Anda di halaman 1dari 15

1.

Hadits Shahih
a) Pengertian Hadits Shahih
Shahih merupakan kalimat musytaq dari kalimat shahha – yashihhu – suhhan wa sihhatan artiya
sembuh, sehat, selamat dari cacat, benar. Sedangkan secara istilah yaitu :

‫الضابِ ِط عَنْ ِم ْثلِ ِه إِل َى ُم ْنتَ َهاهُ ِمنْ َغ ْي ِر ش ُُذ ْو ٍذ َوالَ ِعلَّ ٍة‬
َ ‫سنَ ُدهُ بِنَ ْق ِل ال َعد ِْل‬ َ َّ‫ َما اِت‬.
َ ‫ص َل‬
“Apa yang sanadnya bersambung dengan periwayatan yang adil, dhobit ( memiliki hafalan yang kuat) dari
awal sampai akhir sanad dengan tanpa syadz dan tidak pula cacat”
Imam Al-Suyuti mendifinisikan hadits shahih dengan “hadits yang bersambung sanadnya, dfiriwayatkan oleh
perowi yang adil dan dhobit, tidak syadz dan tidak ber’ilat”.
Definisi hadits shahih secara konkrit baru muncul setelah Imam Syafi’i memberikan penjelasan tentang
riwayat yang dapat dijadikan hujah, yaitu:
pertama, apabila diriwayatkan oleh para perowi yang dapat dipercaya pengamalan agamanya, dikenal sebagai
orang yang jujur mermahami hadits yang diriwayatkan dengan baik, mengetahui perubahan arti hadits bila
terjadi perubahan lafadnya; mampu meriwayatkan hadits secara lafad, terpelihara hafalannya bila
meriwayatkan hadits secara lafad, bunyi hadits yang Dia riwayatkan sama dengan hadits yang diriwayatkan
orang lain dan terlepas dari tadlis (penyembuyian cacat),
kedua, rangkaian riwayatnya bersambung sampai kepada Nabi SAW. atau dapat juga tidak sampai kepada
Nabi.
b) Syarat-syarat Hadits Shahih
1) Sanadnya Bersambung
setiap perawi dalam sanad hadits menerima riwayat hadits dari perawi terdekat sebelumnya. Keadaan itu
berlangsung demikian sampai akhir sanad dari suatu hadits. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa
rangkaian para perawi hadits shahih sejak perawi terakhir sampai kepada perawi pertama (para sahabat) yang
menerima hadits langsung dari Nabi,bersambung dalam periwayatannya.
Sanad suatu hadits dianggap tidak bersambung bila terputus salah seorang atau lebih dari rangkaian para
perawinya. Bisa jadi rawi yang dianggap putus itu adalah seorang rawi yang dha’if, sehingga hadits yang
bersangkutan tidak shahih.
2) Perawinya Adil
Seseorang dikatakan adil apabila ada padanya sifat-sifat yang dapat mendorong terpeliharanya ketaqwaan,
yaitu senantiasa melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan, dan terjaganya sifat Muru’ah, yaitu
senantiasa berakhlak baik dalam segala tingkah laku dan hal-hal lain yang dapt merusak harga dirinya.
3) Perwainya Dhabith
Seorang perwai dikatakan dhabit apabila perawi tersebut mempunyai daya ingat yang sempurna terhadap
hadits yang diriwayatkannya.
Menurut Ibnu Hajar al-Asqalani, perawi yang dhabit adalah mereka yang kuat hafalannya terhadap apa yang
pernah didengarnya, kemudian mampu menyampaikan hafalan tersebut kapan saja manakala diperlukan. Ini
artinya, bahwa orang yang disebut dhabit harus mendengar secara utuh apa yang diterima atau didengarnya,
kemudian mampu menyampaikannya kepada orang lain atau meriwayatkannya sebagaimana aslinya.
4) Tidak Syadz
Syadz (janggal/rancu) atau syudzuz adalah hadits yang bertentangan dengan hadits lain yang lebih kuat atau
lebih tsiqqah perawinya. Maksudnya, suatu kondisi di mana seorang perawi berbeda dengan rawi lain yang
lebih kuat posisinya. Kondisi ini dianggap syadz karena bila ia berbeda dengan rawi lain yang lebih kuat
posisinya, baik dari segi kekuatan daya hafalannya atau jumlah mereka lebih banyak, maka para rawi yang lain
itu harus diunggulkan, dan ia sendiri disebut syadz. Maka timbullah penilaian negatif terhadap periwayatan
hadits yang bersangkutan.
5) Tidak Ber’illat
Hadits ber’illat adalah hadits-hadits yang cacat atau terdapat penyakit karena tersembunyi atau samar-samar,
yang dapat merusak keshahihan hadits. Dikatakan samar-samar, karena jika dilihat dari segi zahirnya, hadits
tersebut terlihat shahih. Adanya kesamaran pada hadits tersebut, mengakibatkan nilai kualitasnya menjadi
tidak shahih. Dengan demikian, yang dimaksud hadits tidak ber’illat, ialah hadits yang di dalamnya tidak
terdapat kesamaran atau keragu-raguan. ‘Illat hadits dapat terjadi baik pada sanad mapun pada matan atau pada
keduanya secara bersama-sama. Namun demikian, ‘illat yang paling banyak terjadi adalah pada sanad.
Adapun contoh hadits yang shahih adalah sebagai berikut;

‫ب عَنْ ُم َح َّم ِد ْب ِن ُجبَ ْي ِر ْب ِن‬ ِ ‫ف قَا َل أَ ْخبَ َرنَا َمالِ ٌك َع ِن ا ْب ِن‬


ٍ ‫ش َها‬ َ ‫س‬ُ ‫َح َّدثَنَا َع ْب ُدهللاِ ْبنُ يُ ْو‬
‫ط ْو ِر “(رواه‬ ُّ ‫ب بِال‬ ِ ‫م قَ َرأَ فِي ا ْل َم ْغ ِر‬.‫س ْو َل هللاِ ص‬ ُ ‫س ِم ْعتُ َر‬ َ ‫ُم ْط ِع ِم عَنْ أَبِ ْي ِه قَا َل‬
)‫البخاري‬
“Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin yusuf ia berkata: telah mengkhabarkan kepada kami malik
dari ibnu syihab dari Muhammad bin jubair bin math’ami dari ayahnya ia berkata: aku pernah mendengar
rasulullah saw membaca dalam shalat maghrib surat at-thur” (HR. Bukhari, Kitab Adzan).
Analisis terhadap hadits tersebut:
1. Sanadnya bersambung karena semua rawi dari hadits tersebut mendengar dari gurunya.
2. Semua rawi pada hadits tersebut dhobit, adapun sifat-sifat para rawi hadits tersebut menurut para ulama aj-
jarhu wa ta’dil sebagai berikut :
a) Abdullah bin yusuf      = tsiqat muttaqin.
b) Malik bin Annas         = imam hafidz
c) Ibnu Syihab Aj-Juhri   = Ahli fiqih dan Hafidz
d) Muhammad bin Jubair = Tsiqat.
e) Jubair bin muth’imi           = Shahabat.
3. Tidak syadz karena tidak ada pertentangan dengan hadits yang lebih kuat serta tidak cacat.
c) Klasifikasi Hadits Shahih
1) Hadits Shahih li-Dzatihi
Hadits Shohih li-Dzatihi adalah suatu hadits yang sanadnya bersambung dari permulaan sampai akhir,
diceritakan oleh orang-orang yang adil, dhabith yang sempurna, serta tidak ada syadz dan ‘Illat yang tercela.
2) Hadits Shahih li-Ghairihi
Adalah hadits yang belum mencapai kualitas shahih, misalnya hanya berkualitas hasan li-dazatihi, lalu ada
petunjuk atau dalil lain yang menguatkannya, maka hadits tersebut meningkat menjadi hadits shahih li-
ghairihi. Ulama hadits mendefinisikan hadits shahih li-ghairihi.

