Hadits Shahih
a) Pengertian Hadits Shahih
Shahih merupakan kalimat musytaq dari kalimat shahha – yashihhu – suhhan wa sihhatan artiya
sembuh, sehat, selamat dari cacat, benar. Sedangkan secara istilah yaitu :
الضابِ ِط عَنْ ِم ْثلِ ِه إِل َى ُم ْنتَ َهاهُ ِمنْ َغ ْي ِر ش ُُذ ْو ٍذ َوالَ ِعلَّ ٍة
َ سنَ ُدهُ بِنَ ْق ِل ال َعد ِْل َ َّ َما اِت.
َ ص َل
“Apa yang sanadnya bersambung dengan periwayatan yang adil, dhobit ( memiliki hafalan yang kuat) dari
awal sampai akhir sanad dengan tanpa syadz dan tidak pula cacat”
Imam Al-Suyuti mendifinisikan hadits shahih dengan “hadits yang bersambung sanadnya, dfiriwayatkan oleh
perowi yang adil dan dhobit, tidak syadz dan tidak ber’ilat”.
Definisi hadits shahih secara konkrit baru muncul setelah Imam Syafi’i memberikan penjelasan tentang
riwayat yang dapat dijadikan hujah, yaitu:
pertama, apabila diriwayatkan oleh para perowi yang dapat dipercaya pengamalan agamanya, dikenal sebagai
orang yang jujur mermahami hadits yang diriwayatkan dengan baik, mengetahui perubahan arti hadits bila
terjadi perubahan lafadnya; mampu meriwayatkan hadits secara lafad, terpelihara hafalannya bila
meriwayatkan hadits secara lafad, bunyi hadits yang Dia riwayatkan sama dengan hadits yang diriwayatkan
orang lain dan terlepas dari tadlis (penyembuyian cacat),
kedua, rangkaian riwayatnya bersambung sampai kepada Nabi SAW. atau dapat juga tidak sampai kepada
Nabi.
b) Syarat-syarat Hadits Shahih
1) Sanadnya Bersambung
setiap perawi dalam sanad hadits menerima riwayat hadits dari perawi terdekat sebelumnya. Keadaan itu
berlangsung demikian sampai akhir sanad dari suatu hadits. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa
rangkaian para perawi hadits shahih sejak perawi terakhir sampai kepada perawi pertama (para sahabat) yang
menerima hadits langsung dari Nabi,bersambung dalam periwayatannya.
Sanad suatu hadits dianggap tidak bersambung bila terputus salah seorang atau lebih dari rangkaian para
perawinya. Bisa jadi rawi yang dianggap putus itu adalah seorang rawi yang dha’if, sehingga hadits yang
bersangkutan tidak shahih.
2) Perawinya Adil
Seseorang dikatakan adil apabila ada padanya sifat-sifat yang dapat mendorong terpeliharanya ketaqwaan,
yaitu senantiasa melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan, dan terjaganya sifat Muru’ah, yaitu
senantiasa berakhlak baik dalam segala tingkah laku dan hal-hal lain yang dapt merusak harga dirinya.
3) Perwainya Dhabith
Seorang perwai dikatakan dhabit apabila perawi tersebut mempunyai daya ingat yang sempurna terhadap
hadits yang diriwayatkannya.
Menurut Ibnu Hajar al-Asqalani, perawi yang dhabit adalah mereka yang kuat hafalannya terhadap apa yang
pernah didengarnya, kemudian mampu menyampaikan hafalan tersebut kapan saja manakala diperlukan. Ini
artinya, bahwa orang yang disebut dhabit harus mendengar secara utuh apa yang diterima atau didengarnya,
kemudian mampu menyampaikannya kepada orang lain atau meriwayatkannya sebagaimana aslinya.
4) Tidak Syadz
Syadz (janggal/rancu) atau syudzuz adalah hadits yang bertentangan dengan hadits lain yang lebih kuat atau
lebih tsiqqah perawinya. Maksudnya, suatu kondisi di mana seorang perawi berbeda dengan rawi lain yang
lebih kuat posisinya. Kondisi ini dianggap syadz karena bila ia berbeda dengan rawi lain yang lebih kuat
posisinya, baik dari segi kekuatan daya hafalannya atau jumlah mereka lebih banyak, maka para rawi yang lain
itu harus diunggulkan, dan ia sendiri disebut syadz. Maka timbullah penilaian negatif terhadap periwayatan
hadits yang bersangkutan.
