Tingkatan Hadits Hasan.


Tingkatan hadits hasan berdasarkan sanad dan matanya juga berbeda
beda sebagaimana hadits shahih . Dari segi sanad;
1) Paling tingginya sanad. Hadits yang telah dikatakan oleh sebagian imam
hadits bahwa hadits tersebut ahsanul asanid.
2) Hadits di bawah tingkatan yang di atas. hadits yang selain di atas.
Tingkatan hadits hasan berdasarkan matan;
1) Hadits yang masih diperselisihkan shahia dan hasan-nya.
2) Hadits yang masih diperselisihkan shahih dan dlo’if-nya.8

b. Klasifikasi Hadits Hasan


Sebagaimana hadits shahih , hadits hasan juga terbagi menjadi dua
yaitu Hasan li dzatihi dan Hasan li gairihi. Yang dimaksud dengan hadits
hasan li dzatihi adalah sebagaimana hadits yang sudah didefinisikan di atas.
Sementara hadits hasan li gairihi adalah hadits dlaif yang memiliki banyak
jalan periwayatan dan penyebab ke-dlaif-annya adalah lemahnya hafalan perawi,
terputusnya sanad atau adanya status jahalah pada perawinyanya, bukan karena
kefasikan atau kedustaan dari perawinya. Syarat hadits termasuk hasan li
ghairihi apabila memenuhi tiga hal berikut;
1) Perawinya tidak mughaffal (kurang cerdas) sekaligus terdapat benyak
kesaahan dalam periwayatannya.
2) Tidak tanpak kefasikan atau kedustaan dari perawi hadits tersebut.
3) Hadits nya telah ma’ruf. Ma’ruf bisa diperoleh dengan beberapa hal.
Pertama: lafal dan maknanya sesuai dengan perawi yang lain. Kedua:
maknanya saja yang sesuai.9

7
Sayyid ‘Alawy ibnu Abbas Muhammad, Manh al-Lathif fi Ushul al-Hadits al-Syarif, (Jakarta : Dar
al-Rohmah), hal. 47
8
Hafidz Hasan al-Mas’udi, Minhah al-Mughits fi Ilmi Mushthalahah al-Hadits (Surabaya: al-Hidayah,
t.th),16-17.
9
Hafidz Hasan al-Mas’udi, Minhah al-Mughits fi Ilmi Mushthalahah al-Hadits (Surabaya: al-Hidayah,
t.th), 15.
Oleh karenannya ketika hadits dlo’if tersebut memenuhi syarat-syarat di
atas, maka hadits tersebut bisa menjadi hasan li ghairihi. Berikut contoh hadits
hasan li gairihi:

ّ‫حدثناّحيىيّبنّسعيدّوعبدّالرمحنّبنّمهديّعنّشعبةّعنّعاصمّبنّعبيدّهللاّقالّمسعتّعبدّهللا‬

ّ‫ارةّتزوجتّرجالّعلىّنعلنيّفقالّهلاّرسول‬
ّ ‫بنّعامرّبنّربيعةّحيدثّعنّأبيهّ*ّأنّامرأةّمنّبينّفز‬

ّ ّ‫هللاّصلىّهللاّعليهّوسلمّيفّحديثّحيىيّأرضيتّمنّنفسكّومالكّهبذينّالنعلنيّقالتّنعمّفأجاز‬

“Yahya bin Said dan Abdurrahman bin Mahdi menceritakan kepada


kami, dari Syu’bah, dari ‘Ashim bin ‘Ubaidillah berkata : saya mendengar
dari Abdullah bin Amir bin Rabi’ah menceritakan dari ayahnya :
bahwasanya seorang perempuan dari bani Fazaroh menikahi seorang laki-
laki dengan mahar sepasang sandal, kemudian Rasulullah saw bertanya
kepada perempuan tersebut,”apakah engkau rela terhadap dirimu dan
hartamu atas sepasang sandal ini? Perempuan itu menjawab “iya”, maka
Rasulullah saw membolehkan hal tersebut.”