‫هو ماكان رواته متأخراعن درجة الحا فظ الضا بط مع كونه مشهورا بالصدق حتى‬
‫يكون حديثه حسنا ثم وجد فيه من طريق اخر مساو لطريقه أوارجح ما يجبر ذالك‬
‫القصورالواقع فيه‬
“Yaitu hadits shahih karena adanya syahid atau mutabi’. Hadits ini semula merupakan hadits hasan, karena
adanya mutabi’ dan syahid, maka kedudukannya berubah menjadi shahih li-Ghairihi.”
d) Kehujahan Hadits Shahih
Hadits yang telah memenuhi persyaratan hadits shahih wajib diamalkan sebagai hujah atau dalil syara’ sesuai
ijma’ para uluma hadits dan sebagian ulama ushul dan fikih. Kesepakatan ini terjadi dalam soal-soal yang
berkaitan dengan penetapan halal atau haramnya sesuatu, tidak dalam hal-hal yang berhubungan dengan
aqidah.
Sebagian besar ulama menetapkan dengan dalil-dalil qat’i, yaitu al-Quran dan hadits mutawatir. oleh karena
itu, hadits ahad tidak dapat dijadikan hujjah untuk menetapkan persoalan-persoalan yang berhubungan dengan
aqidah.
e) Tingkatan Hadits Shahih
Perlu diketahui bahwa martabat hadits shahih itu tergantung tinggi dan rendahnya kepada ke-dhabit-an dan
keadilan para perowinya. Berdasarkan martabat seperti ini, para muhaditsin membagi tingkatan sanad menjadi
tiga yaitu:
Pertama, ashah al-asanid yaitu rangkaian sanad yang paling tinggi derajatnya. seperti periwayatan sanad dari
Imam Malik bin Anas dari Nafi’ mawla (mawla = budak yang telah dimerdekakan) dari Ibnu Umar.
Kedua, ahsan al-asanid, yaitu rangkaian sanad hadits yang yang tingkatannya dibawash tingkat pertama diatas.
Seperti periwayatan sanad dari Hammad bin Salamah dari Tsabit dari Anas.
Ketiga. ad’af al-asanid, yaitu rangkaian sanad hadits yang tingkatannya lebih rendah dari tingkatan kedua.
seperti periwayatan Suhail bin Abu Shalih dari ayahnya dari Abu Hurairah.
Dari segi persyaratan shahih yang terpenuhi dapat dibagi menjadi tujuh tingkatan, yang secara berurutan
sebagai berikut:
1) Hadits yang disepakati oleh bukhari dan muslim (muttafaq ‘alaih),
2) Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori saja,
3) Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim saja,
4) Hadits yang diriwayatkan orang lain memenuhi persyaratan AL-Bukhari dan Muslim,
5) Hadits yang diriwayatkan orang lain memenuhi persyaratan Al-Bukhari saja,
6) Hadits yang diriwayatkan orang lain memenuhi persyaratan Muslim saja,
7) Hadits yang dinilai shahih menurut ulama hadits selain Al-Bukhari dan Muslim dan tidak mengikuti
persyratan keduanya, seperti Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan lain-lain.
Kitab-kitab hadits yang menghimpun hadits shahih secara berurutan sebagai berikut:
1) Shahih Al-Bukhari (w.250 H).
2) Shahih Muslim (w. 261 H).
3) Shahih Ibnu Khuzaimah (w. 311 H).
4) Shahih Ibnu Hiban (w. 354 H).
5) Mustadrok Al-hakim (w. 405).
6) Shahih Ibn As-Sakan.
7) Shahih Al-Abani.

2. Hadits Hasan
a) Pengertian Hadits Hasan
Hasan secara bahasa adalah sifat yang menyerupai dari kalimat “al-husna” artinya indah, cantik. Akan tetapi
secara istilah yang dimaksud dengan Hadits Hasan menurut Ibnu Hajar Al-Atsqalani yaitu:

َ‫ض ْبطُهُ عَنْ ِم ْثلِ ِه إِلَى ُم ْنتَ َهاهُ ِمنْ َغ ْي ِر ش ُُذ ْو ٍذ َوال‬ ْ ‫سنَ ُدهُ بِنَ ْق ِل ا ْل َع َد ِل الَّ ِذ‬
َ َّ‫ي َخف‬ َ ‫ص َل‬ َ َّ‫َما اِت‬
‫“ ِعلَّ ٍة‬.
“Apa yang sanadnya bersambung dengan periwayatan yang adil, hafalannya yang kurang dari awal sampai
akhir sanad dengan tidak syad dan tidak pula cacat”
Pada dasarnya, hadits hasan dengan hadits shahih tidak ada perbedaan, kecuali hanya dibidang hafalannya.
Pada hadits hasan, hafalan perawinya ada yang kurang meskipun sedikit. Adapun untuk syarat-syarat lainnya,
antara hadits hasan dengan hadits shahih adalah sama.
Contoh hadits hasan adalah sebagai berikut:

‫الضبَ ِعي عَنْ أَبِ ْي ِع ْم َرا ِن ا ْل َج ْونِي عَنْ أَبِي بَ ْك ِر‬ ُّ ‫ان‬ ُ ُ‫ح َّدثَنَا قُتَ ْيبَةُ َح َّدثَنَا َج ْعفَ ُر ْبن‬
َ ‫سلَ ْي َم‬
‫س ْو ُل هللاِ ص‬ ْ ‫س ِم ْعتُ أَبِي بِ َح‬
ُ ‫ قَا َل َر‬: ‫ض َر ِة ال َع ُد ِّو يَقُ ْو ُل‬ َ : ‫ي قَا َل‬ ْ ‫ش َع ِر‬ ْ َ ‫سي اأْل‬ َ ‫ْب ِن أَبِي ُم ْو‬
‫ الحديث‬..… ‫ف‬ ُّ ‫اب ا ْل َجنَّ ِة ت َْحتَ ِظالَ ِل ال‬
ِ ‫سيُ ْو‬ َ ‫ إِنَّ أَ ْب َو‬: ‫“ م‬
“Telah menceritakan kepada kamu qutaibah, telah menceritakan kepada kamu ja’far bin sulaiman, dari abu
imron al-jauni dari abu bakar bin abi musa al-Asy’ari ia berkata: aku mendengar ayahku berkata ketika
musuh datang : Rasulullah Saw bersabda : sesungguhnya pintu-pintu syurga dibawah bayangan
pedang…”  (HR. At-Tirmidzi, Bab Abwabu Fadhailil jihadi).

b) Kehujahan Hadits Hasan


Hadits hasan sebagai mana halnya hadits shahih, meskipun derajatnya dibawah hadits shahih, adalah hadits
yang dapat diterima dan dipergunakan sebagai dalil atau hujjah dalam menetapkan suatu hukum atau dalam
beramal. Para ulama hadits, ulama ushul fiqih, dan fuqaha sepakat tentang kehujjahan hadits hasan.