5) Tidak Ber’illat
Hadits ber’illat adalah hadits-hadits yang cacat atau terdapat penyakit karena tersembunyi atau samar-samar,
yang dapat merusak keshahihan hadits. Dikatakan samar-samar, karena jika dilihat dari segi zahirnya, hadits
tersebut terlihat shahih. Adanya kesamaran pada hadits tersebut, mengakibatkan nilai kualitasnya menjadi
tidak shahih. Dengan demikian, yang dimaksud hadits tidak ber’illat, ialah hadits yang di dalamnya tidak
terdapat kesamaran atau keragu-raguan. ‘Illat hadits dapat terjadi baik pada sanad mapun pada matan atau pada
keduanya secara bersama-sama. Namun demikian, ‘illat yang paling banyak terjadi adalah pada sanad.
Adapun contoh hadits yang shahih adalah sebagai berikut;
هو ماكان رواته متأخراعن درجة الحا فظ الضا بط مع كونه مشهورا بالصدق حتى
يكون حديثه حسنا ثم وجد فيه من طريق اخر مساو لطريقه أوارجح ما يجبر ذالك
القصورالواقع فيه
“Yaitu hadits shahih karena adanya syahid atau mutabi’. Hadits ini semula merupakan hadits hasan, karena
adanya mutabi’ dan syahid, maka kedudukannya berubah menjadi shahih li-Ghairihi.”
d) Kehujahan Hadits Shahih
Hadits yang telah memenuhi persyaratan hadits shahih wajib diamalkan sebagai hujah atau dalil syara’ sesuai
ijma’ para uluma hadits dan sebagian ulama ushul dan fikih. Kesepakatan ini terjadi dalam soal-soal yang
berkaitan dengan penetapan halal atau haramnya sesuatu, tidak dalam hal-hal yang berhubungan dengan
aqidah.
Sebagian besar ulama menetapkan dengan dalil-dalil qat’i, yaitu al-Quran dan hadits mutawatir. oleh karena
itu, hadits ahad tidak dapat dijadikan hujjah untuk menetapkan persoalan-persoalan yang berhubungan dengan
aqidah.
e) Tingkatan Hadits Shahih
Perlu diketahui bahwa martabat hadits shahih itu tergantung tinggi dan rendahnya kepada ke-dhabit-an dan
keadilan para perowinya. Berdasarkan martabat seperti ini, para muhaditsin membagi tingkatan sanad menjadi
tiga yaitu:
Pertama, ashah al-asanid yaitu rangkaian sanad yang paling tinggi derajatnya. seperti periwayatan sanad dari
Imam Malik bin Anas dari Nafi’ mawla (mawla = budak yang telah dimerdekakan) dari Ibnu Umar.
Kedua, ahsan al-asanid, yaitu rangkaian sanad hadits yang yang tingkatannya dibawash tingkat pertama diatas.
Seperti periwayatan sanad dari Hammad bin Salamah dari Tsabit dari Anas.
Ketiga. ad’af al-asanid, yaitu rangkaian sanad hadits yang tingkatannya lebih rendah dari tingkatan kedua.
seperti periwayatan Suhail bin Abu Shalih dari ayahnya dari Abu Hurairah.
Dari segi persyaratan shahih yang terpenuhi dapat dibagi menjadi tujuh tingkatan, yang secara berurutan
sebagai berikut:
1) Hadits yang disepakati oleh bukhari dan muslim (muttafaq ‘alaih),
2) Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori saja,
3) Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim saja,
4) Hadits yang diriwayatkan orang lain memenuhi persyaratan AL-Bukhari dan Muslim,
5) Hadits yang diriwayatkan orang lain memenuhi persyaratan Al-Bukhari saja,
6) Hadits yang diriwayatkan orang lain memenuhi persyaratan Muslim saja,
7) Hadits yang dinilai shahih menurut ulama hadits selain Al-Bukhari dan Muslim dan tidak mengikuti
persyratan keduanya, seperti Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan lain-lain.
Kitab-kitab hadits yang menghimpun hadits shahih secara berurutan sebagai berikut:
1) Shahih Al-Bukhari (w.250 H).
