Anda di halaman 1dari 12

PENDEKATAN TASAWUF

MAKALAH

Oleh:

MUH. MUSHAWIR ICHSAN


NIM: 2021040203014

PROGRAM STUDI MAGISTER AHWAL AL-SYAKHSHIYYAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI KENDARI

2021
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Alquran dan hadits bukanlah sebuah aturan-aturan kaku yang
membatasi ruang gerak manusia. Al-quran dan hadits adalah panduan hidup
yang mengiringi manusia menuju ketentraman, kedamaian dan
kebahagiaan. Kebahagiaan yang sempurna adalah kebahagiaan yang
meliputi dua dimensi, yaitu dimensi dunia dan dimensi akhirat.
Kebahagiaan di dunia dapat dirasakan dengan jiwa yang tentram.
Kebahagiaan akhirat adalah kebahagiaan bertemu dan berkomunikasi
dengan Allah. Tasawuf dalam dunia Islam baru akhir-akhir ini dipelajari
sebagai ilmu, sebelumnya dipelajari sebagai jalan untuk mendekatkan diri
kepada Tuhan.

Manusia pada dasarnya adalah suci, maka kegiatan yang dilakukan


oleh sebagian manusia untuk mensucikan diri merupakan naluri manusia.
Usaha yang mengarah kepada pensucian jiwa terdapat di dalam kehidupan
tasawuf. Tasawuf merupakan suatu ajaran untuk mendekatkan diri sedekat
mungkin dengan Allah bahkan kalau bisa menyatu dengan Allah melalui
jalan dan cara, yaitu maqâmât dan ahwâl.

Dewasa ini, kajian tentang tasawuf semakin banyak diminati orang


sebagai buktinya adalah misalnya, semakin banyaknya buku yang
membahas tasawuf di sejumlah perpustakaan, di negara-negara yang
berpenduduk muslim, juga Negara-negara Barat sekalipun yang mayoritas
masyarakatnya non muslim, ini dapat menjadi salah satu alasan betapa
tingginya ketertarikannya mereka terhadap tasawuf.
B. Rumusan Masalah
Dari permasalahan mengenai tasawuf ini, maka perumusan masalah
dalam makalah ini adalah :

1. Bagaimana pengertian dasar mengenai Tasawuf?


2. Bagaimana bentuk perkembangan dan tipologi tasawuf dalam Islam?
C. Tujuan Pembahasan
Dari beberapa rumusan permasalahan di atas, adapun tujuan dari
penulisan makalah ini diantaranya adalah:

1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan tasawuf


2. Untuk mengetahui bagaimana bentuk perkembangan dan tipologi
tasawuf dalam Islam.
BAB II

PEMBAHASAN
A. Pengertian Dasar Tasawuf
1. Secara Etimologis
Secara etimologis kata Tasawuf berasal dari kata bahasa Arab,
yaitu tashawwafa Yatashawwafu, selain dari kata tersebut ada yang
menjelaskan bahwa tasawuf berasal dari kata Shuf yang artinya bulu
domba, maksudnya adalah bahwa penganut tasawuf ini hidupnya
sederhana, tetapi berhati mulia serta menjauhi pakaian sutra dan memaki
kain dari bulu domba yang berbulu kasar atau yang disebut dengan kain
wol kasar. Yang mana pada waktu itu memakai kain wol kasar adalah
simbol kesederhanaan. (Samsul Munir, 2012, h.4)

Kata tasawuf juga berasal dari kata Shaff yang berarti barisan,
makna kata shaff ini diartikan kepada para jamaah yang selalu berada
pada barisan terdepan ketika salat, sebagaimana salat yang berada pada
barisan terdepan maka akan mendapat kemuliaan dan pahala. Tasawuf
juga berasal dari kata shafa yang berarti jernih, bersih, atau suci,
makna tersebut sebagai nama dari mereka yang memiliki hati yang
bersih atau suci, maksudnya adalah bahwa mereka menyucikan
dirinya dihadapan Allah swt. melalui latihan kerohanian yang amat
dalam yaitu dengan melatih dirinya untuk menjauhi segala sifat yang
kotor sehingga mencapai kebersihan dan kesucian pada hatinya.
(Samsul Munir, 2012, h.3)

