Abstrak
Tulisan ini berjudul Hakikat Puasa Ramadhan dalam Persfektif Tasawuf dengan
menafsirkan Quran surah al-Baqarah ayat 183. Penulis berusaha menjembatani
kondisi zaman sekarang yang penuh dengan kebimbangan dari sikap seorang
hamba yang beribadah, di satu sisi dia berpuasa Ramadhan namun tetap
menguasai sifat yang rakus dan sombong. Artikel ini akan membahas pengertian
tasawuf dan tujuannya, ramadhan dan hikmahnya, serta korelasi puasa ramadhan
dengan tasawuf sebagai wujud makna tafsir surah al-Baqarah ayat 183 dengan
puasa ramadhan, dan empat makna hakikat puasa ramadhan dalam perspektif
tasawuf.
Abstrac
This article is entitled The Nature of Ramadan Fasting in the Sufism Perspective
by interpreting the Quran surah al-Baqarah verse 183. The author tries to bridge
the conditions of the present time which is full of hesitation from the attitude of a
worshiping servant, on the one hand he fasted Ramadan but still mastered greedy
and arrogant nature . This article will discuss the understanding of Sufism and its
purpose, Ramadan and its wisdom, as well as the correlation of Ramadan fasting
with Sufism as a manifestation of the meaning of Surah Al-Baqarah verse 183
with fasting of Ramadan, and four meanings of the essence of Ramadan fasting in
Sufism perspective.
A. Pendahuluan
Manusia adalah makhluk sosial yang padanya pikiran (akal) dan perasaan
(hati). Keberadaan dari dua hal di atas telah menghadirkan lingkungan yang
positive dan negative. Dua kondisi lingkungan tersebut telah dipengaruhi oleh
kedekatan seorang hamba kepada Tuhannya yaitu Allah Swt. Apabila telah
terjalin kedekatan yang kuat antara diri seorang hamba kepada Tuhannya,
1
Jurnal Ibn Abbas
2
Jurnal Ibn Abbas
1
Safria Andy, Hati (Qalb) dalam Pemikiran Tasawuf Ibn Qayyim Al-Jauziyyah,
Disertasi, Medan: IAIN Pascasarjana, 2012), Bab. IV, h. 4
2
Lihat, Hamka, Tasauf Modern, (Jakarta: Pt. Pustaka Panjimas, 2005), h.3
3
Ibid., h. 13
3
Jurnal Ibn Abbas
seksama akan segala bentuk fasilitas dunia sehingga dunia digunakan untuk
memperoleh cinta Allah Swt.
Al--XQDLG EHUNDWD ³ 7DVDXI LDODK NHluar dari budi, perangai yang tercela
GDQ PDVXN NHSDGD EXGL SHUDQJDL \DQJ WHUSXML ´4 Tasawuf menurut Bashir
Al-+DULV DGDODK ³As-ùÌIL PDQ ù—ID 4DOEXKX ´ 2UDQJ VXIL ialah yang telah
bersih hatinya semata-mata untuk Allah. Adapun Syaikh al-,VODP =DN—ULD
al-$Qú—UL PHQJXODVNDQ WHQWDQJ WDVDZXI DGDODK LOPX \DQJ PHQHUDQJNDQ KDO-
hal tentang cara mensucibersihkan jiwa, tentang cara memperbaiki akhlak
dan tentang cara pembinaan kesejahteraan lahir dan batin untuk mencapai
kebahagiaan yang abadi. 5 Kata tasawuf diambil dari kata ú—ID yang berarti
bersih.6 'LQDPDNDQ úXIL NDUHQD KDWLQ\D WXOXV GDQ EHUVLK GLKDGDSDQ
Tuhannya.7
Pernyataan tentang tasawuf, dapat dipahami bahwa istilah sufi dapat
dikaitkan dengan dua hal, yaitu lahiriyah dan batiniah. Pernyataan yang
menghubungkan kaum sufi dengan peraktek kehidupannya berada di
serambi mesjid dan menggunakan pakaian sederhana yang terbuat dari bulu
domba adalah hal yang lahiri. Mereka telah dianggap sebagai orang-orang
yang meninggalkan dunia dan keinginan dalam memenuhi kebutuhan
jasmani yang mewah dan hanya menggunakan dunia sebagai pemenuhan
kebutuhan pokoknya saja. Adapun pernyataan kaum sufi yang berada di
dalam hati yang tulus dan suci adalah menghubungkan mereka kepada jalan
menuju keistimewaan dihadapan Tuhan dan menitikberatkan pada hal yang
batini.8
4
Hamka, Tasauf Modern, (Jakarta: PT. Pustaka Panimas, 2005), h. 13
5
Safria Andy, +DWL« h. 4 lihat juga, Mustafa Zahri, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf
(Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1995), h. 45.