2) Shahih Muslim (w. 261 H).
3) Shahih Ibnu Khuzaimah (w. 311 H).
4) Shahih Ibnu Hiban (w. 354 H).
5) Mustadrok Al-hakim (w. 405).
6) Shahih Ibn As-Sakan.
7) Shahih Al-Abani.
2. Hadits Hasan
a) Pengertian Hadits Hasan
Hasan secara bahasa adalah sifat yang menyerupai dari kalimat “al-husna” artinya indah, cantik. Akan tetapi
secara istilah yang dimaksud dengan Hadits Hasan menurut Ibnu Hajar Al-Atsqalani yaitu:
َض ْبطُهُ عَنْ ِم ْثلِ ِه إِلَى ُم ْنتَ َهاهُ ِمنْ َغ ْي ِر ش ُُذ ْو ٍذ َوال ْ سنَ ُدهُ بِنَ ْق ِل ا ْل َع َد ِل الَّ ِذ
َ َّي َخف َ ص َل َ ََّما اِت
“ ِعلَّ ٍة.
“Apa yang sanadnya bersambung dengan periwayatan yang adil, hafalannya yang kurang dari awal sampai
akhir sanad dengan tidak syad dan tidak pula cacat”
Pada dasarnya, hadits hasan dengan hadits shahih tidak ada perbedaan, kecuali hanya dibidang hafalannya.
Pada hadits hasan, hafalan perawinya ada yang kurang meskipun sedikit. Adapun untuk syarat-syarat lainnya,
antara hadits hasan dengan hadits shahih adalah sama.
Contoh hadits hasan adalah sebagai berikut:
الضبَ ِعي عَنْ أَبِ ْي ِع ْم َرا ِن ا ْل َج ْونِي عَنْ أَبِي بَ ْك ِر ُّ ان ُ ُح َّدثَنَا قُتَ ْيبَةُ َح َّدثَنَا َج ْعفَ ُر ْبن
َ سلَ ْي َم
س ْو ُل هللاِ ص ْ س ِم ْعتُ أَبِي بِ َح
ُ قَا َل َر: ض َر ِة ال َع ُد ِّو يَقُ ْو ُل َ : ي قَا َل ْ ش َع ِر ْ َ سي اأْل َ ْب ِن أَبِي ُم ْو
الحديث..… ف ُّ اب ا ْل َجنَّ ِة ت َْحتَ ِظالَ ِل ال
ِ سيُ ْو َ إِنَّ أَ ْب َو: “ م
“Telah menceritakan kepada kamu qutaibah, telah menceritakan kepada kamu ja’far bin sulaiman, dari abu
imron al-jauni dari abu bakar bin abi musa al-Asy’ari ia berkata: aku mendengar ayahku berkata ketika
musuh datang : Rasulullah Saw bersabda : sesungguhnya pintu-pintu syurga dibawah bayangan
pedang…” (HR. At-Tirmidzi, Bab Abwabu Fadhailil jihadi).
3. Hadits Dhoif
a) Pengertian Hadits Dhoif
Dhoif secara bahasa adalah kebalikan dari kuat yaitu lemah, sedangkan secara istilah yaitu;
َق “ َح ِك ْي ِم األَ ْث َر ِم”عَنْ أَبِي تَ ِم ْي َم ِة ال ُه َج ْي ِمي عَنْ أَبِي ُه َر ْي َرة ْ َماأَ ْخ َر َجهُ التِّ ْر ِم ْي ِذ
ِ ي ِمنْ طَ ِر ْي
” َمنْ أَتَي َحائِضا ً أَ ْو اِ ْم َرأةً فِي ُدبُ ِر َها أَ ْو َكا ُهنَا فَقَ ْد َكفَ َر بِ َما: َع ِن النَّبِ ِّي ص م قَا َل
“ أَ ْن َز َل َعلَى ُم َح ِّم ٍد
Apa yang diriwayatkan oleh tirmidzi dari jalur hakim al-atsrami “dari abi tamimah al-Hujaimi dari abi
hurairah dari nabi saw ia berkata : barang siapa yang menggauli wanita haid atau seorang perempuan pada
duburnya atau seperti ini maka sungguh ia telah mengingkari dari apa yang telah diturunkan kepada nabi
Muhammad saw”
Berkata Imam Tirmidzi setelah mengeluarkan (takhrij) hadits ini : “ kami tidak mengetahui hadits ini kecuali
hadits dari jalur hakim al-atsrami, kemudian hadits ini didhoifkan oleh Muhammad dari segi sanad karena
didalam sanadnya terdapat hakim al-atsrami sebab didhaifkan pula oleh para ulama hadits”
Berkarta ibnu hajar mengenai hadits ini didalam kitab “Taqribut Tahdzib” : Hakim al-Atsromi pada rawi
tersebut adalah seorang yang bermuka dua.