2. Secara Terminologi
Adapun secara terminologi terdapat banyak beberapa pendapat
berbeda yang telah dinyatakan oleh beberapa ahli, diantaranya adalah
sebagai berikut: (Cecep Alba, 2012, h.9)
a. Syekh Abdul Qadir al-Jailani berpendapat tasawuf adalah
mensucikan hati dan melepaskan nafsu dari pangkalnya dengan
khalawt, riya-dloh, taubah dan ikhlas.
b. Al-Junaidi berpendapat bahwa tasawuf adalah kegiatan
membersihkan hati dari yang mengganggu perasaan manusia,
memadamkan kelemahan, menjauhi keinginan hawa nafsu,
mendekati hal-hal yang diridhai Allah, bergantung pada ilmu-ilmu
hakikat, memberikan nasihat kepada semua orang, memegang
dengan erat janji dengan Allah dalam hal hakikat serta mengikuti
contoh Rasulullah dalam hal syari'at
c. Syaikh Ibnu Ajibah menjelaskan tasawuf sebagai ilmu yang
membawa seseorang agar bisa dekat bersama dengan Allah swt.
melalui penyucian rohani dan mempermanisnya dengan amal-
amal shaleh dan jalan tasawuf yang pertama dengan ilmu, yang
kedua amal dan yang terakhirnya adalah karunia Ilahi.
d. Tasawuf adalah salah satu jalan yang diletakkan Tuhan di dalam
lubuk Islam dalam rangka menunjukkan mungkinnya pelaksanaan
rohani bagi jutaan manusia.
3. Maqomat
Secara harfiah maqamat berasal berasal dari bahasa Arab yang
artinya tempat orang berdiri atau pangkal mulia. Secara istilah yaitu
jalan panjang yang harus ditempuh oleh seorang sufi untuk berada dekat
dengan Allah. (Harun Nasution, 1983, h.62)

Tentang berapa jumlah maqamat yang harus ditempuh oleh


seorang sufi untuk sampai menuju tuhan. Terjadi perbedaan pendapat
mengenai maqamat ini yaitu Menurut Muhammad Al-Kalabazy dalam
kitabnya al-Ta’aruuf li mazhab ahl al-Tasawuf, mengatakan maqamat
itu jumlahnya ada 10, yaitu: al-taubah, al-zuhud, al-shabr, al-faqr, al-
tawadhu’, al-taqwa, al-tawakal, al-ridla, al-mahabah dan al-ma’rifah.
Sementara itu Abu Nars al-Sarraj al-tusi dalam kitab al-Luma’
menyebutkan jumlah maqamat hanya enam, yaitu al-taubah, al-wara’,
al-zuhud, al-faqr, al-tawakal, dan al-ridla. Sedangkan menurut Imam
al-Ghazali dalam kitabnya Ihya ‘Ulum al-Din mengatakan bahwa
maqamat itu ada tujuh, yaitu al-taubah, al-sabr, al-zuhud, al-tawakal,
al-habbah, al-ma’rifah dan ar-ridla. (Harun Nasution, 1983, h.62)

Melihat variasi penyebutan maqamat yang berbeda-beda, namun


ada maqamat yang disepakati, yaitu al-taubah, al-Zuhud, al-wara’,
alfaqr, al-shabr, al-tawakal, dan al-ridla. Sedangkan al-tawaddlu, al-
mahabbah dan ma’rifah oleh mereka tidak disepakati sebagai maqamat.
(Abuddin Nata, 2006, h. 194)

4. Ahwal
Ahwal adalah bentuk jamak dari hal yang biasanya diartikan
sebagai keadaan mental (mental states) yang dialami oleh para sufi di
sela-sela perjalanan spiritualnya. (Bagir Haidar, 2006, h. 158)

Mengenai tingkatan hal al-ahwaal menurut Abu Nash As Sarraj,


yaitu: Tingkatan Pengawasan diri Al-Muraaqabah, Tingkatan
kedekatan/kehampiran diri Al-Qurbu, Tingkatan cinta Al-Mahabbah,
Tingkatan takut Al-Khauf, Tingkatan harapan Ar-Rajaa, Tingkatan
kerinduan Asy-Syauuq, Tingkatan kejinakan atau senang mendekat
kepada perintah Allah Al-Unsu, Tingkatan ketengan jiwa Al-Itmi'naan,
Tingkatan Perenungan Al-Musyaahaah, Tingkatan kepastian Al-Yaqiin.

