Anda di halaman 1dari 11

HADITS SHOHIH, DLA’IF DAN MAUDLU’

A. Hadits Shohih dan Kreterianya


1. Pengertian

Kata shahih (‫)ص ِحْيح‬


َ berasal dari kata shahha(‫)ص َّح‬
َ dan shihah (
ِ
‫)ص َّحة‬ yang berarti sehat tidak cacat, tidak sakit (saqim (‫س قيم‬َ ). Suatu
hadits dikatakan shahih apabila valid sumbernya, dapat dipertanggung
jawabkan validitasnya. Secara umum hadits shahih (‫)احلديث الص حيح‬
didefinisikan sebagai berikut:

‫ما اتصل سنده بنقل العدل الضابط عن مثله وسلم من شذوذ وعلة‬
“Hadits yang sanad (jalur transmisi) nya bersambung melalui periwayatan
seorang periwayat yang ‘adil, dan dlâbith (kuat daya ingatnya), dari
periwayat semisalnya, serta terbebas dari keganjilan dan cacat”
Dapat diketahui bahwa hadits shahih memiliki sifat-sifat yang jauh
dari sifat mursal, munqathi’, mu’dal, syadz, dan jarh. Dan kiranya sudah
menjadi kesepakatan umum para ulama Ahli Hadits. Namun tidak
menutup kemungkinan keshahihan hadits masih diperdebatkan karena
perbedaan tingkat validitasnya atau dalam penentuan kriteria. Maka
muncul beberapa kriteria hadits seperti hadits shahih dan hadits ghairu
shahih.
Hadits shahih maksudnya bahwa hadits yang diriwayatkan
sanadnya bersambung (muttashil) dan memiliki sifat-sifat seperti yang
disebutkan diatas dalam definisi. Dan hadits ghairu shahih maksudnya
sesungguhnya haditsnya tidak pasti karena kemungkinan terdapat sanad
yang berdusta atau karena ada faktor lainnya.
2. Kriteria Hadits Shahih
Hadits akan dinilai valid (shahih) apabila telah memenuhi lima
kriteria sebagai berikut:

a. Sanad bersambung (ittishalu al-sanad, ‫السند‬ ‫)اتصال‬.


Maksudnya bahwa pertalian atau rangkaian dari Nabi hingga sanad

terakhir atau perawi itu bersambung (muttashil, ‫)متّصل‬ tidak terjadi

keguguran atau tidak terputus dalam jaringan sanad atau sistem riwayat.
Pelaku sanad atau rijal dipastikan mendengar sendiri hadits dari
gurunya. Ketersambungan sanad biasanya menggunakan kata-kata yang

lazim seperti kata akhbarna (‫)اخربنا‬, haddatsana (‫)حدثنا‬, dan sami’tu(

‫)مسعت‬. Dan kata sambung para perawi terakhir seperti ‘an(‫ )عن‬dan

min(‫)من‬. Apabila sanadnya terputus maka akan turun statusnya menjadi

hadits munqathi’, hadits mu’allaq dan hadits mursal.

b. Diriwayatkan oleh periwayat yang ‘adil (adalatu ar-riwayah, ‫)عدلة الرواية‬


Maksud dari sifat adil adalah adil dalam hal riwayat. Berarti bahwa
orang yang meriwayatkan hadits adalah orang yang muslim, baligh,
tidak melakukan dosa besar atau dosa kecil (fasiq) dan menjaga

kepribadian (muru’ah =‫ عفة‬Iffah = ‫ )م روءة‬dalam semua keadaan dari

kebiasaan yang dianggap bernuansa kurang baik, baik secara etis


maupun estetis, baik secara moral maupun sosial. Dengan syarat
muslim berarti jika dalam isnadnya hadits yang muttashil terdapat orang
non muslim, maka haditsnya tidak bisa diterima atau ditolak (mardud).

c. Para perawinya sangat kuat daya ingatnya (dhabtu al-riwayat: ‫الروة‬ ‫)ضبط‬
Maksudnya bahwa para perawi hadits memiliki daya ingat yang kuat,
tingkat auditasnya tinggi, sekira apa yang didengar dari orang lain
benar-benar terekam dalam memorinya dan siap direproduksikan
sewaktu-waktu:
- Klasifikasi dlabith
Dibedakan menjadi dua yaitu:

1) Dlabith fi al-shadr (‫)ضابط ىف الصدور‬


Adalah akurasi cara periwayatan dalam memori ingatan,
periwayatan dengan mengandalkan hafalan, bukan lewat tulisan.