Adapun penyebab kedhoifannya karena beberapa hal:
1) Sebab Terputusnya sanad, akan terputus sanad pun terbagi atas 2 bagian yang perama adalah terputus secara
dzhohir (nyata) :
(a) Mu’allaq adalah apa yang dibuang dari permulaan sanad baik satu rawi atau lebih secara berurutan.
(b) Mursal adalah apa yang terputus dari akhir sanadnya yaitu orang sesudah tabi’in (Sahabat).
(c) Mughdhal adalah apa yang terputus dari sanadnya 2 atau lebih secara berurutan.
(d) Munqoti’ adalah apa yang sanadnya tidak tersambung.
Sedangkan yang kedua terputus secara khofi (tersembunyi) yaitu:
(a) Mudallas adalah menyembunyikan cacat (‘aib) pada sanadnya dan memperbagus untuk dzohir haditsnya.
(b) Mursal Khofi adalah meriwayatkan dari orang yang ia bertemu atau sezaman dengannya apa yang ia tidak
pernah dengar dengan lafadz yang memungkinkan ia dengar dan yang lainnya seperti qaala.
2) Sebab penyakit pada rawi
Penyakit pada rawi pun terbagi atas 2 yaitu penyakit dalam ‘adalah dan dhobit (hafalannya), adapun yang
pertama penyakit pada ‘adalah (ketaqwaan) yaitu:
(a) Pendusta
(b) Tertuduh dusta
(c) Fasiq
(d) Bid’ah
(e) Kebodohan
Adapun penyakit pada dhobit (hafalan ) yaitu :
(a) Jelek hafalannya
(b) Lalai
(c) Menyelisihi yang tsiqat
(d) Ucapan yang menipu
3. Hadits Dhoif
a) Pengertian Hadits Dhoif
Dhoif secara bahasa adalah kebalikan dari kuat yaitu lemah, sedangkan secara istilah yaitu;
َق “ َح ِك ْي ِم األَ ْث َر ِم”عَنْ أَبِي تَ ِم ْي َم ِة ال ُه َج ْي ِمي عَنْ أَبِي ُه َر ْي َرة ْ َماأَ ْخ َر َجهُ التِّ ْر ِم ْي ِذ
ِ ي ِمنْ طَ ِر ْي
” َمنْ أَتَي َحائِضا ً أَ ْو اِ ْم َرأةً فِي ُدبُ ِر َها أَ ْو َكا ُهنَا فَقَ ْد َكفَ َر بِ َما: َع ِن النَّبِ ِّي ص م قَا َل
“ أَ ْن َز َل َعلَى ُم َح ِّم ٍد
Apa yang diriwayatkan oleh tirmidzi dari jalur hakim al-atsrami “dari abi tamimah al-Hujaimi dari abi
hurairah dari nabi saw ia berkata : barang siapa yang menggauli wanita haid atau seorang perempuan pada
duburnya atau seperti ini maka sungguh ia telah mengingkari dari apa yang telah diturunkan kepada nabi
Muhammad saw”
Berkata Imam Tirmidzi setelah mengeluarkan (takhrij) hadits ini : “ kami tidak mengetahui hadits ini kecuali
hadits dari jalur hakim al-atsrami, kemudian hadits ini didhoifkan oleh Muhammad dari segi sanad karena
didalam sanadnya terdapat hakim al-atsrami sebab didhaifkan pula oleh para ulama hadits”
Berkarta ibnu hajar mengenai hadits ini didalam kitab “Taqribut Tahdzib” : Hakim al-Atsromi pada rawi
tersebut adalah seorang yang bermuka dua.