Hadits di atas berstatus dhaif karena salah satu perawinya yaitu ‘Ashim
bin ubaidillah dikenal sebagai perawi yang lemah hafalannya. Namun, imam
Tirmidzi menghasankan hadits tersebut dikarenakan periwayatan hadits
tersebut tidak berasal dari satu jalan saja.10

B. Kaidah Hadits Shahih dan Hasan


1. Kaidah Hadits Shahih
Berdasarkan dari definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa hadits shahih harus
memenuhi beberapa syarat sebagai berikut;
a. Ittishal al-sanad (sanadnya bersambung), artinya adalah antara satu perawi
dengan perawi baik yang sebelum atau yang sesudahnya dimungkinkan untuk
bertemu atau bersambung, sehingga dengan syarat ini dikecualikan hadits
mursal, muunqathi’, mu’dhal, muallaq dan mudallas.

10
Dardum Abdullah, Ikhtishar Ulum al-Hadits (Jember : MA NURIS, 2003), 67-68
b. Diriwayatkan oleh perawi yang adil. Maksud dengan perawi yang adil adalah
perawi yang senantiasa bertakwa dan akhlak yang baik11 serta terhindar dari
perbuatan fasik dan hal-hal yang menjatuhkan muru’ah.12 Sedangkan yang
dimaksud dengan orang adil adalah muslim serta terhindar dari kefasikan dan
perbuatan yang hina. Sehingga dengan syarat ini, terkecualikan orang fasik,
orang gila, Majhul. Dan termasuk dalam definisi orang adil adalah perempuan,
budak, dan Mumayyiz.
c. Memiliki integritas hafalan (tamam dhabt al-rawi). Maksud dari memiliki
integritas hafalan adalah sempurnanya hafalan perawi dan berada pada
tingkatan tinggi. Dhabit sendiri terbagi menjadi 2; pertama, dhabit shadr
adalah perawi benar-benar kuat daya ingatnya mengenai apa yang dia dengar
serta sanggup mengungkapkannya kapan saja dan di mana saja. Kedua, adalah
dhabit kitab, yakni perawi tersebut kuat ingatannya berdasarkan catatan yang
ia tulis dan mampu menjaganya serta dapat memperbaiki.
d. Tidak Syadz, artinya riwayat hadits tersebut tidak bertentangan dengan
riwayat orang yang lebih tsiqah darinya.
e. Terhindar dari illat. Illat adalah sifat yang tersembunyi serta dapat mencemari
ke-shahih an suatu hadits .

Berikut contoh hadits shahih yang memenuhi kriteria-kriteria di atas:

ّ‫حدثناّعبدّهللاّبنّيوسفّقالّأخربانّمالكّعنّإبنّشهابّعنّحممدّبنّجبْيّبنّمطعم‬

ّ ّ‫ّمسعتّرسولّهللاّصلىّهللاّعليهّوّسلمّقرأّيفّاملغربّابلطور‬:‫عنّأبيهّقال‬
"Abdullah bin Yusuf menceritakan kepada kami, dia berkata, Malik
memberitakan kepada kami, dari Ibnu Shihab, dari Muhammad bin
Jubair bin Muth’im, dari ayahnya, dia berkata, aku telah mendengar
Rasulullah saw telah membaca surat al-Thur ketika salat maghrib.”
Dalam Istikhraj hadits shahih, yakni mengeluarkan (menyampaikan) suatu hadits
shahih dari sumber kitab shahih yg sudah ada namun dengan menggunakan isnad
mandiri yakni tidak bergantung pada isnad dalam kitab sumbernya, sehingga isnad

11
Sayyid Muhammad Alawy al-Maliky al-Hasany al-Makky, al-Manhal al-Latif fi Ushl al-Hadist,
(Makkah al-Mukarramah: al-Rushaifah, t.th), 55.
12
Dardum Abdullah, Ikhtishar Ulum al-Hadits, (Jember : MA NURIS, 2003), 62-63
nya tidak akan sama persis sekalipun nantinya akan mencapai titik temu dalam
sanadnya semisal gurunya, atau diatasnya, terdapat beberapa kaidah.13
Pertama, “Tidak diharuskan samanya lafal pada hadits yang dikeluarkan (al-
Mustakhroj)” hal ini sebagaimana penjelasan diatas karena para mustakhrij (yang
mengeluarkan hadits) itu meriwayatkan hadits dari para guru-guru mereka yang mana
tidak sama dengan jalan sanad riwayat kitab sumber. Kedua, “Tidak boleh
menyandarkan hadits Mustakhroj kepada pemilik kitab sumber” misal: telah
meriwayatkan kepada hadits ini : al-Bukhori atau Muslim. Kecuali dengan dua syarat;
a. Sama persis hadits mustakhroj dengan lafal hadits pada kitab sumber atau
b. Pemilik mustakhroj mengatakan “telah mengeluarkan keduanya (al-Bukhori
dan Muslim) kepada hadits dengan lafal ini” dengan penegasan lafal ini.