2) Dlabit fi al-kitab (‫)ضابط ىف الكتاب‬


Adalah akurasi cara periwayatan melalui teks
- Cara mengetahui kedlabithan rawi
Seseorang dikatakan perawi yang dlabith apabila
1) Adanya kesaksian para ulama’1
2) Adanya relevansi riwayatnya dengan riwayat ulama’ lainnya
yang telah dikenal sebagai muahddits dlabith.

d. Tidak memiliki cacat dan cela (adam al-‘illah, ‫)ع دم العلة‬ baik sanad

maupun matannya. Maksudnya bahwa hadits yang diriwayatkan tidak


diketahui cacat isinya maupun lafadznya.

e. Tidak adanya keganjilan (‘adam al-syudzudz, ‫)ع دم الش ذوذ‬ terutama

dalam segi matan. Maksudnya baik perawi hadits maupun h adits yang
diriwayatkan tidak dinilai janggal atau aneh oleh para prawi lainnya.
Berikut ini adalah contoh hadis yang telah memenuhi 5 kriteria
tersebut diatas, yaitu:

‫ اخربنا مالك عن ابن ش هاب عن حممد بن‬:‫ ح دثنا عبد اهلل ابن يوسف ق ال‬:‫البخ ارى‬
2
.‫جبري بن مطعم عن ابيه قال رسول اهلل صلى اهلل عليه وسلم قرأ ىف املغرب بالطور‬

Setelah diteliti secara seksama hadits tersebut diketahui sebagai


hadita shohih koleksi al-Imam al-Bukhari ra., karena didapati indikator
sebagai berikut :
a. Sanadnya bersambung (muttashil), indikatornya adalah unsur ‘an’anah
(‫ )عنعنه‬yakni menggunakan perangkat ‘an ( ‫ )عن‬atau min (‫)من‬yang
berarti melalui atau dari.
b. Para perawinya adalah dlabith dan ‘adil berdasarkan penilaian para
ulama yaitu:

1
Al-Bukhari, Mengahafal 100.000 Hadist shahih dan 200.000 hadits yang tidak shahih
2
Al-Bukhari, Al-Jami as-Shahih al-Musnad min Hadits Rasul Allah wa Sunanihi wa
ayyamihi, Kairo: al-Maktabah as-salafiyah, 1400H.
1) Abdullah adalah terpercaya (tsiqah)
2) Malik adalah adalah seseorang penghafal hadits (hafidh)
3) Ibnu Syihab al-Zuhri adalah seorang ahli fiqih kenamaan, al-Hafidh
4) Muhammad Ibnu Jubair adalah tsiqah
5) Jubair Ibnu Muthim adalah seorang sahabat
c. Tidak syadz, karena tidak ada riwayat lain yang lebih kuat
d. Tidak ada cacat (illah)
3. Tingkatan Hadits Shahih
Secara berurutan tingkatan hadits shahih dapat diketahui melalui buku
koleksi hadits yang shahih yaitu:
a. Hasil kesepakatan al-Imam, al-Bukhari ra. dan al-Imam Muslim ra.
b. Hasil koleksi al-Bukhari
c. Hasil koleksi al-Imam Muslim
d. Seluruh hadits yang telah memenuhi kriteria yang ditawarkan oleh
keduanya tetapi belum ditakhrij
e. Seluruh hadits yang memenuhi al-Bukhari saja atau Imam Muslim saja
namun belum ditakhrij
f. Seluruh hadits yang dinilai shahih oleh selain al-Imam al-Bukhari dan
al-Imam Mislim, seperti Ibn Khuzaimah dan Ibn Hibban.