Adapun penyebab kedhoifannya karena beberapa hal:
1) Sebab Terputusnya sanad, akan terputus sanad pun terbagi atas 2 bagian yang perama adalah terputus secara
dzhohir (nyata) :
(a) Mu’allaq adalah apa yang dibuang dari permulaan sanad baik satu rawi atau lebih secara berurutan.
(b) Mursal adalah apa yang terputus dari akhir sanadnya yaitu orang sesudah tabi’in (Sahabat).
(c) Mughdhal adalah apa yang terputus dari sanadnya 2 atau lebih secara berurutan.
(d) Munqoti’ adalah apa yang sanadnya tidak tersambung.
Sedangkan yang kedua terputus secara khofi (tersembunyi) yaitu:
(a) Mudallas adalah menyembunyikan cacat (‘aib) pada sanadnya dan memperbagus untuk dzohir haditsnya.
(b) Mursal Khofi adalah meriwayatkan dari orang yang ia bertemu atau sezaman dengannya apa yang ia tidak
pernah dengar dengan lafadz yang memungkinkan ia dengar dan yang lainnya seperti qaala.
2) Sebab penyakit pada rawi
Penyakit pada rawi pun terbagi atas 2 yaitu penyakit dalam ‘adalah dan dhobit (hafalannya), adapun yang
pertama penyakit pada ‘adalah (ketaqwaan) yaitu:
(a) Pendusta
(b) Tertuduh dusta
(c) Fasiq
(d) Bid’ah
(e) Kebodohan
Adapun penyakit pada dhobit (hafalan ) yaitu :
(a) Jelek hafalannya
(b) Lalai
(c) Menyelisihi yang tsiqat
(d) Ucapan yang menipu
. 4)Hadist Maudhu
Pengertian Hadits Maudhu
Secara etimologis kata “maudhu’” berakar kata dari kata dasar “wa dha’a” yang
berarti menurunkan atau merendahkan (derajat). Secara terminologis, hadits maudhu’ diartikan
secara berbeda oleh pada muhadditsin dengan redaksi yang berbeda, tetapi pada intinya
mempunyai kesamaan dalam hal prinsip makna yang mendasar. Beberapa rumusan pengertian
istilah hadits maudhu’ adalah sebagai berikut;
1. Hadits maudhu’ adalah hadits yang diciptakan dan dibuat-buat, yang bersifat dusta terhadap
Rasulullah SAW., dibuat dengan sengaja atau tidak sengaja.
2. Hadits maudhu’ yaitu hadits yang diciptakan oleh para pendusta yang disandarkan kepada
Rasulullah dengan tujuan untuk memperdayai.
3. Hadits maudhu’ yaitu hadits yang dicipta dan dibuat-buat yang dinisbahkan kepada Rasulullah
SAW., secara palsu dan dusta, baik secara sengaja ataupun tidak disengaja.
Jika penggalan kalimat dari beberapa definisi di atas dipilah-pilah tampak adanya beberapa
unsur penting dalam batasan al-maudhu’ yang saling terkait satu sama lain. Jika salah satu unsur
itu tidak ada, hal tersebut akan mengurangi batasan kemaudhuan suatu riwayat hadits.
Beberapa unsur penting dalam batasan definisi al-mauudhu’ adalah sebagai berikut:
1. Unsur ض ُعْ الو (pembuatan)
َ atau (dibuat-buat). Artinya, apa yang disebut sebagai hadits oleh rawi
penyampai riwayat itu adalah hadits “buatan” dia sendiri, bukan ucapan, perbuatan, atau
ketetapan Nabi.
2. Unsur ب ُ ال ِك ْذ (dusta) atau (menipu). Artinya, apa yang dikatakan rawi sebagai hadits Nabi ialah
“dusta” dan “tipuan” belaka dari dirinya sendiri, karena bukan dari Nabi. Hanya dia yang
mengatakan bahwa hadits itu berasal dari Nabi.
3. Unsur ٌ َع ْمد (sengaja) dan ٌ خطَ‡‡أ (tidak
َ sengaja). Artinya, pembuatan hadits dusta yang disebut
sebagai hadita Nabi itu dilakukan dengan sengaja atau tidak disengaja.