B. Tipologi Tasawuf dalam Islam


Tasawuf yang berwawasan moral praktis dan bersandarkan kepada
alquran dan as-sunnah. Sedangkan dalam sumber lain, Tasawuf sunni
adalah bentuk tasawuf yang para penganutnya mendasari tasawuf mereka
dengan alquran dan as-sunnah, serta mengaitkan keadaan ahwal dan
tingkatan maqomah rohaniah mereka kepada kedua sumber tersebut. (M.
Solihin dan Rosihon Anwar, 2008, h.18)
1. Tasawuf Akhlaqy
Dalam konteks agama, akhlaq bermakna budi, tabiat, adab atau
tingkah laku. Menurut imam Ghazali, akhlaq adalah sifat yang tertanam
dalam jiwa manusia yang melahirkan perbuatan-perbuatan. Jadi, kata
“Tasawuf Akhlaky” ini bermakna membersihkan tingkah laku.

Dari segi kebahasaan, kata Akhlaq dalam bahasa Indonesia


berasal dari kosa kata bahasa Arab akhlaq yang merupakan bentuk
jamak dari kata khuluq yang berarti as-sajiyyah (perangai/ sikap/
kelakuan), ath-thabi’ah (watak), al-‘adah (kebiasaan/ kelaziman) dan
ad-din (keteraturan). Menurut Ibnu Manzhur, akhlaq pada hakikatnya
adalah dimensi esoteris manusia yang berkenaan dengan jiwa, sifat dan
karakteristik secara khusus, yang baik maupun yang buruk. Jadi secara
kebahasaan, istilah akhlaq mengacu kepada sifat-sifat manusia secara
universal, perangai, watak, kebiasaan dan keteraturan, baik sifat yang
terpuji maupun sifat yang tercela. (Alwi Shihab, 2009, h. 51)

Tasawuf Akhlaky memiliki sitem pembinaan Akhlaq, tujuannya


untuk meguasai hawa nafsu dalam rangka pembersihan jiwa untuk dapat
berada dihadirat Allah. Sistem pembinaan akhlaq disusun sebagai
berikut:

a. Takhalli. Merupakan langkah pertama yang harus dijalani


seseorang, yaitu usaha mengosongkan diri dari prilaku atau akhlaq
tercela. hal Ini dapat tercapai dengan menjatuhkan diri dari
kemaksiatan dalam segala bentuknya dan berusaha melenyapkan
dorongan hawa nafsu.
b. Tahalli. Adalah upaya mengisi atau menghiasi diri dengan jalan
membiasakan diri dengan sikap, prilaku, dan akhlak terpuji.
Tahapan tahalli ini dilakukan setelah jiwa dikosongkan dari akhlak-
akhlak jelek.
c. Tajalli. Tahap ini termasuk penyempurnaan kesucian jiwa. Para sufi
sependapat bahwa tingkat kesempurnaan kesucian jiwa hanya dapat
ditempuh dengan satu jalan, yaitu cinta kepada Allah dan
memperdalam rasa kecintaan itu. (Asmaran, 1996. H. 65)

Adapun ciri-ciri tasawuf akhlaky antara lain:

a. Melandaskan diri kepada alquran dan as-sunnah.


b. Kesinambungan antara hakikat dengan syariat, yaitu keterkaitan
antara tasawuf (sebagai aspek batiniahnya) dengan fiqh (sebagai
aspek lahirnya).
c. Lebih bersifat mengajarkan dualisme dalam hubungan antar tuhan
dan manusia
d. Lebih terkonsentrasi pada soal pembinaan, pendidikan akhlak dan
pengobatan jiwa dengan cara latihan mental (Takhalli, Tahalli,
Tajalli).
e. Tidak menggunakan terminologi-terminologi filsafat. Terminologi-
terminologi yang dikembangkan lebih transparan.