B. Hadits Dla’if
1. Pengertian
Hadits dla’if berarti lemah sebagai lawan dari kata kuat. Para ulama
muhaditsun telah merumuskan definisi hadits dla’if diantaranya:

‫احلديث الضعيف مامل جيمع صفة احلسن بنقد شروطه‬


“Hadits dla’if adalah hadits yang tidak memiliki syarat sebagai hadits
hasan karena hilangnya sebagian syarat”

2. Bentuk-bentuk hadits dla’if


Menurut al-Hafidh Abu ‘Amr Ibn as-Shalah, Ibn Hibban telah
mengidentifikasi bentuk-bentuk hadits dla’if menjadi 49 macam yang
disebabkan oleh tidak terdapatnya beberapa sifat yaitu :
a. Ketersambungan sanad (al-ittishal)
b. Keadilan perawi (al-‘adalah)
c. Kekuatan daya ingat (al-dhabith)
d. Al-Mutaba’ah fi al-mastur
e. Tidak syadz (ghair syudzudz) dan
f. Tidak cacat (gairu mu’allal)3
3. Faktor-faktor ke-dla’if-an
Faktor atau alasan terjadinya hadits dla’if adalah
a. Karena keterputusan sanad dan macamnya
Sanadnya tidak bersambung baik di tengah maupun dengan Nabi saw.
Diantara hadits-haditsnya antara lain:
1) Hadits mursal
2) Hadits munqathi’
3) Hadits muallaq
4) Hadits Mu’adldlal
b. Karena faktor-faktor lainnya
Banyak hadist yang dla’if dengan alasan ini hingga macamnya
berkembang banyak sekali, antara lain:
1) Hadits matruk
2) Hadit mu’allal
3) Hadits munkar
4) Hadits syadz
5) Hadits mudltharrib
6) Hadits maqlub
4. Klasifikasi hadits dla’if
Dikategorikan menjadi dua
a. Hadits-hadits dla’if yang ditinggalkan

3
M. Mahfudz al-Tirmasi, Mahjaj Dzawi an Nadhar, Beirut: Dar al-Fikr, 1981.
Adalah hadits-hadits yang tidak dapat diamalkan atau dijadikan hujjah
b. Hadits-hadits dla’if yang dipakai
Adalah hadits-hadits dla’if yang dapat diamalkan pesannya atau dapat
dijadikan hujjah dalam pengambilan hukum.
Sejumlah persyaratan yang dibuat oleh para ulama tersebut menurut
Abu Syamah4 adalah :
1) Tidak untuk hal-hal yang berkaitan dengan ‘aqidah, hukum dan
tafsir.
2) Hadits yang digunakan tidak sangat dla’if apalagi maudlu’ bathil,
munkar atau hadits-hadits yang tidak ada asalnya (la ashla laha)
3) Hadits yang diambil tidak boleh di’itiqadkan (diyakini) sebagai
sabda Nabi saw.
4) Hadits yang digunakan atau diamalkan harus mempunyai dasar
yang umum dari hadits yang shahih.
5) Hadits-hadist dla’if tidak boleh dimasyhurkan
6) Wajib bagi oang yang meriwayatkan untuk memberikan penjelasan
(bayan) kepada orang lain bahwa hadits tersebut adalah dla’if
7) Dalam meriwayatkan hadits tidak boleh menggunakan lafad-lafadz
yang jazim (menetapkan)
5. Kehujjahan hadits dla’if
Ada 3 pendapat para ulama yaitu :
a. Bahwa hadits dla’if tidak dapat dipakai sama sekali, baik dalam
fadla’ilul a’mal maupun bidang hukum. Pendapat ini mendapat
dukungan dari Abu Bakar ib al-‘Arabi, al-Bukhari dan Muslim
b. Hadits dla’if bisa dipergunakan apa saja. Pendapat ini didukung oleh
Abu Dawud dan al-Imam Ahmad
c. Hadits dla’if dapat dipakai dalam masalah kebaikan (fadla’ilul a’mal) ,
untuk nasehat (maw’idah) dan sebagainya, jika memenuhi syarat-
syarat.
C. Hadits Maudlu’