Dari ketiga unsur di atas, unsur yang paling dominan dalam menentukan perwujudan hadits
maudhu’ adalah dusta (kidzib). Oleh karena itu, Nabi sangat berpesan agar menghindari dusta
(kidzib) dalam meriwayatkan hadits, dan juga memberi ancaman terhadap setiap pelaku
kedustaan riwayat hadits.[1]
B. Sejarah dan Perkembangan Hadits Maudhu’
Ahmad Yamin berpendapat bahwa gejala pendustaan sudah ada sejak Rasulullah masih
hidup. Sehingga Rasulullah bersabda yang artinya:” Barang siapa yang mendustakan aku dengan
sengaja, maka hendaklah bersiap-siap tinggal di neraka”.
Akan tetapi pendapat tersebut tidak berlandasan baik dari riwayat sejarah dan siak hadisnya
pun tidak mengarah kepada hal tersebut, dan sesungguhnya rasulullah mengeluarkan sabda itu
ketika memerintahkan sahabatnya untuk menyampaikan segala hal yang bersumber dari beliau.
Dan hadis itu menunjukkan bahwa rasulullah telah memperkirakan akan adanya pendustaan atas
dirinya, sehingga beliau memperingati sahabatnya untuk berhati-hati dan teliti dalam menerima
hadist-hadist beliau.
Gejala pendustaan hadist tidak ada pada zaman Rasul, begitupun zaman Khalifah Abu Bakar
dan Umar disebabkan karena masih banyak para pembesar sahabat dan pada periode itu
persatuan umat masih utuh . Walaupun gerakan ahli riddah membuka jalan untuk mendustakan
hadist, tapi tidak ada riwayat yang menerangkan adanya pemalsuan hadist, kalaupun ada, tidak
memungkinkan penyebaran dikalangan umat islam, karena gerakan murtad tidak memakan
waktu yang lama.
Terjadinya perpecahan pada periode kedua dari kekhalifahan Utsman yang menyebabkan
membaranya fitnah sehingga mengakibatkan kematian Utsman, melahirkan kebencian dan
kedengkian diantara kubu-kubu perselisihan. Walaupun demikian tapi tidak ada riwayat yang
berindikasi pendustaan hadist pada masa itu. Sedangkan riwayat Abu Tsaur al-Fahmy tentang
riwayat Ibnu Udais yang mengatakan bahwa ia mendengar Ibnu Mas’ud mendengar Rasulullah
bersabda “Utsman lebih sesat dari Abu Ubaidah,” sehingga Abu Tsur melaporkan kepada
Utsman , kemudian Utsman berkata” Abu Udais tidak mendengarnya dari Ibnu Mas’ud tidak
mendengar dari Rasulullah. Hadis tersebut dhoif dari segi sanad tidak bisa dijadikkan hujjah,
bahkan Ibnu Jauzy memastikan kepalsuan hadist tersebut.[2]
C. Perbedaan Antara Hadis Maudhu dengan Beberapa Hadis Dhoif
1. Perbedaan hadis maudhu dengan hadis muadallas
Hadis maudhu adalah bukan hadis rasul dan perawinya membohongi pada sanad dan matan,
sedangkan al muadallas memalsukan isanad atau nama syiekh dalam sanad, tidak pada
matannya.
2. Hadis maudhu dengan hadis mudarroj:
Hadis mudarroj adalah hadist yang masuk didalamnya sanad atau matan yang bukan bagian dari
sanad atau matan hadist. Yang berarti hanya ada sebagian kata yang bukan bagian dari hadist
Nabi tanpa disengaja atau diketahui oleh murid yang menukil hadis tersebut.
Sedangkan hadist maudhu terjadi kebohongan pada sanad dan matan dengan kesengajaan kitab
Ibnu Jauzy al-ahadist al-Maudhu’ah banyak menghukumkan hadist mudarroj sebagai hadis
maudhu.
3. Hubungannya dengan Riwayat Israilliyat
Israilliyat adalah riwayat-riwayat yang bersumber dari Bani Israil dan sebagian mufasir dan
Muhaddis memperluas pengertian tersebut sehingga mencangkup riwayat maudhu’ (yang tidak
punya sumber) dan riwayat yang bersumber dari kitab-kitab Yahudi dan Nasrani. Hadist
maudhu’ tidak terbatas pada kisah saja tapi juga pada aqidah dan akhlaq dan hukum Halal dan
haram.[3]