3. Hadits Dhoif
a) Pengertian Hadits Dhoif
Dhoif secara bahasa adalah kebalikan dari kuat yaitu lemah, sedangkan secara istilah yaitu;

‫ش ُر ْو ِط ِه‬ َ ‫صفَةُ ا ْل َح‬


ُ ْ‫ بِفَ ْق ِد ش َْر ِط ِمن‬،‫س ِن‬ ِ ‫َما لَ ْم يَ ْج َم ْع‬
“Apa yang sifat dari hadits hasan tidak tercangkup (terpenuhi) dengan cara hilangnya satu syarat dari
syarat-syarat hadits hasan”
Dengan demikian, jika hilang salah satu kriteria saja, maka hadits itu menjadi tidak shahih atau tidak hasan.
Lebih-lebih jika yang hilang itu sampai dua atau tiga syarat maka hadits tersebut dapat dinyatakan sebagai
hadits dhai’if yang sangat lemah. Karena kualitasnya dha’if, maka sebagian ulama tidak menjadikannya
sebagai dasar hukum.
Contoh hadits dhoif adalah sebagai berikut ;

َ‫ق “ َح ِك ْي ِم األَ ْث َر ِم”عَنْ أَبِي تَ ِم ْي َم ِة ال ُه َج ْي ِمي عَنْ أَبِي ُه َر ْي َرة‬ ْ ‫َماأَ ْخ َر َجهُ التِّ ْر ِم ْي ِذ‬
ِ ‫ي ِمنْ طَ ِر ْي‬
‫ ” َمنْ أَتَي َحائِضا ً أَ ْو اِ ْم َرأةً فِي ُدبُ ِر َها أَ ْو َكا ُهنَا فَقَ ْد َكفَ َر بِ َما‬: ‫َع ِن النَّبِ ِّي ص م قَا َل‬
‫“ أَ ْن َز َل َعلَى ُم َح ِّم ٍد‬
Apa yang diriwayatkan oleh tirmidzi dari jalur hakim al-atsrami “dari abi tamimah al-Hujaimi dari abi
hurairah dari nabi saw ia berkata : barang siapa yang menggauli wanita haid atau seorang perempuan pada
duburnya atau seperti ini maka sungguh ia telah mengingkari dari apa yang telah diturunkan kepada nabi
Muhammad saw”
Berkata Imam Tirmidzi setelah mengeluarkan (takhrij) hadits ini : “ kami tidak mengetahui hadits ini kecuali
hadits dari jalur hakim al-atsrami, kemudian hadits ini didhoifkan oleh Muhammad dari segi sanad karena
didalam sanadnya terdapat hakim al-atsrami sebab didhaifkan pula oleh para ulama hadits”
Berkarta ibnu hajar mengenai hadits ini didalam kitab “Taqribut Tahdzib” : Hakim al-Atsromi pada rawi
tersebut adalah seorang yang bermuka dua.
Adapun penyebab kedhoifannya karena beberapa hal:
1) Sebab Terputusnya sanad, akan terputus sanad pun terbagi atas 2 bagian yang perama adalah terputus secara
dzhohir (nyata) :
(a) Mu’allaq adalah apa yang dibuang dari permulaan sanad baik satu rawi atau lebih secara berurutan.
(b) Mursal adalah apa yang terputus dari akhir sanadnya yaitu orang sesudah tabi’in (Sahabat).
(c) Mughdhal adalah apa yang terputus dari sanadnya 2 atau lebih secara berurutan.
(d) Munqoti’ adalah apa yang sanadnya tidak tersambung.
Sedangkan yang kedua terputus secara khofi (tersembunyi) yaitu:
(a) Mudallas adalah menyembunyikan cacat (‘aib) pada sanadnya dan memperbagus untuk dzohir haditsnya.
(b) Mursal Khofi adalah meriwayatkan dari orang yang ia bertemu atau sezaman dengannya apa yang ia tidak
pernah dengar dengan lafadz yang memungkinkan ia dengar dan yang lainnya seperti qaala.
2) Sebab penyakit pada rawi
Penyakit pada rawi pun terbagi atas 2 yaitu penyakit dalam ‘adalah dan dhobit (hafalannya), adapun yang
pertama penyakit pada ‘adalah (ketaqwaan) yaitu:
(a) Pendusta
(b) Tertuduh dusta
(c) Fasiq
(d) Bid’ah
(e) Kebodohan
Adapun penyakit pada dhobit (hafalan ) yaitu :
(a) Jelek hafalannya
(b) Lalai
(c) Menyelisihi yang tsiqat
(d) Ucapan yang menipu

3. Hadits Dhoif
a) Pengertian Hadits Dhoif
Dhoif secara bahasa adalah kebalikan dari kuat yaitu lemah, sedangkan secara istilah yaitu;

‫ش ُر ْو ِط ِه‬ َ ‫صفَةُ ا ْل َح‬


ُ ْ‫ بِفَ ْق ِد ش َْر ِط ِمن‬،‫س ِن‬ ِ ‫َما لَ ْم يَ ْج َم ْع‬
“Apa yang sifat dari hadits hasan tidak tercangkup (terpenuhi) dengan cara hilangnya satu syarat dari
syarat-syarat hadits hasan”
Dengan demikian, jika hilang salah satu kriteria saja, maka hadits itu menjadi tidak shahih atau tidak hasan.
Lebih-lebih jika yang hilang itu sampai dua atau tiga syarat maka hadits tersebut dapat dinyatakan sebagai
hadits dhai’if yang sangat lemah. Karena kualitasnya dha’if, maka sebagian ulama tidak menjadikannya
sebagai dasar hukum.
Contoh hadits dhoif adalah sebagai berikut ;