6
Al-.DO—ED*L al-7DC—UUXI O¯ 0D*KDE DKO DO-7DúDZXI (Kairo: al-Maktabat al-Kulliyyat
al-$]K—UL\\DK K
7
,EU—K¯P %—VXPL Nasy`at al-WDúDZXI DO-,VO—PL .DLUR '—U DO-0DC—ULI -X] ,,, K
9
8
Safria Andy, +DWL«« h. 5
4
Jurnal Ibn Abbas
2. Tujuan Tasawuf/bertasawuf
Setiap kegiatan dalam kehidupan manusia tidak akan terlepas dari sebuah
tujuan dan tujuan akan terpenuhi dengan diawali oleh niat. Begitu juga
dalam bertasawuf, tidak akan pernah lepas dari kegiatannya akan sebuah
tujuan.
Tujuan bertasawuf adalah mengantarkan seorang hamba Allah Swt
kepada suatu perbuatan yang mulia, yaitu perbuatan yang penuh kesadaran
bahwa seorang manusia hanya sebagai hamba Allah Swt dan melakukan
segala perintahNya dengan kecintaannya kepada Allah yang Mahaesa.
Seorang hamba akan hadir dalam berbuat dengan perbuatan yang berakhlak
mulia, karena hakikat akhlak mulia seorang hamba adalah pengakuan diri
bahwa hanya Allah Swt satu satunya Tuhan. Tuhan adalah sosok yang
dipuji dan dipuja serta yang diperebutkan oleh para pecinta-Nya, sehingga
segala fasilitas dunia yang menggoda tidak akan mampu mengendalikan diri
seorang hamba untuk menjauhkan dirinya dari Allah Swt.
Syekh Abd Qadir Isa dalam buku yang berjudul hakikat at-Tasawuf
menerangkan bahwa tujuan bertasawuf adalah membangun akhlak yang
mulia dalam diri seorang hamba. Kajian di atas dapat dipahami bahwa
dengan bertujuan untuk membangun akhlak mulia sorang hamba akan
menjadikannya sesosok hamba yang legowo akan kenyataan yang
dihadirkan oleh Allah Swt., sebab, hal tersebut sebagai bukti kecintaan
seorang hamba sehingga ia tidak pernah merasa terbebani pada segala
intruksi Allah Swt dan terbuai dengan segala pemberian kenikmatan dari-
Nya. Semua intruksi dan pemberian akan dipahami sebagai wujud rasa
syukur oleh seorang hamba kepada Allah Swt., yang pemberian tersebut
merupakan wujud kecintaan Allah Swt terhadap dirinya sebgai hamba dan ia
harus membuktikan bahwa iapun turut mencintai Allah Swt.
5
Jurnal Ibn Abbas
Puasa tidak hanya di masa Rasulullah Saw., namun juga telah ada sejak di
masa Nabi Musa As., meskipun tidak ada ketentuan di Taurat, Jabur dan Injil
tentang peraturan akan waktu dan bilangan dalam berpuasa. Nabi Musa As.,
pernah berpuasa selama 40 hari, sampai saat ini para kaum yahudi tetap
mengerjakan puasa meskipun tidak ada ketentuan, seperti puasa selama
seminggu untuk mengenang kehancuran Jerusalem dan mengambilnya
kembali, puasa hari kesepuluh pada bulan tujuh menurut perhitungan mereka
dan berpuasa sampai malam.9 Intinya dari berbagai puasa yang dikerjakan
adalah mengacu kepada tujuan perbaikan diri dari kesalahan yang pernah
diperbuat dan pencegahan diri agar tidak terjadi lagi kesalahan tersebut.
Kesalahan di atas muncul disebabkan dua syahwat yang mempengaruhi
kehidupan manusia; syahwat faraj atau seks dan syahwat lapar. Apabila kedua
syahwat tersebut tidak terkendali maka akan terjadi kesalahan-kesalahan yang
dilakukan oleh manusia. Kesalahan yang berawal dari kerakuasan dan
kesombongan. Hal ini akan dijelaskan secara rinci di bagian sub bab empat
hikmah ramadhan. Untuk lebih jelas tentang puasa akan dijabarkan di kalangan
beberapa mufassir tentangnya.
1. Pengertian Puasa
Menurut Ibn Kasir, puasa adalah menahan diri dari makan, minum, dan
berjimak disertai niat yang ikhlas karena Allah Yang Mahamulia dan
Mahaagung karena puasa mengandung manfaat bagi kesucian, kebersihan,
dan kecemerlangan diri dari percampuran dengan keburukan dan akhlak
yang rendah.10 Oleh karena itu puasa meningkatkan penyembuhan sifat
rakus dan sombong manusia yang awalnya telah diobati dengan sholat
melalui ruku dan sujud agar manusia jujur tentang akan siapa dirinya dan
tidak melakukan kerusakan karena kerakusan dan kesombongannya.
9
Lihat, Prof. Dr. Hamka, Tafsir Al-Azhar, Jld I (Jakarta: Gema Insani, 2015), cet. I, h.
340
10
Muhammad Nasib ar-5LID¶L Ringkasan Tafsir Ibnu Kasir, terj. Budi Permadi, Jld. I
(Jakarta: Gema Insani, 2011), cet. I, h. 221-222
6
Jurnal Ibn Abbas
11
Lihat Ibid., h. 222
12
Ibid.