2. Tasawuf Amaly/ Irfani


Tasawuf amaly adalah tasawuf yang membahas tentang
bagaimana cara mendekatkan diri kepada Allah SWT. Rumusan
Tasawuf amaly adalah “menjadikan diri kita bersih lahir-batin, dekat
dengan Allah, menjadi sahabat dan kekasih Allah sekaligus dekat
dengan umat”. Dengan demikian tasawuf amaly adalah tasawuf yang
fokus utamanya berorientasi pada pengamalan tasawuf dalam
kehidupan sehari-hari. Tasawuf amali ini adalah lanjutan dari tasawuf
akhlaky, karena seseorang tidak bisa dekat dengan Allah dengan amalan
yang dia kerjakan sebelum dia membersihkan jiwanya, sebagaimana
QS.Al-Baqarah:222. (Asep Usman Ismail, 2012. h.123)

Tasawuf amali bertitik tolak dari ilmu yang diyakini harus


diamalkan atau diterapkan dalam kehidupan. Kaidah yang dibangun
dalam tasawuf amali adalah ilmu amaliah dan ilmu ilmiah. Jadi, tidak
benar para pengamat yang menyimpulkan bahwa tasawuf amali
mengabaikan ilmu. Tasawuf amali tidak mengabaikan ilmu, tetapi tidak
berhenti pada ilmu untuk ilmu.

Jadi, Tasawuf Amaly ini suatu pendekatan diri kepada Allah


dengan mengetahui Islam dari al-quran, juga mengetahui tentang
kehidupan Nabi dan Sahabat-sahabatnya serta para Tabi’in-tabi’in yang
bertujuan agar kita lebih damai menjalani kehidupan jika kita sendiri
dekat dengan Allah swt. dan Nabi saw.

3. Tasawuf Falsafy
Dalam Tasawuf falsafi terpadu dua disiplin ilmu, yaitu tasawuf
dan filsafat. Tasawuf menekankan adz-dzauq yaitu emosi atau rasa;
sedangkan filsafat menekankan al-’aql yaitu intelek. Tasawuf
menekankan olah rasa, sedangkan filsafat menekankan olah rasio/
intelek. Tasawuf falsafy adalah tasawuf yang ajaran-ajarannya
memadukan antara visi mistis dan visi rasional pengasasnya. (Asep
Usman Ismail, 2012. h.126)

Ciri umum tasawuf falsafi ialah kesamaran-kesamaran


ajarannya, akibat banyaknya ungkapan dan peristilahan khusus yang
hanya bisa dipahami oleh mereka yang memahami ajaran tasawuf
sejenis ini. Tasawuf falsafi tidak dapat dipandang sebagai filsafat karena
ajaran dan metodenya didasarkan pada rasa dzauq, tetapi tidak dapat
pula dikategorikan sebagai tasawuf dalam pengertiannya yang murni,
karena ajarannya sering diungkapkan dalam bahasa filsafat dan lebih
berorientasi pada panteisme. Sekarang tentu jelas perbedaan antara
tasawuf dengan filsafat, sebab filsafat berdasar kepada fikiran sedang
tasawuf lebih mengarah ke perasaan dan emosi.Ada beberapa cabang
ilmu yang sama-sama dimasuki oleh tasawuf dan filsafat, yaitu ethika,
estetika, dan yang terutama adalah metafisika. Meskipun semua
meneropong dari tempatnya masing-masing. (Asep Usman Ismail,
2012. h.153) Filsafat dibangun di atas empat pilar, yaitu:
a. Pemikiran yang mendalam hingga akar
b. Substansi atau hakikat sesuatu
c. Pemikiran yang masuk akal atau rasional
d. Pemikiran yang sistematis dan metodologis.

Keempat pilar pemikiran filosofis tersebut dipadukan dengan


kecintaan kepada kebenaran, yang merupakan hasil pemikiran, loyalitas
dan commitment kepada kebenaran. Singkatnya, tasawuf filosofis
adalah taswuf yang memadukan kepekaan emosi dan kejernihan ruhani
pada satu sisi dengan ketajaman pemikiran filosofis pada sisi yang lain
dalam menjelaskan tema-tema taswuf seperti konsep tentang jiwa,
Tuhan dan manusia, terutama tentang hubungan manusia dengan Allah.