َ‫ق “ َح ِك ْي ِم األَ ْث َر ِم”عَنْ أَبِي تَ ِم ْي َم ِة ال ُه َج ْي ِمي عَنْ أَبِي ُه َر ْي َرة‬ ْ ‫َماأَ ْخ َر َجهُ التِّ ْر ِم ْي ِذ‬
ِ ‫ي ِمنْ طَ ِر ْي‬
‫ ” َمنْ أَتَي َحائِضا ً أَ ْو اِ ْم َرأةً فِي ُدبُ ِر َها أَ ْو َكا ُهنَا فَقَ ْد َكفَ َر بِ َما‬: ‫َع ِن النَّبِ ِّي ص م قَا َل‬
‫“ أَ ْن َز َل َعلَى ُم َح ِّم ٍد‬
Apa yang diriwayatkan oleh tirmidzi dari jalur hakim al-atsrami “dari abi tamimah al-Hujaimi dari abi
hurairah dari nabi saw ia berkata : barang siapa yang menggauli wanita haid atau seorang perempuan pada
duburnya atau seperti ini maka sungguh ia telah mengingkari dari apa yang telah diturunkan kepada nabi
Muhammad saw”
Berkata Imam Tirmidzi setelah mengeluarkan (takhrij) hadits ini : “ kami tidak mengetahui hadits ini kecuali
hadits dari jalur hakim al-atsrami, kemudian hadits ini didhoifkan oleh Muhammad dari segi sanad karena
didalam sanadnya terdapat hakim al-atsrami sebab didhaifkan pula oleh para ulama hadits”
Berkarta ibnu hajar mengenai hadits ini didalam kitab “Taqribut Tahdzib” : Hakim al-Atsromi pada rawi
tersebut adalah seorang yang bermuka dua.
Adapun penyebab kedhoifannya karena beberapa hal:
1) Sebab Terputusnya sanad, akan terputus sanad pun terbagi atas 2 bagian yang perama adalah terputus secara
dzhohir (nyata) :
(a) Mu’allaq adalah apa yang dibuang dari permulaan sanad baik satu rawi atau lebih secara berurutan.
(b) Mursal adalah apa yang terputus dari akhir sanadnya yaitu orang sesudah tabi’in (Sahabat).
(c) Mughdhal adalah apa yang terputus dari sanadnya 2 atau lebih secara berurutan.
(d) Munqoti’ adalah apa yang sanadnya tidak tersambung.
Sedangkan yang kedua terputus secara khofi (tersembunyi) yaitu:
(a) Mudallas adalah menyembunyikan cacat (‘aib) pada sanadnya dan memperbagus untuk dzohir haditsnya.
(b) Mursal Khofi adalah meriwayatkan dari orang yang ia bertemu atau sezaman dengannya apa yang ia tidak
pernah dengar dengan lafadz yang memungkinkan ia dengar dan yang lainnya seperti qaala.
2) Sebab penyakit pada rawi
Penyakit pada rawi pun terbagi atas 2 yaitu penyakit dalam ‘adalah dan dhobit (hafalannya), adapun yang
pertama penyakit pada ‘adalah (ketaqwaan) yaitu:
(a) Pendusta
(b) Tertuduh dusta
(c) Fasiq
(d) Bid’ah
(e) Kebodohan
Adapun penyakit pada dhobit (hafalan ) yaitu :
(a) Jelek hafalannya
(b) Lalai
(c) Menyelisihi yang tsiqat
(d) Ucapan yang menipu

.  4)Hadist Maudhu
Pengertian Hadits Maudhu
  
Secara etimologis kata “maudhu’” berakar kata dari kata dasar “wa dha’a” yang
berarti menurunkan atau merendahkan (derajat). Secara terminologis, hadits maudhu’ diartikan
secara berbeda oleh pada muhadditsin dengan redaksi yang berbeda, tetapi pada intinya
mempunyai kesamaan dalam hal prinsip makna yang mendasar. Beberapa rumusan pengertian
istilah hadits maudhu’ adalah sebagai berikut;
1.      Hadits maudhu’ adalah hadits yang diciptakan dan dibuat-buat, yang bersifat dusta terhadap
Rasulullah SAW., dibuat dengan sengaja atau tidak sengaja.
2.      Hadits maudhu’ yaitu hadits yang diciptakan oleh para pendusta yang disandarkan kepada
Rasulullah dengan tujuan untuk memperdayai.
3.      Hadits maudhu’ yaitu hadits yang dicipta dan dibuat-buat yang dinisbahkan kepada Rasulullah
SAW., secara palsu dan dusta, baik secara sengaja ataupun tidak disengaja.
Jika penggalan kalimat dari beberapa definisi di atas dipilah-pilah tampak adanya beberapa
unsur penting dalam batasan al-maudhu’ yang saling terkait satu sama lain. Jika salah satu unsur
itu tidak ada, hal tersebut akan mengurangi batasan kemaudhuan suatu riwayat hadits.
Beberapa unsur penting dalam batasan definisi al-mauudhu’ adalah sebagai berikut:
1.      Unsur  ‫ض ُع‬ْ ‫الو‬  (pembuatan)
َ atau (dibuat-buat). Artinya, apa yang disebut sebagai hadits oleh rawi
penyampai riwayat itu adalah hadits “buatan” dia sendiri, bukan ucapan, perbuatan, atau
ketetapan Nabi.
2.      Unsur  ‫ب‬ ُ ‫ال ِك ْذ‬  (dusta) atau (menipu). Artinya, apa yang dikatakan rawi sebagai hadits Nabi ialah
“dusta” dan “tipuan” belaka dari dirinya sendiri, karena bukan dari Nabi. Hanya dia yang
mengatakan bahwa hadits itu berasal dari Nabi.
3.      Unsur  ٌ‫ َع ْمد‬  (sengaja) dan  ٌ ‫خطَ‡‡أ‬  (tidak
َ sengaja). Artinya, pembuatan hadits dusta yang disebut
sebagai hadita Nabi itu dilakukan dengan sengaja atau tidak disengaja.
Dari ketiga unsur di atas, unsur yang paling dominan dalam menentukan perwujudan hadits
maudhu’ adalah dusta (kidzib). Oleh karena itu, Nabi sangat berpesan agar menghindari dusta
(kidzib) dalam meriwayatkan hadits, dan juga memberi ancaman terhadap setiap pelaku
kedustaan riwayat hadits.[1]
B.     Sejarah dan Perkembangan Hadits Maudhu’
Ahmad Yamin berpendapat bahwa gejala pendustaan sudah ada sejak Rasulullah masih
hidup. Sehingga Rasulullah bersabda yang artinya:” Barang siapa yang mendustakan aku dengan
sengaja, maka hendaklah bersiap-siap tinggal di neraka”.
Akan tetapi pendapat tersebut tidak berlandasan baik dari riwayat sejarah dan siak hadisnya
pun tidak mengarah kepada hal tersebut, dan sesungguhnya rasulullah mengeluarkan sabda itu
ketika memerintahkan sahabatnya untuk menyampaikan segala hal yang bersumber dari beliau.
Dan hadis itu menunjukkan bahwa rasulullah telah memperkirakan akan adanya pendustaan atas
dirinya, sehingga beliau memperingati sahabatnya untuk berhati-hati dan teliti dalam menerima
hadist-hadist beliau.
Gejala pendustaan hadist tidak ada pada zaman Rasul, begitupun zaman Khalifah Abu Bakar
dan Umar disebabkan karena masih banyak para pembesar sahabat dan pada periode itu
persatuan umat masih utuh . Walaupun gerakan ahli riddah membuka jalan untuk mendustakan
hadist, tapi tidak ada riwayat yang menerangkan adanya pemalsuan hadist, kalaupun ada, tidak
memungkinkan penyebaran dikalangan umat islam, karena gerakan murtad tidak memakan
waktu yang lama.
Terjadinya perpecahan pada periode kedua dari kekhalifahan Utsman yang menyebabkan
membaranya fitnah sehingga mengakibatkan kematian Utsman, melahirkan kebencian dan
kedengkian diantara kubu-kubu perselisihan. Walaupun demikian tapi tidak ada riwayat yang
berindikasi pendustaan hadist pada masa itu. Sedangkan riwayat Abu Tsaur al-Fahmy tentang
riwayat Ibnu Udais yang mengatakan bahwa ia mendengar Ibnu Mas’ud mendengar Rasulullah
bersabda “Utsman lebih sesat dari Abu Ubaidah,” sehingga Abu Tsur melaporkan kepada
Utsman , kemudian Utsman berkata” Abu Udais tidak mendengarnya dari Ibnu Mas’ud tidak
mendengar dari Rasulullah. Hadis tersebut dhoif dari segi sanad tidak bisa dijadikkan hujjah,
bahkan Ibnu Jauzy memastikan kepalsuan hadist tersebut.[2]
C.    Perbedaan Antara Hadis Maudhu dengan Beberapa Hadis Dhoif
1.      Perbedaan hadis maudhu dengan hadis muadallas
Hadis maudhu adalah bukan hadis rasul dan perawinya membohongi pada sanad dan matan,
sedangkan al muadallas memalsukan isanad atau nama syiekh dalam sanad, tidak pada
matannya.
2.      Hadis maudhu dengan hadis mudarroj:
Hadis mudarroj adalah hadist yang masuk didalamnya sanad atau matan yang bukan bagian dari
sanad atau matan hadist. Yang berarti hanya ada sebagian kata yang bukan bagian dari hadist
Nabi tanpa disengaja atau diketahui oleh murid yang menukil hadis tersebut.
Sedangkan hadist maudhu terjadi kebohongan pada sanad dan matan dengan kesengajaan kitab
Ibnu Jauzy al-ahadist al-Maudhu’ah banyak menghukumkan hadist mudarroj sebagai hadis
maudhu.
3.      Hubungannya dengan Riwayat Israilliyat
Israilliyat adalah riwayat-riwayat yang bersumber dari Bani Israil dan sebagian mufasir dan
Muhaddis memperluas pengertian tersebut sehingga mencangkup riwayat maudhu’ (yang tidak
punya sumber) dan riwayat yang bersumber dari kitab-kitab Yahudi dan Nasrani. Hadist
maudhu’ tidak terbatas pada kisah saja tapi juga pada aqidah dan akhlaq dan  hukum Halal dan
haram.[3]