4
Baca Al-Bani, Tamam al-Minnah, h. 32
1. Pengertian

Kata maudlu’ (‫ )موضوع‬secara bahasa merupakan isim maf’ul yang

berasal dari kata kerja wala’a (‫ ) وضع‬yang artinay “meletakkan”) hingga

kata tersebut berarti “sesuatu yang diletakkan”. Sedangkan menurut


pengertian istilah dalam perspektif muhadditsun, kata maudlu’ berarti
sesuatu yang dicipatakan atau sesuatu yang dibuat-buat, lalau dinisbatkan
kepada Nabi saw. Dengan dusta dan cara kontroversial.5
2. Latar munculnya hadits maudlu’
a. Latar historis
Munculnya hadits maudlu' secara umum dipicu oleh perbedaan
pendapat antara kelompok yang simpati terhadap kepemimpinan Amil
al-Mu’minin ‘Ali bin Abi Thalib ra. Dan kelompok pendukung kepala
negara syam Mu’awiyah ibn Abi Sufyan ra.. sejarah mencatat, kondisi
tersebut merupakan awal pecahnya umat islam, munculnya kelompok-
kelompok kecil, beberapa sekte agama dan partai politik bahkan telah
memicu pecahnya perang saudara. Masing-masing kelompok
mendakwakan diri sebagai golongan terbaikdengan berpegang pada
Al-Qur’an dan al-Sunnah. Pada masa pasca fitrah mereka yang
bertikai berupaya mempengaruhi masyarakat luas dengan memberikan
interprestasi terhadap ayat-ayat al-Qur’an dan mentakwilkannya sesuai
dengan kepentingan kelompok, bahkan tidak segan-segan membuat
hadits yang isinya menunjukkan keunggulan kelompok dan pemimpin
mereka masing-masing. Hadits-hadits hasil produksi mereka inilah
yang kemudian oleh para muhadditsun disebut sebagai hadits maudlu’
b. Faktor-faktor yang memunculkan hadits maudlu'.
Faktor-faktornya antara lain:

1) Faktor politik

5
Ibnu Shallah dalam M. Ajjaj al-Khatib, Ushul Hadtis ‘ulumuha wa musthalahahu, Beirut:
Dar-al-Fikri, 1989, h. 415
Peristiwa bermula dari terbunuhnya khalifah Usman bin
Affan ra. Ditangan kelompok orang pendukung khalifah Ali bin
Abi Thalib, disusul dengan munculnya pendukung Mua’wiyah,
kemudian lahir golongan Khawarij setelah perang Shiffin.6
Terlebih lagi sejak terbunuhnya al-Hasan ibn Ali, kondisi
demikian itulah yang kondusif mendorong munculnya pemalsuan
hadits.
a) Syi’ah
Menurut keterangan Ibn Abi al-Hadid akar munculnya
kebohongan dalam hadits-hadits keuatmaan adalah komunikasi
syi’ah. Mereka sengaja menebar kepalsuan demi
mempertahankan keutuhan dan kemenangan golongannya.7
b) Khawarij
Meskipun tidak jelas upaya mereka memalsukan hadits tetapi
ketika melakukan pembelaan terhadap i’tiqadnya mengenai
“pelaku dosa besar adalah kafir” dan “berdusta termasuk dosa
besar” mereka tidak segan-segan mengaku sebagai golongan
yang lebih benar daripada golongan pembela hadits.
2) Faktor madzhab
Golongan yang paling banyak melakukan kebohongan untuk
membela madzhab mereka adalah kelompok Syi’ah dan Rafidhah.
3) Cerita dan nasehat
Para ahli cerita senantiasa membuat cerita dan mengajak
mereka kepada kebaikan dan menjauhkan kemungkaran, dan
mereka tidak segan-segan memalsukan hadits.
Objeknya adalah komunitas muslim yang menyukai kebaikan dan
mereka buta akan pengetahuan agama.