Dalam tasawuf falsafi, ada beberapa tema pokok yang menjadi


pembahasan utama, seperti ittihad, hulul, dan wahdatul wujud yang
akan dijelaskan pada paparan berikut ini:

a. Ittihad. Secara etimologis ittihad yaitu integrasi, menyatu atau


persatuan. Dalam istilah taswuf filosofis, ittihad adalah pengalaman
puncak spiritual seorang sufi, ketika merasa dekat dengan Allah,
bersahabat, mencintai dan dicintai Allah, dan mengenal-Nya
sedemikian rupa hingga dirinya merasa menyatu dengan-Nya.
b. Al-Hulul. Secara etimologis yaitu berhenti atau diam.
c. Wahdatul Wujud. Pengertian Wahdatul Wujud adalah merupakan
penggambaran bahwa Tuhan-lah yang menciptakan alam semesta
beserta isinya. (Samsul Munir, 2012, h.321)
BAB III

PENUTUP
A. KESIMPULAN
Tasawuf dalam dunia Islam baru akhir-akhir ini dipelajari sebagai
ilmu, sebelumnya dipelajari sebagai jalan untuk mendekatkan diri kepada
Tuhan. Manusia pada dasarnya adalah suci, maka kegiatan yang dilakukan
oleh sebagian manusia untuk mensucikan diri merupakan naluri manusia.
Usaha yang mengarah kepada pensucian jiwa terdapat di dalam kehidupan
tasawuf.

Ada beberapa alasan tentang lahirnya tasawuf, Pertama, bahwa


spritual sufisme membawa ekstrimitas pada spritual “kasyfi” yang cendrung
ujungnya berakhir pada wihdatul wujud. Kedua, spritualisme sufisme juga
tidak bisa melepaskan diri dari ekstrimitas yang berorientasi pada
pemenuhan nafsu egosentris dalam melakukan hubungan dengan Allah.
Ketiga, tasawuf cendrung ke tareqat yang melembaga dengan
ekstrimitasnya tersendiri.

Tarekat berkembang secara pesat di hampir seluruh dunia, termasuk


Indonesia. Perkembangan tarekat yang pesat membawa dampak positif bagi
perkembangan dakwah. Walaupun sufisme mendasarkan ajarannya pada
alquran dan as-sunnah, namun tidak dapat dipungkiri bahwa dalam
perkembangannya, esoterisme Islam ini memasukkan unsur-unsur asing
dari luar. Keberadaan unsur-unsur asing dalam tasawuf ini membuat para
orientalis dalam membahas tentang tasawuf sering mengesankan
ketidakaslian sufisme berasal dari Islam.

Dalam tasawuf terdapat tipologi, yaitu akhlaqy yang bermakna


membersihkan tingkah laku, amaly yang bermakna menjadikan diri kita
bersih lahir-batin, dekat dengan Allah, menjadi sahabat dan kekasih Allah
sekaligus dekat dengan umat dan falsafy yang ajaran-ajarannya memadukan
antara visi mistis dan visi rasional.
DAFTAR PUSTAKA

A., Asmaran, 1994, Pengantar Study Tasawuf, Jakarta: Raja Grafindo

Alba, Cecep, 2012, Tasawuf dan Tarekat, Dimensi Esoteris Ajaran Islam, Bandung:
PT Remaja Rosdakarya

Amin, Samsul Munir, 2012, Ilmu Tasawuf, Jakarta: Amzah

Ismail, Asep Usman, 2012, Tasawuf Menjawab Tantangan Global, Jakarta:


Transpustaka

Nasution, Harun, 1983, Falsafah dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta: Bulan
bintang

Nata, Abuddin, 2006, Akhlak Tasawuf, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada

Solihin, M dan Rosihon Anwar, 2008, Ilmu Tasawuf, Pustaka setia : Bandung

Anda mungkin juga menyukai