D.    Ciri-Ciri Hadits Maudhu’


1.      Ciri-ciri yang Terdapat pada Sanad:
a.       Rawi tersebut terkenal berdusta (seorang pendusta)
b.      Pengakuan dari si pembuat sendiri
c.       Kenyataan sejarah mereka tidak mungkin bertemu, misalnya ada pengakuan dari seorang rawi
bahwa ia menerima hadist dari seorang guru, padahal ia tidak pernah bertemu dengan guru
tersebut, atau lahir sesudah guru tersebut meninggal.
d.      Keadaan rawi dan factor-faktor yang mendorongnya membuat hadist maudhu’.
2.    Ciri-ciri yang Terdapat pada Matan
a.       Keburukan susunan lafazhnya
b.      Kerusakan maknanya.
3.    Ciri-ciri Hadis Maudhu’ pada rawinya
a.       Mengakui telah memalsukan hadis, seprti Abu ‘Ishmah Nuh bin Abu Maryam dan Maisarah bin
‘Abdi Rabbih.
b.      Tidak sesuai dengan fakta sejarah, sperti yang terjadi pada al-Ma’mun bin Ahmad yang
menyatakan bahwa al-Hasan menerima hadis dari Abu Hurairah sehubungan dengan adanya
perbedaan pendapat dalam masalah-masalahini.
c.       Ada gejala-gejala para rawi bahwa ia berdusta dengan hadis yang besangkutan.
4.    Ciri-ciri Hadis Maudhu’ pada Matan
a.       Kerancuan redaksi atau makna hadis
b.      Setelah diadakan penelitian terhdap suatu hadis ternyata menurut ahli hadis tidak terdapat dalam
hafalan para rawidan tidak terdapat dalam kitab-kitab hadis, setelah penelitiandan pembukuan
hadis sempurna
c.       Hadisnya menyalahi ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan
d.      Hadisnya bertentangan dengn petunjuk Al-Quran yang pasti.[4]

E.     Status Hadits Maudhu’


Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan status hadits maudhu’ apakah merupakan
bagian dari hadits atau bukan. Pertentangan pendapat ini sangat berkaitan erat dengan definisi
hadits maudhu’ yang dirumuskan olehpara ulama muhaddisin, yaitu sebagai hadits yang
mengandung unsur yang dibuat-buat, dusta, dengan cara sengaja atau tidak sengaja.
Dengan adanya unsure dibuat-buat, dusta, dan disengaja, para muhaddisin yang menolak
hadits maudhu’, mempersoalkan apakah hadits maudhu’ layak dikategorikan sebagai hadits.
Dalam hal ini terdapat dua pandangan.
Kelompok pertama, yang diwakili oleh Ibnu Shalah dan diikuti jumhur muhaddisin,
berpendapat bahwa hadits maudhu’ merupakan bagian dari hadits dhaif. Hanya saja, posisi
tingkatan kedhaifannya berada pada tingkat yang paling rendah, paling parah, serta paling rusak
nilainya.
Kelompok kedua, diwakili oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani, berpendapat bahwa hadits maudhu’
bukan termasuk hadits Nabi. Hal ini karena pada dasarnya, hadits Nabi adalah segala apa yang
berasal dari Nabi, baik berupa ucapan, perbuatan, atau pun ketetapan, sedangkan hadits maudhu’,
bukan sesuatu atau yang berasal dari Nabi, melainkan ucapan, perbuatan, atau sikap yang berasal
dari seseorang, tetapi dikatakan bahwa hal itu berasal dari Nabi.[5]