13
Ibid.
14
Imam Jalaluddin al-Mahalli dan Imam Jalaluddin as-Sayuti, Tafsir Jalalain, terj.
Bahrun Abu Bakar, Jld I, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2010), cet.kedelapan, h. 93
7
Jurnal Ibn Abbas
15
Ramadhan ±Wikepedia, https://id.m.wikipedia.org lihat juga, Muslim-Ibn-Habbaj,
Abul-+XVVDLQ ³6KDKLK 0XVOLP´- %RRN 7KH %RRN RI )DVWLQJ +DGLWK ´
Hadithcolection.com. diakses tgl 25 July 2012
8
Jurnal Ibn Abbas
9
Jurnal Ibn Abbas
kelupaan dan kesalahan manusia yang membesar dan tidak terbendung. Oleh
karena itu, hikmah dalam ibadah puasa di bulan Ramadhan ini akan
menjelaskan empat hal yang mampu mendukung upaya pengobatan dua sifat
buruk tersebut sehingga tradisi kelupaan dan kesalahan yang permanen tidak
akan bertahan dalam diri seorang hamba dan akan mendukung metode
pengobatannya melalui sholat dengan gerakan rukuk dan sujud.
1. Kejujuran
Kehidupan dalam bermasyarakat tidak lepas dari komunikasi. Dalam
berkomunikasi memerlukan keselarasan antara dua komunikan sehingga
membangun kondisi bermasyarakat yang kondisonil, efektif dan efisien,
atau dalam bahasa Islamnya kondisi yang rahmatan lil alamin. Baik di
masa keluarga Nabi Adam As sampai masa umat Nabi Muhammad Saw.,
membutuhkan komunikasi yang selaras. Komunikasi tersebut dapat
dibangun dengan kejujuran yang dimiliki oleh komunikan, sehingga
mampu membangun kondisi di atas.
Kejujuran merupakan suatu sifat yang menyadari akan siapa dirinya dan
ia berbuat dengan sesuai apa yang menjadi kodratnya, sehingga ia
menyampaikan kata, perbuatan dan tindakan sesuai dengan apa yang
dinyatakan dari yang memberinya amanat. Kejujurannya akan
mengantarkan dirinya kepada kepercayaan seseorang untuk memberikan
amanah kepadanya karena ia memiliki sifat yang amanah yang hadir dari
kejujuran dirinya. Sebagaimana Rasulullah Saw., pernah bersabda yang
artinya, bagimulah berlaku jujur, karena kejujuran akan mengantarkanmu
kepada kebaikan dan kebaikan akan membawamu kepada surge
(kebahagiaan)«
Dari hadis di atas dapat dipahami bahwa kejujuran dapat mengantarkan
kebaikan dan kebaikan membawa kepada surge (kebahagiaan), yaitu
kejujuran dalam arti kesadaran seorang manusia bahwa dirinya adalah
hamba bukan Tuhan. Kesadaran tersebut memotivasi dirinya untuk selalu
mengikuti petunjuk Allah Swt., melalui penyampaian Nabi dan Rasul-Nya,
10
Jurnal Ibn Abbas
11
Jurnal Ibn Abbas
12
Jurnal Ibn Abbas
13
Jurnal Ibn Abbas
14
Jurnal Ibn Abbas
E. Penutup
Berpuasa merupakan metode Islam dalam rukunnya untuk memberikan
kekuatan kepada manusia untuk berbuat mulia dengan pendidikannya,
berkepedulian social yang tinggi dan peka dalam menghubungkan setiap
ibadah dengan kecintaannya kepada Allah Swt. Berpuasa juga diwajibkan
kepada orang-orang sebelum ummat Nabi Muhammad Saw. Hal tersebut
bertujuan untuk mendukung program penuhanan seorang manusia kepada
15
Jurnal Ibn Abbas
16
Jurnal Ibn Abbas
DAFTAR PUSTAKA
Andy, Safria, Hati (Qalb) dalam Pemikiran Tasawuf Ibn Qayyim Al-Jauziyyah,
Disertasi, Medan: IAIN Pascasarjana, 2012), Bab. IV,
Ar-5LID¶L 0XKDPPDG 1DVLE Ringkasan Tafsir Ibnu Kasir, terj. Budi Permadi,
Jld. I (Jakarta: Gema Insani, 2011), Cet. I,
As-Sayuti, Imam Jalaluddin al-Mahalli dan Imam Jalaluddin, Tafsir Jalalain, terj.
Bahrun Abu Bakar, Jld I, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2010),
Cet.kedelapan,
Isa, Syekh Abdul Qadir, Hakekat Tasawuf, penerj. Khairul Amru Harahap dkk,
(Jakarta: Qisti Press, 2017), cet. Ke-15
Kadir Riyadi, Abdul, Arkeologi Tasawuf: Melacak Jejak Pemikiran Tasawuf dari
Al-Muhasibi hingga Tasawuf Nusantara, (Bandung: Mizan, 2016), Cet. I
Zahri, Mustafa, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf (Surabaya: PT. Bina Ilmu,
1995), h. 45. h. 93
17