2. Kaidah Hadits Hasan


Pada dasarnya kriteria hadits hasan dengan hadits shahih tidak jauh
berbeda yaitu sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh perawi yang adil,
diriwayatkan oleh perawi yang mundhabit, terbebas dari kejanggalan dan
kecacatan. Sementara perbedaan yang mendasar antara keduanya terletak pada
ke-dhabit-an para perawinya, untuk hadits hasan tingkat ketelitian dari
14
perawinya berada di bawah tingkat ketelitian perawi hadits shahih . Berikut
contoh hadits hasan:

ّ‫حدثناّقتيبةّحدثناّجعفرّبنّسليمانّالضبعيّعنّاىبّعمرانّاجلوينّعنّاىبّبكرّبنّاىبّموسى‬

ّ‫ّإنّأبواب‬:‫ّقالّرسولّهللاّصلىّهللاّعليهّوّسلم‬:‫ّمسعتّايبّحبضرةّالعدوّيقول‬:ّ‫األشعريّقال‬

ّ ّ‫احلديث‬.....ّ‫اجلنةّحتتّظاللّالسيوف‬

“Qutaibah menceritakan kepada kami, Ja’far bin Sulaim al-Dluba’i


menceritakan kepada kami, dari Abu Imron al-Jauny, dari Abu Bakar bin
Abu Musa al-Asy’ary berkata: saya mendengar Abu Musa berkata di
hadapan musuh, bahwa Rasulullah saw bersabda : sesungguhnya pintu-pintu
surga berada di bawah bayang-bayang pedang.....”

13
Abi Hafsh Mahmud bin Ahmad bin Mahmud Tohan al-Nu’aimiy, Taisir Musthalah al-Hadits
(Surabaya: Maktabah al-Hikmah, t.th.), 40.
14
Sayyid ‘Alawy ibnu Abbas Muhammad, Manh al-Lathif fi Ushul al-Hadits al-Syarif, (Jakarta : Dar
al-Rohmah), 47.
Hadits tersebut terkategorikan hadits hasan karena dari semua perawi
hadits tersebut tergolong perawi yang tsiqoh, terkecuali Ja’far bin Sulaim al-
Dluba’i. Sehingga menyebabkan hadits tersebut tidak shahih melainkan hasan.15

C. Kehujjahan Hadits Shahih dan Hasan


1. Kehujjahan hadiis shahih
Bagi kaum muslim wajib hukumnya mengamalkan hadits shahih
berdasarkan kesepakatan para ahli hadits , pakar ushul fikih dan para fuqaha
walaupun tidak berasal dari karangan iman Bukhori dan Muslim. Oleh karena itu,
hadits shahih dapat dijadikan sebagai hujjah syar’i dan bagi umat muslim tidak
boleh diberi ruang untuk mengabaikannya.16

2. Kehujjahan hadits hasan


Hadits hasan juga bisa dijadikan sebagai argumentasi syar’i sebagai hadits
shahih , walaupun tingkatannya berada di bawahnya karena dari sebagian para ahli
hadits , ahli fikih dan ushul fikih juga mengamalkan hadits hasan. Namun, tatkala
ada ta’arud antara keduanya maka hadits shahih lah yang didahulukan.17

15
Abi Hafsh Mahmud bin Ahmad bin Mahmud Tohan al-Nu’aimiy, Taisir Musthalah al-Hadits
(Surabaya: Maktabah al-Hikmah, t.th.), 46-47.
16
Abi Hafsh Mahmud bin Ahmad bin Mahmud Tohan al-Nu’aimiy, Taisir Musthalah al-Hadits
(Surabaya: Maktabah al-Hikmah, t.th.), 46
17
Sayyid ‘Alawy ibnu Abbas Muhammad, Manh al-Lathif fi Ushul al-Hadits al-Syarif (Jakarta : Dar
al-Rohmah), 48

Anda mungkin juga menyukai