F.     Tingkatan-tingkatan Hadits Maudhu’


Menurut Imam Adz-Dzahabi, hadits maudhu’ mempunyai tiga tingkatan:
1.      Hadits maudhu yang nilai kemaudhuannya disepakati secara bulat oleh para muhaddisin.
Kedustaan riwayatnya diketahui berdasarkan indikasi yang terdapat di dalam bentuk
periwayatannya, yaitu berdasarkan pengakuan rawi atau hasil pengujian dari beberapa aspek.
2.      Hadits maudhu yang nilai kemaudhuannya ditetapkan berdasarkan kesepakatan mayoritas ulama,
bukan kesepakatan bulat seluruh ulama. Sementara sebagian ulama lain menilai hadits itu bukan
maudhu tetapi hadits yang di antara keshahihannya ada yang gugur aja.
3.      Hadits maudhu yang nilai kemaudhuannya diperselisihkan para muhaddisin. Jumhur ulama
menila hadits seperti ini sebagai hadits yang diduga maudhu. Sebagian muhaddisin lain menilai
sebagai hadits yang dusta.[6]

G.    Status Periwayatan Hadits Maudhu


Pembahasan tentang status periwayatan hadits maudhu’ mencakup lima pembahasan, yaitu:
1.      Status perbuatan membuat-buat hadits (‫ ُحك ُم‬ ‫ث‬
ِ ‫الح ِدي‬
َ ‫ض ِع ِفي‬
ْ ‫ال َو‬  )
Di kalangan muhaddisin, terdapat beberapa pendapat:
a.       Jumhur ulama berpendapar bahwa membuat-buat hadits Nabi adalah dilarang secara mutlak.
b.      Sebagian ulama berpendapat bahwa boleh melakukan usaha membuat-buat hadits Nabi, dengan
syarat atas dasar kepentingan karena Allah. Di antara para pendukung pandangan kedua ini
adalah Abu Ishmah Nuh Ibn Abi Maryam, Maisarah Ibn Abdi Rabbih.
c.       Kelompok Karamiyah membolehkan membuat-buat hadits Nabi dengan syarat jika
kandungannya hanya terbatas pada pemberian berita baik dan pemberian berita buruk.
d.      Sebagian ulama lain membolehkan segala bentuk penyandaran ungkapan yang baik-baik kepada
Nabi Muhammad dalam bentuk pembuatan hadits sepanjang isinya berupa yang baik-baik.
2.      Status berdusta terhadap Rasulullah ( ِ‫سو ِل هللا‬ ُ ‫ب َعلَى َر‬ ِ ‫ح ْك ُم ال ِك ْذ‬ )
ُ
Jumhur ulama bersepakat bahwa berbuat dusta terhadap Nabi Muhammad secara sengaja
termasuk dosa besar, karena itulah Nabi Muhammad memberi ancaman keras kepada setiap
orang yang berusaha berbuat dusta kepada dirinya. Hal ini menunjukkan bahwa dalam bentuk
dan keadaan bagaimana pun, berbuat dusta terhadap Nabi Muhammad adalah dilarang.
3.      Status Pembuat Dusta terhadap Rasulullah (  ‫ه ُح ْك ُم‬ ِ ‫سو ُل الل‬ ُ ‫ب َعلَى َر‬ ِ ‫ال َكا ِذ‬ )
Jumhur ulama sepakat bahwa pembuat dusta terhadap Nabi Muhammad SAW. secara sengaja
adalah pembuat dosa besar. Sebagaimana ditunjukkan secara tegas oleh Nabi Muhammad SAW.
dengan sanksi dan ancaman yang berat bagi pembuat dusta terhadap dirinya.
Mengenai bentuk sanksi ini, para ulama berbeda pendapat. Ayah Imam Haramain dan muridnya
menetapkan bahwa pembuat dusta terhadap Nabi Muhammad SAW. adalah kafir, keluar dari
agama Islam, dan halal darahnya. Adapun jumhur ulama an Imam Haramain tidak sepakat
dengan pendapat bahwa pembuat dusta terhadap Nabi Muhammad SAW. adalah kafir.
4.      Status riwayat hadits maudhu ( ‫ ُح ْك ُم‬ ‫وع‬
ِ ‫ض‬ُ ‫ث ال َمو‬ِ ‫الح ِدي‬
َ ‫ ِر َوايَ ِه‬ )
Dalam meriwayatkan hadits maudhu, para ulama berbeda pendapat dalam menentukan
status:
a.       Abu Sa’id Muhammad Al-Hazimi membaginya atas tiga status:
1)      Tidak boleh secara mutlak meriwayatkan hadits maudhu tentang riwayat.
2)      Boleh meriwayatkan hadits maudhu tentang hukum-hukum dengan syarat dia mengetahui
kemaudhuan hadits itu.
3)      Boleh secara mutlak meriwayatkan hadits maudhu tentang fadha’il al-a’mal, baik dia
mengetahui atau tidak mengetahui kemaudhuan hadits itu.
b.      Imam Al-Khatib Al-Baghdadi, Imam An-Nawawi, dan Al-Qadhi Iyadh melarang secra mutlak
meriwayatkan hadits-hadits buatan atau maudhu, sebagaimana telah diperingatkan dan diancam
oleh Nabi dalam melakukan terhadap diri Nabi.
5.      Status pengamalan hadits maudhu (  ‡‫وع ُح ْك ُم‬
ِ ‫ض‬ ُ ‫ث ال َمو‬ ِ ‫الح ِدي‬
َ ‫ال َع َم ِل بِا‬ )
Dalam pengamalan hadits maudhu, para muhaddisin sepakat bahwa hadits maudhu tidak dapat
diamalkan dan tidak dapat dijadikan pedoman hujjah secara mutlak. Pemikiran jumhur
muhaddisin yang menetapkan keharaman meriwayatkan hadits maudhu jelas membawa
implikasi logis bahwa mengamalkan hadits maudhu pun menjadi haram. Bahkan, Imam Zaid Ibn
Aslam lebih keras lagi menyejajarkan orang yang mengamalkan hadits-hadits maudhu dengan
pelayan setan.[7]