4) Fanatik kelompok
6
Perang yang terjadi antara pendukung Khalifah Ali ra. dan pendukung Sayyidatuna
A’isyah ra. Lihat M. Ajjaj al-Khatib, Op.Cit h. 418
7
Baca Ibn Abi al-Hadid, Syarh Najh al-Baghdad, Beirut: Dar al-Fikr, t.th., juz 3, h. 26
Motif membuat hadits-hadits dengan maksud mengunggulkan citra
kesukuannya (ta’ashubiyyah)
5) Zindiq
Umumnya melekat pada kelompok liberialisme
6) Mendekatkan diri kepada para penguasa
3. Hukum meriwayatkan
Para ulama telah sepakat bahwa meriwayatkan hadits maudlu' dari
orang yang mengetahui kepalsuannya dalam bentuk apapun adalah haram,
kecuali disertai dengan penjelasan-penjelelasan ke-maudlu'annya karena
akan memberi peluan orang untuk menentukan pilihannya (tamziy)
terhadap hadits Nabi.
4. Tanda-tanda hadits maudlu’
Dapat diketahui melalui beberapa ciri-ciri antara lain:
a. Dalam aspek sanad
Tanda-tandanya adalah :
1) Berdasarkan pengakuan pemalsu hadits
2) Berdasarkan apa yang telah diposisikan sama dengan
pengakuannya
3) Adanya indikasi pada perawi yang menunjukkan akan
kepalsuannya
4) Adanya salah seorang pengingat yang dikenal sebagai penipu,
pembohong atau pendusta
b. Dalam aspek matan
Ada beberapa indikator
1) Menyalahi hakekat
2) Kelemahan bahasa
3) Tidak terdapat dalam kitan hadits manapun
4) Menyatakan pahala yang amat besar bagi amalan yang biasa-biasa
saja
‘Ulama dalam dalam menjaga hadits adalah dengan melakukan hal-
hal sebagai berikut :
a. Stabiloitas sanad (i’tizam al-isnad)
b. Intensitas kegiatan ilmiah (mudla’afah al-hasyath al-ilmi)
c. Memberantas kebohongan (tatabu’ al-kidzbah)
d. Menjelaskan keadaan para perawi (bayan ahwal ar-ruwah) ketiak
menyampaikan hadits.
5. Kehujjahan hadits maudlu’
Hadits dhahih pun terkadang masih diperselisihkan keshahihannya,
apalagi yang maudlu'. Meriwayatkan hadits maudlu' tidak boleh lagi.
Rasulullah saw. memberikan pilihan yang lain yaitu dengan lidahnya
(tulisan dan perkataan) dan yang ketiga dengan hatinya. Inilah selemah-
lemahnya iman. Ini merupakan tugas pemimpin, yang penting bersikap
selektif dalam mengambil hadits dan sebisa mungkin menghindari taqlid
buta.
DAFTAR PUSTAKA

Al-Bukhari, Al-Jami as-Shahih al-Musnad min Hadits Rasul Allah wa Sunanihi


wa ayyamihi, Kairo: al-Maktabah as-salafiyah, 1400 H.

Al-Tirmasi M. Mahfudz, Mahjaj Dzawi an Nadhar, Beirut: Dar al-Fikr, 1981.

Ibnu Shallah dalam M. Ajjaj al-Khatib, Ushul Hadtis ‘ulumuha wa musthalahahu,


Beirut: Dar-al-Fikri, 1989.

Ibn Abi al-Hadid, Syarh Najh al-Baghdad, Beirut: Dar al-Fikr, t.th., juz 3.

Sf. M. Syakur, Ulumm al-Hadits, Kudus: Meseifa Jendela Ilmu, 2009.

Anda mungkin juga menyukai