H.    Metode Periwayatan Hadits Maudhu’


Ada dua metode dalam proses pembentukan atau pembuatan hadits maudhu’ yang dilakukan
oleh pembuatnya, yaitu sebagai berikut:
1.      Dibentuk dari ucapan rawi pembuatnya sendiri kemudian menyandarkan ucapan itu kepada Nabi
Muhammad SAW., disertai dengan klaim bahwa ucapannya itu adalah ucapan, perbuatan, atau
ketetapan Nabi. Hal ini terlihat dalam pengakuan rawi pembuatnya sendiri. Seperti riwayat
berikut:
ْ ‫ْت ُخ‬
‫ةَ النَّبِ ِّي‬SSَ‫طب‬ َ ‫ أَنَا َو‬: ‫ال‬
ُ ‫ضع‬ َ َ‫ْح ْب ِن َع ْم َرانَ التَّ ِم ْي ِمى أنَّهُ ق‬ َ ‫يخ األَوْ َس ِط ع َْن ُع َم َر ب ِْن‬ ِ َّ‫َار فِي الت‬
ِ ‫صب‬ ِ ‫ار‬ ِ ‫َو َر َو ى البُخ‬
‫م‬.‫ص‬. 
Artinya:
“Imam Bukhari mengemukakan riwayat di dalam kitabnya At-Tarikh Al-Ausath yang berasal
dari Umar Ibn Shabh Ibn Amran At-Tamimi. Umar Ibn Shabh Ibn Amran At-Tamimi
mengatakan, “Saya memang telah membuat khotbah Nabi Muhammad SAW.”
2.      Dibentuk dengan cara mengambil salah satu ungkapan yang berasal dari sahabat, thabi’in, para
hakim, atau riwayat Israiliyah, atau lainnya, kemudian disandarkan kepada Nabi Muhammad
SAW., dibuatkan sanadnya sampai nampak seperti berasal dari Nabi Muhammad SAW.,
sehingga menjadi musnad atau marfu.
Cara pembentukan ini seperti riwayat berikut:
‫النَّاسُ بِزَ َمانِ ِه ْم أَ ْشبَهَ ِم ْنهُ ْم بِأبَائِ ِهم‬.
Artinya:
“Dalam zaman masyarakat tertentu, sebagian mereka menyerupai generasi para pendahulunya.”
Imam Al-Malla Ali Al-Qari mengungkapkan bahwa menurut sebagian pendapat, ungkapan itu
adalah pernyataan Umar Ibn Al-Khaththab. Sebagian pendapat lain, pernyataan itu adalah
pernyataan Ali Ibn Abi Thalib.[8]

I.       Contoh Hadits Maudhu’


1.      ‫ب َخ ْرطا‬ َ َ‫العن‬
ِ ‫سو ُل هللا يَأ ُك ُل‬ ُ ‫َكانَ َر‬
Artinya: “Rasulullah SAW. memakan buah anggur dengan memetik dari pohonnya.”
Hadits ini maudhu’. Telah diriwayatkan oleh Ibnu Adi dalam kitabnya al-Kamil fit-Tarikh I/280
dengan sanad dari Sulaiman bin Rabi’ dari Kadih bin Rahmah, kemudian berkata, ”Umumnya
riwayat Kadih tidak hafizh dan tidak memperhatikan sanad serta matannya.”
Adapun Ibnul Jauzi dalam kitabnya al-Maudhu’ telah mengeluarkan sanad dari ibnu Adi sambil
berkata, ”Sulaiman telah dinyatakan lemah oleh Daru Quthni, sedangkan (Kadih adalah pendusta
dan Husain bukan perawi tsiqah.[9]
ِ َ‫فَقَ ْد َجف‬ ‫ َمنْ َح َّج ا ْلبَيْتَ َو لَ ْم يَ ُز ْرنِ ْي‬...
2.      ‫ان‬
Artinya: “ Barang siapa menunaikan ibadah haji tetapi tidak menziarahi kuburku berarti ia telah
menjauhiku.”
Ini hadits maudhu’. Hal ini telah ditegaskan oleh adz-Dzahabi dalam kitab al-Mizan III/237, juga
oleh ash-Shaghani dalam kitab al-Ahadits al-Maudhu’iyyah halaman 46. Yang menunjukkan
riwayat tersebut maudhu’ adalah bahwa menjauhi dan menyimpang dari ajaran Rasulullah SAW.
adalah dosa besar. Kalau tidak, termasuk kafir. Dengan demikian, berarti makna hadits tersebut
siapa saja yang dengan sengaja meninggalkan atau tidak pergi berziarah ke makam Rasulullah
SAW., berarti telah melakukan perbuatan dosa besar. Dengan demikian, berarti pula ziarah
adalah wajib seperti ibadah haji. Barangkali tidak seorang pun kaum mukmin yang berpendapat
demikian. Sekipun ziarah ke makan Rasulullah adalah suatu amalan yang baik, hal itu tidak lebih
dari amalan yang mustahab.[10]
3.       َ‫الجنَّة‬
َ ‫اح ِد د ََخ َل‬ ِ ‫َام َو‬ ِ ‫زَاراَبِ ْي اِ ْب َرا ِهي َم فِي ع‬
َ ‫َمنْ زَا َرنِي َو‬
Artinya: “ Barang siapa menziarahiku dan menziarahi kakekku Ibrahim dalam satu tahun, ia
masuk surga.”
Ini hadits maudhu’. Az-Zarkasyi dalam kitab al-La’ali al-Mantsurah menyatakan, “Hadits
tersebut maudhu’ dan tak seorang pun pakar hadits yang meriwayatkannya.” Bahkan oleh Ibnu
Taimiyah dan Imam Nawawi dinyatakan maidhu’ dan tak ada sumbernya.[11]
4.      ‫ت ََختَّ ُمو‬ ‫ك‬ َ َ‫ق فَاِنَّهُ ُمب‬
ٌ ‫ار‬ ِ ‫ا بِا ْل َعقِ ْي‬
Artinya: “ Pakailah cincin dengan batu akik karena batu akik itu diberkati.”
Hadits ini maudhu’ dan diriwayatkan oleh al-Muhamli dalam kitab al-Amali II/41, al-Katib
dalam Tarikh Baghdad XI/251 dan juga al-Uqaili dalam adh-Dhu’afa halaman 466 dengan sanad
Ya’kub bin al-Walid al-Madani, sedangkan Ibnu Adi I/356 dengan sanad dari Ya’kub Bin
Ibrahim az-Zuhri yang semuanya dari Hisyam bin Urwah, dari ayahnya, dari Aisyah r.a.
Dari sanad Uqaili dalam kitab al-Maudhu’at Ibnu Jauzi menyebutkan, “ Ya’kub adalah pendusta
dan pemalsu”. Uqaili sendiri berkata, “Dalam hal ini tidak terbukti keshahihannay bersumber
dari Rasulullah SAW.[12]
5.      ‫ق فَاِنَّهُ يَ ْقتُ ُل الد ُّْود‬ ِّ ‫ُكلُوا التَّ ْم َر َعلَى‬
ِ ‫الر ْي‬
Artinya: “ Makanlah kurma sebelum makan atau minum setelah bangun tidur kerena hal itu
dapat mematikan cacing.”
Hadits ini maudhu’ dan diriwayatkan oleh Abu Bakar asy-Syafii dalam al-Fawa’id I/106 dan
oleh Ibnu Adi II/258 dengan sanad dari Ishmah bin Muhammad, dari Musa bin Uqbah, dari
Kuraib, dari Ibnu Abbas r.a.
Ibnu Adi berkata, ”seluruh riwayat Ishmah bin Muhammad tidak terjaga dan semuanya munkar.”
Ibnu Jauzi menempatkan riwayat ini dalam al-Maudhu’at dengan berkata, ”Hadits ini tidak
shahih, dan Ishmah itu pendusta.”[13]

J.      Usaha Para Ulama dalam Menanggulangi Hadis Maudhu’


[14]Ada beberapa usaha yang dilakukan para ulama dalam menanggulangi hadis maudhu’,
dengan tujuan agar hadis tetap eksis terpelihara dan bersih dari pemalsuan tangan orang-orang
kotor. Disamping agar jelas posisi hadis maudhu’ tidak tercampur dengan hadis-hadis shahih dari
Rasulullah. Di antara usaha-usaha tersebut sebagai berikut.
1.      Memelihara sanad hadis
Dalam rangka memelihara sunnah, siapa saja yang mengaku mendapat sunnah harus
disertai dengan sanad. Jika tidak disertai sanad, maka suatu hadis tidak dapat tidak diterima.
Muhammad bin sirin mengatakan, para ulama semula tidak bertanya tentang sanad sunnah. Akan
tetapi, setelah terjadi pemalsuan hadis, mereka pun berkata kepada yang meriwayatkannya:
“Sebutkan kepada kami para perawinya.” Maka jika mereka memang ahli sunnah, diambil
sunnah hadisnya dan jika dilihat ahli bid’ah, tidak diambil hadisnya.
Abdullah bin Al-Mubarak berkata:
Perumpamaan orang yang mencari agamanya tanpa isnad bagaikan orang yang naik
loteng tanpa tangga.datang
Keharusan sanad dalam menerima hadis bukan pada orang-orang khusus saja, bagi
masyarakat umum pun pada saat itu mengharuskan menerimanya dengan sanad. Hal ini mulai
berkembang sejak masa tabi’in, hingga merupakan suatu kewajiban bagi ahli hadis menerangkan
sanad hadis yang ia riwayatkan.
2.      Meningkatkan kesungguhan penelitian
Sejak masa sahabat dan tabi’in, mereka telah mengadakan penelitian dan pemeriksaan hadis
yang mereka dengar atau yang mereka terima dari sesamanya. Jika hadis yang mereka terima itu
meragukan, atau bukan dari sahabat yang langsung terlibat dalam permasalahan hadis, segera
mereka mengadakan rihlah ( perjalanan ), sekalipun dalam jarak jauh untuk mengecek
kebenarannya kepada para sahabat senior atau yang terlibat dalam kejadian hadis. Mereka saling
mengingatkan dan bermudzakarah bersama sahabat lain agar tidak melupakan hadis dan
mengetahui yang shahih dan tidak shahih.
3.      Mengisolir Para Pendusta Hadis
Para ulama berhati-hati dalam menerima dan meriwayatkan hadis. Orang-orang yang dikenal
sebagai pendusta hadis dijauhi dan masyarakat pun dijauhkan darinya. Semua ahli ilmu juga
menyampaikan hadis-hadis maudu’ dan pembuatnya itu kepada murid-muridnya, agar mereka
menjauhi dan tidak meriwayatkan hadis daripadanya.
Diantara ulama yang terkenal menentang para pembuat maudu’ adalah para Asy-Sya’bi ( w.
103 H ), Syu’bah bin Al-hajjaj( w. 160 H ), Sufyan Ats-Tsauri ( w. 161 H ), Abdullah bin Al-
Mubarak ( w. 181 H ), Abdurrahman bin Al-Mahdi ( w. 198 H ), dan lain-lain.
4.      Menerangkan Keadaan para Perawi
Dalam membasmi hadis maudhu’, para ahli hadis berusaha menelusuri sejarah kehidupan, baik
dari mulai lahir hingga wafat ataupun dari segi sifat-sifat para perawi hadis, dari yang jujur, adil,
dan andal daya ingatnya dan sebaliknya, sehingga dapat dibedakan mana hadis shahih dan mana
yang tidak shahih, mana hadis yang sesungguhnya dan yang dipalsukan. Hasil karya penelitian
mereka dihimpun dalam buku Rijal Al-hadis dan Al-Jarh wa at-Ta’dil sehingga dapat
dimanfaatkan oleh generasi ke generasi berikutnya.
5.      Memberikan Kaidah-Kaidah Hadis
Para ulama meletakkan dasar-dasar atau kaidah-kaidah secara metodologis tentang penelitian
hadis untuk menganalisis otentisitasnya, sehingga dapat diketahui mana yang shahih, hasan,
dha’if, dan maudu’. Kaidah-kaidah itu dapat dijadikan standar penelitian suatu hadis apakah
suatu hadis memenuhi kriteria sebagai hadis yang diterima atau tertolak.[15]

K.    Para Pendusta dan Kitab-kitab Hadis Maudu’


1.      Para pendusta dalam Hadis
Diantar para pendusta hadis yang diketahui setelah penelitian yang dilakukan oleh para ulama,
yaitu sebagai berikut.
a.       Aban bin Ja’far An-numaiqi, membuat 300 buah hadis yang disandarkan kepada Abu hanifah.
b.      Ibrahim bin Zaid Al-Aslami, membuat hadis disandarkan dari malik.
c.       Ahmad bin Abdullah Al-Juaini, juga membuat beribu-ribu hadis untuk kepentingan kelompok
Al-Karramiyah.
d.      Jabir bin Zaid Al-Jua’fi, membuat 30.000 buah hadis.
e.       Nuh bin Abu Maryam membuat hadis maudu’ tentang fadhail surah-surah dalam Al-qur’an.
f.       Muhammad bin Syuja’ Al-Wasithi, Al-harits bin Abdullah Al-A’war, Muqatil bin sulaiman,
Muhammad bin Said Al-Mashlub, Al-waqidi, dan Ibnu Abu Yahya.
2.      Kitab-kitab tafsir
Kitab-kitab tafsir yang terdapat banyak hadis maudu’, antara lain, Ats-Tsa’labi, Al-Wahidi, Az-
Zamakhsyari, Al-Baidhawi, dan Asy-Syaukani.
3.      Kitab-kitab maudu’ yang terkenal
Di antara kitab-kitab yang membuat hadis maudu’ adalah sebagai berikut.
a.       Tadzkirhah Al-Maudu’at, karya Abu Al-Fadhal Muhammad bin Thahir Al-Maqdisi ( 448-507 H
), kitab ini menyebutkan hadist secara alphabet dan disebutkan nama perawi yang dinilai secara
cacat ( tajrih ).
b.      Al-Maudu’at Al-kubra, karya Abu Al-Faraj Abdurrahman Al-Jauzi ( 508-597 ) 4 jilid.
c.       Al-La’ali Al-Mashnu’ah fi Al-Ahadits Al-Maudu’ah, karya Jalaluddin As-Suyuthi ( 725-911
H ).
d.      Al-Ba’its ‘ala Al-Khalash min Hawadits Al-Qashash, karya Zainuddin Abdurrahim Al-Iraqi
( 725-806 H ).
e.       Al-Fawa’id Al-Majmu’ah fi Al-Ahadits Al-Maudu’ah, karya Al-Qadhi Abu Abdullah
Muhammad bin Ali Asy-Syaukani ( 1173-1255 ).[16]

Anda mungkin juga menyukai